Cinta Dokter Cantik
Suara riuh memenuhi ruangan yang terasa sesak bagi beberapa orang. Berita-berita yang trending di saat ini terdengar saling tumpang tindih, suara tawa yang penuh ejekan, tatapan jijik terarah pada orang yang di gosipkan.
Sistem kasta sangat kental dalam acara malam hari itu, orang yang kaya merendahkan orang yang miskin tak ada sekalipun sikap hormat mereka sebagai sesama manusia. Acara yang seharusnya damai harus terganggu oleh para wanita tua yang memamerkan kelebihan mereka.
“Nyonya Bianca, Kapan putramu akan menikah?”
“Ah, aku punya seorang putri yang cantik, apakah kau mau menjodohkan mereka?”
“Padahal tuan Edward begitu tampan tapi mengapa ia belum menikah? Hahaha.”
“Putriku baru saja pulang dari Prancis, ia cantik dan manis sangat cocok dengan tuan Edward, nyonya,”
wanita yang dipanggil Nyonya Bianca itu menghela napas panjang dan menatap wanita-wanita lain dengan tatapan sinis. Ia menggoyangkan gelas anggurnya dengan gaya elegan.
“Hahaha, putraku tidak ingin gegabah dalam memilih pasangan lagi pula aku tak melarang dengan siapa anakku bersanding asalkan dia bahagia, untuk nyonya Erika dan nyonya Lily maaf saja aku mengharapkan seorang menantu yang sopan dan tahu menghargai orang bukan hanya tahu menghamburkan uang,” perkataan itu membuat mereka semua terdiam.
Tanpa menunggu balasan dari orang-orang yang sudah berani membicarakan putranya, beliau langsung pergi ke sebuah sofa di pojok ruangan.
“Pelayan!” panggil wanita yang masih tampak awet muda itu.
“Iya, nyonya,” seorang Pelayan menghampirinya.
“Tolong ambilkan aku jus buah!” titahnya.
Setelah Pelayan tersebut pergi, Nyonya Bianca menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa sembari tangannya memijit dahinya yang terasa pening.
“Waah, sangat harum,” gumam nyonya Bianca.
Bertepatan dengan itu, seorang gadis muda dengan gaun biru selutut dan rambut di sanggul rapi duduk di sampingnya. Nyonya Bianca sepertinya tertarik pada gadis tersebut.
“Pelayan!” panggil gadis itu.
Seorang Pelayan mendekat dan bertanya, “Iya, ada yang bisa saya bantu, nona?”
“Tolong ambilkan aku air putih,” titahnya. “Dan juga sepiring cake.”
“Tunggu sebentar, nona,” Pelayan tersebut pun pergi.
Malam masih panjang dan suara para orang-orang membosankan masih terdengar menjengkelkan. Nyonya Bianca merasa tenang menghirup aroma lavender yang khas dari nona cantik di sampingnya.
“Siapa namamu, nona?” tanya Nyonya Bianca.
“Adora, nyonya,” jedanya sebentar. “Bukankah anda Nyonya Bianca pemilik butik Love Secret yang terkenal itu?”
Gadis bernama lengkap Adora Serafina Miller itu sangat senang bisa bertemu dengan idolanya waktu kecil dan sekarang pun masih sama.
“Iy-iya, itu aku. Aku tak menyangka kau mengenalku.”
“Tentu saja, aku adalah penggemarmu, sejak kecil aku selalu memakai pakaian desainmu, ibu dan ayahku selalu membelikan aku pakaian dari butikmu,” jelas nona itu antusias.
“Astaga, terima kasih, nona Adora,” Nyonya Bianca tersenyum melihat kegembiraan Adora.
Dua Pelayan tadi menghampiri mereka dan memberikan minuman dan makanan. Adora dengan senang memasukan sesendok kue dengan cream vanilla itu ke mulut. Detik berikutnya wajah Adora cemberut.
“Wleek..., rasa macam apa ini?” gumamnya.
Nyonya Bianca menatap bingung nona cantik di sampingnya.
“Ada apa, nona?”
“Ah, aku minta maaf karena sudah berlaku tak sopan di depanmu,” ujar Adora kembali canggung.
“Tak apa-apa, apa rasa cake itu tak enak?”
“Iya,” ujarnya dengan nada sedih.
Padahal ia berharap datang ke pesta ini dengan tujuan untuk mencicipi makanan yang enak. Tapi harapannya sirna begitu saja. Ketika asik berbincang tiba-tiba segerombolan orang mendekat dengan pakaian serba hitam dipimpin oleh seorang pria muda dengan setelan jas berwarna biru.
“Ibu!” Adora dan nyonya Bianca tentu saja terkejut.
“Anak macam apa kau? membuatku terkejut saja,” marah nyonya Bianca pada putranya.
Adora akhirnya sadar bahwa wanita di sampingnya ini adalah nyonya muda Wellington dan pria tampan di depannya ini adalah pengusaha termuda yang kaya raya dan pemilik perusahaan raksasa, Edward Wellington.
‘Astaga apa yang terjadi padamu hari ini, Adora?’ Adora membatin.
Dengan perlahan Adora kabur dari tempat itu tanpa berniat berpamitan, bisa-bisa ia dikira musuh oleh Edward atau siapalah itu. Adora bernafas lega akhirnya bisa lolos dari mereka, ia segera berpamitan pada temannya lalu keluar dari tempat pesta ingin pulang.
Adora mengendarai mobilnya sambil bersenandung kecil, ia berhenti di sebuah toko kue langganannya. Ia kemudian masuk dan melihat-lihat kue yang ada di etalase, semuanya terlihat sangat enak.
“Pilih yang mana, nona Adora?” tanya pekerja di toko itu. Ia cukup kenal dengan Adora, karena hampir tiga hari sekali Adora akan datang ke sini membeli kue.
“Yang ini,” tunjuk Adora pada sebuah kue serba cokelat.
“Baiklah, mohon tunggu sebentar,” ujar si pekerja.
Selang beberapa menit kemudian, Adora menerima pesanannnya dengan senyum merekah. “Mohon datang lagi, nona!”
Adora berjalan menaiki mobil sedannya lalu melaju membelah jalanan yang masih ramai walau waktu perlahan memudar. Selama setengah jam menempuh perjalanan, akhirnya Adora sampai di depan rumah sederhana namun elegan milik papanya. Ia mengetuk pintu dengan pelan.
“Sayang, ayo masuk,” ujar seorang wanita yang masih terlihat cantik.
Tiga gadis kecil berlarian dan memeluk Adora dengan erat, seperti sudah lama tak jumpa.
“Kakak kalian pasti lelah biarkan dia istirahat,” bujuk mama mereka.
“Tak apa-apa, mama, aku juga sangat merindukan mereka,” balas Adora.
“Bagaimana pestanya?”
“Huuh, makanannya tidak sama dengan buatan mama, aku merindukan masakan mama,” ucap Adora manja sembari memeluk tubuh wanita itu.
Nyonya Emily, mama mereka mengelus rambut Adora dengan sayang. “Baiklah, ayo makan, mama akan menemani kamu.”
“Ah, sebentar, adik-adikku yang manis aku membawakan kalian kue, segera habiskan dan tidur.”
Nyonya Emily tersenyum melihat pemandangan harmonis itu. “Ayo!”
Sejak Adora berusia enam tahun, kedua orang tuanya sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat. Tuan Gerry, adik ayahnya Adora yang begitu menyayangi Adora lantas merawat Adora semenjak kejadian itu. Nyonya Emily sebagai istri tuan Gerry juga tak keberatan, ia juga sangat menyukai Adora.
Sampai akhirnya, Adora telah tumbuh besar dan menjadi seorang Dokter muda yang berbakat. Tuan Gerry dan nyonya Emily juga di anugerahkan tiga putri kembar yang cantik yakni Thalita, Thania, dan Thalia. Adora sangat menyayangi ke tiga saudaranya itu.
“Kakak, kue ini sangat enak...,” ucap Thania.
“Tentu saja, kakak membeli di toko kue berkualitas,” balas Adora.
“Cepatlah habiskan lalu pergi tidur,” suruh nyonya Emily pada keempat anaknya.
“Baik, mama!” seru mereka bersamaan.
Setelah menyantap makanan di depan mereka, Adora pun mengajak mama dan ke tiga adiknya untuk masuk ke kamar masing-masing.
****
Adora baru saja sampai di rumah sakit, sambil menenteng jas putihnya, ia berlari kecil menuju ke ruangannya yang berada di lantai dua. Seorang Perawat bernama Erika segera membacakan jadwalnya di pagi ini, ternyata ia punya pasien yang harus melakukan operasi. Ia segera menuju ke ruang operasi.
“Tolong berhenti nona!” dua orang berbadan tegap menghadang jalan Adora dan Erika.
“Ada apa ini? Aku harus segera ke ruang operasi!” sentak Adora.
“Tidak bisa! tuan kami ingin agar nona mengikuti kami!”
“Memangnya siapa tuan kalian? tidak bisakah dia membiarkanku mengatasi pasienku dulu,” ucap Adora geram.
“Tidak bisa nona!”
“Dokter Adora!”
Adora menoleh dan mendapati Direktur rumah sakit tempat dia bekerja sedang berlari tunggang langgang seperti di kejar sesuatu. Bukan hanya itu ada seorang Dokter bedah yang menyusul dari belakang.
“Ada apa ini, Direktur?” Adora mulai merasa ada yang tidak beres.
“Se-sebaiknya kamu mengikuti perkataan tuan mereka, dia sedang mencarimu...,” bisik Direktur dengan nada cemas.
“Memangnya dia siapa?! beraninya menekan Direktur rumah sakit bergengsi ini! di mana orangnya?!” Adora mulai sarkastik.
“Dokter... natilah aku...,” Direktur itu langsung kebingungan.
“Aku, apakah kau ingin memukulku karena berlaku tidak sopan?” suara itu muncul membuat semua orang gelisah kecuali Adora yang tak tahu apa-apa.
Lelaki berparas tampan itu tersenyum miring dan menatap remeh gadis cantik di depannya. Adora kesal dengan tatapan lelaki itu yang menurutnya kurang ajar.
“Apa yang kau lihat? dasar lelaki gila!” bentak Adora.
“Kau yang gila!” balas lelaki itu.
“Apa kau bilang?!” lantas Adora menendang tulang kering lelaki itu.
Tampak lelaki itu berlutut sambil memegang kakinya yang ditendang oleh gadis kecil seperti Adora.
“Rasakan itu? ck, menyebalkan,” ujar Adora lalu berbalik dan pergi.
Direktur menahan tangan Adora, ia tak mau terlibat dalam masalah besar kali ini. Jadi, mau tak mau ia harus memaksa Dokter hebat rumah sakit ini untuk tunduk pada lelaki berparas tampan itu.
“Ada apa lagi, Direktur?”
“Kau atasi pasien yang ditugaskan untuk Dokter Adora!” titah Direktur pada Dokter bedah yang berdiri mematung di sampingnya.
“Baik, Direktur!” Dokter itu mengangguk lalu dengan cepat meninggalkan koridor yang sedang tegang itu.
“Kenapa Direktur menahanku di sini? Memangnya siapa lelaki kurang ajar itu sehingga anda takut padanya?” suara Adora meninggi karena tak suka pekerjaannya diganggu.
“Adora..., aku mohon padamu selaku teman ayahmu, orang itu tidak bisa kau singgung,” bisik si Direktur pada Adora.
Adora menoleh pada lelaki itu yang sudah berdiri dengan gagahnya dan menatap datar padanya. Adora baru menyadari bahwa wajah lelaki itu terasa familiar, apakah mereka pernah bertemu? tapi di mana?
‘Hmm, siapa ya?’ Adora berpikir keras siapa sebenarnya sosok tampan itu.
“Aaa!”
Semua orang terkejut ketika Adora digendong selayaknya karung beras, Adora yang tak terima dengan perlakuan si lelaki lantas memukul punggungnya dengan sekuat tenaga. Jangan lupakan juga bahwa Adora ahli dalam ilmu bela diri.
“Berhentilah memukulku!” bentak si lelaki.
Adora yang sudah lelah akhirnya menyerah dan mengajak bicara anak buah lelaki itu. “Hei kalian! apakah kalian takut pada lelaki kurang ajar ini?” tanya Adora.
Lelaki itu mendengus kesal mendengar sebutan yang diberikan oleh Adora kepadanya, padahal setiap wanita yang melihatnya pasti jatuh cinta karena parasnya yang tampan.
“Namaku Edward bukan lelaki kurang ajar, apakah kau tak lihat aku tampan seperti ini?”
“Diam kau! dan tidak ada yang bisa menandingi ketampanan kedua ayahku dan pacarku, tidak ada!”
Lelaki bernama Edward Wellington itu hanya diam tak membalas, ia terlalu malas menanggapi sikap Dokter muda itu. Beberapa menit berlalu akhirnya, Edward menurunkan Adora di depan sebuah mobil berwarna putih.
Tak lupa juga ia membukakan pintu untuk Adora. “Masuk!”
“Kau mau menculikku?!” tuding Adora pada Edward.
“Apakah kau pantas diculik?!” Edward sangat kesal dengan gadis itu.
“Tidak,” jawab Adora lalu masuk ke dalam mobil seperti mobilnya sendiri.
Edward dan anak buahnya ternganga dengan sikap Adora yang berlagak seperti tuan putri dan memperlakukan Edward seperti pelayannya.
“Gadis aneh,” Edward menghela napas sebentar lalu masuk ke dalam mobil yang sama.
Adora menatap tajam Edward yang duduk di sampingnya seakan tak sudi duduk berdampingan dengan lelaki yang ia anggap kurang ajar itu.
“Ke rumah!” titah Edward pada supir pribadinya.
“Baik, tuan muda!”
“Aku seorang Dokter bukan pembantu,” ucap Adora.
“...,” Edward hanya diam.
“Bukankah keterlaluan jika kamu menculikku hanya untuk dijadikan sebagai pembantu,” ucapnya lagi.
“...,” kali ini Edward biarkan gadis di sampingnya mengoceh.
“Hei! aku mengajakmu berbicara, ya sudahlah.”
Edward tersenyum lega akhirnya Adora berhenti mengoceh. Namun...
“Astaga, aku merasa bosan! dasar gunung es, aku tak menyangka aku harus direndahkan seperti ini. Papa mama apakah aku dokter yang tidak dihargai? Hu... hu... hu,” oceh Adora kembali berpura-pura menangis.
Perasaan lega Edward sirna begitu saja, lelaki itu tertekan dengan keberadaan Adora. Bahkan, supir pribadinya saja menahan tawa menyaksikan ekspresi tuan mudanya.
“Apakah kau menangis?” tanya Edward panik.
Adora menoleh sambil mengusap air matanya dan berkata, “Tidak, aku hanya akting.”
“Astaga! Hari ini adalah hari tersialku, bisa-bisanya aku bertemu dengan gadis aneh sepertimu?”
“Diam!” bentak Adora.
“Apa? Ka-kau--,” Edward ternganga.
“Ku bilang diam ya diam!” bentak Adora sekali lagi.
“Hei ini mobil--” ucapan Edward terhenti seketika.
“Kau mau bilang ini mobilmu? Iya aku sangat tahu ini mobilmu tapi siapa yang menyuruhku naik?!”
Edward yang hebat dan gagah kini merasa ingin pergi ke planet lain saja. Ingin sekali ia menangis dan berteriak sekeras-kerasnya. Pada akhirnya ia diam dan tak berbicara begitu pula Adora.
“Hei, siapa tadi namamu?”
Edward menatap sinis gadis di sampingnya tanpa berniat menjawab.
Plak
Adora yang ringan tangan langsung memukul bahu Edward dengan sangat kuat.
‘Sebenarnya atas dasar apa kakek menyarankan gadis ini untuk bertanggung jawab atas operasi ibu?’ Edward tengah serius berperang dengan pikirannya sendiri.
“Kau tak dengar aku bertanya padamu?!” bentak Adora.
“Wanita selalu benar,” gumamnya sebelum bentakan kembali terdengar.
“Apa kau tuli?!”
“A-aku Edward,” tanpa sadar Edward berbicara gagap.
“Baiklah, tuan Edward apakah jaraknya masih jauh?” tanya Adora menatap keluar jendela.
“Ya,” Edward memilih menghiraukan gadis disampingnya. Tiba-tiba...
“Berhenti!” teriak Adora spontan. Mobil yang tadinya melaju tiba-tiba berhenti karena teriakan spontan seorang gadis. Tanpa menunggu respon orang di sekitarnya, Adora turun dari mobil dan berlari keluar.
“Hei!” Edward marah besar dan langsung turun dari mobil.
Adora, gadis itu sedang memperhatikan jalan lalu menyebrang, tak tahu saja dia jika dia membangunkan sisi menyeramkan dari seorang Edward Wellington. Sesampainya di sebuah toko, Adora membeli sesuatu. Edward segera menyebrang bersama anak buahnya, wajah lelaki itu memerah.
“Terima kasih,” ucap Adora ramah kemudian pergi setelah membayar.
Adora berjalan dengan santai sambil menenteng sebuah kantong kresek berisi minuman yang baru saja ia beli. Adora menatap heran Edward dan anak buahnya yang baru saja menyebrang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Elwi Chloe
mampir
like dan masuk favorit ya
2022-02-03
1
R L A W L T N
Kicepp dah tuhh🤣🤣
2022-01-25
1