Bab 2

“Kenapa kalian di sini? Ingin membeli minuman juga?” tanya Adora dengan nada ketus.

Mereka saling bertatapan dengan wajah kebingungan lalu dengan serempak berkata, “tidak.”

Edward yang hampir gila mengusap wajahnya kasar. Ia menatap tajam Adora yang sedang memerhatikan jalan.

“Kalau begitu, kembali ke mobil!” suruh Adora yang sudah berjalan duluan.

Anehnya, anak buah Edward malah mengikuti Adora dan meninggalkannya berdiri di tepi jalan sendirian seperti seorang anak yang ditelantarkan orang tuanya. “Haah...,” Edward menghela napas pasrah.

****

Adora berdecak kagum melihat desain rumah megah yang ia masuki ini. Semuanya penuh dengan warna perak. Hiasan keramik yang berharga jutaan terlihat di setiap sudut.

“Jalanmu lamban,” tegur Edward yang sedang menuntun jalan.

“Iya, iya, kakimu saja yang kelebihan panjangnya,” tukas Adora yang masing saja meminum minumannya.

“Ingat! Kau harus sopan kepada Ibuku!” tegas Edward.

“Hmm,” dehem Adora.

‘Rumahnya sangat indah tak seperti orangnya, bekerja sebagai pembantu di sini saja mungkin gajinya sangat tinggi setara denganku, eh?’ Gadis itu berhenti pada sebuah foto dengan bingkai emas yang terpampang di dinding. Ada seorang wanita parubaya yang familiar sedang duduk di sofa bersama seorang pria tua dan seorang gadis kecil yang manis, di belakang mereka terdapat Edward dan seorang gadis berwajah manis.

“Apa mungkin ini foto keluarga tuan Edward?” gumamnya.

“Hei, apa yang kau lihat?” panggil Edward.

“Hanya melihat foto keluargamu saja,” jawab Adora.

Tanpa menunggu respon dari Edward, gadis itu lancang berjalan mendahului Edward menaiki tangga. Dengan cepat Edward menyusulnya.

“Kau tidak seperti seorang Dokter,” ucap Edward.

“Ya,” balas Adora singkat.

“Dasar aneh,” gumam Edward.

“Di mana Ibumu? Aku harus melihat pasienku.”

Tadi setelah membeli minuman, Edward sudah menceritakan perihal ia memaksa Adora mengikutinya ke kediamannya. Adora hanya menanggapi asal sembari meminum minumannya, hal itu membuat Edward harus ekstra sabar.

Edward menarik tangannya menuju ke satu pintu yang berada paling ujung, Edward pun membuka pintu dan hendak masuk. Namun, Adora malah mendahuluinya dengan santai.

Edward menganga. “Ka-kau...,” Edward menghela napas berat ketika Adora menoleh dengan tampang seakan tak bersalah.

‘Bisa-bisa aku gila meladeni gadis aneh seperti dia’, batin Edward menatap punggung Adora.

Keduanya tak sadar bahwa di ruangan itu masih ada orang lain selain mereka, ah, lebih tepatnya Edward saja yang tak sadar.

“Selamat datang, Dokter,” sambut seorang pria tua dengan senyuman ramah.

“Terima kasih, tuan,” Adora balas dengan senyuman tak kalah ramah.

Tuan besar Wellington sekaligus kakeknya Edward langsung menyukai sikap Adora yang sopan serta ramah. Ia tak salah pilih Dokter yang akan bertanggung jawab atas operasi anaknya.

“Maaf merepotkan anda, Dokter. Apakah saat cucuku menjemput anda, anda sedang sibuk?”

Adora menoleh pada Edward dengan tatapan seperti mata pedang yang terhunus membuat Edward bergidik ngeri. Dengan secepat kilat, Adora mengubah mimik wajahnya yang kesal menjadi ramah saat berbalik ke arah tuan besar Wellington.

“Saya sedikit sibuk, tapi sebuah kehormatan besar bisa merawat Putri anda,” tutur Adora bersahaja. Mendengar penuturan dari gadis cantik itu, tuan besar Wellington langsung menatap tajam cucu laki-lakinya.

“Mm, bolehkan saya memeriksa keadaan nyonya sekarang?” tanya Adora.

“Ya, silahkan,” tuan besar segera berdiri dari tepi ranjang dan membiarkan Dokter muda itu memeriksa keadaan putrinya.

Adora menoleh pada Edward yang masih berdiri di belakangnya, ia mengulurkan tangan yang berisi minumannya tadi.

“Apa?” Edward tak paham.

“Cepat pegang ini!” suruh Adora.

“Ta-tapi... baiklah, huh,” akhirnya Edward menyerah.

Tuan besar dan salah satu cucu perempuannya menahan tawa menyaksikan Edward yang diperlakukan seperti seorang pelayan oleh orang yang pertama kali ia temui.

Adora mengenal orang ini, bukankah ini nyonya Bianca yang ia temui seminggu yang lalu saat pesta di rumah temannya. Adora segera memeriksa keadaan wanita yang sedang terbaring lemah di ranjang itu, tak ada senyuman yang menghiasi wajahnya.

‘Sangat disayangkan, ternyata nyonya Bianca adalah ibunya tuan kurang ajar itu. Ibunya sangat baik tapi anaknya... sudahlah’. Adora menggerutu di dalam hatinya.

Selang beberapa menit kemudian, pemeriksaan yang dilakukan Adora akhirnya selesai. Ia melepas stetoskop yang tadi menutupi telinganya.

“Apakah putriku baik-baik saja, dokter?”

“Tidak, tuan. Apakah beliau tak ingin dioperasi?” tanya Adora menatap ke pasiennya dengan tatapan sendu.

“Kami berkali-kali sudah membujuk ibu agar melakukan operasi, tapi percuma saja ibu tidak akan mau,” jawab cucu pertama Wellington, Yunifer.

“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, dokter, Bianca terlalu keras kepala, ada penyebab yang membuatnya seperti itu. Aku harus bagaimana?”

“Beliau harus segera dioperasi jika tidak kanker rahimnya akan semakin ganas,” tutur Adora.

“Kami akan berusaha meyakinkan dia,” ucap Yunifer walau ia tak yakin dengan ucapannya sendiri.

“Edward antarkan Dokter!” suruh tuan besar. “Terima kasih, Dokter.”

“Sama-sama, tuan. Jika tejadi sesuatu dengan nyonya silahkan hubungi saja, ini kartu nama saya.”

Adora dan Edward pun akhirnya keluar dari ruangan nyonya Bianca. Wajah Edward nampak suram tak sama seperti tadi saat mereka masih saling berdebat.

“Aku sarankan lebih baik kau habiskan waktumu lebih banyak dengan nyonya, beliau pasti membutuhkan dukungan dari putranya,” ujar Adora.

“Terima kasih atas saranmu,” balas Edward tulus.

“Setidaknya kau masih berguna,” ujar Adora tak berperasaan.

Edward yang awalnya senang diberi saran oleh gadis menyebalkan itu sirna begitu saja. “Hng!” Edward langsung pergi meninggalkan Adora begitu saja.

“Kurang ajar,” gumam Adora mengejarnya.

Edward yang kesal sudah menunggu Adora di dalam mobilnya, tak lama kemudian Adora masuk ke dalam mobil dan membanting pintu mobil dengan kuat.

Edward ternganga, “Mobil kesayanganku!”

“Diam!” bentak Adora.

Edward langsung terdiam dan menyalakan mesin kemudian melaju dengan kecepatan diatas rata-rata saking kesalnya dia pada gadis disampingnya. Tak butuh waktu lama mobil itu sampai di depan rumah sakit tempat Adora bekerja.

“Astaga, dasar kurang ajar kau!” teriak Adora memukul Edward dengan brutal.

“Siapa suruh kau berlagak bossy di depanku,” elak Edward.

“Menyebalkan,” ucap Adora sebelum pintu mobilnya ia banting dengan kuat.

Tanpa berterima kasih lagi, Adora langsung pergi begitu saja. Akhirnya keduanya berpisah tanpa salam perpisahan, pertemuan yang tak diinginkan oleh Adora berakhir di hari sial ini.

****

Seorang gadis kecil diam-diam membuka pintu lemari es, matanya yang besar menjelajah isi lemari es yang dipenuhi sayuran di bagian bawah dan cemilan yang ada di bagian atas. Ia ingin makan cemilan itu tapi tingginya tak sampai, ia butuh seseorang.

“Jika aku memanggil mama maka aku akan dimarahi, apa Kakak saja?” monolognya. “Aku coba dulu!”

Ia pun berlari menuju ke kamar sang Kakak yang ia maksudkan. Dengan tangan mungilnya, ia mengetuk pintu berwarna putih itu. “Kakak, ini Lita! Tolong buka pintunya,” ucap gadis itu.

Pintu terbuka dan menampakan sosok gadis dengan rambut berantakan dan wajah bantal pertanda ia baru saja bangun dari tidur nyenyaknya.

“Iya, apa kamu butuh sesuatu, Lita?” tanya Adora.

“Ah, maaf karena sudah mengganggu tidur Kakak. Nanti saja, Kakak lanjutkan tidurnya saja,” jawab Thalita.

Adora tersenyum dan berkata, “masuklah, tunggu Kakak mandi dulu!”

“Baik!” balas Thalita bersemangat.

Adora pun melakukan ritual mandinya sedangkan Thalita masih menunggunya di dalam kamar. Tak butuh waktu lama Adora sudah tampil dengan segar bugar.

“Ayo ikut aku!” Thalita pun menarik tangan kakaknya menuju ke dapur.

“Apakah Adikku yang manis ini ingin makan cemilan?” tanya Adora menoel hidung sang adik.

Thalita mengangguk dengan antusias. Adora sangat memanjakan ketiga adiknya sampai semua keinginan mereka ia penuhi di samping itu ia juga harus bersikap tegas pada mereka.

Adora mengambil beberapa cemilan untuk diberikan kepada adiknya yang lain selain Thalita. “Dimana Nia dan Lia?”

Thalita mendonggak dan berkata, “Ada di halaman belakang, mungkin sedang membaca buku.”

“Ayo ke sana,” ujar Adora menggenggam tangan adiknya menuju ke halaman belakang. Di halaman belakang, terlihat dua gadis kecil sedang duduk sambil membaca buku, jarang ada anak kecil yang suka membaca buku tapi berbeda dengan adik-adiknya Adora yang menyukai buku. Seringkali setiap pulang kerja, Adora dan papanya membelikan buku untuk si kembar.

DibandingThalia, si bungsu yang menyukai buku. Thalita lebih menekuni bidang IT, di usianya yang baru menginjak delapan tahun, dia sudah mengetahui pengetahuan dasar tentang bidang itu. Sedangkan, Thania lebih memilih menjadi seorang model profesional, katanya ia ingin menjadi seperti mamanya.

“Selamat pagi!” sapa Adora dengan senyum ceria.

“Selamat pagi juga, Kak,” keduanya menjawab dengan kompak.

Thania yang masih setia dengan bukunya bertanya, “Apakah semalam tidur kakak nyenyak?”

“Iya,” jawab Adora.

“Kakak,” panggil Thania.

Adora menatap adik keduanya itu dengan tatapan penasaran. “Ada apa, Nia? Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan pada kakak?”

“Aku ingin menghabiskan waktu dengan kakak, beberapa hari belakangan ini kakak selalu saja sibuk sampai-sampai kakak melupakan bahwa kakak punya tiga adik yang cantik,” oceh Thania dengan wajah cemberut.

Mendengar ocehan sang adik, Adora merasa bersalah karena jarang menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ia terlalu fokus dengan karirnya sampai ia lupa ada tiga adiknya yang sangat membutuhkan kakak mereka.

“Maafkan kakak,” tutur Adora.

Si kembar mendekati lakak mereka dan memeluknya. “Tidak apa-apa, kak. Asalkan kakak bisa membagi waktu dengan keluarga itulah yang penting.”

Adora sangat bersyukur karena diberikan tiga adik yang sangat menyayangi dan mendukungnya. “Terima kasih, bagaimana kalau kita jalan-jalan bersama lalu jangan lupa kita ajak mama juga,” ajak Adora.

Tak disangka ketiga adiknya sangat antusias, mereka segera bersiap-siap untuk berangkat. Adora tersenyum melihat semangat adik-adiknya. Ia pun beranjak menuju ke kamar sang mama.

“Mama, apakah mama ada di dalam?” tanya Adora sambil mengetuk pintu.

Cklek

“Ah, Putriku, ayo masuk,” ajak nyonya Emily.

Keduanya duduk di sofa, mata Adora menjelajahi setiap sudut kamar mamanya, masih sama seperti dulu tak ada yang berubah.

“Apakah Mama sibuk?” tanya Adora.

“Hmm, tidak. Memangnya ada apa? Apa kau butuh bantuan mama?”

“Aku ingin mengajak mama dan adik-adik pergi jalan-jalan untuk menghabiskan waktu bersama, apakah mama mau ikut?”

Nyonya Emily terlihat berpikir, selang beberapa menit ia menganggukan kepala tanda setuju. Sudah lama ia ingin mengajak putri-putrinya untuk quality time bersama.

“Baiklah, kau bersiap-siaplah, mama akan mengabarkan papa terlebih dahulu,” ujar nyonya Emily.

“Ok, mama, aku permisi dulu,” Adora pun keluar dari kamar mamanya.

****

Di sinilah, Adora dan keluarganya berada, di mall terbesar yang terletak di San Fransisco. Setelah mendapat izin dari tuan Gerry, mereka langsung melaju ke sini.

Pertama-tama, nyonya Emily mengajak ke empat putrinya ke toko pakaian. Hari ini ia akan memuaskan dirinya dengan mendandani putrinya yang cantik jelita. Thania yang ingin menjadi seorang model tentu saja sangat antusias. Melihat adik keduanya yang sedang mencoba beberapa gaun, Adora tak meragukan lagi bahwa Thania punya bakat dalam dunia modeling.

Mata nyonya Emily berhenti pada sebuah gaun pernikahan yang begitu indah. Adora yang menyadari itu menghela napas panjang, ia tahu pasti mamanya mengharapkannya segera menikah.

Charlie, pacar Adora mungkin belum siap untuk maju ke jenjang yang lebih serius jadi, Adora harus tetap bersabar sampai Charlie benar-benar melamar dirinya di depan kedua orang tuanya.

Setelah dari toko pakaian, mereka beranjak ke salon kemudian ke toko buku dan taman bermain. Sampai akhirnya mereka berhenti di sebuah restoran, karena waktu menunjukan sudah pukul 12.05, artinya waktunya untuk makan siang.

Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, Adora bercakap-cakap dengan keluarganya.

“Oh iya, bagaimana kabar Charlie, sayang?” tanya nyonya Emily.

“Dia baik-baik saja, mama, dia bilang nanti di akhir pekan ia akan datang berkunjung ke rumah,” jawab Adora.

“Baguslah, mama juga ingin bertemu dengannya.”

Selang beberapa menit kemudian makanan yang mereka pesan telah datang. Mereka langsung melahapnya karena lapar dan nyonya Emily mengajak mereka berjalan seharian.

****

Alarm berbentuk kepala boneka asal Jepang, Doraemon itu berdering dengan nyaring membuat seseorang di bawah selimut menggeliat. Selimut terbuka menampakan wajah Adora dengan rambut berantakan dan matanya yang masih berat. Tangannya bergerak mengambil jam weker yang ada di atas nakas, matanya memincing memastikan sudah jam berapa ini.

“Masih jam enam? lebih baik aku bersiap-siap saja dulu,” monolognya sebelum bangkit dari tempat tidur.

Adora memulai paginya dengan melakukan rutinitas pagi seperti bangun tidur, mandi lalu sarapan dan pergi bekerja. Setelah bekerja, ia akan pulang bermain dengan adiknya atau menghabiskan waktu bersama sang pacar, malamnya ia menemani ketiga adiknya belajar lalu tidur, hanya itu siklus kehidupan Adora.

Gadis berusia dua puluh lima tahun itu sudah tampak segar dan tak merasa ngantuk lagi. Kemudian, ia turun ke bawah dengan menenteng tas dan jas putih kesayangannya.

“Selamat pagi semuanya!” sapa Adora dengan senyuman yang ceria.

“Pagi juga, Kak,” balas si kembar.

“Pagi, sayang,” balas orang tuanya.

“Sayang bisakah kau mengantar si kembar? papa harus menghadiri meeting penting pagi ini,” ujar tuan Gerry di sela-sela makan mereka.

Adora mengangguk, “iya, papa. Papa fokus saja kerjanya.”

“Terima kasih, sayang.”

Setelah sarapan bersama, tuan Gerry dan anak-anaknya berpamitan pada nyonya Emily. Mereka mencium kedua pipi mama mereka, hal itu sudah menjadi kebiasaan mereka sejak dulu.

Usai berpamitan, Adora mengendarai mobil sedannya ke sekolah si kembar. Selama perjalanan mereka terlibat perbincangan yang mengundang canda dan tawa.

“Semangat belajarnya!” seru Adora.

Tiga gadis kecil yang sudah turun dari mobil kakaknya tersenyum dan melambaikan tangan mereka ke sang kakak kemudian, berlari masuk ke kelas. Setelah mengantar si kembar ke sekolah, Adora pun melaju ke rumah sakit, tempatnya bekerja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!