Suara riuh memenuhi ruangan yang terasa sesak bagi beberapa orang. Berita-berita yang trending di saat ini terdengar saling tumpang tindih, suara tawa yang penuh ejekan, tatapan jijik terarah pada orang yang di gosipkan.
Sistem kasta sangat kental dalam acara malam hari itu, orang yang kaya merendahkan orang yang miskin tak ada sekalipun sikap hormat mereka sebagai sesama manusia. Acara yang seharusnya damai harus terganggu oleh para wanita tua yang memamerkan kelebihan mereka.
“Nyonya Bianca, Kapan putramu akan menikah?”
“Ah, aku punya seorang putri yang cantik, apakah kau mau menjodohkan mereka?”
“Padahal tuan Edward begitu tampan tapi mengapa ia belum menikah? Hahaha.”
“Putriku baru saja pulang dari Prancis, ia cantik dan manis sangat cocok dengan tuan Edward, nyonya,”
wanita yang dipanggil Nyonya Bianca itu menghela napas panjang dan menatap wanita-wanita lain dengan tatapan sinis. Ia menggoyangkan gelas anggurnya dengan gaya elegan.
“Hahaha, putraku tidak ingin gegabah dalam memilih pasangan lagi pula aku tak melarang dengan siapa anakku bersanding asalkan dia bahagia, untuk nyonya Erika dan nyonya Lily maaf saja aku mengharapkan seorang menantu yang sopan dan tahu menghargai orang bukan hanya tahu menghamburkan uang,” perkataan itu membuat mereka semua terdiam.
Tanpa menunggu balasan dari orang-orang yang sudah berani membicarakan putranya, beliau langsung pergi ke sebuah sofa di pojok ruangan.
“Pelayan!” panggil wanita yang masih tampak awet muda itu.
“Iya, nyonya,” seorang Pelayan menghampirinya.
“Tolong ambilkan aku jus buah!” titahnya.
Setelah Pelayan tersebut pergi, Nyonya Bianca menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa sembari tangannya memijit dahinya yang terasa pening.
“Waah, sangat harum,” gumam nyonya Bianca.
Bertepatan dengan itu, seorang gadis muda dengan gaun biru selutut dan rambut di sanggul rapi duduk di sampingnya. Nyonya Bianca sepertinya tertarik pada gadis tersebut.
“Pelayan!” panggil gadis itu.
Seorang Pelayan mendekat dan bertanya, “Iya, ada yang bisa saya bantu, nona?”
“Tolong ambilkan aku air putih,” titahnya. “Dan juga sepiring cake.”
“Tunggu sebentar, nona,” Pelayan tersebut pun pergi.
Malam masih panjang dan suara para orang-orang membosankan masih terdengar menjengkelkan. Nyonya Bianca merasa tenang menghirup aroma lavender yang khas dari nona cantik di sampingnya.
“Siapa namamu, nona?” tanya Nyonya Bianca.
“Adora, nyonya,” jedanya sebentar. “Bukankah anda Nyonya Bianca pemilik butik Love Secret yang terkenal itu?”
Gadis bernama lengkap Adora Serafina Miller itu sangat senang bisa bertemu dengan idolanya waktu kecil dan sekarang pun masih sama.
“Iy-iya, itu aku. Aku tak menyangka kau mengenalku.”
“Tentu saja, aku adalah penggemarmu, sejak kecil aku selalu memakai pakaian desainmu, ibu dan ayahku selalu membelikan aku pakaian dari butikmu,” jelas nona itu antusias.
“Astaga, terima kasih, nona Adora,” Nyonya Bianca tersenyum melihat kegembiraan Adora.
Dua Pelayan tadi menghampiri mereka dan memberikan minuman dan makanan. Adora dengan senang memasukan sesendok kue dengan cream vanilla itu ke mulut. Detik berikutnya wajah Adora cemberut.
“Wleek..., rasa macam apa ini?” gumamnya.
Nyonya Bianca menatap bingung nona cantik di sampingnya.
“Ada apa, nona?”
“Ah, aku minta maaf karena sudah berlaku tak sopan di depanmu,” ujar Adora kembali canggung.
“Tak apa-apa, apa rasa cake itu tak enak?”
“Iya,” ujarnya dengan nada sedih.
Padahal ia berharap datang ke pesta ini dengan tujuan untuk mencicipi makanan yang enak. Tapi harapannya sirna begitu saja. Ketika asik berbincang tiba-tiba segerombolan orang mendekat dengan pakaian serba hitam dipimpin oleh seorang pria muda dengan setelan jas berwarna biru.
“Ibu!” Adora dan nyonya Bianca tentu saja terkejut.
“Anak macam apa kau? membuatku terkejut saja,” marah nyonya Bianca pada putranya.
Adora akhirnya sadar bahwa wanita di sampingnya ini adalah nyonya muda Wellington dan pria tampan di depannya ini adalah pengusaha termuda yang kaya raya dan pemilik perusahaan raksasa, Edward Wellington.
‘Astaga apa yang terjadi padamu hari ini, Adora?’ Adora membatin.
Dengan perlahan Adora kabur dari tempat itu tanpa berniat berpamitan, bisa-bisa ia dikira musuh oleh Edward atau siapalah itu. Adora bernafas lega akhirnya bisa lolos dari mereka, ia segera berpamitan pada temannya lalu keluar dari tempat pesta ingin pulang.
Adora mengendarai mobilnya sambil bersenandung kecil, ia berhenti di sebuah toko kue langganannya. Ia kemudian masuk dan melihat-lihat kue yang ada di etalase, semuanya terlihat sangat enak.
“Pilih yang mana, nona Adora?” tanya pekerja di toko itu. Ia cukup kenal dengan Adora, karena hampir tiga hari sekali Adora akan datang ke sini membeli kue.
“Yang ini,” tunjuk Adora pada sebuah kue serba cokelat.
“Baiklah, mohon tunggu sebentar,” ujar si pekerja.
Selang beberapa menit kemudian, Adora menerima pesanannnya dengan senyum merekah. “Mohon datang lagi, nona!”
Adora berjalan menaiki mobil sedannya lalu melaju membelah jalanan yang masih ramai walau waktu perlahan memudar. Selama setengah jam menempuh perjalanan, akhirnya Adora sampai di depan rumah sederhana namun elegan milik papanya. Ia mengetuk pintu dengan pelan.
“Sayang, ayo masuk,” ujar seorang wanita yang masih terlihat cantik.
Tiga gadis kecil berlarian dan memeluk Adora dengan erat, seperti sudah lama tak jumpa.
“Kakak kalian pasti lelah biarkan dia istirahat,” bujuk mama mereka.
“Tak apa-apa, mama, aku juga sangat merindukan mereka,” balas Adora.
“Bagaimana pestanya?”
“Huuh, makanannya tidak sama dengan buatan mama, aku merindukan masakan mama,” ucap Adora manja sembari memeluk tubuh wanita itu.
Nyonya Emily, mama mereka mengelus rambut Adora dengan sayang. “Baiklah, ayo makan, mama akan menemani kamu.”
“Ah, sebentar, adik-adikku yang manis aku membawakan kalian kue, segera habiskan dan tidur.”
Nyonya Emily tersenyum melihat pemandangan harmonis itu. “Ayo!”
Sejak Adora berusia enam tahun, kedua orang tuanya sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat. Tuan Gerry, adik ayahnya Adora yang begitu menyayangi Adora lantas merawat Adora semenjak kejadian itu. Nyonya Emily sebagai istri tuan Gerry juga tak keberatan, ia juga sangat menyukai Adora.
Sampai akhirnya, Adora telah tumbuh besar dan menjadi seorang Dokter muda yang berbakat. Tuan Gerry dan nyonya Emily juga di anugerahkan tiga putri kembar yang cantik yakni Thalita, Thania, dan Thalia. Adora sangat menyayangi ke tiga saudaranya itu.
“Kakak, kue ini sangat enak...,” ucap Thania.
“Tentu saja, kakak membeli di toko kue berkualitas,” balas Adora.
“Cepatlah habiskan lalu pergi tidur,” suruh nyonya Emily pada keempat anaknya.
“Baik, mama!” seru mereka bersamaan.
Setelah menyantap makanan di depan mereka, Adora pun mengajak mama dan ke tiga adiknya untuk masuk ke kamar masing-masing.
****
Adora baru saja sampai di rumah sakit, sambil menenteng jas putihnya, ia berlari kecil menuju ke ruangannya yang berada di lantai dua. Seorang Perawat bernama Erika segera membacakan jadwalnya di pagi ini, ternyata ia punya pasien yang harus melakukan operasi. Ia segera menuju ke ruang operasi.
“Tolong berhenti nona!” dua orang berbadan tegap menghadang jalan Adora dan Erika.
“Ada apa ini? Aku harus segera ke ruang operasi!” sentak Adora.
“Tidak bisa! tuan kami ingin agar nona mengikuti kami!”
“Memangnya siapa tuan kalian? tidak bisakah dia membiarkanku mengatasi pasienku dulu,” ucap Adora geram.
“Tidak bisa nona!”
“Dokter Adora!”
Adora menoleh dan mendapati Direktur rumah sakit tempat dia bekerja sedang berlari tunggang langgang seperti di kejar sesuatu. Bukan hanya itu ada seorang Dokter bedah yang menyusul dari belakang.
“Ada apa ini, Direktur?” Adora mulai merasa ada yang tidak beres.
“Se-sebaiknya kamu mengikuti perkataan tuan mereka, dia sedang mencarimu...,” bisik Direktur dengan nada cemas.
“Memangnya dia siapa?! beraninya menekan Direktur rumah sakit bergengsi ini! di mana orangnya?!” Adora mulai sarkastik.
“Dokter... natilah aku...,” Direktur itu langsung kebingungan.
“Aku, apakah kau ingin memukulku karena berlaku tidak sopan?” suara itu muncul membuat semua orang gelisah kecuali Adora yang tak tahu apa-apa.
Lelaki berparas tampan itu tersenyum miring dan menatap remeh gadis cantik di depannya. Adora kesal dengan tatapan lelaki itu yang menurutnya kurang ajar.
“Apa yang kau lihat? dasar lelaki gila!” bentak Adora.
“Kau yang gila!” balas lelaki itu.
“Apa kau bilang?!” lantas Adora menendang tulang kering lelaki itu.
Tampak lelaki itu berlutut sambil memegang kakinya yang ditendang oleh gadis kecil seperti Adora.
“Rasakan itu? ck, menyebalkan,” ujar Adora lalu berbalik dan pergi.
Direktur menahan tangan Adora, ia tak mau terlibat dalam masalah besar kali ini. Jadi, mau tak mau ia harus memaksa Dokter hebat rumah sakit ini untuk tunduk pada lelaki berparas tampan itu.
“Ada apa lagi, Direktur?”
“Kau atasi pasien yang ditugaskan untuk Dokter Adora!” titah Direktur pada Dokter bedah yang berdiri mematung di sampingnya.
“Baik, Direktur!” Dokter itu mengangguk lalu dengan cepat meninggalkan koridor yang sedang tegang itu.
“Kenapa Direktur menahanku di sini? Memangnya siapa lelaki kurang ajar itu sehingga anda takut padanya?” suara Adora meninggi karena tak suka pekerjaannya diganggu.
“Adora..., aku mohon padamu selaku teman ayahmu, orang itu tidak bisa kau singgung,” bisik si Direktur pada Adora.
Adora menoleh pada lelaki itu yang sudah berdiri dengan gagahnya dan menatap datar padanya. Adora baru menyadari bahwa wajah lelaki itu terasa familiar, apakah mereka pernah bertemu? tapi di mana?
‘Hmm, siapa ya?’ Adora berpikir keras siapa sebenarnya sosok tampan itu.
“Aaa!”
Semua orang terkejut ketika Adora digendong selayaknya karung beras, Adora yang tak terima dengan perlakuan si lelaki lantas memukul punggungnya dengan sekuat tenaga. Jangan lupakan juga bahwa Adora ahli dalam ilmu bela diri.
“Berhentilah memukulku!” bentak si lelaki.
Adora yang sudah lelah akhirnya menyerah dan mengajak bicara anak buah lelaki itu. “Hei kalian! apakah kalian takut pada lelaki kurang ajar ini?” tanya Adora.
Lelaki itu mendengus kesal mendengar sebutan yang diberikan oleh Adora kepadanya, padahal setiap wanita yang melihatnya pasti jatuh cinta karena parasnya yang tampan.
“Namaku Edward bukan lelaki kurang ajar, apakah kau tak lihat aku tampan seperti ini?”
“Diam kau! dan tidak ada yang bisa menandingi ketampanan kedua ayahku dan pacarku, tidak ada!”
Lelaki bernama Edward Wellington itu hanya diam tak membalas, ia terlalu malas menanggapi sikap Dokter muda itu. Beberapa menit berlalu akhirnya, Edward menurunkan Adora di depan sebuah mobil berwarna putih.
Tak lupa juga ia membukakan pintu untuk Adora. “Masuk!”
“Kau mau menculikku?!” tuding Adora pada Edward.
“Apakah kau pantas diculik?!” Edward sangat kesal dengan gadis itu.
“Tidak,” jawab Adora lalu masuk ke dalam mobil seperti mobilnya sendiri.
Edward dan anak buahnya ternganga dengan sikap Adora yang berlagak seperti tuan putri dan memperlakukan Edward seperti pelayannya.
“Gadis aneh,” Edward menghela napas sebentar lalu masuk ke dalam mobil yang sama.
Adora menatap tajam Edward yang duduk di sampingnya seakan tak sudi duduk berdampingan dengan lelaki yang ia anggap kurang ajar itu.
“Ke rumah!” titah Edward pada supir pribadinya.
“Baik, tuan muda!”
“Aku seorang Dokter bukan pembantu,” ucap Adora.
“...,” Edward hanya diam.
“Bukankah keterlaluan jika kamu menculikku hanya untuk dijadikan sebagai pembantu,” ucapnya lagi.
“...,” kali ini Edward biarkan gadis di sampingnya mengoceh.
“Hei! aku mengajakmu berbicara, ya sudahlah.”
Edward tersenyum lega akhirnya Adora berhenti mengoceh. Namun...
“Astaga, aku merasa bosan! dasar gunung es, aku tak menyangka aku harus direndahkan seperti ini. Papa mama apakah aku dokter yang tidak dihargai? Hu... hu... hu,” oceh Adora kembali berpura-pura menangis.
Perasaan lega Edward sirna begitu saja, lelaki itu tertekan dengan keberadaan Adora. Bahkan, supir pribadinya saja menahan tawa menyaksikan ekspresi tuan mudanya.
“Apakah kau menangis?” tanya Edward panik.
Adora menoleh sambil mengusap air matanya dan berkata, “Tidak, aku hanya akting.”
“Astaga! Hari ini adalah hari tersialku, bisa-bisanya aku bertemu dengan gadis aneh sepertimu?”
“Diam!” bentak Adora.
“Apa? Ka-kau--,” Edward ternganga.
“Ku bilang diam ya diam!” bentak Adora sekali lagi.
“Hei ini mobil--” ucapan Edward terhenti seketika.
“Kau mau bilang ini mobilmu? Iya aku sangat tahu ini mobilmu tapi siapa yang menyuruhku naik?!”
Edward yang hebat dan gagah kini merasa ingin pergi ke planet lain saja. Ingin sekali ia menangis dan berteriak sekeras-kerasnya. Pada akhirnya ia diam dan tak berbicara begitu pula Adora.
“Hei, siapa tadi namamu?”
Edward menatap sinis gadis di sampingnya tanpa berniat menjawab.
Plak
Adora yang ringan tangan langsung memukul bahu Edward dengan sangat kuat.
‘Sebenarnya atas dasar apa kakek menyarankan gadis ini untuk bertanggung jawab atas operasi ibu?’ Edward tengah serius berperang dengan pikirannya sendiri.
“Kau tak dengar aku bertanya padamu?!” bentak Adora.
“Wanita selalu benar,” gumamnya sebelum bentakan kembali terdengar.
“Apa kau tuli?!”
“A-aku Edward,” tanpa sadar Edward berbicara gagap.
“Baiklah, tuan Edward apakah jaraknya masih jauh?” tanya Adora menatap keluar jendela.
“Ya,” Edward memilih menghiraukan gadis disampingnya. Tiba-tiba...
“Berhenti!” teriak Adora spontan. Mobil yang tadinya melaju tiba-tiba berhenti karena teriakan spontan seorang gadis. Tanpa menunggu respon orang di sekitarnya, Adora turun dari mobil dan berlari keluar.
“Hei!” Edward marah besar dan langsung turun dari mobil.
Adora, gadis itu sedang memperhatikan jalan lalu menyebrang, tak tahu saja dia jika dia membangunkan sisi menyeramkan dari seorang Edward Wellington. Sesampainya di sebuah toko, Adora membeli sesuatu. Edward segera menyebrang bersama anak buahnya, wajah lelaki itu memerah.
“Terima kasih,” ucap Adora ramah kemudian pergi setelah membayar.
Adora berjalan dengan santai sambil menenteng sebuah kantong kresek berisi minuman yang baru saja ia beli. Adora menatap heran Edward dan anak buahnya yang baru saja menyebrang.
“Kenapa kalian di sini? Ingin membeli minuman juga?” tanya Adora dengan nada ketus.
Mereka saling bertatapan dengan wajah kebingungan lalu dengan serempak berkata, “tidak.”
Edward yang hampir gila mengusap wajahnya kasar. Ia menatap tajam Adora yang sedang memerhatikan jalan.
“Kalau begitu, kembali ke mobil!” suruh Adora yang sudah berjalan duluan.
Anehnya, anak buah Edward malah mengikuti Adora dan meninggalkannya berdiri di tepi jalan sendirian seperti seorang anak yang ditelantarkan orang tuanya. “Haah...,” Edward menghela napas pasrah.
****
Adora berdecak kagum melihat desain rumah megah yang ia masuki ini. Semuanya penuh dengan warna perak. Hiasan keramik yang berharga jutaan terlihat di setiap sudut.
“Jalanmu lamban,” tegur Edward yang sedang menuntun jalan.
“Iya, iya, kakimu saja yang kelebihan panjangnya,” tukas Adora yang masing saja meminum minumannya.
“Ingat! Kau harus sopan kepada Ibuku!” tegas Edward.
“Hmm,” dehem Adora.
‘Rumahnya sangat indah tak seperti orangnya, bekerja sebagai pembantu di sini saja mungkin gajinya sangat tinggi setara denganku, eh?’ Gadis itu berhenti pada sebuah foto dengan bingkai emas yang terpampang di dinding. Ada seorang wanita parubaya yang familiar sedang duduk di sofa bersama seorang pria tua dan seorang gadis kecil yang manis, di belakang mereka terdapat Edward dan seorang gadis berwajah manis.
“Apa mungkin ini foto keluarga tuan Edward?” gumamnya.
“Hei, apa yang kau lihat?” panggil Edward.
“Hanya melihat foto keluargamu saja,” jawab Adora.
Tanpa menunggu respon dari Edward, gadis itu lancang berjalan mendahului Edward menaiki tangga. Dengan cepat Edward menyusulnya.
“Kau tidak seperti seorang Dokter,” ucap Edward.
“Ya,” balas Adora singkat.
“Dasar aneh,” gumam Edward.
“Di mana Ibumu? Aku harus melihat pasienku.”
Tadi setelah membeli minuman, Edward sudah menceritakan perihal ia memaksa Adora mengikutinya ke kediamannya. Adora hanya menanggapi asal sembari meminum minumannya, hal itu membuat Edward harus ekstra sabar.
Edward menarik tangannya menuju ke satu pintu yang berada paling ujung, Edward pun membuka pintu dan hendak masuk. Namun, Adora malah mendahuluinya dengan santai.
Edward menganga. “Ka-kau...,” Edward menghela napas berat ketika Adora menoleh dengan tampang seakan tak bersalah.
‘Bisa-bisa aku gila meladeni gadis aneh seperti dia’, batin Edward menatap punggung Adora.
Keduanya tak sadar bahwa di ruangan itu masih ada orang lain selain mereka, ah, lebih tepatnya Edward saja yang tak sadar.
“Selamat datang, Dokter,” sambut seorang pria tua dengan senyuman ramah.
“Terima kasih, tuan,” Adora balas dengan senyuman tak kalah ramah.
Tuan besar Wellington sekaligus kakeknya Edward langsung menyukai sikap Adora yang sopan serta ramah. Ia tak salah pilih Dokter yang akan bertanggung jawab atas operasi anaknya.
“Maaf merepotkan anda, Dokter. Apakah saat cucuku menjemput anda, anda sedang sibuk?”
Adora menoleh pada Edward dengan tatapan seperti mata pedang yang terhunus membuat Edward bergidik ngeri. Dengan secepat kilat, Adora mengubah mimik wajahnya yang kesal menjadi ramah saat berbalik ke arah tuan besar Wellington.
“Saya sedikit sibuk, tapi sebuah kehormatan besar bisa merawat Putri anda,” tutur Adora bersahaja. Mendengar penuturan dari gadis cantik itu, tuan besar Wellington langsung menatap tajam cucu laki-lakinya.
“Mm, bolehkan saya memeriksa keadaan nyonya sekarang?” tanya Adora.
“Ya, silahkan,” tuan besar segera berdiri dari tepi ranjang dan membiarkan Dokter muda itu memeriksa keadaan putrinya.
Adora menoleh pada Edward yang masih berdiri di belakangnya, ia mengulurkan tangan yang berisi minumannya tadi.
“Apa?” Edward tak paham.
“Cepat pegang ini!” suruh Adora.
“Ta-tapi... baiklah, huh,” akhirnya Edward menyerah.
Tuan besar dan salah satu cucu perempuannya menahan tawa menyaksikan Edward yang diperlakukan seperti seorang pelayan oleh orang yang pertama kali ia temui.
Adora mengenal orang ini, bukankah ini nyonya Bianca yang ia temui seminggu yang lalu saat pesta di rumah temannya. Adora segera memeriksa keadaan wanita yang sedang terbaring lemah di ranjang itu, tak ada senyuman yang menghiasi wajahnya.
‘Sangat disayangkan, ternyata nyonya Bianca adalah ibunya tuan kurang ajar itu. Ibunya sangat baik tapi anaknya... sudahlah’. Adora menggerutu di dalam hatinya.
Selang beberapa menit kemudian, pemeriksaan yang dilakukan Adora akhirnya selesai. Ia melepas stetoskop yang tadi menutupi telinganya.
“Apakah putriku baik-baik saja, dokter?”
“Tidak, tuan. Apakah beliau tak ingin dioperasi?” tanya Adora menatap ke pasiennya dengan tatapan sendu.
“Kami berkali-kali sudah membujuk ibu agar melakukan operasi, tapi percuma saja ibu tidak akan mau,” jawab cucu pertama Wellington, Yunifer.
“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, dokter, Bianca terlalu keras kepala, ada penyebab yang membuatnya seperti itu. Aku harus bagaimana?”
“Beliau harus segera dioperasi jika tidak kanker rahimnya akan semakin ganas,” tutur Adora.
“Kami akan berusaha meyakinkan dia,” ucap Yunifer walau ia tak yakin dengan ucapannya sendiri.
“Edward antarkan Dokter!” suruh tuan besar. “Terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama, tuan. Jika tejadi sesuatu dengan nyonya silahkan hubungi saja, ini kartu nama saya.”
Adora dan Edward pun akhirnya keluar dari ruangan nyonya Bianca. Wajah Edward nampak suram tak sama seperti tadi saat mereka masih saling berdebat.
“Aku sarankan lebih baik kau habiskan waktumu lebih banyak dengan nyonya, beliau pasti membutuhkan dukungan dari putranya,” ujar Adora.
“Terima kasih atas saranmu,” balas Edward tulus.
“Setidaknya kau masih berguna,” ujar Adora tak berperasaan.
Edward yang awalnya senang diberi saran oleh gadis menyebalkan itu sirna begitu saja. “Hng!” Edward langsung pergi meninggalkan Adora begitu saja.
“Kurang ajar,” gumam Adora mengejarnya.
Edward yang kesal sudah menunggu Adora di dalam mobilnya, tak lama kemudian Adora masuk ke dalam mobil dan membanting pintu mobil dengan kuat.
Edward ternganga, “Mobil kesayanganku!”
“Diam!” bentak Adora.
Edward langsung terdiam dan menyalakan mesin kemudian melaju dengan kecepatan diatas rata-rata saking kesalnya dia pada gadis disampingnya. Tak butuh waktu lama mobil itu sampai di depan rumah sakit tempat Adora bekerja.
“Astaga, dasar kurang ajar kau!” teriak Adora memukul Edward dengan brutal.
“Siapa suruh kau berlagak bossy di depanku,” elak Edward.
“Menyebalkan,” ucap Adora sebelum pintu mobilnya ia banting dengan kuat.
Tanpa berterima kasih lagi, Adora langsung pergi begitu saja. Akhirnya keduanya berpisah tanpa salam perpisahan, pertemuan yang tak diinginkan oleh Adora berakhir di hari sial ini.
****
Seorang gadis kecil diam-diam membuka pintu lemari es, matanya yang besar menjelajah isi lemari es yang dipenuhi sayuran di bagian bawah dan cemilan yang ada di bagian atas. Ia ingin makan cemilan itu tapi tingginya tak sampai, ia butuh seseorang.
“Jika aku memanggil mama maka aku akan dimarahi, apa Kakak saja?” monolognya. “Aku coba dulu!”
Ia pun berlari menuju ke kamar sang Kakak yang ia maksudkan. Dengan tangan mungilnya, ia mengetuk pintu berwarna putih itu. “Kakak, ini Lita! Tolong buka pintunya,” ucap gadis itu.
Pintu terbuka dan menampakan sosok gadis dengan rambut berantakan dan wajah bantal pertanda ia baru saja bangun dari tidur nyenyaknya.
“Iya, apa kamu butuh sesuatu, Lita?” tanya Adora.
“Ah, maaf karena sudah mengganggu tidur Kakak. Nanti saja, Kakak lanjutkan tidurnya saja,” jawab Thalita.
Adora tersenyum dan berkata, “masuklah, tunggu Kakak mandi dulu!”
“Baik!” balas Thalita bersemangat.
Adora pun melakukan ritual mandinya sedangkan Thalita masih menunggunya di dalam kamar. Tak butuh waktu lama Adora sudah tampil dengan segar bugar.
“Ayo ikut aku!” Thalita pun menarik tangan kakaknya menuju ke dapur.
“Apakah Adikku yang manis ini ingin makan cemilan?” tanya Adora menoel hidung sang adik.
Thalita mengangguk dengan antusias. Adora sangat memanjakan ketiga adiknya sampai semua keinginan mereka ia penuhi di samping itu ia juga harus bersikap tegas pada mereka.
Adora mengambil beberapa cemilan untuk diberikan kepada adiknya yang lain selain Thalita. “Dimana Nia dan Lia?”
Thalita mendonggak dan berkata, “Ada di halaman belakang, mungkin sedang membaca buku.”
“Ayo ke sana,” ujar Adora menggenggam tangan adiknya menuju ke halaman belakang. Di halaman belakang, terlihat dua gadis kecil sedang duduk sambil membaca buku, jarang ada anak kecil yang suka membaca buku tapi berbeda dengan adik-adiknya Adora yang menyukai buku. Seringkali setiap pulang kerja, Adora dan papanya membelikan buku untuk si kembar.
DibandingThalia, si bungsu yang menyukai buku. Thalita lebih menekuni bidang IT, di usianya yang baru menginjak delapan tahun, dia sudah mengetahui pengetahuan dasar tentang bidang itu. Sedangkan, Thania lebih memilih menjadi seorang model profesional, katanya ia ingin menjadi seperti mamanya.
“Selamat pagi!” sapa Adora dengan senyum ceria.
“Selamat pagi juga, Kak,” keduanya menjawab dengan kompak.
Thania yang masih setia dengan bukunya bertanya, “Apakah semalam tidur kakak nyenyak?”
“Iya,” jawab Adora.
“Kakak,” panggil Thania.
Adora menatap adik keduanya itu dengan tatapan penasaran. “Ada apa, Nia? Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan pada kakak?”
“Aku ingin menghabiskan waktu dengan kakak, beberapa hari belakangan ini kakak selalu saja sibuk sampai-sampai kakak melupakan bahwa kakak punya tiga adik yang cantik,” oceh Thania dengan wajah cemberut.
Mendengar ocehan sang adik, Adora merasa bersalah karena jarang menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ia terlalu fokus dengan karirnya sampai ia lupa ada tiga adiknya yang sangat membutuhkan kakak mereka.
“Maafkan kakak,” tutur Adora.
Si kembar mendekati lakak mereka dan memeluknya. “Tidak apa-apa, kak. Asalkan kakak bisa membagi waktu dengan keluarga itulah yang penting.”
Adora sangat bersyukur karena diberikan tiga adik yang sangat menyayangi dan mendukungnya. “Terima kasih, bagaimana kalau kita jalan-jalan bersama lalu jangan lupa kita ajak mama juga,” ajak Adora.
Tak disangka ketiga adiknya sangat antusias, mereka segera bersiap-siap untuk berangkat. Adora tersenyum melihat semangat adik-adiknya. Ia pun beranjak menuju ke kamar sang mama.
“Mama, apakah mama ada di dalam?” tanya Adora sambil mengetuk pintu.
Cklek
“Ah, Putriku, ayo masuk,” ajak nyonya Emily.
Keduanya duduk di sofa, mata Adora menjelajahi setiap sudut kamar mamanya, masih sama seperti dulu tak ada yang berubah.
“Apakah Mama sibuk?” tanya Adora.
“Hmm, tidak. Memangnya ada apa? Apa kau butuh bantuan mama?”
“Aku ingin mengajak mama dan adik-adik pergi jalan-jalan untuk menghabiskan waktu bersama, apakah mama mau ikut?”
Nyonya Emily terlihat berpikir, selang beberapa menit ia menganggukan kepala tanda setuju. Sudah lama ia ingin mengajak putri-putrinya untuk quality time bersama.
“Baiklah, kau bersiap-siaplah, mama akan mengabarkan papa terlebih dahulu,” ujar nyonya Emily.
“Ok, mama, aku permisi dulu,” Adora pun keluar dari kamar mamanya.
****
Di sinilah, Adora dan keluarganya berada, di mall terbesar yang terletak di San Fransisco. Setelah mendapat izin dari tuan Gerry, mereka langsung melaju ke sini.
Pertama-tama, nyonya Emily mengajak ke empat putrinya ke toko pakaian. Hari ini ia akan memuaskan dirinya dengan mendandani putrinya yang cantik jelita. Thania yang ingin menjadi seorang model tentu saja sangat antusias. Melihat adik keduanya yang sedang mencoba beberapa gaun, Adora tak meragukan lagi bahwa Thania punya bakat dalam dunia modeling.
Mata nyonya Emily berhenti pada sebuah gaun pernikahan yang begitu indah. Adora yang menyadari itu menghela napas panjang, ia tahu pasti mamanya mengharapkannya segera menikah.
Charlie, pacar Adora mungkin belum siap untuk maju ke jenjang yang lebih serius jadi, Adora harus tetap bersabar sampai Charlie benar-benar melamar dirinya di depan kedua orang tuanya.
Setelah dari toko pakaian, mereka beranjak ke salon kemudian ke toko buku dan taman bermain. Sampai akhirnya mereka berhenti di sebuah restoran, karena waktu menunjukan sudah pukul 12.05, artinya waktunya untuk makan siang.
Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, Adora bercakap-cakap dengan keluarganya.
“Oh iya, bagaimana kabar Charlie, sayang?” tanya nyonya Emily.
“Dia baik-baik saja, mama, dia bilang nanti di akhir pekan ia akan datang berkunjung ke rumah,” jawab Adora.
“Baguslah, mama juga ingin bertemu dengannya.”
Selang beberapa menit kemudian makanan yang mereka pesan telah datang. Mereka langsung melahapnya karena lapar dan nyonya Emily mengajak mereka berjalan seharian.
****
Alarm berbentuk kepala boneka asal Jepang, Doraemon itu berdering dengan nyaring membuat seseorang di bawah selimut menggeliat. Selimut terbuka menampakan wajah Adora dengan rambut berantakan dan matanya yang masih berat. Tangannya bergerak mengambil jam weker yang ada di atas nakas, matanya memincing memastikan sudah jam berapa ini.
“Masih jam enam? lebih baik aku bersiap-siap saja dulu,” monolognya sebelum bangkit dari tempat tidur.
Adora memulai paginya dengan melakukan rutinitas pagi seperti bangun tidur, mandi lalu sarapan dan pergi bekerja. Setelah bekerja, ia akan pulang bermain dengan adiknya atau menghabiskan waktu bersama sang pacar, malamnya ia menemani ketiga adiknya belajar lalu tidur, hanya itu siklus kehidupan Adora.
Gadis berusia dua puluh lima tahun itu sudah tampak segar dan tak merasa ngantuk lagi. Kemudian, ia turun ke bawah dengan menenteng tas dan jas putih kesayangannya.
“Selamat pagi semuanya!” sapa Adora dengan senyuman yang ceria.
“Pagi juga, Kak,” balas si kembar.
“Pagi, sayang,” balas orang tuanya.
“Sayang bisakah kau mengantar si kembar? papa harus menghadiri meeting penting pagi ini,” ujar tuan Gerry di sela-sela makan mereka.
Adora mengangguk, “iya, papa. Papa fokus saja kerjanya.”
“Terima kasih, sayang.”
Setelah sarapan bersama, tuan Gerry dan anak-anaknya berpamitan pada nyonya Emily. Mereka mencium kedua pipi mama mereka, hal itu sudah menjadi kebiasaan mereka sejak dulu.
Usai berpamitan, Adora mengendarai mobil sedannya ke sekolah si kembar. Selama perjalanan mereka terlibat perbincangan yang mengundang canda dan tawa.
“Semangat belajarnya!” seru Adora.
Tiga gadis kecil yang sudah turun dari mobil kakaknya tersenyum dan melambaikan tangan mereka ke sang kakak kemudian, berlari masuk ke kelas. Setelah mengantar si kembar ke sekolah, Adora pun melaju ke rumah sakit, tempatnya bekerja.
Setibanya di parkiran rumah sakit, Adora menyerahkan mobilnya ke satpam. Baru saja Adora memasuki ruangannya, Erika, temannya berteriak.
“Dokter, ada pasien gawat darurat!” teriak Erika.
“Segera siapkan ruang operasi! Siapkan gas anastesi dan alat sterilisasi!” titah Adora.
“Baik!” beberapa Perawat segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Adora.
Adora segera melihat kondisi pasien yang ternyata adalah korban penembakan. ‘Posisi pelurunya berada di perut bagian atas, tempat terdapatnya limpa, kita akan melakukan operasi langkah, splenektomi’, batin Adora.
Pasien segera dibawah ke UGD. Para Perawat di sana segera melakukan operasi penyelamatan, mereka dibawah arahan Adora, si Dokter bertalenta.
“Pelurunya menembus limpa dan limpa adalah organ tubuh yang banyak terdapat pembuluh darah, pasti pelurunya sudah menembus pembuluh darah, kita harus memotong limpa nya,” tutur Adora.
“Kita harus menghentikan pendarahan di dalam limpa nya,” seru seorang Perawat.
“Limpa itu letaknya yang paling jauh di dalam bagian rongga perut. Lalu bagaimana dengan lambung, pankreas, dan usus, Dokter?” tanya yang lainnya.
“Pertama-tama membedah ligamen yang menopang limpa, setelah itu cukup memutar posisi limpa nya,” jawab Adora dengan mantap.
‘Sebelum dilakukan penanganan, presentase kematiannya adalah 100 %, ini merupakan kasus serius yang tidak mudah bagi seorang dokter, saat melihat kondisinya, setidaknya kerusakannya ini sudah dalam kerusakan level 5, pasien ini bisa kehilangan nyawa jika melenceng sedikit saja’. Adora bergelut dengan batinnya.
“Ayo lakukan dengan baik!” seru Adora dengan semangat.
“Baik,” balas yang lain yang juga ikut semangat.
“Open,” seru Adora.
Gadis itu mulai membedah bagian perut, darah segar muncrat dari situ. Pendarahannya sangat parah dan harus diselesaikan secepat mungkin, pertama-tama harus memperjelas jangkauan penglihatan.
“Harus cepat menghentikan bagian yang pendarahan! Perawat Randy tolong tekan dengan perban, lalu Perawat Megan, tolong miringkan usus besar dan lambung ke atas! Beri perban sebanyak mungkin. Perawat Randy tolong lap darahnya,” ujar Adora memberi instruksi.
“Perawat Megan, tolong miringkan sedikit lambung dan usus ke arah sini dengan alat besi ini. Lalu angkat tulang rusuknya ke arah bawah.”
Sarung tangan yang tadinya putih kini penuh dengan bercak darah segar yang keluar dari tubuh pasien.
‘Limpanya mulai memperlihatkan diri!’ Batin ketiga dokter bedah itu bersamaan.
“Bagaimana selanjutnya, Dokter Adora?” tanya Randy.
“Kita akan memotong limpanya kalau melepas organ disekitarnya, terutama bagian ujung pankreas yang berhubungan dengan lambung dan usus, lalu memisahkan limpanya akan bisa dikendalikan,” jawab Adora. “Ayo mulai!”
“Perawat Megan, tolong pegang ini dan tekan limpa dengan perban, sebisa mungkin hentikan pendarahannya,” seru Adora.
“Pelepasan dimulai!” timpal dokter Randy.
Suasana di dalam ruang operasi terasa begitu mencekam apalagi ketiga tim medis di situ begitu serius melakukan tugas mereka. Beberapa saat kemudian pelapasan yang telah mereka lakukan kini selesai.
“Tie!” seru Adora.
“Sudah selesai, kita sudah berkerja keras,” ucap Megan membuat kedua rekannya mengangguk.
“Karena limpanya sudah dipotong dengan rapi, jadi pasien tinggal dirawat intensif, jahit bagian perutnya lalu lakukan dressing dan tambah cairan yang kurang infus,” ucap Adora.
“Baik!” balas kedua rekannya.
Mereka mulai menjahit bagian tubuh yang telah dibedah saat operasi berjalan. Akhirnya operasi benar-benar selesai dengan korban yang terselamatkan. Adora mulai mengganti seragam bedahnya lalu keluar dari ruang operasi menemui keluarga pasien. Tampaknya keluarga pasien sangat cemas akan keadaan pasien.
“Apa sekarang suamiku baik-baik saja?” tanya istri pasien dengan wajah campur aduk.
“Iya, walaupun kondisinya masih kurang baik, tapi operasinya berjalan lancar. Tapi, kedepannya harus diperhatikan karena rentan terhadap penyakit menular,” jawab Adora sopan.
“Terima kasih, Dokter,” ucap si istri menjabat tangan Adora.
Adora tersenyum lalu pamit pergi karena masih ada pekerjaan lain yang menungunya untuk diselesaikan.
****
“Berhenti kalian!” teriak seorang gadis kecil dengan angkuh.
Orang yang diteriakinya tak merespon dan terus berjalan, karena kesal ia berlari menghampiri mereka. Hal itu membuat ia terjatuh dengan tak elit di atas lantai yang dingin.
Seorang gadis lainnya berbalik dan mengulurkan tangannya hendak membantu anak yang terjatuh. Namun, gadis yang terjatuh sangat kesal dan menepis tangan yang diulurkan padanya.
“Jangan berpura-pura di depanku!” teriaknya penuh amarah.
Gadis tadi mengedikan bahu acuh. “Apa lagi kali ini?”
“Thalia, aku tak percaya bahwa nilaimu lebih tinggi dariku! Aku yakin kau pasti berbuat curang, ‘kan?” tuding gadis itu pada Thania.
“Jaga bicaramu, Zelleine! Adikku tidak mungkin berbuat curang, lagi pula bukankah ini salahmu sendiri karena tidak serius belajar,” bela Thalita.
“Hmph, ya benar kata Kakak, Lia tidak mungkin berbuat curang, kau tak tahu saja bahwa Adikku selalu menempel pada buku, hal itu sudah membuktikan bahwa Lia pantas mendapat nilai lebih tinggi darimu,” timpal Thania.
“Kalian! Hng,” karena merasa malu gadis itu pun pergi meninggalkan si kembar.
“Haah..., sudahlah ayo pergi,” ajak Thalita pada kedua Adik kembarnya.
“Baiklak, Kak,” balas keduanya serentak.
Beginilah kehidupan sekolaha si kembar, mereka selalu diejek dan dihina karena rasa iri dan dengki. Namun, mereka diajarkan untuk tak memperdulikan hal itu, seiring waktu mereka mulai terbiasa dengan perlakuan tak mengenakkan itu.
Anak-anak lain juga menjauhi mereka dengan alasan takut jika mereka terkena imbasnya. Pernah terbersit rasa untuk berteman baik dengan anak-anak lain, tapi siapa yang mau mendekati mereka.
“Mama!” teriak Thania ketika melihat nyonya Emily yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah.
“Hati-hati, Nia,” nasehat sang ibu.
“Maafkan Nia, Mama,” mereka diajarkan untuk meminta maaf jika melakukan kesalahan.
“Tidak apa-apa, bagaimana sekolah kalian hari ini?” tanya nyonya Emily.
Thalita selaku yang tertua menjawab, “sangat baik, Mama. Bahkan tadi saat ulangan, Lia mendapat nilai tertinggi di kelas.”
“Waah, kalian sudah bekerja keras hari ini, menu apa yang kalian inginkan saat makan malam, hmm?”
“Hmm, apa yang harus kami pilih?” tanya ketiganya kompak.
Nyonya Emily menggelengkan kepala melihat kekompakan ketiga Putrinya. “Ayo masuk ke mobil,” ajak beliau.
Mereka pun masuk ke dalam mobil, karena kelelahan mereka tertidur dengan nyenyaknya. Nyonya Emily tersenyum melihat ketiga putrinya yang tampak cantik sama seperti kakak mereka, Adora.
Selama setengah jam melaju di jalanan akhirnya mereka sampai di rumah. Di halaman depan tampak sebuah mobil berwarna biru tua, nyonya Emily tahu siapa yang datang ke rumah hari ini.
“Anak-anak, ayo bangun,” panggilnya lembut pada si kembar.
“Eghh,” lenguh Thalia.
“Apakah sudah sampai, Mama?” tanya Thania.
“Iya, kalian bersiap-siap saja untuk makan siang,” suruh nyonya Emily.
Lantas tiga anak kembar itu segera mematuhi ucapan sang mama. Nyonya Emily juga masuk ke dalam rumah dan menemukan dua orang gadis sedang mengobrol dengan santai.
“Bella, kenapa tak memberi tahu bibi jika kau akan pulang?” tanya nyonya Emily.
Gadis yang disebut Bella itu memeluk mama dari sahabatnya untuk melepas kerinduannya yang telah lama tertampung di hatinya.
“Aku ingin membuat kejutan untuk kalian semua, Adora saja tidak tahu bahwa aku akan pulang,” jawabnya dalam keadaan masih memeluk nyonya Emily.
“Yang penting kau sampai dengan selamat,” nyonya Emily melepas pelukan itu dan menampung pipi Bella di kedua tangannya. “Kau tampak gemuk.”
“Hahaha,” Adora yang mendengar pujian sekaligus ejekan untuk sahabatnya itu tertawa.
“Bibi,” Bella menghentakan kakinya dengan kasar.
Nyonya Emily menyuruh agar Bella kembali duduk. “Baiklah, kau semakin cantik saja. Bagaimana karirmu di industri hiburan?”
“Namaku menjadi pencarian teratas, bukankah itu mengagumkan? Aku ini sangat multitalenta,” jawab Brian sambil memuji dirinya sendiri.
“Baguslah, kalian berbincanglah, mama akan menyiapkan makan siang,” ujar nyonya Emily.
“Baiklah,” jawab kedua gadis itu.
Tiba-tiba saja, “Bella!” teriak seseorang lalu memeluk Bella.
“Lepaskan aku!” teriak Bella meronta-ronta.
“Aku sangat merindukanmu, hiks... hiks...,” gadis yang sering dipanggil Athena itu memainkan drama kesedihannya.
Adora segera melerai keduanya sebelum telinganya dipenuhi dengan ocehan kedua orang itu.
“Sudah cukup, Athena. Kau bisa saja memancing amarah Bella,” ucap Adora.
“Baiklah,” akhirnya Athena menyerah dan duduk anteng di sofa.
Arabella Catalina Ramona dan Athena Catalina Ramona, dua anak kembar yang memiliki wajah sama persis dan hampir tak dikenali mana Arabella dan mana Athena. Bella lebih tua lima menit dari Athena, keduanya lahir di Meksiko.
Bella baru saja pulang dari Australia setelah menjadi Artis terkenal di sana selama empat tahun, sedangkan Athena yang berbeda dari kakaknya memilih menjadi seorang Pengusaha dari perusahaan kosmetik di California.
Ditakdirkan kembar bukan berarti keduanya mempunyai sifat yang sama. Bella lebih anggun sedangkan Athena sangat bar-bar.
“Kurang satu orang lagi,” ucap Adora cemberut.
“Ah, benar! dimana Adeeva?” tanya Bella.
“Di sini,” gadis lain menyahut membuat mereka terkejut.
Di samping Adora sudah duduk seorang gadis muslimah dengan stylenya yang tak kalah keren dengan ketiga gadis lainnya. Dialah Sarah Adeeva, gadis blasteran Arab-Amerika itu adalah satu dari tiga sahabat Adora.
Walau berbeda agama, Adora, Bella, dan Athena sangat menyukai Adeeva. Ia menjadi yang paling dewasa diantara mereka. Adeeva berprofesi sebagai seorang Pilot.
“Adeeva!” seru ketiga sahabatnya memeluk Adeeva.
“Lepaskan aku,” suruh Adeeva garang. Lantas ketiga sahabatnya melepas pelukan mereka sebelum Adeeva kesal.
“Kapan kau di sini? aku tak dengar kau mengucapkan salam?” tanya Athena mengiterogasi.
Adeeva mendelik kesal, “Hng! aku sudah ada di sini sejak Bella dan Athena saling melepas rindu, dan juga aku juga sudah mengucap salam tapi hanya bibi yang dengar.”
“Utututu, kasihan sekali Adeeva-ku,” ucap Adora mencubit pipi Adeeva dengan kasar.
“Hish, aku tidak suka diperlakukan seperti itu,” Adeeva menepis tangan Adora kasar.
Drap... drap... drap
Terdengar beberapa orang berlari kesetanan, saat para gadis itu menoleh, yang mereka dapati adalah tiga anak manis yang menatap mereka dengan antusias.
“Si manis-ku sudah besar,” ujar Bella.
“Waa, kak Bella sudah lama tidak melihatmu.”
“Akhirnya setelah penantianku dalam empat tahun membuahkan hasil.”
“Aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, kak.”
Ucap mereka dengan mata berbinar setelah sekian lama menantikan kepulangan Bella, idola mereka. Si Kembar segera mengerubungi Bella dan melontarkan banyak pertanyaan sampai-sampai Bella saja tak mampu menjawabnya.
“Makanannya sudah selesai, ayo ke sini!” teriak nyonya Emily dari arah dapur.
Mendengar kata makanan, Athena segera berlomba bersama Thania, keduanya adalah fans fanatik makanan. Beberapa orang lainnya hanya mendengus melihat aksi keduanya lalu menyusul ke ruang makan atau tidak wanita parubaya di dalam sana menceramahi mereka panjang lebar.
“Apakah papa akan makan siang bersama kita?” tanya Adora menatap mamanya.
“Tentu saja, sayang, aku sudah mengatakan padanya tadi bahwa Bella sudah pulang, dia sangat senang dan akan merayakan kepulangan Bella,” jawab nyonya Emily pada putri sulungnya.
“Paman memang seperti itu,” Adeeva menjeda ucapannya sebentar. “Selalu menganggap kami putrinya, aku sangat senang.”
“Tentu saja, kalian adalah sahabat Adora sejak kecil,” tukas nyonya Emily dengan senyumannya yang teduh.
“Papa pulang!” teriak tuan Gerry dari pintu utama.
Tuan Gerry segera mencuci tangan dan bergabung bersama keluarganya di meja makan. Ritual makan siang yang damai dan penuh canda tawa pun berjalan lancar.
“Hmm... sudah pukul 12.06,” gumam Adeeva yang menatap jam tangan di pergelangan tangannya.
Adora yang sedang mengangkat piring kotor menyenggol bahu Adeeva seakan bertanya ada apa? Namun, ketika ia melihat ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul 12.06, ia mengerti.
“Pergilah, biar kami yang membereskan ini semua,” titah Bella yang muncul tiba-tiba.
“Astagfirullah, Bella kau ini!”
“Dasar Bella!”
“Hehe, maafkan aku,” Bella meminta maaf karena sudah mengejutkan Adora dan Adeeva.
“Cepatlah, sudah waktu dzuhur, apakah kau akan meninggalkan kewajibanmu sebagai seorang muslim?” tanya Athena.
“Tidaklah!” jawab Adeeva tegas. “Kalau begitu maafkan aku karena merepotkan kalian.”
“Tidak apa-apa,” jawab ketiganya kompak.
“Seperti biasa ‘kan?” tanya Adeeva.
“Iya,” jawab Adora.
Setiap sahabat Adora menginap di sini, mereka akan berbagi kamar. Adora dan Adeeva sekamar sedangkan Bella dan Athena sekamar, kadang juga mereka sering tidur di ruang keluarga jika terlalu kelelahan ketika pulang sekolah.
Setelah menyelesaikan tugas mereka, ketiganya berjalan menuju ke ruang keluarga yang sunyi sepi karena si kembar sudah tidur sedangkan tuan Gerry dan nyonya Emily harus pergi karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
“Aku ingin menceritakan sesuatu pada kalian,” ujar Adora membukan pembicaraan.
Athena menoleh dengan wajah penasaran. “Apa itu?”
“Tunggulah sebentar sampai Adeeva selesai sholat,” jawab Adora.
Mendengar hal itu, Bella menatap sinis adiknya sambil mulutnya terus mengunyah snack yang tadi ia bawah dari dapur. Athena menyadari hal itu dan balas menatap garang sang kakak.
“Apa kau sudah berani padaku?!” tanya Bella sarkas.
“Kau hanya beda lima menit dariku? lima menit! paham?!” balas Athena tak kalah sarkas.
“Aku akan lapor pada ayah dan ibu kalau anak bungsu mereka sudah mulai menentang kakaknya,” ancam Bella.
“Kau pikir aku takut?! tidak, laporkan saja,” Athena dengan angkuhnya berkata seperti itu.
Bella yang tak mau kalah pun membalas, “Aku akan berhenti menjadi model brand ambassador produkmu!”
“Aku masih punya banyak model selain kakak jahat sepertimu.”
“Hng!” keduanya memalingkan wajah dengan arah berlawanan.
Adora yang sedari tadi diam menyaksikan pertengkaran dua anak kembar itu pun angkat suara. “Bisakah aku tenang sehari saja?”
“Maafkan kami, Adora,” keduanya memang seperti itu, tak malu untuk meminta maaf jika dirasanya mereka salah.
“Ya,” balas Adora yang sudah bosan menanggapi keduanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!