Bab 4

Tak lama setelah itu Adeeva kembali bergabung. Adora mulai menyiapkan hati untuk menceritakan kejadian waktu itu yang bisa dibilang kecelakaan maut karena bertemu dengan Edward si pria kurang ajar.

Dengan panjang lebar, Adora menjelaskan semuanya sampai-sampai Athena tertawa terbahak-bahak membayangkan apa yang terjadi saat itu.

“Bagaimana bisa, seorang dokter berbakat ini dipermalukan oleh pria seperti itu, hahaha!” tukas Bella dengan nada mengejek dan diakhiri tawa kerasnya.

Adeeva juga ikut tertawa, “Tapi, berkat itu kau jadi bisa bertemu dengan idolamu.”

“Ya, aku sangat bersyukur hal itu terjadi, walaupun sedang sakit nyonya Bianca masih tetap terlihat cantik, aku berharap agar dia bisa segera sembuh,” jawab Adora dengan harapan yang besar.

“Jika ada waktu, kau bantulah membujuknya, mungkin saja ia luluh,” saran Adeeva. “Lagipula kau sangat berbakat dalam membujuk orang.”

“Ku pikir saran Adeeva memang benar,” timpal Athena.

Adora mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti. Walaupun ia punya dendam dengan Edward tapi tidak dengan nyonya Bianca, ia bertekad akan membantu keluarga Edward membujuk nyonya Bianca.

“Bagaimana hubunganmu dengan pacarmu?” tanya Bella yang penasaran dengan hubungan percintaan sahabatnya.

“Kami baik-baik saja, bagaimana dengan kalian bertiga? tak ingin memiliki pacar?”

“Aku dilarang berpacaran, kau tahu ‘kan, Adora?” tukas Adeeva yang asik memakan snack di tangannya.

Adora menyengir, “Hehe, aku melupakan hal itu, kalian?”

“Masih belum menemukan yang cocok,” jawab Athena.

“Ada yang sudah kutaksir, tapi aku takut dia tak menyukaiku,” jawab Bella.

Jawaban dari Bella itu membuat ketiga sahabatnya terkejut. Arabella yang mereka kenal adalah gadis yang belum pernah pacaran dan jarang sekali menyukai lelaki, tapi sekarang ada yang sudah membuatnya jatuh cinta.

“Aku tak percaya,” Athena memincingkan matanya.

“Hmm, bukankah kau tak tertarik dengan lelaki?” timpal Adeeva.

“Itu waktu kita masih sekolah, sekarang kita sudah berhasil menggapai impian kita jadi, aku ingin merasakan jatuh cinta,” ucap Bella.

“Apakah hanya itu alasanmu? atau pria itu begitu istimewa untukmu?” tanya Adora dengan nada menggoda.

“Kuakui dia sudah meruntuhkan tembok pertahananku,” balas Bella enteng.

“Astaga! empat tahun tidak bertemu ternyata sekarang kau sudah berubah,” Adora heboh sendiri.

Bugh

Adora mendapat pukulan keras dari Adeeva membuat ia ditertawakan oleh Bella. “Sst, diamlah aku sedang menonton film kesukaanku,” suruh Adeeva.

Jangan tanyakan Athena, gadis itu sudah terlelap dalam mimpinya, ia tidur berbantalkan paha Adora. Adora hanya membiarkan hal itu karena Athena adalah sosok paling manja di antara persahabatan mereka.

****

Siang ini matahari begitu terik, cahayanya yang tajam menusuk masuk ke dalam sebuah ruangan walaupun terasa begitu panas, hal itu tak mengganggu penghuni ruangan tersesbut Dokter cantik yang tengah serius memeriksa berkas-berkas yang berkaitan dengan pasiennya itu terlihat elegan dan manis. Sampai akhirnya ia terganggu dengan suara notif di ponselnya.

Matanya teralihkan sambil tangan kirinya mengambil ponsel dengan layar yang menyala.

Charlie_ku : Hai, tuan putri! mau makan siang bersamaku?

Adora_manis : Boleh juga, di mana?

Charlie_ku : Di restoran biasa, aku akan menunggumu

Adora_manis : Baiklah

Adora tersenyum membaca pesan dari kekasihnya itu, Adora langsung membereskan meja kerjanya dan bersiap untuk pergi ke restoran yang biasa ia dan Charlie datangi.

“Apakah anda sudah akan pulang, Dokter?” tanya Erika yang baru saja masuk ke ruangan.

“Belum, aku hanya pamit untuk makan siang bersama kekasihku,” jawab Adora sambil menepuk pundak Erika lalu pergi keluar.

“Baiklah, Dokter, sampai jumpa,” Erika melambaikan tangannya.

Adora berjalan menuju ke parkiran dan mulai masuk ke dalam mobil kesayangannya. Mobil sedan berwarna silver itu membelah jalanan ramai yang dipenuhi lautan kendaraan.

Setelah beberapa menit akhirnya ia sampai di sebuah restoran yang dijanjikan. Sembari menenteng jas putih kesayangannya, Adora menghampiri pria yang tengah duduk di bagian pojok yang langsung berhadapan dengan kolam ikan di samping restoran.

“Hai sayang, apakah kau menunggu terlalu lama?” tanya Adora.

Pria yang tak lain adalah Charlie itu tersenyum dan mengusap surai panjang Adora setelah gadis itu duduk di bangkunya.

“Tidak terlalu lama, tenang saja, aku sudah memesan makanan kesukaanmu, mungkin tak lama lagi akan segera datang,” balas Charlie.

Adora tersenyum dan merasa beruntung bisa bertemu dengan pasangan seperti Charlie yang pengertian terhadapnya.

“Terima kasih, sayang,” ucap Adora.

“Sama-sama, sayang,” balas Charlie dengan senyumannya yang manis.

Charlie diam-diam menatap wajah kekasihnya, bisa dikatakan wajah Adora sangat cantik. “Ada apa? apa wajahku kotor?” tanya Adora bingung.

Charlie terkekeh kemudian menggenggam tangan pacarnya dan berkata, “Tidak, kau terlihat semakin cantik.”

“Berhenti menggodaku,” suruh Adora dengan suara malu-malu.

“Itu kenyataan, sayang,” balas Charlie dengan senyumannya yang menawan.

Adora hanya berdehem. “Bagaimana dengan pekerjaanmu?”

“Tidak ada,” jawab Charlie singkat.

Tak lama kemudian, makanan dan minuman yang telah dipesan telah datang. Mungkin karena mengurusi banyak pasien, Adora dengan cepat melahap makanannya seakan-akan takut ada yang mengambilnya.

Charlie terkekeh melihat tingkah Adora yang terbilang imut. Ia tahu Adora tidak terlalu memerdulikan imagenya di depan Charlie, ia bertingkah semaunya asalkan tak melewati batas. Seusai makan keduanya terdiam beberapa saat sampai akhirnya ponsel Charlie berdering yang mengharuskan pria itu menjawab telepon dari penelepon di seberang.

“Ya, ada apa?” tanya Charlie.

Adora hanya diam menatap kekasihnya lalu melihat ke kolam ikan yang dihias indah.

“Apa harus sekarang? aku sedang sibuk dengan kekasihku,” ucap Charlie.

Mendengar hal itu, Adora tahu bahwa yang menelepon pacarnya itu adalah rekan kerjanya. Ia tidak ingin menghancurkan karier Charlie hanya karena ingin dimanjakan olehnya.

Adora tersenyum lalu bebisik pelan agar tak terdengar oleh pihak ketiga di seberang, “Pergilah, tidak apa-apa.”

“Tapi--” ucapan Charlie terpotong karena Adora yang menatapnya dengan tatapan memohon.

“Baiklah, aku akan kesana sekarang!” Charlie langsung mematikan telepon secara sepihak.

Charlie menggenggam tangan Adora dengan perasaan bersalah. Hal itu membuat Adora tersenyum simpul.

“Pergilah, lagi pula kau sudah makan bersamaku. Aku juga akan kembali ke rumah sakit,” Adora menenangkan pacarnya.

“Aku pergi dulu,” ucap Charlie setelah mengecup puncak kepala pacarnya.

Namun, sebelum pergi Charlie membayar pesanan mereka dulu. Setelah Charlie pergi, Adora menghela napas pelan. Padahal tadi ia berharap bisa menghabiskan waktu bersama Charlie sebelum menghadapi pekerjaannya.

“Sialan,” makinya dengan wajah cemberut.

Dengan kesal Adora menenteng barang bawaannya menuju ke parkiran. Langkahnya terhenti melihat ketika ia melihat seorang wanita parubaya yang tengah menelepon seseorang.

Ia menghampiri wanita itu, “Permisi, nyonya!”

Wanita itu menoleh dan terkejut melihat Adora yang pernah ia temui. “Senang bertemu denganmu lagi, nona Adora,” sapa nyonya Bianca.

“Aku juga sangat senang, mengapa anda berada di sini? lalu ada apa dengan mobil anda?” tanya Adora beruntun.

“Aku sedang dalam perjalanan pulang setelah mengecek butikku, namun karena tidak ketelitian supirku akhirnya mobilku mogok,” jawab nyonya Bianca.

Adora mengangguk mengerti. “Bagaimana kalau anda naik saja dulu ke mobil saya, saya akan mengantar anda sampai ke rumah,” tawar Adora.

“Apakah kau tidak merasa repot?” tanya nyonya Bianca ragu.

“Tentu saja tidak, aku bahkan sangat senang jika nyonya mau naik ke mobilku yang tidak seberapa dengan milik anda,” sahut Adora.

“Baiklah, terima kasih, nona,” nyonya Bianca kembali menghadap supirnya. “Kau tunggulah di sini, orang suruhan Edward akan datang.”

“Baik, nyonya!”

Adora menuntun nyonya Bianca ke mobilnya, ia bahkan membukakan pintu mobil untuk ibu dari musuhnya itu. Tentu saja nyonya Bianca senang karena Adora sangat menghormati dirinya.

Dengan cepat, mobil milik Adora membelah jalanan yang ramai. Karena kediaman Wellington dan rumah sakit sejalur maka Adora tak keberatan jika mengantar nyonya Bianca pulang dengan selamat.

“Waktu itu kau yang memeriksaku?” tanya nyonya Bianca di sela-sela keheningan.

“Ah, iya. Apakah saya boleh bertanya?”

“Tanyakan saja, nona.”

“Mengapa anda tidak ingin dioperasi?”

Pertanyaan itu sedikit menyentak nyonya Bianca. “Untuk apa aku harus melakukan operasi? bukankah aku tak penting di dunia ini, buktinya saja suamiku meninggalkanku.”

Adora terdiam seribu bahasa, mengapa wanita yang ia idolakan berpikir seperti ini. Tak tahu saja beliau jika diluar sana banyak yang ingin bertukar posisi dengannya.

“Anda sangat penting, nyonya,” bantah Adora keras.

“Sudahlah, nona. Jangan menghiburku! ini memang kenyataan pahit yang harus kutelan semuanya tanpa tersisa,” pungkas nyonya Bianca.

Sekali lagi Adora terdiam dan tak berani berbicara lagi. Hal itu terjadi sampai mereka sampai di kediaman Wellington. Adora segera membukakan pintu mobil untuk nyonya Bianca.

“Terima kasih, nona. Masuklah dulu, biarkan aku menjamumu sebagai tamuku,” tawar nyonya Bianca.

“Tidak usah, nyonya karena aku masih harus kembali ke rumah sakit,” tolak Adora halus agar tak menyinggung perasaan wanita di depannya.

“Baiklah, terima kasih atas kebaikanmu hari ini,” ujar nyonya Bianca.

Adora tersenyum. “Nyonya!”

Nyonya Bianca yang sudah berjalan menoleh dengan tatapan seolah bertanya ada apa.

“Tolonglah sembuh total, percayalah senyummu bisa membangkitkan semangat seseorang, siapapun itu. Banyak orang yang mendukungmu, kau berharga,” tutur Adora dengan senyuman tulus.

Nyonya Bianca terdiam mendengar penuturan dari gadis di depannya. Entah mengapa, air matanya sudah terbendung di pelupuk mata, hatinya menghangat.

“Sampai jumpa lagi,” Adora kembali menaiki mobilnya.

Hembusan angin membuat air mata yang tertahan kini tumpah menghujami pipi wanita itu. Dalam waktu singkat, perkataan Adora melekat di dalam pikiran nyonya Bianca. Ia langsung menyeka air matanya, selama ini ia selalu berpura-pura kuat, ia akan terus seperti itu.

Tapi... percayalah Adora si Dokter berbakat itu akan membuatnya tersadar bahwa hidupnya sangat penting.

****

Edward dan kedua saudaranya saling menatap satu sama lain ketika melihat ibu mereka yang duduk di depan jendela sembari menatap pohon di luar sana seperti memikirkan sesuatu.

“Tidak biasanya ibu seperti ini,” ujar Yunifer.

“Ya, apakah sesuatu terjadi siang tadi selain mobil ibu yang mogok?” tanya Edward.

“Yang aku dengar dari kakek, tadi Dokter Adora mengantar ibu pulang setelah itu ibu jadi seperti ini,” jelas Yunifer.

Edward mengerutkan keningnya. “Dokter menyebalkan itu? apa lagi yang ia katakan pada ibu?”

Yunifer langsung memukul lengan sang adik dengan tak berperasaan.

“Jaga bicaramu, bagaimanapun kakek begitu menghormati Dokter itu,” tutur Yunifer.

“Sss,” desis Edward kesal.

Beberapa detik berlalu, kedua kakak beradik itu menatap adik bungsu mereka, Zelleine. Gadis kecil yang ditatap menghela napas dan memasang wajah cemberut.

“Apa?” tanyanya.

“Pergilah tanyakan apa yang terjadi pada ibu?” suruh Edward.

“Hiss, bisakah kakak saja yang bertanya?!” balas Zelleine sarkas.

“Kau! kau masih kecil tapi sudah membantah perintahku yang notabenenya kakakmu?!” jika menyangkut keluarganya, Edward yang pendiam bisa saja menjadi cerewet.

“Terserah,” ucap Zelleine memutar bola matanya malas.

Selalu saja, kakaknya ini akan mencari gara-gara padanya dan kakak pertamanya yang akan menolongnya dan membelanya.

“Kau lihat ‘kan, kak, afik yang sering kau bela membantahku,” adu Edward pada sang kakak.

“Zelle, ibu akan mengatakan semuanya padamu jika kau membujuknya, hmm? maukah kau bertanya pada ibu?” tanya Yunifer lembut.

Zelleine mengangguk dan berlari menuju ke sang ibu yang masih saja melamun. “Aissh, kenapa ia nakal sekali,” gumam Edward yang masih terdengar oleh Yunifer.

“Dia sama sepertimu saat kau kecil, ayo ke sini!”

Edward menghentakan kaki kesal, dari jauh tuan besar Wellington yang melihat itu terkekeh pelan.

“Cucuku, maaf karena tak bisa memberikan kasih sayang seorang ayah yang sebenarnya kepada kalian,” lirihnya.

Kembali pada Zelleine yang menggenggam tangan ibunya. “Ibu, apakah ada yang mengganggu pikiran ibu?”

Nyonya Bianca tersadar dari lamunannya lalu menatap wajah putri bungsunya yang kian bertumbuh. Tangannya mengusap pipi Zelleine dengan perasaan campur aduk antara bahagia, sedih, marah, khawatir, semuanya terbendung dalam pikirannya.

Walaupun masih kecil, Zelleine tahu ada yang mengganjal hati ibunya dari dulu. “Zelle ternyata kau sudah sebesar ini?” nada bicara wanita parubaya itu terdengar sendu.

Lantas, nyonya Bianca langsung memeluk tubuh mungil Zelleine dengan air mata yang mengalir begitu deras. Perasaan yang menggerogotinya selama bertahun-tahun ini menghancurkan kepercayaan dirinya.

Ia menyesal telah mengabaikan anak-anaknya selama ini, ia ingin menebus kesalahan itu dengan menuangkan kasih sayang seorang ibu yang seharusnya anak-anaknya dapatkan dengan benar.

“Hiks... hiks... maafkan ibu...,” hujan air mata tak berhenti sampai membasahi kepala Zelleine.

Yunifer dan Edward memeluk ibu mereka, nyonya Bianca juga membalas pelukan itu. Keempatnya tenggelam dalam kesedihan yang mendalam.

“Ibu lalai dalam menjaga kalian... hiks... hiks... andaikan...,” nyonya Bianca tak mampu menyelesaikan kalimatnya.

Yunifer menangkup pipi ibunya dan menyeka air mata sang ibu walaupun air matanya terus mengalir.

“Ibu tidak lalai, lihatlah kami bertiga, kami tumbuh dibawah bimbingan ibu, kasih sayang ibu,” ucap Yunifer.

“Kakak benar, bukankah selama ini ibu selalu berjuang melindungi kami,” timpal Zelleine.

“Terima kasih...,” dua kata yang keluar dari bibir nyonya Bianca itu meluluhkan hati ketiga anak-anaknya. Tangisan mereka perlahan mereda, Yunifer memutuskan membawa ibunya ke taman belakang dimana dulu mereka selalu menghabiskan waktu bersama.

Edward mengalungkan tangannya di leher sang ibu. “Sudah lama aku tak bermanja pada ibu,” ucapnya manja.

“Kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu,” timpal Yunifer.

Edward menyengir. “Aku ingat waktu itu Edward masih berusia tiga tahun dan Yunifer lima tahun--”

Ucapan nyonya Bianca terhenti oleh ulah Zelleine. “Dimana aku?”

“Waktu itu, putriku yang imut ini belumlah lahir, kau masih rencana Tuhan,” jawab nyonya Bianca.

Zelleine cemberut ketika Edward mengejeknya. Lalu, nyonya Bianca melanjutkan ceritanya sembari mengelus surai pirang Zelleine yang asik duduk di pangkuannya.

“Edward dulu sangat nakal, ia selalu memanjat pohon apel yang ditanam oleh mendiang nenek kalian, aku sudah menegurnya namun ia selalu membantahku. Sampai akhirnya ia terjatuh dan terluka di bagian kepala, apakah masih membekas, sayang?”

Yunifer mengecek dahi adiknya, ia terkekeh melihat bekas lukanya waktu itu masih ada.

“Masih ada, Ibu. Jadi, jangan mengatakan Zelle nakal karena kau lebih nakal daripadanya,” tegur Yunifer.

Zelleine tersenyum bangga. “Dengar itu kakak,” tekan gadis kecil itu.

“Ya ya ya,” Edward pasrah.

Perbincangan mereka terus berjalan ditemani semilir angin membuat suasana bahagia tercipta kembali. Tak hanya itu saja, beberapa kali, Edward dan Zelleine saling mengejar satu sama lain.

Diam-diam, tuan besar Wellington menyuruh seseorang mengabadikan momen bahagia itu agar selalu dikenang sepanjang masa.

‘Ucapan Dokter Adora benar, aku berharga bagiku dan orang di sekitarku,’ batin nyonya Bianca.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!