Bab 5

Seorang gadis cantik dengan stylenya yang keren memasuki kediaman Wellington. Para pelayan menyapanya dan tentu saja ia balas dengan senyuman mempesona.

“Hai, kakek,” sapanya pada tuan besar yang sedang duduk menyesap kopi sembari membaca koran.

“Astaga, di mana Edward? dia tak mengantarmu?” tanya tuan besar.

“Edward? dia sedang rapat penting dengan para pemegang saham,” jawab gadis itu.

“Hai Aluna!” sapa Yunifer girang.

“Kakak, kapan kau pulang?” gadis bernama Aluna itu memeluk erat Yunifer.

“Beberapa hari yang lalu, kabarmu?”

“Aku sangat baik,” jawab Aluna.

Aluna Learnatha, gadis yang beruntung karena mempunyai kekasih seorang pengusaha nomor satu di Amerika, siapa lagi kalau bukan Edward Wellington. Hal paling beruntung lainnya adalah ia sangat disayang oleh keluarga Wellington.

“Ayo ke kamar ibu, pasti beliau sangat merindukanmu,” ajak Yunifer menggenggam tangan kekasih adiknya itu.

Aluna menoleh kepada sang kakek. “Kakek aku ke atas dulu!”

“Baiklah, nak,” balas tuan besar.

Akhirnya mereka sampai di depan kamar nyonya Bianca. Perlahan-lahan Yunifer membuka pintu kamar sang ibu dan menampakan kamar itu yang sepi.

“Di mana ibu?” tanya Aluna.

“Entahlah, ayo masuk mungkin ibu ada di balkon.”

Aluna mengikuti langkah gadis yang sudah ia anggap kakaknya sendiri. Di balkon, nyonya Bianca tengah asik duduk menatap rerumputan hijau yang terhempas luas di taman belakang kediaman mereka. Sudah sejak lama ia tak menikmati keindahan ini sampai-sampai ia menyesal mengapa tidak dari dulu saja ia menyaksikan pemandangan ini?

“Ibu,” panggil Yunifer dan Aluna kompak.

Nyonya Bianca menoleh dan tersenyum riang. “Ya ampun! Aluna, kapan kau ke sini?”

“Baru saja, kenapa ibu di sini? Kesehatan ibu ‘kan tidak baik,” jawab Aluna sembari memakaikan selimut untuk nyonya Bianca.

Yunifer menimpali, “Benar kata Aluna.”

“Aku tidak apa-apa, sudah lama sekali aku tak lihat pemandangan dan menghirup udara segar ini, ku mohon biarkan aku menikmati hal ini,” tukas nyonya Bianca.

Akhirnya kedua gadis yang sudah duduk mengapitnya mengangguk dan menyetujui ucapan ibu mereka.

Tiba-tiba Aluna berdiri dari tempat membuat dua orang lainnya memandangnya dengan tatapan heran.

“Mau kemana, Aluna?” tanya Yunifer.

“Aku akan membuat susu hangat untuk kita, bukankah menyenangkan?”

“Baiklah,” Yunifer mengangguk.

Aluna turun kebawah menuju ke dapur. Aluna adalah tipe gadis yang suka dimanjakan akan tetapi, ia tinggal sendirian di apartemennya makanya ia sangat mandiri tak seperti sikapnya yang kekanak-kanakan.

“Selesai,” ujarnya semangat setelah tiga gelas susu dan beberapa cemilan sudah diletakan di nampan.

Ia berjalan menuju ke kamar nyonya Bianca, pemandangan ini sudah menjadi hal yang biasa bagi para pelayan di kediaman megah itu.

****

Setibanya di rumah sakit, Adora segera mengisi absen lalu menuju ke ruangan poliklinik. Tampak tumpukan rekam medis para pasien berada di atas meja, siap diperiksa.

Tak lama setelah itu, seorang gadis muda datang dan menyapa.

“Selamat pagi, Dokter Adora!” sapa gadis muda itu.

“Pagi juga, nona. Baiklah ada keluhan apa?” tanya Adora ramah.

“Beberapa hari belakangan ini saya merasa seperti ada benjolan di paha saya, benjolan ini terasa sakit. Setelah saya periksa ke Dokter lain katanya harus dibedah,” jawab si gadis muda itu.

Adora berdiri dan hendak memeriksa keadaan pasiennya. “Permisi, nona.”

Benar saja, setelah memeriksa keadaan pasiennya, Adora yakin bahwa benjolan yang terdapat di paha gadis itu adalah lemak yang mengeras.

“Oke, siapa nama nona?”

“Nama saya Adrian,” jawab nona bernama Adrian itu.

“Saya akan memberikan obat dulu biar sehat. Seminggu lagi nona Adrian bisa datang kembali ke sini,” jeda Dokter cantik itu sebentar. “Ini resep obatnya, silahkan ditebus, semoga lekas sembuh.”

“Terima kasih Dokter!”

Setelah gadis muda itu keluar, Adora memanggil pasien yang lain yang sudah menunggu di luar ruangan.

“Selamat pagi, Dokter!”

Suara yang Adora kenali walaupun mereka baru bertemu beberapa kali. Perlu dicatat bahwa Adora memiliki ingatan yang sangat kuat makanya ia bisa mengingat suara orang biarpun pertemuan mereka hanya beberapa kali.

Adora menoleh dan menatap seorang wanita dan seorang gadis cantik yang sudah mengambil tempat di depannya.

“Nyonya!” sapa Adora antusias.

“Responmu sungguh luar biasa, Dokter,” goda nyonya Bianca.

Adora hanya tertawa canggung. Kemudian, ia mulai fokus pada pekerjaannya. Sedangkan gadis di samping nyonya Bianca hanya diam tak berbicara.

“Apakah ada keluhan lain?” tanya Adora.

“Aku ke sini untuk memeriksa penyakitku sebelum melakukan operasi,” jawab nyonya Bianca.

“Baiklah, nyonya. Silahkan berbaring, saya akan memeriksa kondisi anda!” titah Adora.

Nyonya Bianca berjalan menuju ke brankar dengan di papah oleh kekasih putranya, Aluna yang menemaninya melakukan pemeriksaan kesehatan.

Ketika wanita itu sudah berbaring, Adora mulai memeriksa detak jantung lalu berlanjut ke tempat lain. Tak butuh waktu lama, pemeriksaan telah selesai.

“Bagaimana kondisi ibu, Dokter?” akhirnya Aluna angkat bicara.

“Tumor yang ada di tubuh beliau semakin ganas,” jawab Adora melepas stetoskopnya. “Secepatnya lakukan operasi jika tidak hidup anda tidak akan lama.”

Nyonya Bianca terdiam mendengar penuturan Dokter di depannya dengan perasaan campur aduk. Benarkah takdirnya seperti ini? masih ada janjinya kepada anak dan ayahnya yang belum ia tepati.

Adora menepuk pundak wanita itu. “Keputusan untuk melakukan operasi sudah menjadi pilihan terbaik anda, anda pasti selamat!”

“Terima kasih, Dokter,” bukan nyonya Bianca yang menjawab namun Aluna sembari menepis tangan Adora.

‘Kau pikir kau siapa? Berani sekali mencari perhatian dengan ibu?’ Batin Aluna menatap Adora tak suka.

Adora tersenyum ramah menghadapi gadis seperti Aluna yang sudah mencapnya sebagai Dokter yang cari perhatian kepada nyonya Bianca.

“Ayo ibu! Kita pulang!” ajak Aluna.

“Kami pamit dulu, Dokter, terima kasih atas saranmu,” pamit nyonya Bianca.

Adora tersenyum dan melepas kepergian mereka. Gadis itu kembali fokus pada pekerjaanya dan memanggil pasien yang lain.

****

Saat ini, Adora tengah menyeruput minumannya sambil menatap keluar jendela yang dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang memenuhi jalanan.

Gadis itu melirik ke arah jam tangan yang sudah menunjukan waktu pukul tujuh malam, Baru saja tadi, pekerjaannya seharian ini selesai. Karena perutnya tidak bisa menahan lapar terlalu lama jadi, ia singgah di restoran langganannya.

“Hari ini cukup melelahkan,” monolognya.

“Hng! bukankah ini Dokter yang tadi pagi ku temui?”

Adora mendonggak menatap ke suara di sampingnya itu. “Siapa ya?” tanya Adora yang malas mengingat karena kesibukannya tadi.

“Cih! berpura-pura lupa padaku?” dengan lancang gadis itu duduk di depan Adora.

“Terserah!” sahut Adora sinis.

“Apa hubunganmu dengan ibu?! mengapa kau ingin mencari perhatiannya?!”

Yup, gadis itu adalah Aluna yang juga menjadi langganan restoran ini. Tadi saat baru masuk ia mengenali wajah Adora jadi ingin menghampiri Dokter yang tadi ia temui.

“Oh, kau gadis yang bersama nyonya Bianca?” Adora terlihat acuh tak acuh.

“Jawab pertanyaanku!” tuntut Aluna.

“Hubunganku dengannya? aku pernah diminta oleh tuan besar Wellington untuk bertanggung jawab atas operasi nyonya Bianca,” jawab Adora.

“Kau hanya Dokter yang membantu merawat ibu, jadi jangan mencari perhatian ke keluarga Wellington!” suara Aluna seperti mengejek. “Sebaiknya buang pikiranmu yang kotor itu, kau tak pantas menjadi bagian keluarga Wellington!”

Adora berdecih. “Cih! Hei nona yang tidak kuketahui namanya, kukatakan padamu ya! aku tak tertarik masuk ke keluarga itu!”

Tanpa menunggu balasan, Adora langsung pergi tanpa salam perpisahan dan tentu saja ia juga sudah membayar pesanannya.

Aluna yang ditinggal sendirian merasa kesal. Ia tak suka jika ada gadis yang mendekati kekasihnya, ia sangat takut jika kehilangan Edward.

Di sisi lain, Adora berjalan menuju ke parkiran dengan perasaan kesal. Sejak pagi ia sudah sibuk sekarang ia malah diganggu dengan Aluna, rasanya sangat menyebalkan.

“Semoga aku tak akan bertemu dengan dia lagi!” ujarnya sebelum mobil sedannya melaju dengan rata-rata.

Moodnya yang masih baik-baik saja sudah hancur lebur berkat si pengganggu tadi. Dengan kesal gadis itu masuk ke kamarnya setelah menyapa keluarganya yang sedang berkumpul.

“Ada apa dengan Adora? wajahnya ditekuk seperti tadi?” tanya tuan Gerry pada istrinya.

“Aku juga tidak tahu, mungkin ia kelelahan,” jawab sang istri sekenanya.

Kemudian, mereka melanjutkan acara menonton mereka tanpa berniat menganggu si sulung yang kesal.

Beralih pada Adora yang sudah rapi dan bersih. Setelah itu, gadis itu memakai masker dan menyandarkan punggungnya ke sandaran ranjang sembari meluncur ke media sosialnya yang sudah lama tak ia buka.

Selama satu jam melakukan aktifitasnya, tanpa sadar Adora terlelap dengan gaya yang bisa dibilang tidak biasa saja. Bagaimana tidak, kepalanya sudah berada di sisi ranjang sedikit lagi akan jatuh.

Cklek

Nyonya Emily terkejut melihat cara tidur anak sulungnya. Dengan segera ia memperbaiki tidur gadis itu dan melepas masker yang ada di wajah sang anak.

Adora tidur tanpa terganggu. Nyonya Emily menyempatkan mencium dahi anaknya lalu keluar dari kamar bernuansa abu-abu itu.

****

Seorang wanita sedang berdiri di depan anak-anak, di tangan wanita itu berisi kertas-kertas yang penuh dengan tulisan-tulisan.

“Thalia, selamat kau menjadi yang teratas lagi!” ujar ibu guru bernama Lily itu.

Thalia yang disebut namanya berseru antusias begitupun kedua kakaknya yang bangga punya adik yang pintar seperti Thalia.

“Terima kasih ibu guru!” ucap Thalia dengan senyum merekah.

Tak jauh dari situ, para gadis kecil yang memusuhi si kembar saling berbisik dan menjelek-jelekan mereka. Di antara mereka ada Zelleine, adiknya Edward.

Zelleine tak suka melihat ada orang yang jauh lebih hebat darinya. Tangannya mengepal kuat karena merasa iri dengan, ‘seharusnya aku lebih hebat dari dia!’

“Saat istirahat nanti ajak mereka ke taman belakang, aku akan memberikan pelajaran kepada mereka,” seringaian licik terbit di bibir gadis itu.

Teman-temannya sangat antusias mendengar perintah Zelleine. Namun, gadis kecil itu tak tahu jika kali ini perbuatannya akan menyebabkan masalah besar.

“Baiklah anak-anak, kalian sudah boleh istirahat!” seru ibu Lily mulai membereskan mejanya dan berjalan keluar kelas.

Zelleine mulai memberi kode pada salah satu temannya kemudian dengan langkah angkuh berjalan keluar kelas. Di sekolah ini, Zelleine sangat disegani karena ia adalah keturunan dari keluarga Wellington. Seorang gadis dengan surai coklat menghampiri si kembar yang sedang berbincang.

“Hai,” sapanya ramah.

Tiga bersaudara itu merespon dengan biasa saja, “Hai.”

“Ah, iya selamat atas nilaimu, Thalia! Kau selalu menjadi yang terpintar di sekolah ini!”

“Terima kasih,” balas Thalia dengan senyuman ramah.

“Boleh aku ajak kalian untuk makan bersamaku di taman belakang?” ajak gadis itu.

Thalita menautkan alisnya bingung, harus ke tempat itu? pikirnya. “Kenapa kami harus menurutimu?”

Gadis itu terdiam. “Sudahlah, kak. Ayo!” Thania membujuk sang kakak dengan wajah menggemaskannya.

Pada akhirnya mereka pergi ke taman belakang tanpa kecurigaan sedikit pun. Di taman belakang terdapat satu bangku yang muat untuk empat orang bahkan lima orang.

“Tampaknya taman belakang ini jarang didatangi,” tutur Thalita yang mulai curiga.

“Ya, daun berserakan di mana-mana, mungkin sebentar lagi musim gugur,” timpal Thania.

Si bungsu segera mengambil tempat dan membuka kotak makan siangnya yang bergambar kupu-kupu berwarna pink. Di susul oleh Kakaknya, gadis bersurai coklat tadi sepertinya menantikan sesuatu.

“Apakah kau tidak makan?” tanya Thania.

Tiba-tiba Zelleine dan teman-temannya datang dengan wajah sombong, gadis bersurai coklat tadi tersenyum meremehkan pada si kembar, ternyata dugaan Thalita bahwa mereka sepertinya dijebak benar.

“Kau!” sarkas Thalita.

Tatapan tajam mengarah pada Zelleine yang sedang tersenyum riang. Zelleine berjalan menghampiri mereka, dengan lancangnya ia mengambil kotak makan siang Thalia dan membuangnya. Thalia menatap sendu makanan yang dibuatkan oleh mMmanya dengan sepenuh hati telah tergeletak di tanah.

“Hahaha, lihatlah wajah itu!” tawa mereka mengudara menyaksikan kesedihan Thalia.

“Zelleine! apa salah adikku padamu?!” bentak Thalita kasar.

Zelleine dan teman-temannya yang baru saja mendengar bentakan dari seorang Thalita yang terkenal pendiam kini ketakutan. Akan tetapi, rasa iri dan dengki yang sudah mengakar di hati tak membuat mereka berhenti.

“Oh astaga! aku takut,” ledekan Zelleine mengundang tawa.

“Sudahlah, jangan ganggu mereka, kasihan,” timpal anak yang lain.

“Lemparkan telur itu pada mereka!” suruh Zelleine pada dua anak lelaki.

Dengan brutal dua anak lelaki itu melempar telur kepada si kembar. Thalita dengan sigap melindungi kedua Adiknya dengan cara memeluk mereka.

Tak lama kemudian, telur di tangan mereka habis. Thania melepas pelukan sang kakak dan berjalan mendekat pada mereka. Tatapan gadis itu bagai elang yang mencari mangsa, bibirnya menyeringai. Zelleine lebih memilih berlindung di belakang dan menyuruh teman-temannya melawan Thania.

“Kenapa? apakah tak ingin melawanku?” tanya Thania meremehkan.

Dengan cepat tangan Thania menjambak rambut dua anak lelaki tadi dan menghempas mereka dengan kuat ke tanah. Ia mendekat ke gadis bersurai coklat yang menipunya dan saudaranya.

“A-aku m-minta maaf, ini perintah Zelleine!” gadis itu berseru takut.

Thania mencengkram dagu gadis itu dengan kuat sampai ia menangis kesakitan. Tatapannya mengarah pada Zelleine yang berdiri ketakutan. Tangan Thania yang sudah di udara ia turunkan kembali dan mengambil tangan Zelleine lalu mendorongnya sampai terjatuh.

“Zelleine!” teriak ibu Lily dengan marah.

Zelleine terkejut dan menatap ibu Lily dengan tatapan ketakutan. “B-bukan aku yang mendorongnya, ibu guru!”

“Diam! ibu melihatnya dengan mata ibu, kau mau bilang ibu buta?!”

Ibu Lily segera membantu Thania berdiri. Thalita dan Thalia langsung berpura-pura menangis dan memeluk ibu Lily. Mereka adalah ratu drama yang sangat lihai memerankan perannya masing-masing.

“Ibu guru!” jerit Thania seakan merasa sakit.

“Kalian semua ke ruang kepala sekolah!” suruh ibu Lily dengan tegas.

Anak-anak kembar itu menatap Zelleine yang juga menatap mereka dengan tatapan sinis. Tentu saja adik dari Adora itu sangat senang karena bisa membuat pembully mereka terdapat masalah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!