Scarlet (In The Snow)

Scarlet (In The Snow)

Janji

Musim dingin tahun 2009, Paris, Prancis

Semilir angin dingin perlahan bertiup menerpa rambut hitam Mawar. Gadis kecil itu kembali merapatkan jaketnya guna melindungi tubuhnya dari dinginnya udara kota Paris.

Entah sudah berapa lama Mawar berdiri di pinggiran sungai Seine. Sebenarnya ia tidak sendirian di sini. Seharusnya Rendi sepupunya menemani Mawar sembari menunggu ibunya, namun entah sejak kapan sepupunya itu menghilang.

Mawar menutup matanya mencoba menghiraukan rasa dingin yang menyelimutinya. Namun Mawar merasakan kehangatan di sekitar area lehernya. Mawar berpikir itu hanyalah perasaannya saja namun ketika Mawar membuka matanya sebuah syal abu-abu telah melingkari lehernya.

"Aku melihatmu menggigil kedinginan jadi sebaiknya Kau pakai syal itu. Itu bisa sedikit menghangatkanmu. Apa Kau tidak tahu kalau cuaca hari ini sangat dingin? Kau berani keluar hanya memakai jaket tipis itu."

Sebuah suara yang sama sekali tidak Mawar kenali mulai terdengar. Mawar mengarahkan pandangannya pada sumber suara yang ada di samping kirinya. Suara itu milik seorang anak laki-laki yang mungkin empat tahun lebih tua dari Mawar.

Anak itu memakai pakaian serba berwarna abu-abu bahkan warna rambutnya pun dibuat senada dengan pakaiannya. Sebuah kamera juga terlihat bergelantungan di leher anak itu.

Mawar mengalihkan pandangannya ke arah syal yang kini ia pakai. "Aku tidak butuh ini, kalau Kau memberikannya untukku bukannya Kau yang nanti akan kedinginan?" Ucapnya sembari memegang ujung syal yang ia pakai itu.

Anak laki-laki di depan Mawar itu menggeleng pelan.

"Aku sudah terbiasa dengan udara dingin, tapi aku lihat Kau butuh itu dari pada aku. Aku masih ada topi wolku yang hangat ini." Anak laki-laki itu memegang topi wol berwarna abu-abu yang menutupi kepalanya.

"Oh ya Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa Kau keluar di udara sedingin ini hanya memakai jaket tipis ini?" Tanya anak laki-laki itu sembari menarik ujung jaket milik Mawar.

"Dan kenapa Kau sendirian di sini? Sebentar lagi salju turun. Sebaiknya Kau pulang."

"Aku tidak sendirian di sini." Mawar menatap mata kelabu anak laki-laki yang berdiri di depannya.

"Seharusnya sepupuku menemaniku di sini. Tapi entah kemana perginya. Ibuku sedang membelikanku makanan sekarang. Dan aku harus menunggunya di sini." Mawar merapatkan jaketnya ketika angin kembali berhembus.

"Seharusnya ibumu tidak meninggalkanmu di sini. Kau tahu itu sangat berbahaya bagi gadis kecil sepertimu sendirian di sini. Kau tidak takut nanti ada penjahat yang mencoba menculikmu?"

Mawar hanya menggeleng pelan. "Aku bukan gadis kecil lagi umurku sudah 6 tahun aku sudah masuk SD tahun ini. Aku tidak takut, banyak orang yang lewat sini. Jadi kalau terjadi apa-apa aku masih bisa berteriak minta tolong."

"Tapi tetap saja berbahaya. Dan Kau hanya memakai jaket tipis di udara sedingin ini." Ucap anak laki-laki itu lagi.

"Kau sendiri kenapa sendirian? Kau bahkan membawa kamera tanpa memasukkannya kedalam tas. Bukannya Kau malah mengundang orang untuk merampas kameramu itu?"

"Aku sedang menunggu ayahku, dia sedang mengambil mobil sekarang. Aku tadi menemani ayahku mengambil beberapa foto di sekitar sungai Seine, dan tidak akan ada orang yang berniat merampas kameraku. Karena aku yakin dengan hal itu."

"Jadi ayahmu seorang fotografer?"

Anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya dengan cepat. Matanya langsung berbinar ketika membicarakan mengenai ayahnya itu. Terlihat sekali bahwa anak laki-laki itu sangat bangga dengan apa yang Ayahnya lakukan.

"Dia fotografer yang terkenal. Hasil fotonya sangat bagus. Bahkan dia sudah membuat pameran foto di berbagai negara. Aku ingin suatu saat nanti bisa seperti ayahku. Menjadi fotografer terkenal, itulah impianku."

“Jadi Kau sudah punya impian ya. Aku bahkan belum memikirkan ingin jadi apa aku nanti."

“Benarkah?” Tanya anak laki-laki itu sembari mengerutkan keningnya. “Tapi seharusnya Kau sudah memilikinya sejak sekarang supaya Kau bisa segera mewujudkan impianmu.”

“Aku rasa ada satu impian yang cocok denganmu.” Imbuhnya sembari memiringkan kepalanya ketika melihat ke arah Mawar.

"Apa itu?" Tanya Mawar penasaran.

Anak laki-laki itu hanya memberikan seulas senyum kepada Mawar. Pandangannya kemudian beralih ke arah kamera yang sedari tadi bergelantungan di lehernya.

"Kurasa Kau cocok menjadi model. Kau tahu, Kau memiliki wajah yang menarik untuk menjadi model. Ibuku seorang perancang busana jadi aku sering melihat model-model ibuku. Aku yakin penilaianku tidak salah, Kau memiliki bakat itu."

"Benarkah. Apa Kau tidak bercanda."

Anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Tapi aku masih tidak yakin." Imbuh Mawar.

"Apa Kau mau bukti? Berposelah di situ aku akan memotretmu." Ucap anak laki-laki itu sembari mengangkat kameranya.

Anak laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk memotret Mawar ketika melihat gadis itu masih tetap diam di tempatnya berdiri. Ia kemudian menarik lengan Mawar dan menyeretnya ke tempat kosong di pinggir sungai Seine.

"Kau harus berpose di sini dan aku akan memotretmu. Akan aku tunjukkan padamu kalau Kau itu berbakat jadi model." Ucap anak laki-laki itu sembari mengatur pose tubuh Mawar.

"Nah seperti ini tahan sebentar."

Sejurus kemudian anak laki-laki itu mundur beberapa langkah dan mengambil beberapa gambar dari Mawar.

"Senyumlah sedikit. Nah seperti itu. Bagus." Ucap anak laki-laki itu ketika melihat Mawar menuruti perintahnya.

Setelah puas dengan aksinya, anak laki-laki itu mendekat ke arah Mawar untuk menunjukkan hasil jepretannya.

"Lihatlah, Kau memang berbakat menjadi model. Fotomu terlihat bagus."

"Apa foto-fotoku memang sebagus itu?" Tanya Mawar memastikan.

Anak perempuan itu tidak terlalu paham dunia fotografi. Jadi ia tidak bisa menilai apakah foto yang ada di sana sudah bagus atahu belum.

"Tentu. Kau mungkin bisa memikirkan itu sebagai impianmu. Tapi, menurutku Kau harus memilih sendiri impianmu. Impian itu harus Kau pilih sendiri, ikuti kata hatimu akan jadi apa engKau kelak."

"Jadi aku harus mulai memikirkan jadi apa aku kelak?"

Anak laki-laki itu mengangguk menegaskan perkataan sebelumnya. "Aku jadi punya sebuah ide. Ayo kita buat sebuah janji."

"Janji?"

"Ya sebuah janji. Aku akan berjanji kelak jika kita bertemu lagi aku akan menjadi seorang fotografer terkenal, dan Kau harus sudah mempunyai impian yang ingin Kau wujudkan. Itu sebuah janji yang cukup mudahkan?"

"Kenapa aku harus membuat janji denganmu? Dan belum tentu kelak kita akan bertemu lagi."

"Karena aku ingin Kau memiliki sebuah impian dan aku yakin kita nanti akan bertemu. Aku yakin takdir akan mempertemukan kita kembali. Jadi apa Kau mau membuat janji denganku?" Ucap anak laki-laki itu sembari menggoyangkan jari kelingkingnya yang sedari tadi sudah ia angkat.

"Baiklah aku akan mencobanya. Aku janji." Mawar mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking anak laki-laki yang berdiri di depannya. Setelah beberapa detik Mawar ingin menarik jari kelingkingnya namun anak laki-laki itu menahannya.

"Kenapa Kau menahan jariku? Bukannya aku sudah membuat janji denganmu?" Protes Mawar.

"Kau harus menyebutkan namamu dan apa yang Kau janjikan. Kau tidak bisa hanya berkata aku berjanji."

"Baiklah, aku Mawar berjanji padamu anak laki-laki yang berpakaian serba abu-abu, suatu saat nanti jika kita bertemu kembali aku harus sudah memiliki sebuah impian dan Kau harus menepati janjimu untuk menjadi seorang fotografer terkenal. Begitukan?"

"Seperti itu lebih baik. Jadi namamu Mawar, sepertinya aku tahu dari mana asalmu." Ucap anak laki-laki itu ketika sebuah mobil menepi dan membunyikan klaksonnya.

"Sepertinya ayahku sudah datang jadi Mawar, sampai bertemu lagi." Anak laki-laki itu melambaikan tangannya memberikan sebuah salam perpisahan untuk Mawar.

Mawar hanya memandang kepergian anak laki-laki itu sampai dia masuk ke dalam mobil yang berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Satu hal yang Mawar pikirkan sejak kepergian anak laki-laki itu. Ia harus segera memiliki impian. Karena kalau sewaktu-waktu ia bertemu dengan anak laki-laki tadi, Mawar sudah menepati janjinya.

Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal hati Mawar sejak anak laki-laki itu pergi. Mawar belum sempat menanyakan namanya. Bahkan syal anak laki-laki itu masih melingkari lehernya.

"Mungkin aku akan memanggilnya Gray karena tampilannya yang serba abu-abu tadi." Ucap Mawar pada dirinya sendiri.

Terpopuler

Comments

Refreshing

Refreshing

aku mampir dari rekomendasi author sebelah, baru awal ceritanya seru semangat kakak author🤗

2022-02-21

0

EuRo

EuRo

halo.kak Dyoka aku baca novelmu dan langsung masuk.favotit 👍 ku kirim kembang buatmu.

2022-02-16

1

IG : @thatya0316

IG : @thatya0316

like dan fav mendarat sempurna

2022-02-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!