Musim dingin tahun 2009, Paris, Prancis
Semilir angin dingin perlahan bertiup menerpa rambut hitam Mawar. Gadis kecil itu kembali merapatkan jaketnya guna melindungi tubuhnya dari dinginnya udara kota Paris.
Entah sudah berapa lama Mawar berdiri di pinggiran sungai Seine. Sebenarnya ia tidak sendirian di sini. Seharusnya Rendi sepupunya menemani Mawar sembari menunggu ibunya, namun entah sejak kapan sepupunya itu menghilang.
Mawar menutup matanya mencoba menghiraukan rasa dingin yang menyelimutinya. Namun Mawar merasakan kehangatan di sekitar area lehernya. Mawar berpikir itu hanyalah perasaannya saja namun ketika Mawar membuka matanya sebuah syal abu-abu telah melingkari lehernya.
"Aku melihatmu menggigil kedinginan jadi sebaiknya Kau pakai syal itu. Itu bisa sedikit menghangatkanmu. Apa Kau tidak tahu kalau cuaca hari ini sangat dingin? Kau berani keluar hanya memakai jaket tipis itu."
Sebuah suara yang sama sekali tidak Mawar kenali mulai terdengar. Mawar mengarahkan pandangannya pada sumber suara yang ada di samping kirinya. Suara itu milik seorang anak laki-laki yang mungkin empat tahun lebih tua dari Mawar.
Anak itu memakai pakaian serba berwarna abu-abu bahkan warna rambutnya pun dibuat senada dengan pakaiannya. Sebuah kamera juga terlihat bergelantungan di leher anak itu.
Mawar mengalihkan pandangannya ke arah syal yang kini ia pakai. "Aku tidak butuh ini, kalau Kau memberikannya untukku bukannya Kau yang nanti akan kedinginan?" Ucapnya sembari memegang ujung syal yang ia pakai itu.
Anak laki-laki di depan Mawar itu menggeleng pelan.
"Aku sudah terbiasa dengan udara dingin, tapi aku lihat Kau butuh itu dari pada aku. Aku masih ada topi wolku yang hangat ini." Anak laki-laki itu memegang topi wol berwarna abu-abu yang menutupi kepalanya.
"Oh ya Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa Kau keluar di udara sedingin ini hanya memakai jaket tipis ini?" Tanya anak laki-laki itu sembari menarik ujung jaket milik Mawar.
"Dan kenapa Kau sendirian di sini? Sebentar lagi salju turun. Sebaiknya Kau pulang."
"Aku tidak sendirian di sini." Mawar menatap mata kelabu anak laki-laki yang berdiri di depannya.
"Seharusnya sepupuku menemaniku di sini. Tapi entah kemana perginya. Ibuku sedang membelikanku makanan sekarang. Dan aku harus menunggunya di sini." Mawar merapatkan jaketnya ketika angin kembali berhembus.
"Seharusnya ibumu tidak meninggalkanmu di sini. Kau tahu itu sangat berbahaya bagi gadis kecil sepertimu sendirian di sini. Kau tidak takut nanti ada penjahat yang mencoba menculikmu?"
Mawar hanya menggeleng pelan. "Aku bukan gadis kecil lagi umurku sudah 6 tahun aku sudah masuk SD tahun ini. Aku tidak takut, banyak orang yang lewat sini. Jadi kalau terjadi apa-apa aku masih bisa berteriak minta tolong."
"Tapi tetap saja berbahaya. Dan Kau hanya memakai jaket tipis di udara sedingin ini." Ucap anak laki-laki itu lagi.
"Kau sendiri kenapa sendirian? Kau bahkan membawa kamera tanpa memasukkannya kedalam tas. Bukannya Kau malah mengundang orang untuk merampas kameramu itu?"
"Aku sedang menunggu ayahku, dia sedang mengambil mobil sekarang. Aku tadi menemani ayahku mengambil beberapa foto di sekitar sungai Seine, dan tidak akan ada orang yang berniat merampas kameraku. Karena aku yakin dengan hal itu."
"Jadi ayahmu seorang fotografer?"
Anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya dengan cepat. Matanya langsung berbinar ketika membicarakan mengenai ayahnya itu. Terlihat sekali bahwa anak laki-laki itu sangat bangga dengan apa yang Ayahnya lakukan.
"Dia fotografer yang terkenal. Hasil fotonya sangat bagus. Bahkan dia sudah membuat pameran foto di berbagai negara. Aku ingin suatu saat nanti bisa seperti ayahku. Menjadi fotografer terkenal, itulah impianku."
“Jadi Kau sudah punya impian ya. Aku bahkan belum memikirkan ingin jadi apa aku nanti."
“Benarkah?” Tanya anak laki-laki itu sembari mengerutkan keningnya. “Tapi seharusnya Kau sudah memilikinya sejak sekarang supaya Kau bisa segera mewujudkan impianmu.”
“Aku rasa ada satu impian yang cocok denganmu.” Imbuhnya sembari memiringkan kepalanya ketika melihat ke arah Mawar.
"Apa itu?" Tanya Mawar penasaran.
Anak laki-laki itu hanya memberikan seulas senyum kepada Mawar. Pandangannya kemudian beralih ke arah kamera yang sedari tadi bergelantungan di lehernya.
"Kurasa Kau cocok menjadi model. Kau tahu, Kau memiliki wajah yang menarik untuk menjadi model. Ibuku seorang perancang busana jadi aku sering melihat model-model ibuku. Aku yakin penilaianku tidak salah, Kau memiliki bakat itu."
"Benarkah. Apa Kau tidak bercanda."
Anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya dengan cepat.
"Tapi aku masih tidak yakin." Imbuh Mawar.
"Apa Kau mau bukti? Berposelah di situ aku akan memotretmu." Ucap anak laki-laki itu sembari mengangkat kameranya.
Anak laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk memotret Mawar ketika melihat gadis itu masih tetap diam di tempatnya berdiri. Ia kemudian menarik lengan Mawar dan menyeretnya ke tempat kosong di pinggir sungai Seine.
"Kau harus berpose di sini dan aku akan memotretmu. Akan aku tunjukkan padamu kalau Kau itu berbakat jadi model." Ucap anak laki-laki itu sembari mengatur pose tubuh Mawar.
"Nah seperti ini tahan sebentar."
Sejurus kemudian anak laki-laki itu mundur beberapa langkah dan mengambil beberapa gambar dari Mawar.
"Senyumlah sedikit. Nah seperti itu. Bagus." Ucap anak laki-laki itu ketika melihat Mawar menuruti perintahnya.
Setelah puas dengan aksinya, anak laki-laki itu mendekat ke arah Mawar untuk menunjukkan hasil jepretannya.
"Lihatlah, Kau memang berbakat menjadi model. Fotomu terlihat bagus."
"Apa foto-fotoku memang sebagus itu?" Tanya Mawar memastikan.
Anak perempuan itu tidak terlalu paham dunia fotografi. Jadi ia tidak bisa menilai apakah foto yang ada di sana sudah bagus atahu belum.
"Tentu. Kau mungkin bisa memikirkan itu sebagai impianmu. Tapi, menurutku Kau harus memilih sendiri impianmu. Impian itu harus Kau pilih sendiri, ikuti kata hatimu akan jadi apa engKau kelak."
"Jadi aku harus mulai memikirkan jadi apa aku kelak?"
Anak laki-laki itu mengangguk menegaskan perkataan sebelumnya. "Aku jadi punya sebuah ide. Ayo kita buat sebuah janji."
"Janji?"
"Ya sebuah janji. Aku akan berjanji kelak jika kita bertemu lagi aku akan menjadi seorang fotografer terkenal, dan Kau harus sudah mempunyai impian yang ingin Kau wujudkan. Itu sebuah janji yang cukup mudahkan?"
"Kenapa aku harus membuat janji denganmu? Dan belum tentu kelak kita akan bertemu lagi."
"Karena aku ingin Kau memiliki sebuah impian dan aku yakin kita nanti akan bertemu. Aku yakin takdir akan mempertemukan kita kembali. Jadi apa Kau mau membuat janji denganku?" Ucap anak laki-laki itu sembari menggoyangkan jari kelingkingnya yang sedari tadi sudah ia angkat.
"Baiklah aku akan mencobanya. Aku janji." Mawar mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking anak laki-laki yang berdiri di depannya. Setelah beberapa detik Mawar ingin menarik jari kelingkingnya namun anak laki-laki itu menahannya.
"Kenapa Kau menahan jariku? Bukannya aku sudah membuat janji denganmu?" Protes Mawar.
"Kau harus menyebutkan namamu dan apa yang Kau janjikan. Kau tidak bisa hanya berkata aku berjanji."
"Baiklah, aku Mawar berjanji padamu anak laki-laki yang berpakaian serba abu-abu, suatu saat nanti jika kita bertemu kembali aku harus sudah memiliki sebuah impian dan Kau harus menepati janjimu untuk menjadi seorang fotografer terkenal. Begitukan?"
"Seperti itu lebih baik. Jadi namamu Mawar, sepertinya aku tahu dari mana asalmu." Ucap anak laki-laki itu ketika sebuah mobil menepi dan membunyikan klaksonnya.
"Sepertinya ayahku sudah datang jadi Mawar, sampai bertemu lagi." Anak laki-laki itu melambaikan tangannya memberikan sebuah salam perpisahan untuk Mawar.
Mawar hanya memandang kepergian anak laki-laki itu sampai dia masuk ke dalam mobil yang berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Satu hal yang Mawar pikirkan sejak kepergian anak laki-laki itu. Ia harus segera memiliki impian. Karena kalau sewaktu-waktu ia bertemu dengan anak laki-laki tadi, Mawar sudah menepati janjinya.
Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal hati Mawar sejak anak laki-laki itu pergi. Mawar belum sempat menanyakan namanya. Bahkan syal anak laki-laki itu masih melingkari lehernya.
"Mungkin aku akan memanggilnya Gray karena tampilannya yang serba abu-abu tadi." Ucap Mawar pada dirinya sendiri.
Tahun 2021 Jakarta, Indonesia
Mawar kembali mengambil tisu yang ada di depannya. Entah sudah berapa banyak tisu yang ia ambil untuk menghapus air matanya itu.
Namun tetap saja air mata itu masih mengalir dari sudut matanya. Bukan tanpa alasan Mawar menangis seperti itu. Ini semua terjadi ketika Thomas pemuda yang ia sukai selama dua tahun terakhir ini menyatakan cintanya kepada orang lain di depan matanya sendiri.
Gadis yang beruntung itu adalah Jiana. Mawar mengakui bahwa gadis itu memang cantik, pintar dan baik. Seorang pacar idaman bagi semua anak laki-laki di sekolahnya. Sangat cocok dengan sosok Thomas yang tampan dan ramah kepada siapapun orang yang ditemuinya.
Sebenarnya, Mawar sudah bisa menerima hal itu. Apa lagi gosip tentang Thomas yang mendekati Jiana sudah tersebar sejak sebulan yang lalu.
Tapi yang membuat Mawar sedih adalah keputusan Thomas untuk menyatakan cintanya di depan semua orang tanpa memikirkan apakah diantara orang-orang yang melihat kejadian itu ada gadis lain yang menyukai dirinya apa tidak.
Thomas adalah idola di sekolahnya. Pemuda bermata biru itu telah memuKau banyak gadis di sekolah. Mungkin di luar sana ada beberapa teman Mawar yang juga sedang menangisi tindakan Thomas itu, seperti yang ia lakukan saat ini.
Mawar bergegas menghapus sisa air matanya dan membereskan tisu yang berserakan ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.
"Mawar lo di dalemkan? Boleh masuk nggak?" Ucap sebuah suara yang sudah tidak asing di telinga Mawar.
"Masuk aja Ren, pintunya nggak dikunci kok."
Sesosok pemuda berambut coklat terlihat muncul dari balik pintu kamar Mawar. "Lo nggak siap-siap buat entar malam?"
Mawar memaksakan sebuah senyum untuk sepupunya itu. "Entar malem? Memangnya ada acara apa entar malem?"
Rendi membuka matanya lebar-lebar kaget dengan ucapan Mawar barusan. "Gue nggak salah denger nih? Seorang Mawar melupakan sesuatu yang selama ini udah ia tunggu?"
Mawar terlihat sedikit bingung dengan ucapan Rendi, memangnya apa yang sudah ia lupakan? Apa hanya karena memikirkan tentang kejadian menghebohkan tadi pagi membuat Mawar melupakan hal lain yang ada di hari ini?
"Memangnya apa yang udah gue lupain?"
"Pesta kelulusan kita, lo bahkan udah beli baju sejak sebulan yang lalu buat acara ini. Terus sekarang lo lupain gitu aja? Apa lo ada masalah?"
Mawar melayangkan tinjunya ke lengan Rendi. "Gue nggak lupa kok. Gue cuma mau ngetes lo aja." Ucap Mawar menutupi kenyataan yang ia sembunyikan.
'Bodoh banget, kenapa gue bisa lupa tentang hal itu. Hanya karena kejadian tadi pagi gue bisa melupakan hal yang seperti ini. Kenapa hal yang gue tunggu-tunggu malah bisa gue lupain sih.' Teriak Mawar dalam hati.
"Ya udah kalo gitu sekarang lo harus siap-siap. Sejam lagi lo udah harus siap. Oke." Rendi menempelkan ujung jari jempol dan telunjuknya merentangkan ketiga jari yang lain untuk membentuk OK dengan jarinya.
"Kenapa harus secepat itu? Bukannya sekarang masih jam empat?"
"Aduh Mawar, gue tahu lo ini nggak suka nunggu lama-lama tapi lo tahu sendirikan Jakarta itu kota macet. Dimana-mana macet dan sebentar lagi jam pulang kerja, pasti bakalan parah macetnya. Jadi sejam lagi kita berangkat."
Mawar hanya menganggukkan kepalanya pelan. "Terserah lo aja deh. Lo kan hari ini yang nyetir."
*****
"Lo kelihatan cantik kalo pakai baju itu." Puji Rendi ketika melihat sepupunya memakai gaun berwarna merah marun selutut. Malam ini Mawar menyanggul rambutnya membuatnya terlihat lebih dewasa dari biasanya.
"Lo tahu sendirikan kalo gue udah nunggu momen ini. Gue pengen anak-anak inget kalo mereka pernah punya temen kayak gue. Teman-teman kita nantinya akan balik ke negaranya masing-masing jadi kesan terakhir yang indah nggak apalah."
"Perasaan nggak semua temen kita bakal balik ke negaranya deh. Lo aja yang bakalan ninggalin mereka kuliah di London."
Mawar hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Rendi. Sejak SD, Mawar dan Rendi disekolahkan di sekolah Internasional, jadi tidak mengherankan jika mereka memiliki beberapa teman dari luar negeri.
Kebanyakan dari mereka akan melanjutkan kuliah di luar Indonesia, tapi ada juga yang memilih kuliah di Indonesia.
"Hey, kenapa tiba-tiba lo kelihatan murung gitu?" Tanya Rendi ketika melihat perubahan ekspresi wajah yang sangat cepat dari Mawar.
Mawar teringat akan satu hal jika membahas mengenai kuliah. Bahwa dirinya, Thomas dan Jiana akan berkuliah di kota yang sama. Walaupun berbeda universitas namun tetap saja kemungkinan untuknya bertemu mereka berdua di London cukup besar.
Di pesta nanti, sudah dipastikan Thomas dan Jiana datang. Kalau saja ini bukanlah tahun kelulusannya, sudah pasti Mawar tidak akan datang.
Sayangnya ini adalah pesta terakhir yang bisa ia lakukan bersama dengan teman-teman sekolahnya sebelum mereka menyebar ke belahan dunia lain untuk melanjutkan pendidikan.
"Nggak papa kok. Gue cuma ngerasa sedikit sedih aja kalo harus pisah dengan teman-teman. Pasti nanti akan sulit buat kita kumpul bareng."
Mawar hanya mengatakan yang sekiranya membuat Rendi percaya dengan ucapannya. Ucapan Mawar tadi memang tidak sepenuhnya salah. Ia memang merasa sedih jika harus berpisah dengan teman-temannya.
Namun, hal terpenting dalam hal ini adalah kesedihan itu tidak sebanding dengan patah hati yang Mawar alami. Ini adalah patah hati pertama yang dialami Mawar.
"Lo nggak perlu mendramatisir keadaan kayak gitu. Gue yakin, takdir akan mempertemukan kita kembali. Ya udah sekarang ayo kita berangkat."
Mawar sedikit tercengang mendengar ucapan Rendi tadi. Ucapan itu mengingatkan Mawar akan seseorang yang pernah ia temui dimasa kecilnya.
"Gue nggak percaya akan takdir yang seperti itu. Dulu ada seseorang yang berkata seperti itu ke gue tapi sampai sekarang orang itu nggak pernah muncul."
"Emang siapa?"
"Gray, cowok serba abu-abu yang dulu bertemu denganku di kota Paris. Ingat?"
"Oh cowok yang ngasih lo syal dan minta lo janji ke dia jika kalian bertemu lagi lo harus udah punya impian itu?"
"Yup. Entah kenapa gue nurut aja ketika dia minta gue bikin janji konyol itu. Gue udah nggak berharap lagi bertemu orang itu. Ah sudahlah, ngapain kita malah bahas itu.”
“Lo bilang kita harus cepat berangkat biar nggak kejebak macet. Ayo berangkat." Ucap Mawar sembari mendorong punggung Rendi.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah Mawar hanya termenung memikirkan soal anak laki-laki masa kecilnya. Ia tidak pernah bercerita ke orang lain tentang siapa sosok asli anak laki-laki itu bagi Mawar.
Bagi Mawar anak laki-laki itu adalah pahlawannya. Berkat syal yang telah ia terima dari anak laki-laki itu, Mawar bisa bertahan dari dinginnya kota Paris saat itu.
Anak laki-laki itu juga sudah seperti panutan bagi Mawar. Berkat dia, Mawar sudah memikirkan impiannya sejak kecil sehingga saat ini ia bisa fokus untuk mewujudkan impian itu. Sebentar lagi Mawar akan kuliah untuk memperdalam ilmu arsiteknya.
Entah mengapa ketika memikirkan ingin jadi apa ia kelak, Mawar berpikir bahwa dirinya harus menjadi seorang arsitek. Dan masih ada satu hal lain yang menjadi impian Mawar ketika itu, yaitu segera bertemu kembali dengan penyelamatnya.
Aula NG International School mulai terlihat ramai malam itu. Terlihat kerlap kerlip lampu hias bergelantungan di pinggir-pinggir tembok aula. Beberapa macam kue terlihat di atas meja di sudut aula.
Dentuman musik menggema di seluruh aula itu. Mawar dan Rendi masuk ke aula tempat pesta kelulusan dilakukan bertepatan dengan salah satu band dari adik kelasnya yang memainkan lagu Sugar milik Maroon 5.
"Loh, pestanya kan mulai setengah jam lagi?" Rendi mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan Mawar. "Tapi kenapa mereka udah nyanyi duluan?"
"Lo ngerti sendiri lah, mungkin hanya hiburan pembuka sebelum acara utama. Lo lihat sendiri udah banyak yang datang. Apa lo yakin mau ngebiarin orang segini banyaknya cuma berdiri nunggu acaranya dimulai? Enggakkan?"
"Bener juga sih. Kalo gini gua nggak nyesel-nyesel amat dateng setengah jam sebelum acara mulai. Udah banyak yang dateng duluan dari kita."
Rendi mengalihkan pandangannya ke arah sepupunya yang berdiri di sampingnya. "Jadi lo nyesel dateng ke sini lebih awal?"
Mawar mendekatkan ujung jari jempol dan telunjuknya. "Sedikit. Tapi, bukannya gue udah bilang sekarang gue nggak nyesel lagi. Lo tahu kan kalo gue nggak suka nunggu. Lebih baik dateng tepat waktu dari pada kita yang nunggu lama."
"Emang lo selalu yakin bisa hadir tepat waktu. Kita harus memperhitungkan waktu keberangkatan kita agar nggak kena macet. Kau tahu sendiri... bla... bla... bla...."
Mawar tidak menghiraukan Rendi yang sepertinya sedang mengomentari sikap Mawar yang tidak suka menunggu itu. Mawar mengedarkan pandangannya ke sekeliling aula. Ia tengah mencari sosok yang seharian ini membuatnya galau.
Namun sudah beberapa kali mata Mawar menyapu seisi aula orang yang dicarinya itu tidak terlihat. Mawar mengembuskan nafasnya dengan keras. Ia lega orang itu belum datang.
"Lo ngedengerin gue nggak sih?" Mawar mengalihkan pandangannya ke arah Rendi dan mengangguk pelan. Rendi mulai melanjutkan kata-katanya. "Kalo kita mau ketemuan ama orang lain terus kitanya telat, pasti kita bakalan kehilangan momen. Kayak ini tadi."
Dengan satu gerakan cepat, Mawar menarik tangan sepupunya. "Foto dulu yuk, kebetulan lagi kosong tuh photo boothnya."
Mawar masih menarik tangan sepupunya menuju photo booth yang terletak di sisi kanan dari pintu masuk ketika ia melihat pemuda itu sudah berdiri di dekat photo booth. "Thomas." Ucap Mawar pelan.
"Aduh ngapain buru buru sih. Kan photo boothnya masih sepi dan nggak bakalan pindah kemana-mana." Oceh Rendi karena kesal. Rendi yang berdiri di belakang Mawar tidak melihat perubahan ekspresi sepupunya itu.
"Oh hai Thom." Sapa Rendi ketika melihat Thomas berdiri tidak jauh darinya
"Hello Rendi, hello Mawar. Finally, you’re here man." Balas Thomas dengan bahasa Inggris lengkap dengan aksen britishnya yang kental.
"Ya kami baru saja tiba di sini. Kau datang sendiri?" Rendi mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang menurutnya sudah pasti ada ketika Thomas sudah datang.
"Where is your girlfriend. Kau tahu, Kau harus mentraktirku makan. Bagaimanapun juga aku adalah orang yang selalu mendukungmu untuk mendekati Jiana."
Mawar mulai mengumpat dalam hati, menyayangkan tindakan sepupunya yang mendukung Thomas untuk mendekati gadis lain. Apakah Rendi masih akan melakukan itu jika ia tahu bahwa selama ini Mawar memendam rasa kepada Thomas?
"Sure man, aku pasti akan mentraktirmu. Kau boleh ikut juga Mawar."
Mawar menengadahkan kepalanya. Ia melihat dua pemuda di depannya sedang mengerutkan keningnya heran. Sedari tadi Mawar memang hanya menundukkan kepalanya ketika sepupunya berbicara dengan orang itu.
Ia tidak ingin melihat wajah orang itu karena jika Mawar melihat wajah orang itu, ia akan kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa tadi pagi ia telah mendengar orang itu menyatakan cinta pada orang lain.
"Are you oke Mawar? Wajahmu terlihat pucat."
"Apa Kau bercanda Thom, Mawar sama sekali tidak sakit. Kau tahu siapa yang tadi menyeretku kesini? Gadis ini yang melakukannya. Ia sama sekali tidak sakit. Lihatlah dia sepenuhnya sehat. Ya, walaupun sekarang dia sedang memasang wajah muramnya ini." Jelas Rendi sembari mencubit pipi Mawar.
Mawar berusaha tersenyum senormal mungkin di depan kedua pemuda itu, untuk meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. "I’m fine Thom. Jangan khawatirkan aku. Aku sama sekali tidak sakit." Tubuh gadis itu memang tidak sakit, tapi bagaimana dengan hatinya?
"Oh ya, Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Dimana pacar barumu itu? Kau tahu tadi pagi Kau sudah membuat kehebohan dengan menyatakan cintamu di depan banyak orang. Kau sudah membuat mereka terkejut dengan sikapmu."
Dan membuat beberapa orang sakit hati juga tentunya. Imbuh Mawar dalam hati.
"Dia akan datang sebentar lagi."
"Kau tidak menjemputnya?"
Thomas menggeleng pelan. "Dia akan mengajak seseorang dan dia akan datang dengan orang itu. Dia bilang dia akan memberikan kejutan kepada semua orang yang ada di sini."
Apakah dia sudah punya pacar dan berniat mengenalkan pacarnya kepada semua orang. Aku yakin sebenarnya Jiana sudah punya pacar dan selama ini tidak ada yang tahu. Jadi jika itu terjadi Thomas pasti akan memutuskan hubungannya dengan Jiana.
Kedua pemuda itu langsung mengalihkan pandangan mereka kepada Mawar. Mawar baru sadar bahwa tanpa sengaja ia telah mengucapkan apa yang tengah dipikirkannya.
"Dia memang kesini dengan seorang laki-laki, tapi tentu saja laki-laki itu bukan pacarnya. Dan tidak, aku tidak akan memutuskan hubungan kami, karena aku sangat mencintainya."
"Bodoh. Kenapa gue malah ngomong kayak gitu sih. Gue udah memperburuk semuanya. Pasti sekarang Thomas pikir gue ini nggak suka ama hubungannya dengan Jiana. Mereka itu pasangan serasi yang saling suka. Gue hanya nggak suka ama sikap Thomas tadi pagi. Kenapa sekarang jadi kayak gini."
Mawar sedang berjalan menuju mobil Rendi di parkiran. Ia hendak mengambil ponselnya yang tertinggal di mobil sepupunya.
Beruntung benda tersebut tertinggal di mobil sehingga Mawar memiliki alasan yang cukup kuat untuk menghindari kedua pemuda tadi yang melihatnya dengan tatapan curiga setelah mendengar apa yang Mawar ucapkan.
Tadi Rendi mengambil alih kecanggungan yang ditimbulkan oleh ucapan Mawar dengan mengajak mereka berselfie di depan photo booth. Pada saat itulah Mawar baru menyadari bahwa ponselnya tertinggal.
Tanpa berpikir panjang, Mawar lantas mengambil kesempatan itu untuk mencari udara segar. Entah mengapa Mawar merasa udara di dalam aula menjadi sesak ketika suasana canggung itu muncul.
Mawar berharap dengan dirinya keluar dari aula, ia akan bisa bernafas lega. Walaupun sesaat tapi Mawar berharap itu bisa terjadi. Namun pada kenyataannya itu tidak terjadi.
Mawar baru keluar beberapa langkah dari aula ketika ia melihat gadis itu. Gadis itu baru turun dari sebuah mobil sedan berwarna putih. Gadis berambut pirang itu mengenakan gaun panjang berwarna putih.
Beberapa pernak pernik cantik menghiasi gaun itu. Seolah-olah gaun yang dipakai gadis itu adalah gaun pengantin.
Oh tunggu, apakah Mawar berpikir bahwa gaun yang dikenakan gadis itu adalah gaun pengantin? Mawar menggelengkan kepalanya dengan cepat untuk mengusir pikiran tersebut dari otaknya.
"Hai Mawar. What are you doing? Apa Kau tidak mau masuk?" Sapa gadis itu dengan sebuah senyuman lebar.
Mawar menggeleng pelan. "Hai Jiana. Aku sudah masuk tadi. Ponselku tertinggal di mobil. Jadi aku berniat mengambil ponselku di mobil Rendi."
"Mmm, Mawar apa Kau tadi sudah melihat Thomas? Dia bilang padaku sudah sampai."
Ya, lagi-lagi Mawar dihadapkan dengan kenyataan. Bahwa orang yang dicintainya sudah menyatakan cintanya kepada gadis cantik bermata kelabu yang berdiri di depannya.
"Ya, beberapa saat yang lalu kami berfoto bersama. Dia bersama Rendi sekarang, mungkin mereka sedang mencari minuman. Tadi Thom, bilang dia haus."
"Untunglah aku bertemu denganmu. Aku jadi jadi lebih mudah menemukan Thomas berkat Kau. Terima kasih."
"Itu cuma hal sepele. Kau tidak perlu berterimakasih padaku."
Jiana tersenyum mendengar ucapan Mawar. "Kau tahu Mawar, Kau terlihat sangat cantik hari ini. Apalagi Kau menyanggul rambutmu itu membuatmu terlihat... mmm.... menawan. Sungguh." Puji Jiana sebelum gadis itu berjalan masuk ke aula.
Mawar memang cantik, tapi ia sadar bahwa dirinya tidak lebih cantik jika dibandingkan dengan Jiana. Buktinya Thomas memilih gadis itu dari pada dirinya.
Mawar kembali melangkahkan kakinya menuju parkiran mobil. Tempat itu lumayan jauh dari aula. Mawar mendesah pelan. Ia menengadahkan kepalanya memandang ke arah langit.
Mendung, tidak satupun bintang terlihat. Mengapa alam seakan-akan mengolok-olok dirinya dengan cuaca yang selaras dengan suasana hatinya.
Ketika ponselnya sudah dalam genggaman, Mawar masih memikirkan tindakan apa yang sebaiknya ia ambil setelah ini. Apakah ia akan kembali ke aula atahu tetap di sini saja. Mawar baru sadar perkiraannya bahwa dirinya akan baik-baik saja selama pesta berlangsung ternyata salah.
Belum satu jam ia di pesta ini tapi ia merasa bahwa pestanya telah berakhir baginya. Kejadian canggung tadi yang menyebabkan Mawar enggan kembali ke pesta. Ia tidak yakin apakah dirinya akan menikmati pesta itu atahu tidak.
Terlebih lagi Mawar tidak yakin apakah Thomas masih mau memandangnya dengan tatapan bersahabatnya atahu tidak.
Mawar melihat sebuah kilatan cahaya di dekatnya. Itu bukanlah kilatan petir. Mawar merasa kilatan itu datang dari kamera. Benar saja, ketika Mawar menoleh ke sumber kilatan tadi ia melihat seorang laki-laki mengarahkan lensa kameranya kepadanya. Sekali lagi kilatan itu muncul.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!