Aku bukan dia
Arini anak tunggal dari almarhum pak Bimo dan almarhumah Bu Titin. Ya Arini ini seorang yatim piatu sejak umurnya masih tiga tahun. Ayahnya meninggal karena kanker tenggorokan dan beberapa bulan kemudian ibunya juga meninggal setelah mengalami tabrak lari oleh pengendara mobil. Arini kemudian di asuh oleh sang nenek. Setelah Arini berumur 21 tahun sang nenek pun meninggal. Kini ia hidup sebatang kara tanpa tau dimana keluarga ibu dan ayahnya berada. Dengan tekad yang kuat Arini menjalani hidupnya, ijazah SMA yang dimilikinya tidak lagi berguna di jaman sekarang. Setelah melalui begitu banyak proses, Arini kini bekerja di sebuah toko roti. Gajinya tidak besar tapi cukup untuk membiayai hidupnya. Arini orangnya ramah dan periang, membuat orang orang tak menyangka jalan yang ia lalui begitu terjal. Saat ini usianya 23 tahun, terhitung sudah dua tahun ia hidup sendiri setelah kepergian neneknya. Arini punya banyak teman, mulai dari guru, dokter, polisi. Semua orang menyukainya, itu yang membuatnya selalu bersyukur.
Bicara soal teman, Arini punya satu teman dekat. Namanya Yoga. Yoga ini anak pemilik toko roti dimana Arini bekerja. Orangnya tinggi, putih, dan ada ceruk di kedua pipinya. Yoga orangnya sederhana, padahal kalau di pikir pikir dia anak orang kaya. Kerjaannya main game sampai kadang lupa makan. Pekerjaan sampingannya adalah mengelola cafe miliknya. Kembali ke Arini, setelah setahun bekerja di toko roti Dayana shop milik orang tua Yoga, Arini sudah sangat dekat dengan keluarga Yoga. Sering kali mereka menawarkan rumah tinggal untuk Arini namun Arini menolak. Ia tidak ingin berhutang Budi, apalagi selama ini keluarga Yoga sudah memperlakukannya dengan baik. Pada intinya Arini hanya seorang gadis biasa yang hidup mandiri dengan tekad dan keberanian.
Pagi yang cerah tapi tetap mendung bagi seorang Arini. Hari ini tanggal tua, itu alasan kenapa harinya mendung. Berkalung kan semangat yang tinggal setengah ia berangkat pergi bekerja. Di tengah gundahnya hati siang nanti mau makan apa, Yoga datang dengan wajah sumringah dengan motor tua kesayangannya.
"Arini!" Serunya.
"Yoga, ngapain disini?" Tanya Arin.
"Lewat aja, sekalian mau ke cafe" Yoga kemudian melihat arloji di tangannya, "Mau bareng? Masih sempet sih nganterin lo ke toko" Ujar Yoga.
"Gue naik angkot aja deh" Ucap Arin.
"Entar kalo telat bunda marah loh" Ucap Yoga.
"Biasa juga gue perginya jam segini"
"Dih ngeyel beut ni bocah, buruan naik!" Yoga dengan cepat memakaikan helm di kepala Arin.
"Iya iya" Dengan tampang kesal Arin naik ke atas motor.
"Pegangan yang kenceng, gue sepupunya Marquez loh" Ucap Yoga sembari terkekeh.
"Ngaco banget, udah cepetan" Seperti biasa, Arin hanya memegang ujung jaket Yoga saja.
Perjalanan pagi itu sama seperti pagi pagi sebelumnya, mereka bercerita mulai dari padatnya kota Jakarta dan kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi beberapa tahun kemudian. Kadang juga mereka membicarakan seorang anak kecil yang berjalan dengan berkalung kan kotak berisi minuman dan rokok. Topik pembicaraan yang ringan dan sederhana selalu menemani keduanya saat mereka pergi bersama.
"Rin" Panggil Yoga dengan suara yang cukup keras. Karena kalau tidak Arin tidak akan bisa mendengarnya.
"Ya" Jawab Arin.
"Entar malem lo kemana?" Tanya Yoga.
"Ha?"
"Mepet dikit Rin, lo budek jadi jangan jauh jauh susah di ajak ngomong" Ucap Yoga. Namun setelahnya ia meringis sesaat setelah Arin mencubit pinggangnya.
"Lo ngomong yang jelas dong" Arin sedikit berteriak.
"Gue bilang entar malem lo kemana?" Tanya Yoga kali ini dengan suara yang lebih keras.
"Oooh" Arin membulatkan mulutnya, "Gak ada" Teriaknya.
"Mau ikut gue gak?" Tanya Yoga.
"Kemana?"
"festival kuliner di kampus gue dulu" Jawab Yoga.
"Gak ah, malu maluin lo bawa gue" Tolak Arin.
"Ya kagak lah, Entar gue jemput jam 8" Ucap Yoga.
"Yaudah iya" Mana bisa Arin menolak, lagi pula Yoga bisa menjaganya dengan baik diluar.
Mereka sudah sampai di toko dengan selamat. Arin turun dan seperti biasa yoga akan melepaskan helm dari kepala Arin. Keduanya bak sepasang kekasih yang paling bahagia, Satunya tampan satunya juga cantik.
"Berapa bang?" Tanya Arin. Yoga menautkan kedua alisnya.
"Berapa apaan?"
"Ongkosnya" jawab Arin lalu setelahnya ia tertawa, "Serius amat sih ga" Arin meraup wajah Yoga.
"Ni ya sekalipun lo minta anterin gue ke ujung dunia bakal gue anterin, GRATIIISSS!!!" Ucap Yoga. Arin tertawa kecil, lalu setelahnya menendang kaki Yoga.
Mendengar itu Arin hanya mendengus. Tak heran kalau Yoga akan mengatakan hal hal semacam itu. Kedekatan mereka tidak semata mata membuat Arin menyukai Yoga. Yoga baik, tapi bukan hanya pada dirinya tapi juga pada semua orang. Terakhir kali mereka jalan bersama adalah seminggu yang lalu. Yoga mengajak dirinya ke tempat yang tidak pernah Arin duga akan didatangi seorang seperti Yoga. Bangunan dengan tulisan "Panti asuhan" di depannya itu membuat Arin tercengang. Melihat anak anak disana Arin tau betul bagaimana rasanya hidup tanpa ayah dan ibu. Terkadang di suatu kesempatan Yoga benar benar terlihat seperti lelaki yang sempurna. Ia diciptakan tanpa kekurangan apapun, setidaknya sampai Arin tau bahwa kekurangan Yoga adalah ia selalu gagal dalam urusan percintaan.
Sebenarnya bukan Arin tidak pernah menyukai Yoga, ia hanya cukup tau menempatkan diri. Bos dengan karyawan itu hanya ada di sinetron. Mana mungkin Yoga mau dengannya yang notabenenya adalah orang susah. Arin tau Yoga hanya menganggapnya sebagai teman tidak lebih. Maka dari itu sebisa mungkin Arin membentengi hatinya ketika Yoga menggombalinya dengan seribu bahasa romantis sekalipun.
Diluar angin berhembus sedikit kencang. Sore itu langit nampak temaram, agaknya sebentar lagi akan turun hujan. Tetapi seperti kata pepatah mendung tak berarti hujan, sore ini juga berarti begitu. Arin keluar dari toko dan disusul bunda di belakangnya.
"Arin pulang sama siapa hari ini?" Tanya bunda Aya (panggilan Bu Dayana mamanya Yoga).
"Sendiri Bun kayak biasanya" Jawab Arin.
"Yoga gak kesini katanya?" Tanya bunda.
"Enggak ada bilang sih Bun" Jawab Arin.
Bunda hanya mengangguk lalu berkata, "Bareng bunda aja ayo" Ajak bunda.
"Arin pulang sendiri aja Bun gak apa apa" Tolak Arin.
"Bener gak apa apa? kayaknya mau hujan ini loh" Ujar bunda.
"Iya bener Bun, Arin naik angkot aja" Lagi lagi Arin menolak.
"Ya udah deh kalau gitu bunda duluan ya"
"Iya Bun hati hati ya" Arin melambaikan tangan saat mobil Bu Aya semakin menjauh. Setelahnya ia menghembuskan nafas dengan mata terpejam. Sore ini terasa melelahkan untuk ia lewati, ia ingin menangis tapi tidak bisa. Ia ingin berteriak dan memberitahu dunia bahwa ia lelah bekerja. Ia kebingungan setiap kali harus membagi uang gajinya untuk keperluan hidupnya. Membayar tagihan listrik, air, dan keperluan lainnya. Ia ingin menangis setiap kali harus makan dengan porsi yang lebih sedikit. Tapi setidaknya ia di kelilingi orang orang baik seperti Yoga dan keluarganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Yunisa
menarik ceritanya
2022-09-09
0
Nenk Patimah
lanjut
2022-08-15
0
eka novita
semangat
2022-01-19
0