NovelToon NovelToon

Aku bukan dia

Tentang Arini

Arini anak tunggal dari almarhum pak Bimo dan almarhumah Bu Titin. Ya Arini ini seorang yatim piatu sejak umurnya masih tiga tahun. Ayahnya meninggal karena kanker tenggorokan dan beberapa bulan kemudian ibunya juga meninggal setelah mengalami tabrak lari oleh pengendara mobil. Arini kemudian di asuh oleh sang nenek. Setelah Arini berumur 21 tahun sang nenek pun meninggal. Kini ia hidup sebatang kara tanpa tau dimana keluarga ibu dan ayahnya berada. Dengan tekad yang kuat Arini menjalani hidupnya, ijazah SMA yang dimilikinya tidak lagi berguna di jaman sekarang. Setelah melalui begitu banyak proses, Arini kini bekerja di sebuah toko roti. Gajinya tidak besar tapi cukup untuk membiayai hidupnya. Arini orangnya ramah dan periang, membuat orang orang tak menyangka jalan yang ia lalui begitu terjal. Saat ini usianya 23 tahun, terhitung sudah dua tahun ia hidup sendiri setelah kepergian neneknya. Arini punya banyak teman, mulai dari guru, dokter, polisi. Semua orang menyukainya, itu yang membuatnya selalu bersyukur.

Bicara soal teman, Arini punya satu teman dekat. Namanya Yoga. Yoga ini anak pemilik toko roti dimana Arini bekerja. Orangnya tinggi, putih, dan ada ceruk di kedua pipinya. Yoga orangnya sederhana, padahal kalau di pikir pikir dia anak orang kaya. Kerjaannya main game sampai kadang lupa makan. Pekerjaan sampingannya adalah mengelola cafe miliknya. Kembali ke Arini, setelah setahun bekerja di toko roti Dayana shop milik orang tua Yoga, Arini sudah sangat dekat dengan keluarga Yoga. Sering kali mereka menawarkan rumah tinggal untuk Arini namun Arini menolak. Ia tidak ingin berhutang Budi, apalagi selama ini keluarga Yoga sudah memperlakukannya dengan baik. Pada intinya Arini hanya seorang gadis biasa yang hidup mandiri dengan tekad dan keberanian.

Pagi yang cerah tapi tetap mendung bagi seorang Arini. Hari ini tanggal tua, itu alasan kenapa harinya mendung. Berkalung kan semangat yang tinggal setengah ia berangkat pergi bekerja. Di tengah gundahnya hati siang nanti mau makan apa, Yoga datang dengan wajah sumringah dengan motor tua kesayangannya.

"Arini!" Serunya.

"Yoga, ngapain disini?" Tanya Arin.

"Lewat aja, sekalian mau ke cafe" Yoga kemudian melihat arloji di tangannya, "Mau bareng? Masih sempet sih nganterin lo ke toko" Ujar Yoga.

"Gue naik angkot aja deh" Ucap Arin.

"Entar kalo telat bunda marah loh" Ucap Yoga.

"Biasa juga gue perginya jam segini"

"Dih ngeyel beut ni bocah, buruan naik!" Yoga dengan cepat memakaikan helm di kepala Arin.

"Iya iya" Dengan tampang kesal Arin naik ke atas motor.

"Pegangan yang kenceng, gue sepupunya Marquez loh" Ucap Yoga sembari terkekeh.

"Ngaco banget, udah cepetan" Seperti biasa, Arin hanya memegang ujung jaket Yoga saja.

Perjalanan pagi itu sama seperti pagi pagi sebelumnya, mereka bercerita mulai dari padatnya kota Jakarta dan kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi beberapa tahun kemudian. Kadang juga mereka membicarakan seorang anak kecil yang berjalan dengan berkalung kan kotak berisi minuman dan rokok. Topik pembicaraan yang ringan dan sederhana selalu menemani keduanya saat mereka pergi bersama.

"Rin" Panggil Yoga dengan suara yang cukup keras. Karena kalau tidak Arin tidak akan bisa mendengarnya.

"Ya" Jawab Arin.

"Entar malem lo kemana?" Tanya Yoga.

"Ha?"

"Mepet dikit Rin, lo budek jadi jangan jauh jauh susah di ajak ngomong" Ucap Yoga. Namun setelahnya ia meringis sesaat setelah Arin mencubit pinggangnya.

"Lo ngomong yang jelas dong" Arin sedikit berteriak.

"Gue bilang entar malem lo kemana?" Tanya Yoga kali ini dengan suara yang lebih keras.

"Oooh" Arin membulatkan mulutnya, "Gak ada" Teriaknya.

"Mau ikut gue gak?" Tanya Yoga.

"Kemana?"

"festival kuliner di kampus gue dulu" Jawab Yoga.

"Gak ah, malu maluin lo bawa gue" Tolak Arin.

"Ya kagak lah, Entar gue jemput jam 8" Ucap Yoga.

"Yaudah iya" Mana bisa Arin menolak, lagi pula Yoga bisa menjaganya dengan baik diluar.

Mereka sudah sampai di toko dengan selamat. Arin turun dan seperti biasa yoga akan melepaskan helm dari kepala Arin. Keduanya bak sepasang kekasih yang paling bahagia, Satunya tampan satunya juga cantik.

"Berapa bang?" Tanya Arin. Yoga menautkan kedua alisnya.

"Berapa apaan?"

"Ongkosnya" jawab Arin lalu setelahnya ia tertawa, "Serius amat sih ga" Arin meraup wajah Yoga.

"Ni ya sekalipun lo minta anterin gue ke ujung dunia bakal gue anterin, GRATIIISSS!!!" Ucap Yoga. Arin tertawa kecil, lalu setelahnya menendang kaki Yoga.

Mendengar itu Arin hanya mendengus. Tak heran kalau Yoga akan mengatakan hal hal semacam itu. Kedekatan mereka tidak semata mata membuat Arin menyukai Yoga. Yoga baik, tapi bukan hanya pada dirinya tapi juga pada semua orang. Terakhir kali mereka jalan bersama adalah seminggu yang lalu. Yoga mengajak dirinya ke tempat yang tidak pernah Arin duga akan didatangi seorang seperti Yoga. Bangunan dengan tulisan "Panti asuhan" di depannya itu membuat Arin tercengang. Melihat anak anak disana Arin tau betul bagaimana rasanya hidup tanpa ayah dan ibu. Terkadang di suatu kesempatan Yoga benar benar terlihat seperti lelaki yang sempurna. Ia diciptakan tanpa kekurangan apapun, setidaknya sampai Arin tau bahwa kekurangan Yoga adalah ia selalu gagal dalam urusan percintaan.

Sebenarnya bukan Arin tidak pernah menyukai Yoga, ia hanya cukup tau menempatkan diri. Bos dengan karyawan itu hanya ada di sinetron. Mana mungkin Yoga mau dengannya yang notabenenya adalah orang susah. Arin tau Yoga hanya menganggapnya sebagai teman tidak lebih. Maka dari itu sebisa mungkin Arin membentengi hatinya ketika Yoga menggombalinya dengan seribu bahasa romantis sekalipun.

Diluar angin berhembus sedikit kencang. Sore itu langit nampak temaram, agaknya sebentar lagi akan turun hujan. Tetapi seperti kata pepatah mendung tak berarti hujan, sore ini juga berarti begitu. Arin keluar dari toko dan disusul bunda di belakangnya.

"Arin pulang sama siapa hari ini?" Tanya bunda Aya (panggilan Bu Dayana mamanya Yoga).

"Sendiri Bun kayak biasanya" Jawab Arin.

"Yoga gak kesini katanya?" Tanya bunda.

"Enggak ada bilang sih Bun" Jawab Arin.

Bunda hanya mengangguk lalu berkata, "Bareng bunda aja ayo" Ajak bunda.

"Arin pulang sendiri aja Bun gak apa apa" Tolak Arin.

"Bener gak apa apa? kayaknya mau hujan ini loh" Ujar bunda.

"Iya bener Bun, Arin naik angkot aja" Lagi lagi Arin menolak.

"Ya udah deh kalau gitu bunda duluan ya"

"Iya Bun hati hati ya" Arin melambaikan tangan saat mobil Bu Aya semakin menjauh. Setelahnya ia menghembuskan nafas dengan mata terpejam. Sore ini terasa melelahkan untuk ia lewati, ia ingin menangis tapi tidak bisa. Ia ingin berteriak dan memberitahu dunia bahwa ia lelah bekerja. Ia kebingungan setiap kali harus membagi uang gajinya untuk keperluan hidupnya. Membayar tagihan listrik, air, dan keperluan lainnya. Ia ingin menangis setiap kali harus makan dengan porsi yang lebih sedikit. Tapi setidaknya ia di kelilingi orang orang baik seperti Yoga dan keluarganya.

Festival kuliner

Seperti janji Yoga sewaktu mengantar Arin pergi bekerja, ia akan menjemput Arin jam 8 malam. Tapi masih jam 7 malam sehabis Maghrib ia sudah menunggu di depan rumah Arin dengan setelan kemeja dan celana jeans hitamnya. Yoga mengetuk pintu untuk kesekian kali tapi tidak mendapat jawaban. Ia terus memanggil Arin berharap bocah itu muncul ke permukaan tapi nyatanya pintu tidak terbuka sedikitpun.

"Ni anak kemana sih?" Yoga menggerutu sendiri, "Arini assalamualaikum!!!" Teriak Yoga lebih keras.

"Walaikumsalam" Arin muncul dengan wajah belernya jelas membuat Yoga melongo.

"Arin lo belum siap siap?" Tanya Yoga tidak percaya.

"Lo bilang kan jam 8" ucap Arin sambil kucek kucek mata.

"Ya lo pikir ini jam berapa?" Tanya Yoga. Arin langsung melihat jam dindingnya. Ia pun terkejut saat melihat jam ternyata sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.

"Ga, maaf" Arin mengatupkan kedua tangannya.

"Udah buruan mandi siap siap" Ujar Yoga.

"Gila aja mana sempet gue" Tukas Arin.

"Udah mandi gak usah dandan segala" Ucap Yoga sembari mendorong Arin agar segera masuk kedalam rumah.

Yoga tau benar bagaimana seorang wanita jika akan pergi. Dia punya kakak dan Yoga tau kakaknya itu akan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam di kamar mandi. Dan butuh waktu yang lama untuknya menentukan baju apa yang akan di pakai. Lebih kesal jika tiba tiba kakaknya berkata dia tidak punya baju padahal baju di lemarinya kalau di jual akan cukup untuk membiayai kuliahnya selama satu semester. Yoga tau Arin pasti juga sedang sibuk memilih baju apa yang akan di pakai untuk pergi. Sebenarnya kalau Yoga boleh jujur pakai apapun Arin akan tetap terlihat cantik. Seperti sekarang Arin muncul hanya dengan menggunakan kemeja longgar warna biru dan celana kulot warna krem yang sepertinya baru Arin pakai Minggu lalu. Rambutnya diikat sekenanya, anak rambutnya dibiarkan terurai bebas di wajahnya.

"Lama ya?" Tanya Arin.

"Enggak sih, ya udah ayo berangkat" Seperti biasa Yoga memakaikan helm di kepala Arin. Sebenarnya tidak ada alasan bagi Arin dan Yoga untuk tidak saling menyukai setelah kedekatan yang terjalin di antara mereka. Tapi hingga saat ini keduanya masih membisu, keduanya memilih diam dan menikmati rasa yang masih ambigu. Setahun bukan waktu yang sebentar, tapi tidak untuk hal mencintai. Setahun tidak cukup bagi seseorang untuk jatuh cinta apalagi sampai menjalin hubungan. Begitupun yang dirasakan oleh Arin, ia tidak punya cukup bekal untuk mencintai seorang seperti Yoga.

"Lo tau gak, ini pertama kalinya gue bawa cewe ke festival kampus kaya gini" Ucap Yoga setelah berhasil melahap satu tusuk sate ayam miliknya.

"Kenapa?" Tanya Arin. Yoga mengedikkan bahunya.

"Gak tau deh, pada malu kali jalan sama gue" Yoga terkekeh sendiri.

"Apaan sih lo, buktinya gue enggak malu tuh jalan sama lo" Ucap Arin.

"Karena lo memang beda" Ucap Yoga sambil menatap Arin lekat.

"Oh ya?" Kali ini Arin yang terkekeh.

"Atau sebenarnya lo malu jalan sama gue" Yoga ikut terkekeh.

"Enggak sih, gue seneng seneng aja jalan sama lo" Arin melahap satu tusuk sate terakhir miliknya.

"Mau makan apa lagi?" Tanya Yoga.

"Apa ya?" Arin menimbang sembari melihat sekeliling. Ia tersenyum saat melihat gerobak penjual telur gulung, "Ga, ada telur gulung" Ucap Arin antusias.

"Lo mau?" Tanya Yoga dan Arin mengangguk. Arin ingat terakhir makan telur gulung sewaktu ia masih duduk di bangku sekolah.

"Bang telur gulungnya dong" Seru Yoga. Saat sang penjual menoleh, Yoga terkejut lalu setelahnya tertawa.

"Yoga, lo ngapain disini?" Tanya Fajar, teman seangkatannya dulu.

"Jalan jalan aja bro, kangen suasana kampus" Jawab Yoga, "Lo ngapain disini?" Tanya Yoga.

"Mengembangkan bakat" Jawab Fajar lalu tertawa.

"Bisa aja lo" Yoga tau kalau temannya itu memang punya bakat dalam hal berdagang.

"Tumben lo bawa cewek?" Tanya Fajar.

"Oh ya jar ini kenalin temen gue Arin" Ucap Yoga. Mendengar kata teman sebenarnya tidak mengejutkan di telinga Arin. Memangnya apa yang ia harapkan, mereka benar benar hanya teman.

"Hai Arin" Fajar melambaikan tangan sembari tersenyum. Arin hanya tersenyum sungkan lalu melambaikan tangan juga.

"Sendiri aja?" Tanya Yoga.

"Manusia segini banyaknya lo bilang gue sendiri?" Fajar geleng geleng kepala.

"Gue cuma tanya kampret, ya kali lo bawa gerobaknya sendiri" Tukas Yoga.

"Enggak, Adek gue ikut tapi lagi ke toilet dianya mencret kayanya" Ucap Fajar yang sukses membuat Arin dan Yoga terkekeh.

"Berapaan ni?" Tanya Yoga setelah melahap satu tusuk telur gulung tanpa permisi.

"Biasa sama orang Dua rebu, karena lo temen gue jadi Tiga rebu aja" Jawab Fajar.

"Yang bener aja lo, bukannya di gratisin malah di mahalin" Yoga mengambil satu tusuk telur gulung lagi dan memberikannya pada Arin.

"Lo banyak duitnya ya kali gue gratisin" Ucap Fajar lalu tertawa.

"Sotoy banget lo" Yoga terkekeh sambil mengambil telur gulung yang ke lima dan melahapnya sampai habis.

"Cafe gimana, aman?" Tanya Fajar.

"Aman aman gitu lah" Jawab Yoga. Fajar hanya mengangguk anggukan kepalanya, "Toko gimana, aman?" Tanya Yoga.

"Aman ga" Jawab Fajar.

Omong omong ini adalah pertemuan pertama mereka sejak terakhir bertemu di acara wisuda dua tahun yang lalu. Setelahnya mereka hanya berbincang lewat ponsel. Fajar dan Yoga adalah teman baik, satu lagi ada temannya baiknya namanya Bayu. Tapi sayangnya Bayu meninggal sebulan sebelum wisuda karena sakit. Sampai sekarang baik Fajar atau Yoga tidak ingin membicarakan tentang Bayu. Bukan karena mereka ingin melupakan Bayu, tapi mereka tidak ingin membuka cerita yang akhirnya kembali menimbulkan rasa bersalah.

Setelah berbincang cukup lama dengan Fajar, Yoga dan Arin kembali berkeliling dan akhirnya memilih duduk di bangku taman kampus. Cukup ramai disana, banyak muda mudi yang datang dan turut meramaikan festival kuliner yang juga menyediakan beberapa hiburan. Arin terdiam, di tangannya memegang cup berisi kopi yang tadi di belikan Yoga untuknya.

"Rin" Panggil Yoga dan Arin menoleh, "Makasih untuk malem ini" Ucap Yoga. Arin sempat terdiam, lalu akhirnya tersenyum.

"Makasih juga untuk traktirannya, gue sampe kenyang banget ini" Arin terkekeh.

"Ini gak gratis loh" Ucap Yoga yang membuat Arin mengerutkan keningnya.

"Gue kudu bayar ni?" Tanya Arin dengan wajah bingungnya yang berhasil membuat Yoga tertawa.

"Ya kagak lah" Yoga mendorong kening Arin dengan telunjuknya yang sontak membuat Arin manyun.

"Kalo lo suruh gue bayar juga gue bayar, tapi nyicil" Ucap Arin yang lagi lagi membuat Yoga tertawa. Sejenak Arin ingin menghentikan waktu ketika melihat Yoga tertawa lepas seperti sekarang ini. Tawa yang menyenangkan untuk di dengar dan wajah yang menenangkan untuk dipandang lebih lama.

Pertemuan pertama

Arini tau hari yang panas bisa saja berubah menjadi mendung dalam sekejap. Tapi Arin tidak menyangka jika mendung itu akan berubah menjadi badai seperti sekarang ini. Hal yang harus ia sesali adalah ketika ia sepele dan tidak membawa jas hujan atau payung. Kalau sudah begini maka ia harus menunggu sampai hujan reda atau ia akan berlari di bawah derasnya hujan sambil berdoa agar petir tidak menyambar dirinya. Di novel yang pernah Arin baca, saat pemeran utama wanita berada di antara hujan, maka akan datang laki laki tampan dan kaya raya yg menghampirinya dengan membawa payung. Mereka akhirnya jatuh cinta dan hidup bersama. Tapi Arin bukanlah karakter dalam novel, jadi sangat mustahil ada laki laki yang akan datang dan memberikan payung padanya. Hujan tak kunjung reda saat hari sudah beranjak malam. Dalam hati menyesal dan mencaci diri sendiri kenapa tidak terima tawaran bu Aya untuk pulang bersama. Alhasil ia harus menunggu sendirian dan kedinginan. Semakin lama menunggu bukannya semakin reda hujan malah semakin deras. Angkot yang ditunggu tunggu pun tak kunjung datang, membuatnya nekat mengambil opsi terakhir yang ia miliki. Jujur saja Arin penakut, tapi dibanding dengan hantu, Arin lebih takut dengan manusia. Manusia yang tidak bisa disebut sebagai manusia. Mengingat ia sering melihat berita yang beredar di medsos membuatnya merinding. Lebih baik ia demam karena kehujanan daripada demam karena ketakutan. Arin sudah bersiap siap untuk berlari, ia memeluk tote bag miliknya dan memakai topi yang ada di jaketnya.

"Gila dingin banget ini" Arin menggerutu sendiri dengan bibir yang sudah bergetar karena menggigil. Belum ada lima menit rasanya tubuhnya sudah membeku. Apalah daya mau tidak mau Arin harus tetap menerobosnya. Di pertengahan jalan hujan mulai reda, karena kesal Arin menendang kaleng bekas dan secara kebetulan -mungkin saja- sebuah mobil berhenti di depannya sehingga kaleng itu mengenai bagian kaca belakang.

Tak berselang lama seorang pria tinggi keluar membawa sebuah payung. Jelas itu membuat jantung Arini hampir merosot tanpa beban ke telapak kaki. Pria itu berjalan kearahnya dengan sorot mata yang teduh. Wajahnya tampan mirip mirip aktor Korea, tubuhnya tinggi dan kulitnya putih. Ia berjalan semakin dekat dan berhenti tepat di hadapannya.

"Kamu punya masalah hidup apa sih?" Tanya pria itu, "Mobil saya lecet gara gara kamu" Tukas pria itu. Arin jelas melongo, tapi namanya orang kaya lecet sedikit saja sudah jadi masalah.

"Ya maaf" Arin hanya menunduk sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Menurutmu maaf aja cukup?" Tanya pria itu. Arin mendongak sambil mengerutkan keningnya.

"Loh jadi harus gimana? Saya kan udah minta maaf?" Tanya Arin.

"Maaf aja gak cukup" Ucap pria itu.

"Ya terus saya harus gimana?" Tanya Arin, "Kalo pun harus ganti rugi saya gak punya banyak uang" Imbuhnya.

"Gak punya uang tapi kamu kan punya tenaga" Mendengar itu Arin terkekeh.

"Saya harus kerja sama bapak gitu kayak di film film?" Tanya Arin dan ia tak habis pikir saat pria itu mengangguk mengiyakan.

"Kalau kamu gak mau saya akan lapor polisi" Pria itu sudah mengeluarkan ponselnya dan seketika Arin menahannya.

"Apaan sih cepu banget main ngadu" Ucap Arin, "Jadi saya harus bayar berapa?" Tanya Arin.

"Saya gak butuh uang kamu, yang saya butuh tanggung jawab kamu" Ucap pria itu.

"Tapi kan pak ..."

"Abian, nama saya Abian dan saya bukan bapak kamu" Ucap pria yang mengaku bernama Abian tersebut.

"Iya pak Abian kan saya tanya saya harus bayar berapa?" Tanya Arin.

"2 milyar" Celetuk Abian tanpa ragu yang jelas membuat Arin tercengang.

"Wah bapak mau meras saya ya?" Tanya Arin.

"Untuk apa saya meras kamu?" Abian bertanya balik.

"Ya masa iya saya harus bayar 2 milyar cuma buat lecet gitu doang" Tukas Arin. Abian terkekeh lalu ia mencoba menghubungi kantor polisi tapi lagi lagi Arin mencegahnya.

"Kenapa?" Tanya Abian.

"Saya harus gimana?" Tanya Arin akhirnya.

"Kamu harus bayar ganti rugi" Jawab Abian.

"Tapi saya gak punya uang sebanyak itu" Arin putus asa.

"Kamu kan bisa nyicil" Ujar Abian. Arin menghela nafas, butuh waktu berapa abad sampai ia bisa melunasi hutang 2 milyar itu.

"Gimana caranya? saya cuma kerja di toko roti dan itu cukup cukup buat biaya hidup saya sendiri" Ucap Arin.

"Kamu bisa kerja sama saya, saya rasa itu bisa meringankan hutangmu" Ujar Abian.

"Kamu sengaja memang mau meras saya kan?" Tanya Arin curiga, "Kebetulan banget mobil kamu berhenti tanpa sebab di depan saya. Ya gak salah saya dong" Arin mencoba membela diri.

"Ya udah kamu jelasin aja di kantor polisi nanti" Ucap Abian.

"Oke, saya ganti rugi. Tapi nanti tunggu saya punya uang" Ujar Arin.

"Saya tunggu kamu besok siang dirumah saya" Abian memberi kartu namanya pada Arin, "Hanya sampai jam dua siang, setelah itu polisi yang akan menjemput kamu" Abian pergi setelah mengucapkan itu sementara Arin masih tak bergeming di tempatnya. Sialnya Arin baru sadar bahwa hari sudah benar benar gelap dan di sekitarnya benar benar sepi. Ia melihat kartu nama yang di berikan Abian.

"Abian Pradikta CEO APRA group? Kaya nya pernah denger ni perusahaan" Arin bicara sendiri.

Arin menjerit saat seseorang memegang pundaknya. Saat berbalik ia benar benar ingin melenyapkan Yoga saat itu juga.

"Lo ya bikin gue jantungan Yoga!!" Arin memukul Yoga sambil terus mengomel.

"Ya lagian lo sendirian disini ngapain?" Tanya Yoga yang datang dengan Carlos, motor kesayangannya.

"Gue nunggu angkot gak dateng dateng ya udah dari pada nunggu sampe malem mendingan gue terobos aja hujannya" Jawab Arin.

"Gila lo ya Rin, hujan lebat kaya gitu lo terobos aja" Omel Yoga, "Lo kan bisa minta jemput gue" Ujarnya.

"Lo yang gila, ya kali gue nyuruh lo" Ucap Arin, "Udah deh gue mau pulang" Arin hendak melangkah pergi.

"Rin, lo bisa suruh gue apapun. Karena setelah ini gue gak bisa ada buat lo sampai waktu yang gak bisa di tentukan" Ucap Yoga. Arin mengurungkan niatnya untuk pergi.

"Maksud lo?" Tanya Arin.

"Gue dapet beasiswa di luar negeri Rin" Jawab Yoga. Arin mendadak linglung, "Lusa gue berangkat, dan gue mau sebelum gue berangkat lo mau ngabisin waktu sama gue" Sambungnya.

"Lo beneran mau pergi?" Tanya Arin dan Yoga mengangguk.

"Ini impian almarhum ayah gue dan gue harus wujudkan mimpinya" Jawab Yoga.

Arin mengangguk, "Bagus deh, gue doain yang terbaik buat lo" Ucapnya. Tapi Arin lagi lagi terperanjat saat Yoga menggenggam kedua tangannya.

"Ada satu hal yang mau gue bilang ke elo, Sebelum gue pergi gue pengen lo tau kalo gue jatuh cinta sama lo" Ucap Yoga. Melihat Arin masih terdiam Yoga tersenyum sumir, "Gue gak tau gimana sebenernya perasaan lo sama gue, tapi gue berharap lo akan nunggu gue. Gue berharap lo masih berdiri di tempat dimana gue bakal kembali" Ucap Yoga.

"Yoga" Arin menatap Yoga dengan penuh kesedihan, "Gue tau kalo saat saat kaya gini pasti bakal gue hadapi, gue gak bisa janji. Tapi gue akan berusaha" Ucap Arin. Keduanya saling pandang dan senyum pun terbit di kedua bibir mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!