Hari perpisahan

Yoga sudah bersiap siap dengan koper dan ranselnya. Sedangkan bunda tak henti hentinya menangis untuk kepergiannya ke negeri sakura untuk menimbah ilmu yang lebih banyak. Tasya selaku kakak dari Yoga sudah lelah menenangkan bunda, dalam hati memaki Yoga yang dengan gampangnya mampu membuat bunda menangis. Yoga menghela nafas untuk kesekian kalinya melihat bagaimana bunda benar benar terpukul atas kepergiannya. Padahal sudah dari jauh hari ia memberitahu bunda bahwa pasti ia akan pergi ke Jepang. Tapi bunda tetap saja menangis saat hari itu tiba.

"Bun, Yoga bakalan balik loh" Ucapnya untuk menenangkan bunda.

"Iya, tapi kan lama" Ucap bunda yang masih sesenggukan.

"Nanti kita sering sering video call deh" Ucap Yoga sembari tersenyum.

"Masih bisa senyum kamu?" Tanya bunda kesal.

"Loh jadi Yoga gak boleh senyum nih?" Yoga terkekeh.

"Yoga, gimana bunda kalau gak ada kamu?" Tanya bunda akhirnya.

"Kan ada kak Tasya" Jawab Yoga.

"Kakak kamu tu sibuk" Ucap bunda.

"Sesibuk apapun Tasya pasti akan selalu ada kalo bunda butuhin kok" Ucap Tasya.

"Biasanya juga Yoga sibuk Bun. Sibuk di cafe, sibuk ngurusin kuliah" Yoga mengusap surai lembut bundanya. Yang penting bunda doain Yoga sehat disana" Imbuhnya. Bunda hanya mengangguk pasrah, sedangkan Tasya malah terkekeh melihat pemandangan haru di hadapannya itu.

"Katanya Arini mau ikut, ya?" Tanya Tasya dan Yoga mengangguk mengiyakan.

"Nanti jemput dia dulu" Ujar Yoga.

Sebenarnya ini momen yang berat untuk bunda melepas putra satu satunya itu. Tapi sebagai ibu ia harus mendukung anaknya dan memberikan semangat. Seperti katanya di awal, Yoga dan bunda juga Tasya menjemput Arin dirumahnya. Saat mobil berhenti Arin langsung muncul dari sebalik pintu. Tak seperti biasanya ia berdandan santai, kali ini ia tampak menawan dengan dress putih selutut dengan jaket jeans sebagai luarannya. Yoga sampai tidak mampu berkedip, dan itu jelas tertangkap oleh mata Tasya yang sedari tadi memperhatikan wajah sang adik.

"Heh kedip!" Tasya meraup wajah Yoga hingga membuat cowok pemilik senyum termanis itu memasang wajah kesalnya.

"Ini kan kedip!" Balasnya tak kalah sengit.

"Arini ayo" Ajak bunda. Arini masuk ke dalam mobil dan mobil pun melaju meninggalkan rumah Arin.

"Cantik banget sih Rin" Goda Tasya.

"Biasa aja kok kak" Arin jadi sangsi sendiri mendengar pujian yang di lontarkan Tasya.

"Hari ini langganan kita pasti bertanya tanya nih kenapa kita tutup" Ucap bunda.

"Iya Bun, tadi sebagian udah ada yang kontak Arin tanya kenapa tutup" Ucap Arin.

"Alhamdulillah banget ya toko makin rame" Ucap Tasya.

"Iya kak, bahkan pesanan semakin nambah terus tiap hari" Ucap bunda dan Arin mengangguk membenarkan perkataan bunda.

"Yoga, kenapa diem lo?" Tanya Tasya.

"Ya gak apa apa sih" Jawab Yoga.

"Lo gak usah sok pemalu gitu deh mentang mentang ada Arini" Tukas Tasya meledek Yoga.

"Apaan sih kak biasa aja gue, Yakan Rin?" Tanya Yoga pada Arin yang duduk di sebelahnya. Arin yang tidak tau apa apa hanya mengangguk.

Perjalanan tiga puluh menit akhirnya mereka sampai di bandara. Yoga menyeret koper dengan ransel di punggungnya. Sedangkan bunda lagi lagi menangis melepas putra tunggalnya pergi merantau ke Jepang. Dan Tasya lagi lagi hanya menghela nafas sembari memutar bola matanya.

"Bun, Yoga berangkat. Bunda jangan khawatir Yoga pasti baik baik aja disana. Yoga janji akan selalu ngabarin bunda dan kak Tasya" Ucap Yoga.

"Arin enggak?" Celetuk Tasya di antara suasana sendu.

"Iya Arin juga" Jawab Yoga agar kakaknya itu puas. Yoga mendatangi Arin setelah puas memeluk bunda dengan erat dan setelah berpamitan dengan tanpa hormat pada Tasya yang merupakan rivalnya dirumah.

"Jaga bunda ya Rin, tunggu gue pulang. Saat itu gue janji akan selalu ada dan melindungi lo dalam keadaan apapun" Ucap Yoga, "Sekali lagi, gue cinta sama lo dan akan tetap cinta meski jarak terlalu jauh untuk di ukur" Imbuhnya.

Arin ingin bilang bahwa ia ingin Yoga tidak mengharapkannya tapi lidahnya terlalu keluh. Lidahnya kaku dan tidak bisa mengatakan apapun selain mengangguk. Lalu di bibirnya terselip senyum.

"Sehat sehat disana, gue akan tunggu lo" Ucap Arin.

"Janji?" Yoga mengangsurkan jari kelingkingnya dan Arin menyambutnya.

"Janji" Ucap Arin.

Kini saatnya mereka berpisah. Punggung kecil milik Yoga perlahan menghilangkan terkikis oleh jarak dan tertutup oleh orang orang yang juga akan pergi. Tak ada alasan bagi bunda untuk tidak menangis lagi, Kali ini semakin menyakitkan dan Tasya hanya bisa memeluk bundanya erat. Sedangkan Arin hanya terdiam, dia tidak punya sesuatu untuk menenangkan bunda karena ia pun tau benar rasanya kehilangan. Arin terus menatap arah kemana Yoga terakhir terlihat. Hati kecilnya berharap pemuda itu akan muncul seperti setiap kali ia menjemput Arini kerumah. Tapi untuk waktu yang lama Arin tidak melihat eksistensi Yoga yang menandakan bahwa pemuda itu benar benar sudah pergi. Ia ingin menangis tapi tidak tau kenapa, sebab terlalu sulit mengatakan bahwa ia juga tidak ingin Yoga pergi. Tapi ia tidak berhak berkata demikian, Yoga punya masa depan dan disana masa depannya dimulai. Tak seperti dirinya yang hanya berdiri di satu tempat, Yoga punya banyak hal yang ingin di gapai dan mungkin saja ia termasuk di dalamnya.

Hari semakin sore saat Tasya mengantar Arin pulang. Arin merasa segan jadi ia minta diturunkan di gang dekat rumahnya saja. Sesampainya dirumah alangkah terkejutnya ia saat melihat dua lelaki dengan pakaian hitam berdiri di depan rumahnya. Arin berpikir mungkinkah itu malaikat maut? Tapi setelahnya Arin memaki dirinya sendiri.

"Maaf cari siapa ya?" Tanya Arin. Kedua pria itu bukannya menjawab malah saling pandang satu sama lain.

"Kami dari kepolisian telah menerima surat penangkapan atas kelalaian yang saudari lakukan kepada saudara Abian Saguna" Salah seorang yang mengaku sebagai polisi itu menunjukkan secarik kertas pada Arin. Arin membelalakkan matanya, dalam hati menyesal karena menyepelekan cowok sombong itu.

"Pak, saya gak salah ih" Arin membela diri dan tentu itu tidak mengubah apapun.

"Anda bisa menjelaskannya di kantor polisi"

"Pak saya beneran gak salah, ini saya di fitnah nih!" Arin masih menyangkal karena baginya kesalahan itu tidak ada apa apanya sampai harus dibawa ke ranah hukum.

"Anda bisa ikut kami ke kantor polisi dan beri keterangan"

Dengan berat hati akhirnya Arin ikut ke kantor polisi. Belum apa apa dia sudah malu saat beberapa pasang mata melihat dengan tatapan aneh kearahnya.

"Apaan sih orang orang kaya liat penjahat aja" Batin Arin tidak nyaman. Arin tidak pernah menyangka bahwa ia akan menghadapi masalah sebesar ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!