The Principle
PROLOG
Aku melangkahkan kaki mendekatinya. Sorot matanya terlihat penuh kekhawatiran. Aku tak kuasa untuk menatapnya lebih lama. Walaupun Aku tahu Dia tidak akan mengucapkannya. Baginya menyembunyikan perasaannya dan terkesan menyetujui keputusanku adalah kebahagiaanku. Dan kebahagianku merupakan kebahagiaan baginya. Walaupun Dia terlihat sungguh khawatir dengan keputusanku ini. Keputusan yang terkesan mendadak.
Aku tidak tahu keputusan ini benar atau salah. Meskipun Aku mempunyai cukup alasan beberapa bulan terakhir ini. Tapi kalaupun memiliki alasan. Aku tetap memilih keputusan ini. Keputusan ini bagiku sudah bulat. Dan Aku rasa tidak perlu ada jaminan yang sudah real. Bukankah Tuhan cukup real dalam sebuah keyakinan untuk menjamin kehidupan dan kebahagiaan setiap hamba-NYA. Aku tidak mencoba untuk memikirkan hal lainnya. Ada sedikit rasa takut, Tapi Aku meyakinkan diriku, Aku tak akan menyesali keputusan ini. Ketika surga dunia menawarkan mimpi. Tentu Aku mengambil kesempatan ini. Kesempatan yang masih menjadi teka-teki.
...DOMINO...
Aku tidak pernah tahu masa depanku nanti. Sebuah alasan membuatku takut untuk memikirkannya. Saat apa yang kurencanakan kadang tidak sesuai dengan kenyataannya. Namun tidak untuk saat ini. Aku tidak akan menyerah lagi.
" Sekolah negeri! Negeri! Dan Negeri!" Pikiranku.
Dan akhirnya Aku diterima di sekolah negeri lagi. Motivasi Ibuku itu yang membuatku mempunyai tekad dan semangat yang lebih kuat dari biasanya. Dan berharap mimpi dan keyakinan itu selalu menjadi kenyataan. Kadang Aku menuangkan pikiran-pikiranku dan mimpiku di sebuah tulisan. Mungkin itu bakat keturunan dari Ibuku. Dan Aku mempunyai seorang Kakak cowok. Kakakku jelas Dia bakatnya mengikuti ayahku yang hobi photoghapher dan editing video walaupun Dia sendiri calon dokter. Dan masuk jurusan kedokteran, Itu jelas keinginan Ayah dan Ibuku. Kakakku dikasih dua pilihan.
" ABRI?" Tanya Ayahku dengan tegas.
" Dokter?" Tanya Ibuku dengan tatapan ala emak-emak yang mengancam putranya.
Aku tidak akan ikut campur kala orangtuaku sedang berbeda pendapat. Mereka sungguh seperti anak kecil saat berdebat. Kadang tidak ada yang mau mengalah. Dan biasanya berujung perang dingin. Jelas yang kena imbas anak-anaknya harus menyampaikan pembicaraan Mereka yang kadang hanya terhalang oleh sebuah meja makan. Itu jelas membuat Kami bertanya-tanya apa manfaatnya? Namun untuk saat ini tujuan mereka sama sehingga tiada perdebatan berarti. Mereka ingin anaknya bekerja dan sekaligus bisa membantu orang banyak. Dan itulah dua pilihannya, kakakku jelas memilih dokter. Kak Zyahdan tidak ingin membayangkan wajah tampannya terpapar sinar matahari. Itu sedikit membuatku tertawa. Iya kakakku secara wajah Dia mengikuti Ayahku dengan alis tebal, jarang jerawatan dan bibir yang tipis. Sedangkan rambut yang hitam pekat jelas mengikuti Ibuku. Dan sifat dinginnya jelas mengikuti Ibuku. Sedangkan Aku kombinasi dari keduanya, wajahku yang oval seperti Ibuku, mataku yang sedikit sipit, kulit wajah seperti ayahku dan rambut lurus seperti Ibuku.
Ayahku salah satu manajer cabang di sebuah perusahaan. Dan Ibuku seorang Ibu yang sibuk mengelola usaha percetakan dan penerbitan. Keluarga Kami lebih dari berkecukupan. Ayah dan Ibuku selalu memanjakan Kami di rumah. Namun tidak untuk di sekolah. Ibuku melarang kami menggunakan hal-hal yang mencolok alias pamer. Katanya pamer merupakan salah satu bagian dari sifat sombong. Dan itu membuat Tuhan tidak suka. Sebagai anak yang berbakti, jelas Aku menurut perkataan Ibuku. Dan memilih hal-hal sederhana. Namun Aku berharap di usiaku saat ini bisa mempunyai kendaraan sendiri setidaknya sepeda motor kakakku yang sudah menganggur di garasi. Dan Ibuku tegas menolaknya, katanya Aku belum cukup umur. Lagi-lagi Aku harus menunggu tujuh belas tahun untuk bisa kemana-mana sendiri. Ibuku penuh dengan aturan. Mrs. Perfect itu julukanku padanya. Namun Aku tahu semua itu demi kebaikanku. Jelas Dia menyayangiku, Aku tahu itu.
" Salwa bangun! Bagaimana Kau bisa kesiangan begini." Teriak Ibuku dibalik pintu membuatku sontak terbangun. Mataku langsung melihat jam dinding.
" Jam lima." Pikirku sedikit menggeliat lalu menarik selimut kembali. Aku tidak tahu dengan pemikiran Ibuku jam segini sudah berteriak-teriak seperti alarm pemadam kebakaran. Bahkan Sinar mentari pagi pun masih enggan untuk menyapa dunia.
Namun sebuah suara kaki melangkah menuju kamarku membuatku langsung terbangun, buru-buru mandi dan bersujud kepada Tuhan. Ibuku selalu mengingatkan, " Bangunmu adalah mencerminkan kepribadiamu sebagai hamba manusia yang munafik atau ingat Tuhan." Kata simple yang selalu Beliau ucapkan saat Aku bangun kesiangan atau melewati jam lima.
Daripada Aku mendengar ocehannya yang bagai burung berkicau di pagi hari, Aku jelas memilih mengalah daripada membangkangnya.
" Ingat di sekolah belajar! Tidak ada kata pacaran!" Ucap Ibuku dan membuatku ikut mengucapkannya. Karena itu ucapan selalu diucapkan setiap pagi semenjak kakakku menginjak bangku SMP dan sampai sekarang Aku hafal kata-katanya diluar kepala.
Aku hanya menganggukkan kepalaku di sela minumku yang hampir tersedak mengingat ucapan Ibuku. Bahkan Aku membayangkan mungkin jodohku datang dengan kata perjodohan. Kembali ke zaman Siti Nurbaya dong? Aku berharap itu benar-benar tidak terjadi pada diriku. Dan Aku berharap Aku masih bisa memilih jodoh yang sesuai dengan hatiku. Aku tersenyum masam memikirkannya. SMA saja baru mau kumulai, Aku sudah memikirkan jodoh. Ya Tuhan, sepertinya hormon kenormalanku sedang berproses dengan baik.
"Konyol." Gerutuku.
Setelah selesai sarapan dan berpamitan dengan Ibuku tercinta. Aku diantar oleh Ayahku ke SMA baruku, yang merupakan salah satu SMA negeri favorit di kotaku. Pagi ini hari pertamaku sekolah di SMA. Jenjang pendidikan yang kata orang masa-masa paling indah. Tapi itu menurut mereka. Aku sendiri baru mau menjalaninya. Hari pertama biasa, upacara hari senin. Itu kewajiban bagi semua siswa di sekolah. Topi abu-abu sudah melekat rapi di rambutku yang panjang dan terikat rapi dengan dua pita merah. Maklum itu salah satu syarat kegiatan masa orientasi siswa selama tiga hari ke depan. Seperti tidak jauh dari saat-saat di SMP. Setelah selesai upacara kami langsung berhambur ke kelas masing-masing sesuai yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena otakku yang standar jelas Aku berada dikelas tengah-tengah X.3 sesuatu yang tidak buruk bagiku, secara di ruang tiga dari tujuh ruangan, jelas itu benar-benar standar.
Aku menggeser bangkuku agar lebih rapi.
" Hei. Namaku Ariani wijayanti. Panggil saja Riani." Sapanya. Seorang murid cewek dengan perawakan langsing, tinggi standar dan rambut panjang ikal. Dia yang duduk di sampingku dan saat ini sedang memperkenalkan diri.
" Hei juga. Salwa Azzahra. Panggil saja Salwa." Ucapku seraya tersenyum.
" Kenapa bukan Zahra saja?" Pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku memutar bola mataku. Mencari jawaban yang tepat untuk menjawabnya. Namun Aku tidak menemukannya.
" Entahlah, Orang-orang memanggilku Salwa. Jadi Aku mengikuti saja." Ucapku polos. Riani hanya tersenyum masam mendengar jawabanku. Bahkan Dia terlihat mengerutkan keningnya dan mencoba berpikir.
" Mulai hari ini bolehkah Aku memanggilmu Zahra?" Ijinnya membuat Aku bingung dan berpikir kenapa dengan nama panggilanku.
" Ok. Bukannya Aku tidak menghargai nama panggilan sebelumnya. Namun Aku lebih suka memanggilmu Zahra. Itu lebih indah menurutku sesuai dengan karakter wajahmu yang tenang dan indah." Jelasnya sebelum Aku sempat menjawabnya. Apa? Indah? Wajahku? Aku hanya tersenyum saat mendengar pujian darinya. Karena Aku merasa biasa saja.
" OK. Sepertinya Aku juga menyukainya." Aku mencoba tersenyum walaupun masih terasa aneh.
" Pagi semua!!!" Sapa salah satu kakak senior di depan kelas menghentikan perkenalanku dengan Riani.
Aku langsung tertuju ke arah cowok dengan tinggi diatas rata-rata, badan tegap dengan lesung pipi di kedua pipi wajahnya. Dan sungguh sudah tidak asing lagi bagiku. Aku pernah beberapa kali melihatnya selama sembilan tahun ini. Semenjak Aku sudah diajak kemana-mana dan bebas memilih makananku. Dia tetanggaku. Bukan tetangga dekat, Cuma masih satu kompleks, namun sudah beda rukun tetangga serta rukun warganya. Dan itu merupakan jarak cukup jauh di era global saat ini. Apalagi kehidupan saat ini yang mayoritas individualisme. Jadi hanya ketika Aku belanja di mini market Ibunya atau sebuah arisan emak-emak yang kadang membuatku melihatnya. Setahuku Ibunya sibuk mengelola bisnis retail dan Ayahnya salah satu anggota dewan. Sedangkan Dia mempunyai dua orang kakak laki-laki. Satu jurusan teknik dan satunya jurusan arsitek itu cerita Ibuku. Dan dua-duanya kuliah diluar kota. Ditambah, Aku belum pernah satu sekolahan dengannya. Jelas Aku tidak begitu mengenalnya. Hanya beberapa kali melihatnya saat bersama Ibunya. Dia biasa mengantar Ibunya arisan ke tetangga atau kadang keperluan lainnya. Dan saat Aku membeli keperluanku di mini marketnya. Kadang Dia terlihat menggantikan posisi Ibunya atau karyawatinya sebagai Kasir. Tapi jelas Aku tidak begitu mengenalnya. Hanya kadang sebatas senyum sebagai sopan santun sebuah pertemuan manusia. Bahkan kadang Aku yang lupa tersenyum dan hanya terlihat tatapan datar dariku. Namun tidak dengannya, Dia sejak kecil murah senyum. Namun semenjak kita mulai beranjak dewasa, senyum itu kian memudar. Tepatnya Aku kurang ingat. Dan itu baru kusadari saat ini.
Pandangannya tajam seperti elang. Bedanya Dia kali ini tidak menunduk dan mengalihkan pandangannya kemana-mana. Jelas berbeda saat dengan Ibunya. Dia kebanyakan menunduk saat dengan Ibunya.
Kini Dia berdiri dengan tatapan fokus ke depan. Dan Aku mencoba melihat sekitar. Semua kaum hawa menyukai dan terpesona dengannya. Dia bak pangeran di cerita fiksi fantasi. Namun Aku tidak berharap mendapatkannya. Aku tidak suka bersaing untuk urusan hati. Apalagi Aku sadar, Aku hanya manusia biasa yang tidak banyak kelebihan. Manusia yang senang menyendiri dikamar, manusia yang penuh dengan kata-kata dalam Novel dan manusia yang hanya mempunyai beberapa impian saja. Dan mengharapkan manusia seperti dirinya, Itu terlalu seperti kita main domino yang belum tahu siapa yang menang pada akhirnya sampai permainan itu selesai. Seperti itulah masalah hati, saat kita membiarkan hati kita berkelana dengan fantasi berharap. Konsekuensinya jelas kekecewaan, Aku tidak ingin merasakan itu. Kata Ibuku kecewa itu sangat menyakitkan. Jadi dalam kamus hatiku lebih baik Aku memilih Dia yang mencintaiku. Bukan Aku yang mencintainya. Jadi Aku tidak akan membuang waktuku untuk bersaing dengan mereka. Bukankah hakekat wanita ingin dicintai? Dan orang Jawa bilang witing tresno jalaran soko kulino. Jadi Aku hanya memandangnya biasa.
"Keindahan dunia yang hanya sementara." Batinku berusaha tak peduli.
" Tampan sih, tapi Dia terkenal play boy. Dia kakak kelasku di SMP. Dan temanku pernah jadi korbannya." Bisik Riani kepadaku.
Aku terkejut dengan bisikan Riani. Bukannya Aku terkesan ingin membelanya. Tapi jelas itu sangat berbeda dari sudut pandangku selama ini. Felix terlihat anak yang dekat dengan Ibunya. Bahkan kemana-mana Aku lebih sering melihat Dia dengan Ibunya. Bahkan Aku pernah menjulukinya. "Anak mami." Karena Dia kemana-mana dengan Ibunya. Jelas itu bertolak belakang dengan cerita Riani.
" Korban? Kayak hewan predator saja." Celotehku membuat Riani sedikit cekikikan dan jelas sang predator langsung memandang kami.
Tidak, tapi tepatnya ke arahku. Tatapannya sungguh tajam, jelas itu berbeda dari biasanya yang tertunduk ketika bersama Ibunya. Aku tidak tahu maksud dari tatapannya. Tapi Dia seperti singa yang mau memangsa seekor rusa. Tidak! Aku tidak akan pernah jadi korbannya. Aku langsung diam, mengalihkan pandangan dan pura-pura memperhatikan sang senior yang sedang memperkenalkan diri.
" Perkenalkan nama Saya Tirta Hardiawan. Pertama Saya mengucapkan selamat sudah diterima di SMA kebanggaan kita. Dan perkenalkan sebelah Saya namanya Felix Hasan Prasetyo, Dia merupakan ketua OSIS periode saat ini. Dia tampan? jelas, pasti pikiran kalian pertama begitu. Saya cowok tapi juga berpikir begitu. Dan membayangkan bagaimana Dia hidup dengan ketampanannya itu. Wow , bagaimana saudara Felix menjawab ini?" Tirta memandang ke arah Felix yang masih sok geleng-geleng kepala dengan pembualan temannya itu.
" Aku tidak merasa Aku tampan. Itulah yang membuatku bisa menjalaninya." Ucapnya spontan membuat murid cewek langsung bertepuk tangan. Dan sebagian sesak nafas karenanya. Aku harap banyak oksigen di kelas ini.
"Aku semakin tersingkir kalau jawabanmu seperti itu. " keluh Tirta.
To be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments