Seperti tidak jauh dari masa-masa SMP. Awal baru, perkenalan sekolah baru dan teman-teman baru. Tanpa terasa tiga hari telah berlalu.
Aku bersyukur di kelas ini dan satu bangku dengan Riani. Dia hobinya sama denganku penggila Novel dan boy band Korea. Satu teman sefrekuensi itu menyenangkan. Dan yang paling lucu Kami menyukai boy band legenda yaitu Super Junior.
" Vin, ternyata kak Felix belum punya pacar loh." Ucap Sani memberi tahu Vina teman sebangkunya. Dan jelas Aku mendengarnya karena bangkuku tepat di belakang Vina.
" Vin, Aku yakin Kau bisa mendapatkannya. Sebelum Mercuri mendahuluimu." Sani meyakinkan Vina. Secara Vina itu salah satu murid tercantik di angkatan kami namun sedikit disaingi oleh Mercuri . Dan Aku mengakui itu. Dengan wajah blesteran mereka, bagiku itu sunggup cukup bisa menahlukkan semua murid cowok di sekolah ini. Sedangkan Aku jelas wajah standar, semanis-manisnya keturunan Indonesia saja. Tapi Aku tidak memikirkan itu. Aku niat sekolah dengan tujuan mencari ilmu, bukan untuk kompetensi kecantikan. Aku kembali tenggelam dengan novelku seraya menunggu guru matematika yang belum datang.
" Selamat pagi anak-anak." Sapa bu Titik selaku guru Matematika membuatku langsung memasukkan buku novelku.
Aku serius mendengarkan penjelasan bu Titik. Bahkan secara detail Aku menulisnya. Jelas ini kulakukan agar Aku tidak kesulitan jika ada pekerjaan rumah. Kakakku yang genius jelas sudah jauh dariku. Tidak mungkin Aku bertanya dengan Ayah dan Ibuku. Bisa-bisa mereka memasukkan Aku ke bimbingan belajar lagi. Dan Aku tak ingin itu terjadi lagi. Hanya mengisi esai-esai dari banyaknya buku latihan. Sungguh itu sangat membosankan bagiku. Aku menghela nafas panjang. Hingga akhirnya bunyi bell istirahat berbunyi. Riani langsung mengajakku ke kantin. Seperti biasa makanan favorit kami yaitu bakso dan segelas es teh.
Tanpa sengaja saat balik ke kelas kami berpapasan dengan sang singa. Dia sedang di kerumuni oleh fans-fansnya. Dan jelas sang singa hanya terkesan menguap-nguap saja. Sebuah respon balik ke fans-fansnya yang terlihat seperti kawanan kijang, rusa bahkan mungkin gajah. Aku tertawa membayangkannya. Dengan enggan Aku dan Riani langsung mempercepat jalannya.
" Aku dulu pernah terpesona juga. Sebelum Si Eri diputuskan begitu saja." Gerutu Riani.
" Jadi Kau dulu jadi fansnya juga?" Aku memastikan.
" Iya. Itu membuatku seperti orang gila setiap melihatnya. Kau lihat sendiri, senyumannya sungguh mempesona. Tapi saat ada cewek yang berani menembaknya. Dia hanya akan tersenyum. Setelah itu jangan berharap lagi."
" Mungkin mereka tidak cocok menurutnya? Dan Dia tidak ingin menyakiti mereka." Aku bingung dengan penilaian Riani.
" Jadi Kau membelanya?" Riani menoleh ke arahku.
" Tidak!" Aku langsung menggeleng. " Jelas Aku tidak membelanya. Tapi menurutku itu wajar. Bukankah lebih baik menyakitkan di awal. Daripada indah diawal tapi berakhir menyakitkan?" tanyaku membuat Riani berpikir.
" Aku hanya menilai dari sudut pandang berbeda. Dan mungkin caranya menolak itu yang perlu diubah. Misalnya kalau tidak suka bisa menolak dengan halus." Tambahku.
" Well, sepertinya Dia harus mempelajari itu." Riani membenarkan kata-kataku.
" That's right!" ucapku setuju.
Kami masih menyelusuri koridor gedung laboratorium, hingga akhirnya Kami sampai di kelas X.3.
Kelas masih terdengar seperti pasar tradisional. Suara bersahutan dengan teriakan-teriakan dan cekikikan disana-sini. Aku dan Riani langsung menuju ke bangku kami yang dekat dengan jendela di deretan nomor tiga dari meja guru. Disusul Vina dan Sani mengikuti di belakang kami.
" Aku tidak percaya, Dia benar-benar mengabaikan pesonamu Vin." Celoteh Sani.
" Entahlah. Itu membuatku malu sekaligus kesal mengingatnya." Timpal Vina langsung duduk dibangkunya seraya memukul-mukul mejanya.
Aku hanya memicingkan mata ke arah Riani. Riani hanya mengganggukkan kepala tanda ceritanya sungguh benar. Aku kembali mengambil novel karangan Stephanie Meyer yang belum selesai kubaca. Rasanya tidak penting juga Aku mendengarkan prahara romance mereka. Aku fokus membaca novelku. Dan tidak terasa jam istirahat selesai. Lalu dilanjutkan dengan pelajaran biologi. Tanpa terasa jam pelajaran pun berlalu. Aku langsung mengemas alat-alat tulisku dan memasukkan ke tas.
" Aku duluan." Ucap Riani dan langsung berlalu dari kelas.
Setelah selesai mengemas peralatan sekolahku, Aku melangkahkan kaki keluar kelas. Menyelusuri koridor gedung sekolah menuju ke halaman depan. Murid-murid senior terlihat baru keluaran dari kelas. Terlihat dengan jelas sosok singa kali ini sendiri, Dia tiba-tiba muncul di depanku. Dia baru keluar dari kelasnya. Pandangannya lurus ke depan dan terlihat buru-buru. Jelas Felix tidak memperhatikan kondisi sekitarnya, apalagi memandangku.
" Dia benar-benar tampan dan cerdas itu terlihat di profil majalah sekolah. Dengan mengemban gelar ketua OSIS jelas keunggulan tersendiri." Pujiku dalam hati.
Tunggu!!! Aku memujinya? Apa Aku sudah tertular pikiran fansnya? Oh No! No! No!
" Ingat di sekolah belajar!" Kata-kata Ibuku seperti menempel dikening kepalaku. Dan Aku tersenyum masam saat mengingatnya. Larangan keras dari Ibuku, selalu menyelamatkanku dari setiap mahluk terindah ciptaan Tuhan, yang kadang melintas dimataku.
Aku menunggu jemputan Ayah tepat di depan sekolah. Selang beberapa menit, sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat didepanku. Dan jelas itu mobil Ibuku. Jendela langsung terbuka dan sebuah senyuman khasnya menyambutku. Memberikan kesejukan tersendiri bagiku dibawah teriknya matahari siang ini.
" Buruan sayang." Ucap Ibuku dengan kata-kata lebaynya.
Aku langsung menuju ke pintu penumpang. Terlihat Ibuku rapi dengan dandanan anggunnya.
" Mama mau kemana? Rapi betul. "ucapku seraya cemberut. Jelas sebentar lagi pasti Aku diminta menemaninya. Aku menebak sendiri dalam pikiranku.
" Well, kita mau ke acara arisan yang mendadak jam tiga sayang. Ini sungguh tidak lucu. Tidak sesuai jadwal. Dan membuat jadwal jadi bentrok. Jadi Kau juga tidak boleh banyak memprotes sayang." Celoteh Ibuku.
Aku hanya mendengarkan dan memilih diam daripada mendengar ocehan Ibuku semakin panjang.
Arisan emak-emak? Benar-benar ini sungguh membosankan. Selang beberapa menit akhirnya kita sampai ke tempat teman Ibuku. Aku mengikuti Ibuku turun dan malu-malu berjalan dibelakangnya.
" Bukankah Kau Salwa? Kata Felix sekarang Kau satu sekolahan dengannya." Ucap Ibu Mirna yang tak lain Ibunya Felix.
" Iya Ibu benar." Jawabku spontan karena terkejut. Dan terkejut lagi ternyata Felix mengenaliku di kedinginan hubungan kami sebagai tetangga.
" Felix juga mengantar Ibu, Tapi Dia sedang mengambil hpnya yang ketinggalan. Ayo-ayo kita masuk duluan saja!" ajak Ibu Mirna.
Seperti biasa Aku hanya duduk di pojokan tepat disamping Ibuku. Sambil sesekali ngemil kue-kue arisan. Aku mencuri pandang disela membaca buku novelku. Felix terlihat sibuk dengan Hp-nya. Dia kelihatan sangat berbeda sikapnya di samping Ibunya. Dia lebih kelihatan tunduk. Pokoknya sikapnya sangat berbeda. Dia sepertinya mempunyai kepribadian ganda. Antara Dia di sekolah dan dengan Ibunya. Suara emak-emak arisan tiada hentinya masuk telinga kanan. Dan keluar dari telinga kiriku. Namun cerita mereka setidaknya tidak keluar dari batas normal. Seperti kesombongan materi atau lainnya. Kebanyakan mereka bercerita tentang harga cabe yang melonjak naik. Ongkos kirim barang online yang lebih mahal. Atau hewan peliharaan mereka yang kadang lucu tapi menyebalkan. Bahkan ada yang berniat mau mengawinkan kucing periharaan. Agar mempunyai hubungan semacam mertua kucing. Well, itu sungguh konyol menurutku.
Tidak terasa acara arisan pun selesai. Aku hanya mengikuti Ibuku dan mencoba tidak menatapnya. Dia lebih pintar berakting. Felix tersenyum manis ke Ibuku sebelum masuk ke mobilnya. Dan Aku hanya tersenyum masam. Aku bukan tipe manusia yang pintar berakting untuk saat ini. Tapi sepertinya Aku harus belajar berakting juga agar Aku bisa menghormati orang yang tua seperti yang Felix lakukan. Well, lagi-lagi Aku memuji sikapnya yang berkepribadian ganda.
" Jadi Kau satu sekolah dengan Felix?" tanya Ibuku.
" Aku kira mama sudah tahu."
" Tidak sayang, mama sungguh tidak tahu."
"Tapi kenapa Kalian tidak mengobrol sama sekali?" Ibuku penasaran dengan sikap kami yang terkesan dingin.
" Bukankah mama mengharapkan seperti itu?" Tanyaku penasaran dengan pertanyaan Ibuku.
" Maksud mama sebatas teman apalagi tetangga."
" Mama! Sepertinya Kau lupa kelemahan anakmu."Ucapku mengingatkan.
" Betul. Mama lupa dengan sifatmu." Ibuku tertawa. Mungkin sifat Ibuku dulu juga sepertiku. Tipe orang yang tidak akan bicara duluan.
" So, jangan bahas sikap dingin kami tadi ma." Ucapku ketus.
Bagaimanapun juga Aku tidak tertarik mengenalnya lebih jauh. Play boy cukup membuatku infell terhadapnya. Walaupun pesonanya sungguh nyata.
Kami sampai dirumah. Aku langsung melaksanakan kebutuhanku, layaknya manusia umumnya. Mandi, mengingat seruan Tuhan, makan dan santai dengan keluarga.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments