PROLOG
Aku melangkahkan kaki mendekatinya. Sorot matanya terlihat penuh kekhawatiran. Aku tak kuasa untuk menatapnya lebih lama. Walaupun Aku tahu Dia tidak akan mengucapkannya. Baginya menyembunyikan perasaannya dan terkesan menyetujui keputusanku adalah kebahagiaanku. Dan kebahagianku merupakan kebahagiaan baginya. Walaupun Dia terlihat sungguh khawatir dengan keputusanku ini. Keputusan yang terkesan mendadak.
Aku tidak tahu keputusan ini benar atau salah. Meskipun Aku mempunyai cukup alasan beberapa bulan terakhir ini. Tapi kalaupun memiliki alasan. Aku tetap memilih keputusan ini. Keputusan ini bagiku sudah bulat. Dan Aku rasa tidak perlu ada jaminan yang sudah real. Bukankah Tuhan cukup real dalam sebuah keyakinan untuk menjamin kehidupan dan kebahagiaan setiap hamba-NYA. Aku tidak mencoba untuk memikirkan hal lainnya. Ada sedikit rasa takut, Tapi Aku meyakinkan diriku, Aku tak akan menyesali keputusan ini. Ketika surga dunia menawarkan mimpi. Tentu Aku mengambil kesempatan ini. Kesempatan yang masih menjadi teka-teki.
...DOMINO...
Aku tidak pernah tahu masa depanku nanti. Sebuah alasan membuatku takut untuk memikirkannya. Saat apa yang kurencanakan kadang tidak sesuai dengan kenyataannya. Namun tidak untuk saat ini. Aku tidak akan menyerah lagi.
" Sekolah negeri! Negeri! Dan Negeri!" Pikiranku.
Dan akhirnya Aku diterima di sekolah negeri lagi. Motivasi Ibuku itu yang membuatku mempunyai tekad dan semangat yang lebih kuat dari biasanya. Dan berharap mimpi dan keyakinan itu selalu menjadi kenyataan. Kadang Aku menuangkan pikiran-pikiranku dan mimpiku di sebuah tulisan. Mungkin itu bakat keturunan dari Ibuku. Dan Aku mempunyai seorang Kakak cowok. Kakakku jelas Dia bakatnya mengikuti ayahku yang hobi photoghapher dan editing video walaupun Dia sendiri calon dokter. Dan masuk jurusan kedokteran, Itu jelas keinginan Ayah dan Ibuku. Kakakku dikasih dua pilihan.
" ABRI?" Tanya Ayahku dengan tegas.
" Dokter?" Tanya Ibuku dengan tatapan ala emak-emak yang mengancam putranya.
Aku tidak akan ikut campur kala orangtuaku sedang berbeda pendapat. Mereka sungguh seperti anak kecil saat berdebat. Kadang tidak ada yang mau mengalah. Dan biasanya berujung perang dingin. Jelas yang kena imbas anak-anaknya harus menyampaikan pembicaraan Mereka yang kadang hanya terhalang oleh sebuah meja makan. Itu jelas membuat Kami bertanya-tanya apa manfaatnya? Namun untuk saat ini tujuan mereka sama sehingga tiada perdebatan berarti. Mereka ingin anaknya bekerja dan sekaligus bisa membantu orang banyak. Dan itulah dua pilihannya, kakakku jelas memilih dokter. Kak Zyahdan tidak ingin membayangkan wajah tampannya terpapar sinar matahari. Itu sedikit membuatku tertawa. Iya kakakku secara wajah Dia mengikuti Ayahku dengan alis tebal, jarang jerawatan dan bibir yang tipis. Sedangkan rambut yang hitam pekat jelas mengikuti Ibuku. Dan sifat dinginnya jelas mengikuti Ibuku. Sedangkan Aku kombinasi dari keduanya, wajahku yang oval seperti Ibuku, mataku yang sedikit sipit, kulit wajah seperti ayahku dan rambut lurus seperti Ibuku.
Ayahku salah satu manajer cabang di sebuah perusahaan. Dan Ibuku seorang Ibu yang sibuk mengelola usaha percetakan dan penerbitan. Keluarga Kami lebih dari berkecukupan. Ayah dan Ibuku selalu memanjakan Kami di rumah. Namun tidak untuk di sekolah. Ibuku melarang kami menggunakan hal-hal yang mencolok alias pamer. Katanya pamer merupakan salah satu bagian dari sifat sombong. Dan itu membuat Tuhan tidak suka. Sebagai anak yang berbakti, jelas Aku menurut perkataan Ibuku. Dan memilih hal-hal sederhana. Namun Aku berharap di usiaku saat ini bisa mempunyai kendaraan sendiri setidaknya sepeda motor kakakku yang sudah menganggur di garasi. Dan Ibuku tegas menolaknya, katanya Aku belum cukup umur. Lagi-lagi Aku harus menunggu tujuh belas tahun untuk bisa kemana-mana sendiri. Ibuku penuh dengan aturan. Mrs. Perfect itu julukanku padanya. Namun Aku tahu semua itu demi kebaikanku. Jelas Dia menyayangiku, Aku tahu itu.
" Salwa bangun! Bagaimana Kau bisa kesiangan begini." Teriak Ibuku dibalik pintu membuatku sontak terbangun. Mataku langsung melihat jam dinding.
" Jam lima." Pikirku sedikit menggeliat lalu menarik selimut kembali. Aku tidak tahu dengan pemikiran Ibuku jam segini sudah berteriak-teriak seperti alarm pemadam kebakaran. Bahkan Sinar mentari pagi pun masih enggan untuk menyapa dunia.
Namun sebuah suara kaki melangkah menuju kamarku membuatku langsung terbangun, buru-buru mandi dan bersujud kepada Tuhan. Ibuku selalu mengingatkan, " Bangunmu adalah mencerminkan kepribadiamu sebagai hamba manusia yang munafik atau ingat Tuhan." Kata simple yang selalu Beliau ucapkan saat Aku bangun kesiangan atau melewati jam lima.
Daripada Aku mendengar ocehannya yang bagai burung berkicau di pagi hari, Aku jelas memilih mengalah daripada membangkangnya.
" Ingat di sekolah belajar! Tidak ada kata pacaran!" Ucap Ibuku dan membuatku ikut mengucapkannya. Karena itu ucapan selalu diucapkan setiap pagi semenjak kakakku menginjak bangku SMP dan sampai sekarang Aku hafal kata-katanya diluar kepala.
Aku hanya menganggukkan kepalaku di sela minumku yang hampir tersedak mengingat ucapan Ibuku. Bahkan Aku membayangkan mungkin jodohku datang dengan kata perjodohan. Kembali ke zaman Siti Nurbaya dong? Aku berharap itu benar-benar tidak terjadi pada diriku. Dan Aku berharap Aku masih bisa memilih jodoh yang sesuai dengan hatiku. Aku tersenyum masam memikirkannya. SMA saja baru mau kumulai, Aku sudah memikirkan jodoh. Ya Tuhan, sepertinya hormon kenormalanku sedang berproses dengan baik.
"Konyol." Gerutuku.
Setelah selesai sarapan dan berpamitan dengan Ibuku tercinta. Aku diantar oleh Ayahku ke SMA baruku, yang merupakan salah satu SMA negeri favorit di kotaku. Pagi ini hari pertamaku sekolah di SMA. Jenjang pendidikan yang kata orang masa-masa paling indah. Tapi itu menurut mereka. Aku sendiri baru mau menjalaninya. Hari pertama biasa, upacara hari senin. Itu kewajiban bagi semua siswa di sekolah. Topi abu-abu sudah melekat rapi di rambutku yang panjang dan terikat rapi dengan dua pita merah. Maklum itu salah satu syarat kegiatan masa orientasi siswa selama tiga hari ke depan. Seperti tidak jauh dari saat-saat di SMP. Setelah selesai upacara kami langsung berhambur ke kelas masing-masing sesuai yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena otakku yang standar jelas Aku berada dikelas tengah-tengah X.3 sesuatu yang tidak buruk bagiku, secara di ruang tiga dari tujuh ruangan, jelas itu benar-benar standar.
Aku menggeser bangkuku agar lebih rapi.
" Hei. Namaku Ariani wijayanti. Panggil saja Riani." Sapanya. Seorang murid cewek dengan perawakan langsing, tinggi standar dan rambut panjang ikal. Dia yang duduk di sampingku dan saat ini sedang memperkenalkan diri.
" Hei juga. Salwa Azzahra. Panggil saja Salwa." Ucapku seraya tersenyum.
" Kenapa bukan Zahra saja?" Pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku memutar bola mataku. Mencari jawaban yang tepat untuk menjawabnya. Namun Aku tidak menemukannya.
" Entahlah, Orang-orang memanggilku Salwa. Jadi Aku mengikuti saja." Ucapku polos. Riani hanya tersenyum masam mendengar jawabanku. Bahkan Dia terlihat mengerutkan keningnya dan mencoba berpikir.
" Mulai hari ini bolehkah Aku memanggilmu Zahra?" Ijinnya membuat Aku bingung dan berpikir kenapa dengan nama panggilanku.
" Ok. Bukannya Aku tidak menghargai nama panggilan sebelumnya. Namun Aku lebih suka memanggilmu Zahra. Itu lebih indah menurutku sesuai dengan karakter wajahmu yang tenang dan indah." Jelasnya sebelum Aku sempat menjawabnya. Apa? Indah? Wajahku? Aku hanya tersenyum saat mendengar pujian darinya. Karena Aku merasa biasa saja.
" OK. Sepertinya Aku juga menyukainya." Aku mencoba tersenyum walaupun masih terasa aneh.
" Pagi semua!!!" Sapa salah satu kakak senior di depan kelas menghentikan perkenalanku dengan Riani.
Aku langsung tertuju ke arah cowok dengan tinggi diatas rata-rata, badan tegap dengan lesung pipi di kedua pipi wajahnya. Dan sungguh sudah tidak asing lagi bagiku. Aku pernah beberapa kali melihatnya selama sembilan tahun ini. Semenjak Aku sudah diajak kemana-mana dan bebas memilih makananku. Dia tetanggaku. Bukan tetangga dekat, Cuma masih satu kompleks, namun sudah beda rukun tetangga serta rukun warganya. Dan itu merupakan jarak cukup jauh di era global saat ini. Apalagi kehidupan saat ini yang mayoritas individualisme. Jadi hanya ketika Aku belanja di mini market Ibunya atau sebuah arisan emak-emak yang kadang membuatku melihatnya. Setahuku Ibunya sibuk mengelola bisnis retail dan Ayahnya salah satu anggota dewan. Sedangkan Dia mempunyai dua orang kakak laki-laki. Satu jurusan teknik dan satunya jurusan arsitek itu cerita Ibuku. Dan dua-duanya kuliah diluar kota. Ditambah, Aku belum pernah satu sekolahan dengannya. Jelas Aku tidak begitu mengenalnya. Hanya beberapa kali melihatnya saat bersama Ibunya. Dia biasa mengantar Ibunya arisan ke tetangga atau kadang keperluan lainnya. Dan saat Aku membeli keperluanku di mini marketnya. Kadang Dia terlihat menggantikan posisi Ibunya atau karyawatinya sebagai Kasir. Tapi jelas Aku tidak begitu mengenalnya. Hanya kadang sebatas senyum sebagai sopan santun sebuah pertemuan manusia. Bahkan kadang Aku yang lupa tersenyum dan hanya terlihat tatapan datar dariku. Namun tidak dengannya, Dia sejak kecil murah senyum. Namun semenjak kita mulai beranjak dewasa, senyum itu kian memudar. Tepatnya Aku kurang ingat. Dan itu baru kusadari saat ini.
Pandangannya tajam seperti elang. Bedanya Dia kali ini tidak menunduk dan mengalihkan pandangannya kemana-mana. Jelas berbeda saat dengan Ibunya. Dia kebanyakan menunduk saat dengan Ibunya.
Kini Dia berdiri dengan tatapan fokus ke depan. Dan Aku mencoba melihat sekitar. Semua kaum hawa menyukai dan terpesona dengannya. Dia bak pangeran di cerita fiksi fantasi. Namun Aku tidak berharap mendapatkannya. Aku tidak suka bersaing untuk urusan hati. Apalagi Aku sadar, Aku hanya manusia biasa yang tidak banyak kelebihan. Manusia yang senang menyendiri dikamar, manusia yang penuh dengan kata-kata dalam Novel dan manusia yang hanya mempunyai beberapa impian saja. Dan mengharapkan manusia seperti dirinya, Itu terlalu seperti kita main domino yang belum tahu siapa yang menang pada akhirnya sampai permainan itu selesai. Seperti itulah masalah hati, saat kita membiarkan hati kita berkelana dengan fantasi berharap. Konsekuensinya jelas kekecewaan, Aku tidak ingin merasakan itu. Kata Ibuku kecewa itu sangat menyakitkan. Jadi dalam kamus hatiku lebih baik Aku memilih Dia yang mencintaiku. Bukan Aku yang mencintainya. Jadi Aku tidak akan membuang waktuku untuk bersaing dengan mereka. Bukankah hakekat wanita ingin dicintai? Dan orang Jawa bilang witing tresno jalaran soko kulino. Jadi Aku hanya memandangnya biasa.
"Keindahan dunia yang hanya sementara." Batinku berusaha tak peduli.
" Tampan sih, tapi Dia terkenal play boy. Dia kakak kelasku di SMP. Dan temanku pernah jadi korbannya." Bisik Riani kepadaku.
Aku terkejut dengan bisikan Riani. Bukannya Aku terkesan ingin membelanya. Tapi jelas itu sangat berbeda dari sudut pandangku selama ini. Felix terlihat anak yang dekat dengan Ibunya. Bahkan kemana-mana Aku lebih sering melihat Dia dengan Ibunya. Bahkan Aku pernah menjulukinya. "Anak mami." Karena Dia kemana-mana dengan Ibunya. Jelas itu bertolak belakang dengan cerita Riani.
" Korban? Kayak hewan predator saja." Celotehku membuat Riani sedikit cekikikan dan jelas sang predator langsung memandang kami.
Tidak, tapi tepatnya ke arahku. Tatapannya sungguh tajam, jelas itu berbeda dari biasanya yang tertunduk ketika bersama Ibunya. Aku tidak tahu maksud dari tatapannya. Tapi Dia seperti singa yang mau memangsa seekor rusa. Tidak! Aku tidak akan pernah jadi korbannya. Aku langsung diam, mengalihkan pandangan dan pura-pura memperhatikan sang senior yang sedang memperkenalkan diri.
" Perkenalkan nama Saya Tirta Hardiawan. Pertama Saya mengucapkan selamat sudah diterima di SMA kebanggaan kita. Dan perkenalkan sebelah Saya namanya Felix Hasan Prasetyo, Dia merupakan ketua OSIS periode saat ini. Dia tampan? jelas, pasti pikiran kalian pertama begitu. Saya cowok tapi juga berpikir begitu. Dan membayangkan bagaimana Dia hidup dengan ketampanannya itu. Wow , bagaimana saudara Felix menjawab ini?" Tirta memandang ke arah Felix yang masih sok geleng-geleng kepala dengan pembualan temannya itu.
" Aku tidak merasa Aku tampan. Itulah yang membuatku bisa menjalaninya." Ucapnya spontan membuat murid cewek langsung bertepuk tangan. Dan sebagian sesak nafas karenanya. Aku harap banyak oksigen di kelas ini.
"Aku semakin tersingkir kalau jawabanmu seperti itu. " keluh Tirta.
To be Continued
Seperti tidak jauh dari masa-masa SMP. Awal baru, perkenalan sekolah baru dan teman-teman baru. Tanpa terasa tiga hari telah berlalu.
Aku bersyukur di kelas ini dan satu bangku dengan Riani. Dia hobinya sama denganku penggila Novel dan boy band Korea. Satu teman sefrekuensi itu menyenangkan. Dan yang paling lucu Kami menyukai boy band legenda yaitu Super Junior.
" Vin, ternyata kak Felix belum punya pacar loh." Ucap Sani memberi tahu Vina teman sebangkunya. Dan jelas Aku mendengarnya karena bangkuku tepat di belakang Vina.
" Vin, Aku yakin Kau bisa mendapatkannya. Sebelum Mercuri mendahuluimu." Sani meyakinkan Vina. Secara Vina itu salah satu murid tercantik di angkatan kami namun sedikit disaingi oleh Mercuri . Dan Aku mengakui itu. Dengan wajah blesteran mereka, bagiku itu sunggup cukup bisa menahlukkan semua murid cowok di sekolah ini. Sedangkan Aku jelas wajah standar, semanis-manisnya keturunan Indonesia saja. Tapi Aku tidak memikirkan itu. Aku niat sekolah dengan tujuan mencari ilmu, bukan untuk kompetensi kecantikan. Aku kembali tenggelam dengan novelku seraya menunggu guru matematika yang belum datang.
" Selamat pagi anak-anak." Sapa bu Titik selaku guru Matematika membuatku langsung memasukkan buku novelku.
Aku serius mendengarkan penjelasan bu Titik. Bahkan secara detail Aku menulisnya. Jelas ini kulakukan agar Aku tidak kesulitan jika ada pekerjaan rumah. Kakakku yang genius jelas sudah jauh dariku. Tidak mungkin Aku bertanya dengan Ayah dan Ibuku. Bisa-bisa mereka memasukkan Aku ke bimbingan belajar lagi. Dan Aku tak ingin itu terjadi lagi. Hanya mengisi esai-esai dari banyaknya buku latihan. Sungguh itu sangat membosankan bagiku. Aku menghela nafas panjang. Hingga akhirnya bunyi bell istirahat berbunyi. Riani langsung mengajakku ke kantin. Seperti biasa makanan favorit kami yaitu bakso dan segelas es teh.
Tanpa sengaja saat balik ke kelas kami berpapasan dengan sang singa. Dia sedang di kerumuni oleh fans-fansnya. Dan jelas sang singa hanya terkesan menguap-nguap saja. Sebuah respon balik ke fans-fansnya yang terlihat seperti kawanan kijang, rusa bahkan mungkin gajah. Aku tertawa membayangkannya. Dengan enggan Aku dan Riani langsung mempercepat jalannya.
" Aku dulu pernah terpesona juga. Sebelum Si Eri diputuskan begitu saja." Gerutu Riani.
" Jadi Kau dulu jadi fansnya juga?" Aku memastikan.
" Iya. Itu membuatku seperti orang gila setiap melihatnya. Kau lihat sendiri, senyumannya sungguh mempesona. Tapi saat ada cewek yang berani menembaknya. Dia hanya akan tersenyum. Setelah itu jangan berharap lagi."
" Mungkin mereka tidak cocok menurutnya? Dan Dia tidak ingin menyakiti mereka." Aku bingung dengan penilaian Riani.
" Jadi Kau membelanya?" Riani menoleh ke arahku.
" Tidak!" Aku langsung menggeleng. " Jelas Aku tidak membelanya. Tapi menurutku itu wajar. Bukankah lebih baik menyakitkan di awal. Daripada indah diawal tapi berakhir menyakitkan?" tanyaku membuat Riani berpikir.
" Aku hanya menilai dari sudut pandang berbeda. Dan mungkin caranya menolak itu yang perlu diubah. Misalnya kalau tidak suka bisa menolak dengan halus." Tambahku.
" Well, sepertinya Dia harus mempelajari itu." Riani membenarkan kata-kataku.
" That's right!" ucapku setuju.
Kami masih menyelusuri koridor gedung laboratorium, hingga akhirnya Kami sampai di kelas X.3.
Kelas masih terdengar seperti pasar tradisional. Suara bersahutan dengan teriakan-teriakan dan cekikikan disana-sini. Aku dan Riani langsung menuju ke bangku kami yang dekat dengan jendela di deretan nomor tiga dari meja guru. Disusul Vina dan Sani mengikuti di belakang kami.
" Aku tidak percaya, Dia benar-benar mengabaikan pesonamu Vin." Celoteh Sani.
" Entahlah. Itu membuatku malu sekaligus kesal mengingatnya." Timpal Vina langsung duduk dibangkunya seraya memukul-mukul mejanya.
Aku hanya memicingkan mata ke arah Riani. Riani hanya mengganggukkan kepala tanda ceritanya sungguh benar. Aku kembali mengambil novel karangan Stephanie Meyer yang belum selesai kubaca. Rasanya tidak penting juga Aku mendengarkan prahara romance mereka. Aku fokus membaca novelku. Dan tidak terasa jam istirahat selesai. Lalu dilanjutkan dengan pelajaran biologi. Tanpa terasa jam pelajaran pun berlalu. Aku langsung mengemas alat-alat tulisku dan memasukkan ke tas.
" Aku duluan." Ucap Riani dan langsung berlalu dari kelas.
Setelah selesai mengemas peralatan sekolahku, Aku melangkahkan kaki keluar kelas. Menyelusuri koridor gedung sekolah menuju ke halaman depan. Murid-murid senior terlihat baru keluaran dari kelas. Terlihat dengan jelas sosok singa kali ini sendiri, Dia tiba-tiba muncul di depanku. Dia baru keluar dari kelasnya. Pandangannya lurus ke depan dan terlihat buru-buru. Jelas Felix tidak memperhatikan kondisi sekitarnya, apalagi memandangku.
" Dia benar-benar tampan dan cerdas itu terlihat di profil majalah sekolah. Dengan mengemban gelar ketua OSIS jelas keunggulan tersendiri." Pujiku dalam hati.
Tunggu!!! Aku memujinya? Apa Aku sudah tertular pikiran fansnya? Oh No! No! No!
" Ingat di sekolah belajar!" Kata-kata Ibuku seperti menempel dikening kepalaku. Dan Aku tersenyum masam saat mengingatnya. Larangan keras dari Ibuku, selalu menyelamatkanku dari setiap mahluk terindah ciptaan Tuhan, yang kadang melintas dimataku.
Aku menunggu jemputan Ayah tepat di depan sekolah. Selang beberapa menit, sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat didepanku. Dan jelas itu mobil Ibuku. Jendela langsung terbuka dan sebuah senyuman khasnya menyambutku. Memberikan kesejukan tersendiri bagiku dibawah teriknya matahari siang ini.
" Buruan sayang." Ucap Ibuku dengan kata-kata lebaynya.
Aku langsung menuju ke pintu penumpang. Terlihat Ibuku rapi dengan dandanan anggunnya.
" Mama mau kemana? Rapi betul. "ucapku seraya cemberut. Jelas sebentar lagi pasti Aku diminta menemaninya. Aku menebak sendiri dalam pikiranku.
" Well, kita mau ke acara arisan yang mendadak jam tiga sayang. Ini sungguh tidak lucu. Tidak sesuai jadwal. Dan membuat jadwal jadi bentrok. Jadi Kau juga tidak boleh banyak memprotes sayang." Celoteh Ibuku.
Aku hanya mendengarkan dan memilih diam daripada mendengar ocehan Ibuku semakin panjang.
Arisan emak-emak? Benar-benar ini sungguh membosankan. Selang beberapa menit akhirnya kita sampai ke tempat teman Ibuku. Aku mengikuti Ibuku turun dan malu-malu berjalan dibelakangnya.
" Bukankah Kau Salwa? Kata Felix sekarang Kau satu sekolahan dengannya." Ucap Ibu Mirna yang tak lain Ibunya Felix.
" Iya Ibu benar." Jawabku spontan karena terkejut. Dan terkejut lagi ternyata Felix mengenaliku di kedinginan hubungan kami sebagai tetangga.
" Felix juga mengantar Ibu, Tapi Dia sedang mengambil hpnya yang ketinggalan. Ayo-ayo kita masuk duluan saja!" ajak Ibu Mirna.
Seperti biasa Aku hanya duduk di pojokan tepat disamping Ibuku. Sambil sesekali ngemil kue-kue arisan. Aku mencuri pandang disela membaca buku novelku. Felix terlihat sibuk dengan Hp-nya. Dia kelihatan sangat berbeda sikapnya di samping Ibunya. Dia lebih kelihatan tunduk. Pokoknya sikapnya sangat berbeda. Dia sepertinya mempunyai kepribadian ganda. Antara Dia di sekolah dan dengan Ibunya. Suara emak-emak arisan tiada hentinya masuk telinga kanan. Dan keluar dari telinga kiriku. Namun cerita mereka setidaknya tidak keluar dari batas normal. Seperti kesombongan materi atau lainnya. Kebanyakan mereka bercerita tentang harga cabe yang melonjak naik. Ongkos kirim barang online yang lebih mahal. Atau hewan peliharaan mereka yang kadang lucu tapi menyebalkan. Bahkan ada yang berniat mau mengawinkan kucing periharaan. Agar mempunyai hubungan semacam mertua kucing. Well, itu sungguh konyol menurutku.
Tidak terasa acara arisan pun selesai. Aku hanya mengikuti Ibuku dan mencoba tidak menatapnya. Dia lebih pintar berakting. Felix tersenyum manis ke Ibuku sebelum masuk ke mobilnya. Dan Aku hanya tersenyum masam. Aku bukan tipe manusia yang pintar berakting untuk saat ini. Tapi sepertinya Aku harus belajar berakting juga agar Aku bisa menghormati orang yang tua seperti yang Felix lakukan. Well, lagi-lagi Aku memuji sikapnya yang berkepribadian ganda.
" Jadi Kau satu sekolah dengan Felix?" tanya Ibuku.
" Aku kira mama sudah tahu."
" Tidak sayang, mama sungguh tidak tahu."
"Tapi kenapa Kalian tidak mengobrol sama sekali?" Ibuku penasaran dengan sikap kami yang terkesan dingin.
" Bukankah mama mengharapkan seperti itu?" Tanyaku penasaran dengan pertanyaan Ibuku.
" Maksud mama sebatas teman apalagi tetangga."
" Mama! Sepertinya Kau lupa kelemahan anakmu."Ucapku mengingatkan.
" Betul. Mama lupa dengan sifatmu." Ibuku tertawa. Mungkin sifat Ibuku dulu juga sepertiku. Tipe orang yang tidak akan bicara duluan.
" So, jangan bahas sikap dingin kami tadi ma." Ucapku ketus.
Bagaimanapun juga Aku tidak tertarik mengenalnya lebih jauh. Play boy cukup membuatku infell terhadapnya. Walaupun pesonanya sungguh nyata.
Kami sampai dirumah. Aku langsung melaksanakan kebutuhanku, layaknya manusia umumnya. Mandi, mengingat seruan Tuhan, makan dan santai dengan keluarga.
To be continued
Tiga bulan telah berlalu. Hari jumat ini seperti biasa, kegiatan pramuka wajib buat anak kelas sepuluh. Walaupun Aku tidak terlalu suka kegiatan luar seperti ini. Apalagi hari ini Aku lagi sedang tidak ingin banyak gerak. Biasa tamu bulanan sudah datang menghampiri.
Upacara pramuka di jumat sore ini sungguh membuatku tak kuasa menghadapinya. Sinar matahari yang begitu terik . Panas yang terpancar dan terpantul dari mengkilapnya lapangan membuatku sedikit pusing. Mata ini seperti ingin tertutup saat warna-warna orange dan abu-abu melintas dimataku sekarang. Dan Aku terjatuh.
" Zahra! Zahra! Zahra! "
Suara riuh terdengar disekitarku. Aku tidak bisa menyebutkan satu persatu suara siap saja itu. Mataku terasa berat untuk terbuka.
Rasanya sangat berat. Perintah otak tak terbaca oleh panca indra penglihatanku.
Aku benar-benar tak sadarkan diri untuk sepersekian detik.
Mataku hampir terbuka kala Aku merasa ada yang mengangkatku dengan kedua tangannya, layaknya anak lima tahun yang sedang diangkat Ayah atau Ibunya untuk memindahkannya dari sofa didepan televisi menuju kamar sang anak.
" Felix? Ayo cepat! Cepat!" suara terdengar jelas ditelingaku.
Dan sebutan nama itu membuatku ragu membuka mataku.
Aku memutuskan masih menutup mata. Walaupun ini jelas seakan sebuah akting. Aku sungguh-sungguh memilih berakting daripada Aku membuka mata dan melihat wajah sang penolong. Baru kali ini Aku benar-benar berkategori pingsan sesaat. Aku belum pernah upacara sampai pingsan seperti ini. Sepertinya hari pertama mentruasi membuatku sangat lemah.
Sampai di UKS Dia langsung meletakkanku di ruangan UKS dan menyerahkan urusan ke senior cewek.
" Ika, tidak usah terlalu khawatir. Kasih saja Dia minyak kayu putih atau bau kaos kakinya pasti langsung terbangun." Ucapnya sadis.
" Kamvret!!! Bahkan bau kaos kakiku sewangi bunga lavender. Tidak mungkin membuatku pingsan kembali. Apa Dia tahu Aku berakting?" batinku penasaran.
Dia langsung melangkah pergi meninggalkan kami. Itu terdengar dari langkah kakinya. Malu dan sedikit kesal karena aktingku sepertinya tidak berhasil. Tapi setidaknya Aku tidak langsung melihat reaksinya secara langsung. Aku langsung membuka mata dan mengucapkan terima kasih ke kak Ika yang telah memberikan air mineral dan minyak kayu putih.
Aku memilih ijin dan tidak mengikuti kegiatan selanjutnya. Dan jelas Aku memilih tidak menceritakan kejadian memalukan itu kepada orangtuaku. Bisa-bisa antara di marahi atau di ketawakan. Biarlah itu menjadi sebuah teka-teki di dalamnya pikiranku ini.
Paginya Vina langsung menghampiriku begitu Aku datang.
" Zahra Aku sungguh iri padamu." Ucapnya membuatku bingung.
" Iri untuk apa Vin?" Aku meletakkan tas di bangkuku.
" Soal Kau pingsan kemarin."bisik Riani.
Aku langsung mengerutkan keningku. Bagaimana bisa orang pingsan alias sakit, Dia malah iri. Itu sungguh konyol. Dimana pikiran logikanya itu.
Benar-benar budak cinta millenial.
" Kau ditolong sama kak Felix." Ucap Vina dan langsung menoleh lama ke arahku.
Aku menghela nafas panjang. Jadi Dia melihat Felix bukan posisiku yang pingsan. Bagaimanapun juga itu bukan keuntungan bagiku. Itu kerugian bagiku, Ibuku dan Ayahku. Karena Felix telah mengangkatku berarti menyentuhku tanpa permisi. Bukan mahram guyss!!! Dan itu sungguh memalukan. Hingga membuatku harus berakting agar tidak melihat reaksi wajah Felix saat menolongku. Walaupun Aku tahu sepertinya aktingku kurang berhasil.
" Aku tidak mengharapkannya!" Ucapku datar.
Vina langsung kembali memandang ke depan begitu melihatku tidak tertarik untuk membahasnya. Lagi-lagi Aku sibuk mengeluarkan novel sambil menunggu pelajaran bahasa Inggris. Sesekali Aku membalas pertanyaan Riani tentang drama-drama yang dibintangi sang idola kami. Idola manusia dan suatu saat kita akan meninggalkannya. Seperti layaknya Riani pernah mengidolakan Felix.
" Good Morning. How are today?" sapa Miss Betty selaku guru pelajaran bahasa Inggris.
" I am very well thank you. And How are you?" jawab anak-anak serempak.
" I am fine. Thanks."
Pelajaran bahasa Inggris akhirnya dimulai. Aku menyimpan novelku ditas. Dan buku bahasa Inggris yang tertata rapi di mejaku.
Seperti biasa pelajaran bahasa Inggris hanya mengisi modul. Bahkan membuat sebagian murid terasa mengantuk. Ada yang pura-pura fokus ke buku, padahal sambil terngantuk-ngantuk. Ada pula yang coret-coret buku agar terlihat fokus dengan pelajarannya. Berbagai macam tingkah anak SMA model sekarang.
Lagi-lagi Bell istirahat pertama berbunyi. Namun saat ini hujan sedang mengguyur sekolah sejak satu jam yang lalu. Dan kebanyakan kami memilih tinggal di kelas. Aku dan Riani biasa membicarakan setiap detail novel-novel terbaru dan Idola boy band Kami.
" Aku memutuskan mengutarakan isi hati duluan." Ucap Vina mantap.
Suara Vina tiba-tiba membuat Aku dan Riani saling menoleh dengan tatapan penuh tanda tanya.
" Apa Kau yakin?" Sani memastikan seraya sedikit terkejut atas keputusan temannya itu.
" Iya, Kau tahu sendiri sudah lama Aku menebar pesona. Tapi tidak berdampak apapun ke Dia. Dan Mercuri juga belum ada tanda-tanda dapat memikatnya." Jelas Vani merasa sudah tak sabar.
" Jangan lah Vin. Sabar dulu. Jaga harga diri dan image-mu." Saran Sani.
Mau tak mau Aku dan Riani mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Jarak jelas tidak bisa menutupi pendengaran Kami. Bahkan kalaupun Kami tak ingin mendengarnya. Suaranya terdengar sangat nyaring bagi Kami.
" Riani!" panggilku setengah berbisik.
" Apa?" jawabnya ikut-ikutan setengah berbisik.
Kami saling berbisik.
" Katamu Dia play boy. Kok pesona mereka terabaikan?" Aku sedikit penasaran dengan cerita Riani. Mungkinkah teman Riani lebih cantik dari Vina dan Mercuri? Aku sungguh penasaran. Lebih gaulnya kepo lah Aku.
" Entahlah." Tegasnya.
Jawaban Riani yang terdengar tidak memuaskan membuat Aku semakin penasaran.
" Jadi temanmu murid tercantik juga?" Tanyaku. Entah mengapa tiba-tiba rasa penasaranku memuncak seperti ini.
" Iya temanku bahkan murid tercantik seangkatanku. Namun hubungan mereka cuma berumur tiga hari." Ceritanya.
Aku terkejut.
" Lalu?" Aku masih penasaran. Ya Tuhan, Ada apa denganku? Kenapa Aku jadi kepo seperti ini.
" Lalu sebulan kemudian terdengar gosip kak Felix jadian dengan cewek yang satu angkatan dengannya. Cewek itu tidak jauh lebih cantik dari temanku. Bahkan menurutku temanku lebih cantik darinya. Setelah itu Aku tidak tahu lagi ceritanya. Namun temanku sudah cukup membuktikan Dia tidak pantas kuidolakan." Celoteh Riani panjang lebar. Namun terkesan pelan mengucapkannya. Agar Vina dan Sani tidak mendengar jelas ceritanya.
"Jadi seperti itu ceritanya."batinku.
"Sadis juga." Ucapku dan kembali ke kesibukanku.
Riani mengangguk, tanda menyetujui ucapanku.
Aku kembali ke buku novelku yang masih kubaca sebagian. Namun pikiranku tiba-tiba melayang kemana-mana. Benakku memikirkan Dia yang seharusnya tidak kupikirkan. Namun akhir-akhir ini mengganggu pikiranku. Aku fokus membaca untuk menepis rasa penasaranku.
To be Continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!