Modul

Seminggu sudah berlalu.

" Salwa jangan lupa sarapan!" ucap Ibuku dibalik pintu dapur.

" Iya ma. " jawabku seraya memakai sepatu diteras depan rumah.

Namun sebuah suara mobil hitam mengalihkan pandanganku. Terlihat Bu Mirna turun dari mobil tersebut.

" Salwa! Kau sudah mau berangkat?" tanya Bu Mirna.

" Iya Ibu." jawabku masih terkejut. Karena tidak biasanya Bu Mirna ke rumahku pagi-pagi seperti ini.

" Ada apa Ibu?" Tanyaku sopan.

" Bisakah Aku titip Modul ini untuk Felix. Tadi Dia menelepon Ibu. Katanya buru-buru dan lupa membawa Modul ini di meja belajarnya. Dia meminta Ibu menitipkan ke Nak Salwa." Jelasnya membuatku lebih terkejut.

" Ok Ibu." Aku berusaha tetap sopan ditengah keterkejutanku.

" Terima kasih Salwa." Ucap Beliau dan lalu berbincang-bincang sebentar dengan Ibuku.

Pagi ini Aku diantar Ayahku. Aku berharap cepat tujuh belas tahun dan bisa mempunyai SIM. Sehingga tidak merepotkan Ayah atau Ibuku lagi. dan bisa kemana-mana sendiri. Gerimis masih turun sejak tadi pagi. Aku buru-buru keluar dari kendaraan. Kututup kepalaku dengan tas. Aku berharap gerimis tidak mengenai kepalaku. Halaman koridor utama sekolah tujuan utamaku. Aku mencoba untuk cepat mencapai koridor. Agar tetesan air tidak begitu banyak membasahiku.

Aku berhenti sejenak di depan kelas sebelas IPA satu. Kakiku ragu untuk melangkah masuk. Inilah salah satu kelemahanku. Aku tak seberani anak-anak lain yang asal masuk ke ruang kelas lainnya. Entah Felix bisa baca pikiran atau apa. Tiba-tiba Dia keluar dari kelasnya dan muncul di depanku. Spontan Aku langsung menyerahkan modul titipan Ibunya tanpa kata. Tanpa sepatah katapun. Dia langsung mengambil modulnya dari tanganku dan masuk kembali ke kelasnya. Sepertinya kami berbicara dengan mata dan batin. Benar-benar tak sepatah katapun keluar dari mulut kami berdua. Itu terlihat sangat konyol. Tirta yang baru datang melihatku dengan tatapan penuh tanda tanya.

Namun Aku tidak begitu menghiraukannya. Aku langsung melangkahkan kakiku kembali menuju kelasku. Pagi ini belum banyak yang datang. Namun Vani dan Sani sudah terlihat datang. Entah mengapa Mereka langsung memandangku dengan tatapan curiga. Aku mengacuhkannya. Aku tidak merasa ada yang salah. Namun mereka berbicara setengah berbisik satu dengan yang lainnya. Dan terlihat Vina langsung menoleh ke arahku.

" Aku dapat pesan dari Kak Tirta. Dia tanya apa hubunganmu sama Kak Felix? Kenapa Kau mengantarkan Modul latihannya?" tanya Vina to the point.

" Aku tetangganya. Dan Ibunya minta tolong untuk membawakan modul latihannya yang ketinggalan." Jelasku.

Apa Felix tidak menjelaskan ke Tirta? Ini sungguh menjengkelkan.

" Oh. Jadi Kau tetangganya?" tanya Vina terlihat lega mendengarnya.

" Iya." Aku menganggukkan kepala sedikit ragu. Secara kami tetangga. Namun Aku tidak begitu mengenalnya. Bahkan Kami terlihat tidak seperti tetangga. Melainkan seperti orang asing yang selalu terlihat dingin saat bertemu.

" Kenapa Kau tidak pernah cerita padaku." Ucap Vina lebih terlihat senang sekarang. Sinar matanya penuh berharap.

" Bukan tetangga dekat." Jelasku berharap Vina mengerti tanpa Aku menjelaskan padanya. Bukan hubungan tetangga yang seperti biasa. Aku benar-benar tidak begitu mengenal Felix. Dan Aku berharap Vina tidak akan mengharapkan lebih dariku. Namun sia-sia, matanya jelas sekarang berbinar. Seakan Aku mampu mendekatkan Dia dengan Felix. Seperti Tirta menyampaikan perasaan lewat dirinya. Yang ternyata masih saudara sepupu dengan Vina.

" Tetap saja namanya tetangga Zahra." Vina tetap tidak mengerti.

" Bisakah Kau membantuku? Kumohon. " Rengek Vina.

" Kenapa tidak lewat kak Tirta ?" tanyaku sedikit mengingatkan kembali tentang waktu itu. Vina langsung mengerucutkan bibirnya.

" Tirta bilang tidak bisa membantuku. Felix bukan tipe-tipe orang yang akan menerima perasaan lewat temannya." Jelasnya.

" Sama saja dunk. Aku hanya tetangganya. Bahkan tetangga jauh." Aku mengelak. Dan jelas Aku tidak ingin jadi mak comblang. Apalagi harus berhadapan dengan Felix. Manusia sedingin es batu bagiku.

" Sebaiknya Kau katakan saja sendiri Vin." Ucap Riani yang baru datang dan meletakkan tasnya. Dan Aku bersyukur dengan ucapan Riani. Setidaknya Dia akan menyelamatkanku dari rengekan Vina yang meminta tolong.

" Kak Felix akan jauh menghargai tulusnya cintamu. Jika Kau sampaikan sendiri. Bukan begitu Zahra?" Tanya Riani menoleh ke arahku dan meminta dukunganku untuk ucapannya.

Aku langsung menganggukkan kepala. Tanda menyetujui dan mendukung ucapan Riani. Vina langsung kembali membenarkan tempat duduknya. Mengarah ke depan dan berbicara kembali dengan Sani. Sani terlihat menoleh ke arah kami. Sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Dan akhirnya Aku benar-benar bisa bernafas lega.

Sejak saat itu tidak ada situasi yang berarti kembali. Aku masih biasa dengan rutinitas sekolahku. Monoton dan tidak ada yang berubah tentunya. Dan pelajaran musik kali ini sungguh menyita pemikiranku. Aku kurang cepat tanggap kalau urusan musik. Dan sepertinya Aku sangat tidak berbakat di pelajaran musik. Dan Aku berharap cepat terbebas dari pelajaran musik.

" Brengsek!" Ucap Vina langsung terduduk.

Aku dan Riani sedang latihan pianika untuk pelajaran selanjutnya. Pelajaran musik yang paling menakutkan bagiku.

" Sabar Vin." Ucap Sani mencoba menenangkannya.

" Ada apa?" Tanya Riani penasaran. Vina masih tertunduk dengan kemarahannya. Dan Sani yang menoleh ke arah kami.

" Kak Felix menolaknya." Jelas Sani.

Aku dan Riani langsung saling berpandangan.

" Alasannya apa?" Tanya Riani masih penasaran.

" Katanya Dia sudah punya kekasih hati." Jelas Sani ragu.

" What!!!" Riani terlihat bingung.

" Bukankah di sekolah ini belum ada yang berstatus sebagai kekasihnya? Mungkinkah berbeda sekolah? Apa Kau pernah melihatnya Zahra?" Riani menoleh ke arahku begitu tahu Aku tetangga jauhnya.

Aku menggeleng dan seingatku Felix selalu bersama Ibunya.

" Mungkin mereka LDR." Ucapku asal tebak dan jelas ngawur.

" Bisa jadi." Jawab Riani.

" Sudahlah Vin. Kau kan cantik. Banyak juga yang menyukaimu. Lihatlah Samuel. Dia juga tak jauh tampan dan menarik dari Felix." Jelas Sani sedikit menghibur. Sedangkan Riani langsung menahan ketawanya. Sani menyamakan Samuel dengan Felix. Karena jelas itu tidak sebanding menurutnya.

" Masih mending Kak Tirta atau Robert kelas X.1 kali daripada Samuel." Bisik Riani ke Aku. Dan Aku langsung melototkan mata kearah Riani. Robert adalah salah satu orang yang pernah kutolak setelah Kak Tirta. Dan Aku sungguh kasian terhadapnya. Dia benar-benar mempunyai pribadi yang menarik. Dia pernah sama-sama satu bimbingan belajar denganku saat di SMP. Prinsipku jelas itu yang menolaknya. Dan Aku merasa bersalah dengan mereka semua. Semoga mereka tidak ada yang berdoa jelek-jelek untukku. Apalagi dendam denganku.

" Sorry." Riani mengerucutkan bibirnya dan merasa tak bersalah.

" Eh, Bagaimana ini? Ketukan setengah berurutan buat pusing kepala saja." Gerutu Riani mengalihkanku.

Kami kembali fokus membaca not balok yang tersusun rapi. Sambil memainkan pianika.

Setelah pelajaran musik selesai. Aku langsung pulang naik angkutan umum. Ayah dan Ibuku tidak dapat menjemputku hari ini. Di jalan Aku sempat melihat Felix. Dia berkendara tepat di belakang angkutan. Dia menaiki Yamaha R25 warna merah yang terkesan sangat mencolok. Apalagi dimata fans-fansnya. Dan jangan harap Dia melihatku saat ini. Dia fokus memandang ke jalanan. Tapi buat apa Aku peduli. Itu sesuatu yang tidak penting. Setelah beberapa menit menempuh perjalan dengan angkutan umum. Akhirnya Aku sampai dirumah dan langsung mandi. Teriknya sinar matahari siang ini membuatku sangat gerah. Begitu juga kulitku terasa lengket karena keringat. Selesai mandi, Aku mengeringkan rambutku dengan sebuah handuk.

Tak selang lama Ibuku pulang. Aku tertidur saat Beliau masuk ke kamarku. Aku sedang merasa lelah. Tanpa terasa Aku benar-benar ketiduran.

" Salwa bangun!" Ucap Ibu membangunkanku.

" Sudah sore." Tambahnya lalu keluar dari kamarku.

Aku menggeliat dan melihat jam dinding dikamarku. Jarum menunjukkan pukul lima sore. Aku langsung bangun. Sinar matahari sudah mulai redup dan berubah menuju senja. Bahkan birunya langit sudah sedikit tertutup awan putih. Mereka membentuk berbagai ilustrasi domba. Aku melangkah keluar dari kamarku dan mengambil air wudhu.

Malamnya seperti biasa kami makan malam keluarga.

" Salwa. Besok kami ada kepentingan keluar kota sehari. Jadi Kami menitipkan Kau ke bu Mirna." Ucap Ibuku membuatku sedikit tersedak.

" Maksudnya Ma?"

" Maksudnya Kau akan menginap di rumah bu Mirna sehari saja." Jelas Ibuku membuatku syok.

" Tidak perlu Ma. Aku bisa naik angkutan umum atau ojek online. Dan dirumah sendirian tidak apa-apa." Aku tegas menolaknya.

" Iya juga sih. Tapi itu kemauan bu Mirna mengetahui Kita ada acara mendadak. Dia khawatir terhadapmu. Apalagi Kau perempuan." Jelas Ibuku. Secara Kak Zyahdan sudah di luar kota untuk kuliah.

" Aku berharap Mama menolaknya." Ucapku memohon. Aku yakin Aku bisa di rumah sendiri.

Aku tidak mau membayangkan satu atap sama manusia dingin itu. Walaupun hanya satu hari. Aku mendengus kesal.

To be Continued

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!