Bos Somplak
"Pak, saya kebelet!"
"Kebelet buang air?"
"Kebelet pengen dinikahin sama bapak."
Pak Erwin tersenyum tipis. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
"Pak, jangan senyum!"
"Kenapa?" tanyanya saat kedua bahu kami saling bersentuhan.
"Nanti aku mati."
Pria tampan itu menaikkan sebelah alis. "Mati?"
"Iya, mati tenggelam ke dalam senyuman Bapak!" Aku nyengir kuda.
Plakk!!!
Pak Erwin menepuk jidatku dengan selembar uang seratus ribu. Aku tersenyum puas. Lumayan, buat beli skincare.
"Dasar bos culun!" lirihku sambil menenteng alat pel dan seember air, aku melangkah menuju ke ruangan receptionist untuk melanjutkan pekerjaanku.
"Zahra!"
Aku langsung menoleh ke belakang setelah pak Erwin yang hendak menaikki lift memanggil.
"Jangan lupa mandi!"
"Bau keringatmu nggak enak!"
Sialan! Aku langsung mencium kerah seragam yang kukenakan. Pak Erwin terkekeh sebelum menghilang ditelan lift.
Aku menggeram. Awas kamu ya, Pak! Aku akan menaklukan hatimu dan menguras semua hartamu!
...***...
"Saya, takut ketahuan, Pak!"
"Ah, jangan kenceng-kenceng!"
Plakk!!!
Aku langsung terbangun dari lamunan, setelah Sekar menepuk dahiku sedikit keras.
"KERJA WOY, KERJA!!"
"Ishh, ganggu aja orang lagi enak-enak nglamun!" dengkusku sembari beranjak dari duduk.
"Kerjaan kamu tuh, belum kelar-kelar!" balasnya sewot.
"Bawel!" Aku mulai menyapu debu-debu yang ada di lantai.
"Gajinya sama, aku doang yang capek!" Sekar masih berceloteh menceramahiku dengan tubuh membelakangi.
"Nyerocos mulu Donal Bebek. Awas aja, sekarang kita emang sama-sama babu, tapi besok aku bakalan jadi bosmu!"
"Halu!" ejek Sekar.
"Hmm, hidup itu kurang enak gimana coba, pengen sesuatu tinggal halu." Aku tersenyum masam, kemudian melanjutkan pekerjaan yang membosankan ini.
Terdengar suara gemuruh dari luar ruangan yang kami bersihkan. Sekar menjerit saat tubuhnya ditabrak beberapa orang yang berlari sambil membawa map di tangannya.
Tubuh kurus dekil itu terjerembab ke lantai. Membuat tawaku langsung menyembur.
Salah seorang pria berjas rapi yang menabrak Sekar berlalu begitu saja, menyusul teman-temannya. Setelah sebelumnya berkata. "Sorry, kami buru-buru."
Sekar tampak mengaduh kesakitan, sambil memegangi kakinya.
Karena tidak tega, akhirnya aku mendekat sambil terkikik. Ingin membantu ia berdiri.
Sekar masih menunduk, saat aku mengulurkan tangan. Sampai beberapa detik kemudian dia akhirnya mendongak, sambil menyibak rambut yang menutupi wajahnya.
"Santai aja keles! Aku nggak cengeng kayak kamu!"
Aku terkejut melihat bibirnya yang tersenyum sinis.
"Dih, terus kenapa tadi pura-pura kesakitan? Caper?" tanyaku ketus. "Cie elah kasihan, nggak ada yang peduli!"
"Bacot!"
"Kalau aku yang jatuh mah, pasti ditolongin sama mereka. Berhubung kamu yang jatuh, mereka males. Anggap aja tikus got yang keinjek. Ah, udahlah nggak perlu ditolong." Aku tertawa.
Sekar kembali mengaduh lagi. Membuat tawaku terhenti. Bingung kenapa perempuan berhidung pesek itu kembali berakting.
Sorot mataku beralih ke arah bayangan pria yang melangkah mendekat. Derap langkah sepatu pantofelnya berbunyi, saat menapak lantai.
"Aduh, sakit Pak!" Sekar semakin meringis kesakitan.
Aku memutar bola mata malas. Melihat drama yang dilakukan oleh Sekar.
"Kamu kenapa?" tanya pak Erwin dengan nada dingin.
"Em, tolong Pak, kaki saya terkilir," keluh Sekar.
Mulutku menganga lebar, melihat pria tampan berhidung bangir itu membantu Sekar berdiri. Kemudian memapahnya untuk duduk di kursi panjang yang tersedia di sudut ruangan.
Kedua tanganku terkepal. Pinter juga modus si Sekar. Kakinya pura-pura pincang saat dipapah oleh pak Erwin.
"Kok, bisa begini?" tanyanya dengan suara berat.
"Ditabrak gerombolan anak muda yang bawa map, Pak."
"Owh yang tadi, mereka mau melamar pekerjaan," jawab pak Erwin.
Aku bergidik jijik melihat wajah Sekar yang pura-pura memelas. Huh, sadar diri sadar bentuk dikit
napa?
Ting!
Terlintas sebuah ide brilian di kepala.
"Adu du duh, Pak tolong. Kaki saya sakit." Aku menjatuhkan badan hingga terduduk di lantai.
"Ya ampun sakit banget, tolong, Pak." Aku pura-pura meringis kesakitan.
Pak Erwin menoleh, kemudian melangkah mendekat. Aku sempat melirik Sekar yang menghunuskan tatapan tajam.
Pak Erwin berjongkok di depanku. Hingga aroma parfum yang memabukkan melumpuhkan indra penciumanku.
"Kenapa, hmm?" tanya pria tampan berkulit putih itu.
Desir-desir aneh langsung menjalar ke seluruh tubuh. Suara bass pak Erwin berdenging di telingaku.
"Sakit Pak." Aku memijat kaki.
"Apanya?"
"Hatiku?"
Pak Erwin menaikkan sebelah alis.
"Karena bapak dekat-dekat sama Sekar," lirihku sambil melirik ke arah Sekar yang terlihat geregetan. "Bagaikan laut sama air comberan. Kalian nggak pantes bersatu."
Pak Erwin menyungging seulas senyum. Matanya sampai menyipit seperti bulan sabit. Ah, manis sekali. "Hmm, tak cium mau?"
Aku terbelalak sambil menelan ludah dengan susah payah. Hanya bisa manggut-manggut dengan wajah pasrah. Rela diapa-apain pokoknya.
Mataku terpejam seiring dengan detak jantung yang berdebar. Ketika wajah tampan itu mulai mendekat.
"Pak Erwin, sudah saya bilang berkali-kali! Anda tidak pantas berinteraksi dengan office Girl seperti mereka. Tolong jaga image dan wibawa anda!"
Kami semua langsung menoleh ke sumber suara. Menatap seorang perempuan yang mengenakan pakaian formal. Bu Dona, sekertaris pak Erwin.
Pak Erwin beranjak, sambil mengibas-ngibaskan tangannya. "Saya berhak ramah dengan siapapun orang yang bekerja di kantor saya."
"Tapi, seorang office girl tidak layak bapak kasih perhatian lebih." Bu Dona melipat kedua tangan di depan dada. Sambil menatapku nyalang.
"Kalau memberi perhatian kepadamu nanti dimarahi suamimu. Lebih baik saya mengakrabi mereka yang masih gadis." Pak Erwin tersenyum.
Somplak emang nih, bos.
Pipi Bu Dona tampak bersemu merah. "Nggak pa-pa kalau Pak Erwin mau ngasih perhatian sama saya. Bisa diatur!"
Ekspresi Bu Dona berubah manja. Persis seperti wanita penggoda.
Perempuan berkaca mata yang rambutnya dikuncir ekor kuda itu melangkah mendekat. Menggandeng tangan pak Erwin begitu saja, kemudian mengajaknya memasuki lift. Kudengar samar-samar bisikan lirih dari Bu Dona.
"Saya juga butuh belaian, Pak. Suami saya tidak bisa memuaskan saya."
Aku menepuk jidat, setelah dua orang penting itu hilang dari pandangan.
Ini perusahaan apa sih? Kok bos sama karyawannya gila semua?
***
"Kamu cari informasi kek, Pak Erwin itu udah nikah apa belum?" tanyaku sambil melahap nasi bungkus yang diberikan oleh kepala kebersihan.
"Kamu tanya sana sama Bu Dona atau sama karyawan lain yang dekat sama Pak Erwin."
"Dih, malu aku tanya-tanya soal pimpinan perusahaan. Enak aja, harga diri office boy woy, harga diri!"
"Bener juga. Office girl juga harus menjaga kewibawaan di depan atasan," imbuh Sekar.
Aku manggut-manggut.
"Hmm, kayaknya Pak Erwin belum nikah deh," sahut Sekar ditengah-tengah kunyahannya. "Kalau udah nikah, mana berani dia nempel-nempel ke karyawannya."
Aku meneguk botol minuman, setelah menelan bulat-bulat makanan yang kusuapkan. "Pak Erwin itu ganteng, siapapun pasti mau sama dia."
"Sayangnya," ucapanku terhenti. "Suka meresahkan."
Sekar mengangguk. "Sama cewek mana aja suka nempel. Istri orang juga dia embat. Jangan-jangan dia kebelet nikah tapi belum punya pasangan?"
"Kalau emang iya, bukan kita juga kali yang jadi kanidatnya," jawabku sambil bersendewa. Kemudian *******-***** bungkus nasi yang sudah kosong.
"Kenapa?"
"Beda kasta. Orang terhormat kayak kita nggak pantes buat Pak Erwin. Office girl gitu lho, profesi paling terhormat di perusahaan ini!" ucapku penuh penekanan. Sedikit kesal, kenapa harus terlahir sebagai office girl.
"Tidak ada yang lebih mulia di mata Tuhan, selain iman dan taqwa."
Cklekk!
Ada yang membuka pintu gudang. Tempat kami biasa makan siang.
"Tolong buatkan kopi buat pak Erwin."
Aku langsung terlonjak girang. "Siap, Pak!"
"Segerakan!" ujarnya kemudian melangkah pergi.
Sekar ikut beranjak. "Gantian aku dong, masak kamu terus elah!"
"Bukan rejekimu haha!" Aku tertawa saat hendak melangkah keluar.
Sekar menahan tanganku agar tidak pergi. "Pokoknya gantian aku!"
"Enggak!"
Mata Sekar tampak melotot. "Tak cabik-cabik ginjalmu kalau nggak nurut!"
"Bodo!"
Kami berdua saling berebut untuk lebih dulu keluar dari gudang. Sekar menarik kaosku hingga mundur ke belakang. Aku gantian menarik rambutnya hingga dia meringis kesakitan.
Merasa mendapat kesempatan. Aku langsung keluar dan mengunci Sekar di dalam gudang.
"Kurang ajar kamu Zahra!"
...Bersambung......
...Hargai penulis dengan follow Instagram, nurudin_fereira ya 🙏...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Alya Yaya
huaaadiiiiir...zeruuuuu keknya
2022-04-02
0
Kurniasari Kurniasari
hadiiiiirrrrrr
2022-02-18
0
Wenndy
haaa akhir nya nemu jg..pernh baca sampai part 3 di fb
2022-02-11
0