...Ditunggu komen-komennya....
...***...
Dengan pencahayaan yang temaram di dalam mobil, aku bisa melihat sudut bibir pria itu yang tersungging.
Aku menyalakan senter yang ada di ponsel untuk membunuh rasa penasaranku. Pria itu menyipitkan mata, saat senter dari ponselku menyorot wajahnya.
"Pak Erwin?"
"Kok, bapak ada di mana-mana sih?"
Pria tampan itu malah tertawa.
"Setelah jadi penjaga kasir, bapak kerja juga jadi sopir online?"
Pak Erwin mulai menarik pedal gas mobilnya. "Saya juga punya pekerjaan sampingan, menjaga bidadari pujaan hati."
Wajahku langsung bersemu merah. Bersama desir-desir aneh di dalam dada.
Dalam keheningan. Aku diam-diam melirik wajah tenangnya yang menyetir mobil. Sesekali wajahnya tersorot cahaya lampu dari luar, kemudian kembali gelap, remang-remang.
Aku mengalihkan pandangan ke luar kaca jendela. Tidak ingin semakin terpesona dengan pria tampan penuh kejutan itu.
"Udah puas menganggumi wajah saya?" tanyanya dengan suara berat.
Aku terperangah. Bagaimana dia bisa tahu aku diam-diam meliriknya?
"Lanjutin aja, dipuas-puaskan ngelirik saya. Biar nanti bisa tidur nyenyak." Pak Erwin menoleh ke arahku sambil mengulum senyum.
"Ge-er banget sih?!" Aku mendengkus, sambil menahan senyum.
Pak Erwin terdiam. Kembali menatap lurus ke depan dengan wajah tenang.
"Kenapa wajah dan lenganmu lebam-lebam?" tanyanya dengan suara berat. Khas orang berwibawa.
Aku terdiam sambil merapatkan bibir.
"Jujur saja."
"Nggak pa-pa, Pak." Aku menunduk.
Pak Erwin menghela napas kasar.
"Kenapa bapak peduli sama saya?" tanyaku penasaran.
Pria itu terdiam cukup lama, sebelum akhirnya memberi jawaban. "Karena kamu lucu."
"Lucu?"
"Iya, suka godain saya."
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Apa hubungannya?"
Pak Erwin tertawa.
"Terus kok bapak bisa jadi penjaga kasir? Lalu, tiba-tiba sekarang jadi sopir taksi online? Gimana ceritanya?"
Pria itu masih tertawa. "Saya ingin tahu lebih banyak tentangmu."
"Kenapa bapak nglakuin itu?"
"Penasaran aja."
Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Owh iya, sebenarnya aku kecewa karena kamu sudah punya pacar."
Mataku membulat. Tunggu, apa maksud dari ucapan itu? Tolong bagi yang paham jelasin dong?
"Tapi nggak jadi sih, kelihatannya pacarmu tidak sayang kepadamu."
Hadeuh!
Srrttttt....
Pak Erwin mengerem mobilnya secara tiba-tiba. Di pinggir taman.
Wajahku kembali merona. "Bapak mau ngajak saya pacaran di taman?"
Pak Erwin mengulum senyum, sambil menoleh ke arahku. "Lihat, siapa yang pacaran di sana?"
Aku menatap ke arah yang ditunjuk Pak Erwin dengan dagunya. Kedua tanganku terkepal, mendapati Kevin dan Nesa sedang berduaan di kursi kayu panjang yang bersebrangan dengan jalan raya.
Kevin merangkul Nesa dengan wajah semringah. Sesekali terbahak karena menceritakan sesuatu. Dari sorot lampu taman, bisa kulihat binar-binar bahagia Nesa saat berduaan dengan Kevin.
Aku menyalakan ponsel kemudian mengirim pesan kepada Kevin.
Me : Kevin, kamu dimana?
Terlihat dari sini, Kevin membuka ponselnya. Melepaskan rangkulannya pada bahu Nesa untuk membuka pesan dariku.
Ting!
Beberapa detik kemudian, notifikasi pesan balasan dari Kevin muncul.
Kevin : Lagi nganterin Nesa, baru nyampai
Aku menggeram saat membaca pesan tersebut. Ingin turun dari mobil untuk memberi pelajaran pada cowok tersebut. Namun, pak Erwin dengan sigap mencekal lenganku.
"Mau kemana?"
"Aku harus ke sana!"
Pak Erwin masih menahanku. "Tidak usah membuang-buang waktumu untuk cowok seperti dia."
Huh! Aku menghela napas kasar. Kemudian kembali menghempaskan tubuh ke kursi mobil empuk ini.
Kuputuskan untuk mengirimkan pesan balasan kepada Kevin.
Me : Kamu nggak mampir dulu buat pacaran kan?
Ting!
Kevin : Ya ampun Zahra cemburuan banget sih, kita kan cuma temen. Masak pacaran sih?
Me : Kenapa nggak pacaran sekalian? Aku marah kalau kamu sama Nesa nggak pacaran.
Me : Udah dikasih kesempatan pacaran malah nggak pacaran. Yaudah kita putus aja!
Aku langsung menjatuhkan ponselku ke dashboard. Dengan wajah kesal.
Ponsel itu terus berdering beberapa kali, tapi kuabaikan. Memilih melirik ke arah pak Erwin yang menyeringai lebar.
***
"Perempuan murahan, jam segini baru pulang."
Ucap Rustam sambil melirik jam tangan di lengannya. Duduk di kursi ruang tamu dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap di atas meja.
Rustam adalah suami dari kak Sari. Anak pertama paman Aji. Tiga tahun lalu sebelum menikah, dia mengaku sebagai pejabat pemerintah yang berdomisili di Kalimantan.
Aku tidak tahu hal itu benar atau tidak. Nyatanya sudah dua bulan ini ia dan istrinya kembali ke Jakarta dan numpang di rumah ini.
Kenapa dia sampai pindah numpang di sini jika memang benar-benar seorang pejabat pemerintah?
Lalu, apakah jabatannya tidak mampu menolongnya untuk membeli rumah sendiri?
"Eh, tolong beliin aku rokok di warung dong. Rokokku habis nih," titahnya.
"Enak aja nyuruh-nyuruh, emangnya kamu siapa di rumah ini?" sentakku kesal.
"Songong amat bocah, nggak sopan sama yang lebih tua!"
"Kamu sopan nggak nyuruh-nyuruh tuan rumah buat beli rokok?! Udah numpang nggak sadar diri!"
"Zahra!"
Aku langsung menoleh ke arah kak Sari yang muncul dari belakang. "Keterlaluan banget sih kamu."
"Suamimu yang keterlaluan kak." Aku menghela napas kasar.
"Papa!! Papa!!!" Kak Sari mengadu kepada ayahanda tercintanya.
Paman Aji yang sudah mengenakan baju tidur melangkah menghampiri kami. "Ada apa ini ribut-ribut?"
"Keponakanmu nih mulutnya pedes banget, marah-marahin mas Rustam. Padahal mas Rustam ngomongnya baik-baik, dia malah ngegas." Kak Sari menunjukku dengan wajah kesal.
Aku menaikkan sebelah alis saat paman Aji menatap ke arahku. "Kalau iya emang kenapa?"
Paman Aji menggeram. Wajahnya tampak berkilat-kilat.
"Kalau nggak suka sama sikapku, lebih baik kalian semua pergi dari rumah ini!"
Plakkk!!!
Paman Aji menamparku cukup keras. Hingga kepalaku terdorong ke samping.
"Pukul! Pukul aja terus!! Anda pikir nggak sakit apa dipukul-pukul terus!!!"
"Anak nggak tahu sopan santun!" Paman Aji menggeram. Mendorongku hingga terjatuh ke lantai.
Belum sempat luka tadi sore menghilang, sekarang sudah ditambah lagi.
"Hajar Pa, anak kayak dia perlu dikasih pelajaran."
Aku menyibak rambut yang menutupi seluruh wajah. Hingga bibirku yang tersenyum miris terlihat. "Ayo tampar lagi. Kalau aku mau, sudah aku seret anda ke penjara tua bangka!"
Paman Aji semakin kesetanan memukulku. Rustam memanfaatkan momentum untuk memisah kami berdua.
"Sudah Pa, sudah! Kasihan Zahra!" Rustam mencoba menenangkan mertuanya yang gila.
"Kamu turutin aja kemauanku lah Zahra, biar papa mertua nggak marah-marah. Beliin aku rokok di warung." Rustam menarikku agar kembali berdiri.
"Nggak sudi!" sarkasku sambil menghempaskan tangan Rustam yang menarikku berdiri.
Paman Aji yang masih tersulut emosi menyahut. "Turutin perintah Rustam!" bentaknya dengan dada naik turun. Kak Sari mengelus-elus bahunya dari belakang.
"Aaanjiiiing!!!" umpatku kesal. Kemudian keluar dari rumah. Menuju ke warung terdekat untuk membelikan Rustam rokok.
Sialan memang keluarga itu. Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan mereka.
Tapi bagaimana?
Pada siapa aku harus meminta tolong?
...Hargai penulis dengan follow Instagram nurudin_fereira...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Jeng Anna
Mengagumi
2022-10-15
0
Kurniasari Kurniasari
lumayan ini cerita
2022-02-18
0
Dini Junghuni
lanjut
2022-02-03
0