...Ini Erwin. Ganteng nggak wkwk
...
Jangan lupa komen dan support cerita ini. Ajak teman-teman kalian buat ikut baca biar bisa baper berjamaah.
Semakin rame semakin cepet update hehe..
***
Aku menggerutu di sepanjang perjalanan. Setelah membelikan rokok untuk Rustam di mini market.
Malam ini terlihat sangat gelap gulita. Tidak ada bulan ataupun bintang yang menghiasi angkasa. Gumpulan awan mendung sesekali terbelah oleh kilatan petir. Hembusan angin menyeruak, disertai gerimis rintik-rintik.
Aku buru-buru berlari mencari tempat berteduh. Sekujur tubuh merinding, melihat deretan pepohonan di pinggir jalan meliak-liuk tertiup angin yang sedikit kencang. Menggugurkan daun-daun.
Sial!
Harus berada dalam bahaya hanya untuk memenuhi kepentingan seseorang. Seseorang yang bahkan tidak peduli dengan dirinya.
Seorang pria yang kepalanya ditutupi oleh tudung jaket berlari menuju ke arahku.
Aku sedikit menggeser posisi ketika dia sudah sampai di sebelahku. Jantungku berdebar-debar kencang, mengingat bahwa kami di sini hanya berdua. Takut pria asing ini melakukan hal yang macam-macam.
Sementara hujan semakin deras mengguyur ibu kota. Jalanan aspal tampak basah berkilauan, air diselokkan mulai mengalir deras. Disertai kilatan petir yang menyambar-nyambar.
Aku merapatkan pelukan pada tubuhku yang mulai menggigil kedinginan. Percikan hujan yang tertiup angin membuat bajuku sedikit basah.
Diam-diam melirik ke arah pria di sebelahku yang terdiam. Wajahnya tidak terlihat, karena tertutupi tudung jaket hitam. Mirip seperti malaikat pencabut nyawa yang digambarkan oleh film-film cartoon di televisi.
Sreekkk!
Terdengar suara resleting jaket yang dibuka. Aku langsung terlonjak kaget setelah pria itu melapas jaket.
"Pak Erwin?" ucapku sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
Pria tampan yang rambutnya sedikit berantakan itu tersenyum tipis, hingga kedua matanya menyipit.
Ketakutan dan kengerian yang sedari tadi mencengkram langsung musnah. Terganti dengan binar-binar kesyahduan di tengah hujan lebat. Terjebak berdua dengan pria tampan di tengah hujan adalah sebuah hal yang menyenangkan bukan?
Aku menunduk sambil menahan senyum. Menyembunyikan semburat merah yang mungkin sudah muncul di kedua pipi.
"Bapak kok kayak hantu sih. Muncul di mana-mana."
Pak Erwin terkekeh. "Aku selalu berada di dekatmu."
"Bapak bisa ngilang ya?" tanyaku pura-pura kesal.
"Haha ..."
"Dih, malah ketawa." Aku mendengkus.
"Lucu aja."
"Siapa yang lucu?" tanyaku.
"Saya dong. Kok lucu banget," jawab pak Erwin dengan suara bassnya.
"Lah, muji diri sendiri?"
"Iya. Kok bisa ya saya daritadi ngikutin kamu terus?"
Aku bergidik-gidik sebal. "Iya ih, nggak terhormat banget. Masak orang nomor satu di perusahaan Wijaya Group nguntitin bawahannya."
Pak Erwin terbahak sambil mengacak-acak rambutku. "Kamu lucu soalnya."
"Udah tau!" jawabku.
"Tapi saya juga lucu, karena mau-maunya ngikutin kamu." Pria itu kembali menatap ke depan. Melihat hujan.
"Berarti kita berdua sama-sama lucu ya, Pak?" Aku melirik ke arahnya.
"Mungkin," jawabnya.
"Cieee ...," godaku.
"Ciee, apanya?"
"Jodoh." Aku nyengir kuda.
Pak Erwin terbahak sambil mentoyor dahiku.
Aku langsung memberengut. "Jangan sambil mukul elah!"
"Hmm, ngomong-ngomong kenapa kamu malam-malam keluar?"
Aku memperlihatkan sebungkus rokok yang kugenggam. "Disuruh kakak ponakan beli rokok. Nyebelin banget nggak sih, Pak?"
"Kenapa pipi kamu tambah lebam?" tanya pria berhidung mancung itu.
Aku terdiam.
"Apakah keluargamu sering melakukan kekerasan?" tanyanya dengan sorot curiga.
Aku menggeleng.
"Hmm, jujur saja."
"Kapan-kapan aku ceritakan, Pak." Ada sedikit jeda pada ucapanku. "Kalau kita udah nikah hehe..."
Pak Erwin tersenyum tipis. Hatiku langsung mencelus melihatnya.
"Ya," jawabnya dengan suara serak.
Aku langsung terbelalak. Kemudian menoleh ke arah pak Erwin dengan tatapan tak percaya.
"Nanti saya nikahin kamu, kalau saya lagi gabut."
Sial!
Pak Erwin terkekeh. Menyampirkan jaketnya ke kedua bahuku kemudian berlari menembus lebatnya hujan.
Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Dia beneran bosku apa cuma setan sih?"
Setelah beberapa detik kemudian, aku tersenyum. Mencium aroma khas dari jaket yang diberikan pak Erwin. Wangi!
***
Pagi-pagi saat akan berangkat kerja. Rustam, pria pengangguran yang sedang asyik menghisap rokok di depan teras tiba-tiba menghentikan langkahku.
"Kenapa?" tanyaku sedikit kesal.
"Mau berangkat kerja?"
"Iya lah, emangnya situ. Ngakunya anggota DPR tapi masih numpang," ucapku sewot.
Kak Rustam menghela napas kasar. "Aku ingin membantumu."
"Membantu apa?"
"Hmm, merebut semua hartamu dari papa mertuaku."
Aku menatap pria berumur 35 tahun itu dengan alis yang menukik.
"Kamu sekarang sudah cukup dewasa untuk meminta hakmu," jelas kak Rustam dengan wajah prihatin. "Harta dari mendiang orangtuamu melimpah ruah, tidak sepantasnya kamu bekerja sebagai babu di perusahaan orang."
Pria yang rahangnya ditumbuhi bulu-bulu tipis itu mengelus-ngelus bahuku. "Keluarga mertuaku memang sudah tak tahu diri dengan menguasai kekayaanmu."
"Dulu kamu masih bocah kecil yang tidak tahu apa-apa. Sekarang kamu sudah dewasa dan seharusnya kamu sudah paham dengan semuanya."
"Aku sudah paham, tapi tidak tahu harus minta bantuan ke siapa. Aku masih belum mengerti bagaimana mengusut kasus ini. Tidak ada yang peduli padaku sejak kecil."
Sudut bibir kak Rustam tersenyum miris. "Kau butuh bantuan orang dewasa."
"Anda sama liciknya dengan mereka!" desisku kesal.
"Hanya karena aku suka nyuruh-nyuruh?"
Aku terdiam.
"Zahra, sebagai mantan pejabat aku sangat mengayomi orang-orang lemah."
"Haha ...," Aku tertawa. "Lalu kenapa sekarang kamu lengser dari jabatan, jatuh miskin, sampai numpang di rumahku?"
Ekspresi kak Rustam berubah kesal. "Kau memang keras kepala, pantas saja tidak ada yang peduli padamu."
"Aku tidak pernah mendapat keadilan sejak kecil Tuan, bagaimana mungkin aku menghormatimu."
"Aku akan membantumu!" Rustam melotot kesal. Kehilangan kesabaran. "Akan aku carikan kamu pengacara yang handal. Lalu, kita usut kasus mereka ke pengadilan?"
"Lalu, setelah semuanya selesai. Dan, semua harta ini kembali ke tanganku. Bagaimana dengan nasibmu dan kak Sari istrimu."
"Itu terserahmu."
"Aku akan mengusir kalian juga dari sini."
"Ya, itu hakmu."
Hatiku melunak mendengar jawaban kak Rustam. Awalnya aku hanya ingin memastikan setulus apa dia ingin membantuku. Terlihat dari jawabannya, sepertinya dia tidak ingin mengharapkan upah sama sekali.
"Oke, bantu aku. Aku tidak akan menelantarkan kalian. Aku masih punya hati nurani."
Bibir kak Rustam tertarik sedikit. "Aku tidak butuh belas kasihan darimu, Zahra."
Aku mengerutkan dahi.
"Aku akan membantumu sampai kamu berhasil merebut hartamu dan menendang mereka keluar dari rumah ini. Tapi, aku punya satu syarat."
"Syarat?"
"Ya, bantu aku untuk membunuh bosmu. Erwin Zamzami."
Aku langsung terbelalak. "Apa urusannya dengan dia."
"Nanti kau akan tahu sendiri seberapa jahatnya dia."
Kenapa kak Rustam ingin membunuh pak Erwin?
Bersambung...
Hargai penulis dengan follow Instagram nurudin_fereira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Jeng Anna
Ganteng siihh cuman bosen sama oppa Koreyah nah beb
2022-10-15
0
Ryni Sutomo
makin seru thor lanjutkan
2022-09-22
0
Alya Yaya
wuaaah tambah seru nih
2022-04-02
0