"Kopinya, Pak!" ucapku sambil menunduk. Setelah sampai di ruangan pak Erwin.
"Taruh situ!" titahnya yang masih fokus bermain game online pada ponselnya. Bersender pada kursi busa dengan kedua kaki yang naik ke atas meja.
Ini CEO kok nggak ada serius-seriusnya kerja sih? Malah main game. Untung ganteng.
Begitulah kalau anak orang kaya. Nggak perlu pinter-pinter, lulus kuliah langsung meneruskan perusahaan papa.
Aku tebak, Pak Erwin berangkat ke kantor cuma untuk formalitas. Semua pekerjaannya mungkin sudah dihandle oleh orang kepercayaan ayahnya.
Atau mungkin, dia berangkat ke kantor niatnya cuma biar nggak disebut pengangguran sama tetangga-tetangganya.
Kelihatan banget kalau dia maniac game sama seperti anak-anak muda pengangguran zaman sekarang.
"Kenapa masih disitu?" tanyanya sambil melirik ke arahku sekilas.
Aku menunduk sambil *******-***** ujung kaosku. "Bapak nggak pengen lihat wajah saya?"
"Kenapa?"
"Biar jatuh cinta." Aku nyengir kuda.
Pak Erwin menggoyang-goyangkan sepatunya. "Ini, sepatuku dari tadi udah ngelihatin wajahmu."
Anjrott! Aku mengumpat dalam hati.
Dasar bos somplak!
***
"Kak Sari, kakakmu yang pertama, menikah dengan anggota DPR."
"Lalu, kakakmu yang kedua menikah dengan seorang pilot. Sementara kamu, malah milih jadi babu kayak gini."
"Memalukan, lulus sekolah kerjanya cuma jadi babu!" cibir pamanku sebelum menghisap sebatang rokok yang terselip di bibirnya.
Aku menatapnya dengan wajah malas. "Izinkan aku pergi kalau anda tidak suka saya seperti ini!"
"Enak saja! Kamu harus balas budi!" Pamanku menyemburkan asap ke udara, kemudian menyesap secangkir kopi yang berada di atas meja.
"Kalian yang seharusnya sadar diri, dan pergi dari rumah ini!" sindiriku telak.
Paman menggeram. Menyorotku dengan tatapan tajam. "Kami yang telah membesarkanmu hingga seperti ini, mana sopan santunmu terhadap orang tua?"
"Kalian di sini hanya numpang!" Aku membalas tatapannya dengan pelototan tajam. "Jadi, siapa yang nggak punya sopan?!"
Paman Aji adalah kakak dari almarhum ayah. Mereka sekeluarga pindah ke rumah ini setelah kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan tragis. Namun, mereka lupa siapa sebenarnya pemilik asli rumah ini.
Mereka seperti penjajah.
Sekumpulan keluarga aji mumpung yang memanfaatkan situati untuk menikmati kemewahan, dengan kedok mengurusi anak yatim sepertiku.
Padahal tujuan mereka jelas, untuk menguasai harta kedua orang tuaku.
Sejak kecil, aku sudah diperlakukan selayaknya seorang babu oleh keluarga ini. Pantas bukan, jika ucapanku terkesan melawan. Aku ingin pergi dari rumah ini, tapi sayangnya pria bengis itu tidak mengizinkan.
Pernah suatu ketika aku kabur dari rumah. Namun, orang itu membayar beberapa orang suruhan untuk menyeretku pulang.
Tentu saja, mereka tidak ingin aku pergi dari rumah ini. Karena seluruh harta yang sekarang mereka nikmati adalah hakku sepenuhnya sebagai ahli waris yang sah.
Mereka takut, kalau aku mengusut kasus ini ke jalur hukum. Keluarga paman Aji akan terusir, jadi gembel. Karena itu mereka mengawasi pergerakanku dengan ketat. Agar tidak macam-macam.
Sangat membosankan. Padahal aku hanya ingin hidup tenang.
Masa bodoh soal harta, tidak ada pentingnya sama sekali bagi hidupku. Aku sudah sangat tersiksa hidup dengan mereka yang sok baik di depan orang-orang, tapi menusuk dari belakang.
Aku hanya ingin pergi. Pergi ke pelukan bos Erwin contohnya.
"Udah lah, nggak usah banyak bacot. Aku capek, baru pulang kerja!"
"Dasar, nggak punya sopan santun!" bentak paman Aji.
"Aku tidak perlu berlaku baik di depan orang yang tidak pernah memanusiakan manusia!" Aku tersenyum miris.
"Jaga bicaramu di depan pamanmu!" Bi Susi datang dari arah dapur. "Biar bagaimanapun dia adalah orang yang sudah membesarkanmu!"
Aku tertawa hambar. "Apa yang kalian miliki adalah hartaku, tempat yang kalian tinggali juga sebenarnya milikku. Kalian di sini hanya seorang pecundang yang menari-nari di atas penderitaan tuannya!"
Plakk!!!
Bi Susi menamparku begitu keras. Membuat wajahku tertoleh ke samping.
Aku tersenyum miring.
Bugh!
Sebuah tendangan meluncur mulus ke pinggangku. Hingga membuat tubuh ini terhempas ke lantai.
Rasa nyeri langsung menyebar. Aku mendongak sambil menyingkarkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah. Kembali tersenyum manis, sebagai ucapan terimakasih atas perlakuan mereka.
Meski pinggangku rasanya sakit luar biasa.
"Ya, kalian hanyalah seorang pecundang yang menari-nari di atas penderitaan majikannya."
"Kurang ajar!" Paman Aji yang sudah tersulut emosi langsung menendangku berkali-kali. Dengan sekuat tenaga, sampai dia lelah.
Tidak mempedulikan aku yang tergolek lemah di atas lantai. Tak usah ditanya bagaimana sakitnya tendangan itu. Bahkan sekarang, seluruh tulang-tulang di tubuhku terasa remuk.
Namun aku hanya tertawa. Menertawakan kelakuan mereka. "Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi bajing*n! Aku bisa saja mengusir kalian dari rumah ini! Sayangnya, aku tidak tega dengan kalian yang sudah numpang bertahun-tahun di rumah ini!"
"Br*ngsek!" Paman Aji menendangku sekali lagi. Dengan dada yang naik-turun penuh amarah.
"Benalu tak tahu diri, yang tidak pernah menghargai siapa tuan rumahnya!"
Bi Susi yang sedari tadi terpanggang oleh api amarah mengambil sapu dan memukul-mukulkannya ke arahku.
Aku hanya bisa menangkisnya dengan tangan menyilang di depan wajah.
Aku menahan mati-matian agar tidak menangis. Air mataku terlalu mahal untuk mereka lihat.
Setelah itu keduanya pergi. Meninggalkanku yang meringis kesakitan setelah dianiaya oleh mereka.
Kakiku sulit sekali digerakkan. Terpaksa aku harus merangkak untuk menuju ke kamar.
***
"Kamu nggak pa-pa?" tanya Kevin yang merasa iba melihat lengan dan wajahku lebam-lebam.
"Udah biasa." Aku menyeruput jus jeruk di depanku.
"Sebaiknya kamu jangan aneh-aneh deh, di depan pamanmu. Biar bagaimanapun mereka adalah orang yang merawatmu sejak kecil," ucap Kevin menasihati.
"Aku sudah sering bilang kan, aku tidak berbuat kesalahanpun mereka tetap saja menganiayaku."
Kevin menghela napas. "Mungkin, kamu saja yang nggak mau menghargai mereka. Kamu kan keras kepala."
Brakk!
Aku menggebrak meja dengan keras. Hingga pengunjung lain yang ada di cafe itu menoleh ke arah kami.
"Kok bisa sih, kamu nggak pernah mau percaya sama apa yang aku omongin."
"Zahra, aku percaya!" Kevin memegang tanganku. "Tapi, aku cuma ingin merubah sikapku menjadi lebih baik. Tidak keras kepala seperti ini. Cobalah interopeksi diri agar tidak membuat pamanmu kecewa dan menganiaya kamu!"
"Br*ngsek!" umpatku. "Ucapanmu sudah menunjukkan bahwa kamu tidak mau percaya apa yang sudah aku bicarakan!"
Kevin terdiam.
"Aku di sini korban, Kevin!"
"Ya tapi," Kevin terdiam. "Kamu cuma numpang di rumah mereka, jadi kamu harus nurut dengan peraturan mereka."
Aku menggeram geregetan. Semua orang tahunya aku yang numpang di rumah paman. Padahal itu rumahku, rumah orang tuaku. Mereka yang numpang dan bertindak semena-mena.
Hufft! Kenapa sih tidak ada orang yang percaya kepadaku. Kenapa semua orang lebih percaya kepada keluarga itu.
Bersambung...
...Hargai penulis dengan follow Instagram nurudin_fereira...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Che'Gamolz Aguz
pengemis followers berkedok author
2022-02-04
0
Nimah mamah iQbal
aku gk pny instagram thoor jd gk bsa follow..
2022-02-03
0
Bidadarinya Sajum Esbelfik
haddeeeh. awalnya aqu ketawa kok bab 2 emosi 😁😤😤😡😡😡
2022-01-26
0