NovelToon NovelToon

Bos Somplak

Part 1 : Bos Somplak

"Pak, saya kebelet!"

"Kebelet buang air?"

"Kebelet pengen dinikahin sama bapak."

Pak Erwin tersenyum tipis. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya.

"Pak, jangan senyum!"

"Kenapa?" tanyanya saat kedua bahu kami saling bersentuhan.

"Nanti aku mati."

Pria tampan itu menaikkan sebelah alis. "Mati?"

"Iya, mati tenggelam ke dalam senyuman Bapak!" Aku nyengir kuda.

Plakk!!!

Pak Erwin menepuk jidatku dengan selembar uang seratus ribu. Aku tersenyum puas. Lumayan, buat beli skincare.

"Dasar bos culun!" lirihku sambil menenteng alat pel dan seember air, aku melangkah menuju ke ruangan receptionist untuk melanjutkan pekerjaanku.

"Zahra!"

Aku langsung menoleh ke belakang setelah pak Erwin yang hendak menaikki lift memanggil.

"Jangan lupa mandi!"

"Bau keringatmu nggak enak!"

Sialan! Aku langsung mencium kerah seragam yang kukenakan. Pak Erwin terkekeh sebelum menghilang ditelan lift.

Aku menggeram. Awas kamu ya, Pak! Aku akan menaklukan hatimu dan menguras semua hartamu!

...***...

"Saya, takut ketahuan, Pak!"

"Ah, jangan kenceng-kenceng!"

Plakk!!!

Aku langsung terbangun dari lamunan, setelah Sekar menepuk dahiku sedikit keras.

"KERJA WOY, KERJA!!"

"Ishh, ganggu aja orang lagi enak-enak nglamun!" dengkusku sembari beranjak dari duduk.

"Kerjaan kamu tuh, belum kelar-kelar!" balasnya sewot.

"Bawel!" Aku mulai menyapu debu-debu yang ada di lantai.

"Gajinya sama, aku doang yang capek!" Sekar masih berceloteh menceramahiku dengan tubuh membelakangi.

"Nyerocos mulu Donal Bebek. Awas aja, sekarang kita emang sama-sama babu, tapi besok aku bakalan jadi bosmu!"

"Halu!" ejek Sekar.

"Hmm, hidup itu kurang enak gimana coba, pengen sesuatu tinggal halu." Aku tersenyum masam, kemudian melanjutkan pekerjaan yang membosankan ini.

Terdengar suara gemuruh dari luar ruangan yang kami bersihkan. Sekar menjerit saat tubuhnya ditabrak beberapa orang yang berlari sambil membawa map di tangannya.

Tubuh kurus dekil itu terjerembab ke lantai. Membuat tawaku langsung menyembur.

Salah seorang pria berjas rapi yang menabrak Sekar berlalu begitu saja, menyusul teman-temannya. Setelah sebelumnya berkata. "Sorry, kami buru-buru."

Sekar tampak mengaduh kesakitan, sambil memegangi kakinya.

Karena tidak tega, akhirnya aku mendekat sambil terkikik. Ingin membantu ia berdiri.

Sekar masih menunduk, saat aku mengulurkan tangan. Sampai beberapa detik kemudian dia akhirnya mendongak, sambil menyibak rambut yang menutupi wajahnya.

"Santai aja keles! Aku nggak cengeng kayak kamu!"

Aku terkejut melihat bibirnya yang tersenyum sinis.

"Dih, terus kenapa tadi pura-pura kesakitan? Caper?" tanyaku ketus. "Cie elah kasihan, nggak ada yang peduli!"

"Bacot!"

"Kalau aku yang jatuh mah, pasti ditolongin sama mereka. Berhubung kamu yang jatuh, mereka males. Anggap aja tikus got yang keinjek. Ah, udahlah nggak perlu ditolong." Aku tertawa.

Sekar kembali mengaduh lagi. Membuat tawaku terhenti. Bingung kenapa perempuan berhidung pesek itu kembali berakting.

Sorot mataku beralih ke arah bayangan pria yang melangkah mendekat. Derap langkah sepatu pantofelnya berbunyi, saat menapak lantai.

"Aduh, sakit Pak!" Sekar semakin meringis kesakitan.

Aku memutar bola mata malas. Melihat drama yang dilakukan oleh Sekar.

"Kamu kenapa?" tanya pak Erwin dengan nada dingin.

"Em, tolong Pak, kaki saya terkilir," keluh Sekar.

Mulutku menganga lebar, melihat pria tampan berhidung bangir itu membantu Sekar berdiri. Kemudian memapahnya untuk duduk di kursi panjang yang tersedia di sudut ruangan.

Kedua tanganku terkepal. Pinter juga modus si Sekar. Kakinya pura-pura pincang saat dipapah oleh pak Erwin.

"Kok, bisa begini?" tanyanya dengan suara berat.

"Ditabrak gerombolan anak muda yang bawa map, Pak."

"Owh yang tadi, mereka mau melamar pekerjaan," jawab pak Erwin.

Aku bergidik jijik melihat wajah Sekar yang pura-pura memelas. Huh, sadar diri sadar bentuk dikit

napa?

Ting!

Terlintas sebuah ide brilian di kepala.

"Adu du duh, Pak tolong. Kaki saya sakit." Aku menjatuhkan badan hingga terduduk di lantai.

"Ya ampun sakit banget, tolong, Pak." Aku pura-pura meringis kesakitan.

Pak Erwin menoleh, kemudian melangkah mendekat. Aku sempat melirik Sekar yang menghunuskan tatapan tajam.

Pak Erwin berjongkok di depanku. Hingga aroma parfum yang memabukkan melumpuhkan indra penciumanku.

"Kenapa, hmm?" tanya pria tampan berkulit putih itu.

Desir-desir aneh langsung menjalar ke seluruh tubuh. Suara bass pak Erwin berdenging di telingaku.

"Sakit Pak." Aku memijat kaki.

"Apanya?"

"Hatiku?"

Pak Erwin menaikkan sebelah alis.

"Karena bapak dekat-dekat sama Sekar," lirihku sambil melirik ke arah Sekar yang terlihat geregetan. "Bagaikan laut sama air comberan. Kalian nggak pantes bersatu."

Pak Erwin menyungging seulas senyum. Matanya sampai menyipit seperti bulan sabit. Ah, manis sekali. "Hmm, tak cium mau?"

Aku terbelalak sambil menelan ludah dengan susah payah. Hanya bisa manggut-manggut dengan wajah pasrah. Rela diapa-apain pokoknya.

Mataku terpejam seiring dengan detak jantung yang berdebar. Ketika wajah tampan itu mulai mendekat.

"Pak Erwin, sudah saya bilang berkali-kali! Anda tidak pantas berinteraksi dengan office Girl seperti mereka. Tolong jaga image dan wibawa anda!"

Kami semua langsung menoleh ke sumber suara. Menatap seorang perempuan yang mengenakan pakaian formal. Bu Dona, sekertaris pak Erwin.

Pak Erwin beranjak, sambil mengibas-ngibaskan tangannya. "Saya berhak ramah dengan siapapun orang yang bekerja di kantor saya."

"Tapi, seorang office girl tidak layak bapak kasih perhatian lebih." Bu Dona melipat kedua tangan di depan dada. Sambil menatapku nyalang.

"Kalau memberi perhatian kepadamu nanti dimarahi suamimu. Lebih baik saya mengakrabi mereka yang masih gadis." Pak Erwin tersenyum.

Somplak emang nih, bos.

Pipi Bu Dona tampak bersemu merah. "Nggak pa-pa kalau Pak Erwin mau ngasih perhatian sama saya. Bisa diatur!"

Ekspresi Bu Dona berubah manja. Persis seperti wanita penggoda.

Perempuan berkaca mata yang rambutnya dikuncir ekor kuda itu melangkah mendekat. Menggandeng tangan pak Erwin begitu saja, kemudian mengajaknya memasuki lift. Kudengar samar-samar bisikan lirih dari Bu Dona.

"Saya juga butuh belaian, Pak. Suami saya tidak bisa memuaskan saya."

Aku menepuk jidat, setelah dua orang penting itu hilang dari pandangan.

Ini perusahaan apa sih? Kok bos sama karyawannya gila semua?

***

"Kamu cari informasi kek, Pak Erwin itu udah nikah apa belum?" tanyaku sambil melahap nasi bungkus yang diberikan oleh kepala kebersihan.

"Kamu tanya sana sama Bu Dona atau sama karyawan lain yang dekat sama Pak Erwin."

"Dih, malu aku tanya-tanya soal pimpinan perusahaan. Enak aja, harga diri office boy woy, harga diri!"

"Bener juga. Office girl juga harus menjaga kewibawaan di depan atasan," imbuh Sekar.

Aku manggut-manggut.

"Hmm, kayaknya Pak Erwin belum nikah deh," sahut Sekar ditengah-tengah kunyahannya. "Kalau udah nikah, mana berani dia nempel-nempel ke karyawannya."

Aku meneguk botol minuman, setelah menelan bulat-bulat makanan yang kusuapkan. "Pak Erwin itu ganteng, siapapun pasti mau sama dia."

"Sayangnya," ucapanku terhenti. "Suka meresahkan."

Sekar mengangguk. "Sama cewek mana aja suka nempel. Istri orang juga dia embat. Jangan-jangan dia kebelet nikah tapi belum punya pasangan?"

"Kalau emang iya, bukan kita juga kali yang jadi kanidatnya," jawabku sambil bersendewa. Kemudian *******-***** bungkus nasi yang sudah kosong.

"Kenapa?"

"Beda kasta. Orang terhormat kayak kita nggak pantes buat Pak Erwin. Office girl gitu lho, profesi paling terhormat di perusahaan ini!" ucapku penuh penekanan. Sedikit kesal, kenapa harus terlahir sebagai office girl.

"Tidak ada yang lebih mulia di mata Tuhan, selain iman dan taqwa."

Cklekk!

Ada yang membuka pintu gudang. Tempat kami biasa makan siang.

"Tolong buatkan kopi buat pak Erwin."

Aku langsung terlonjak girang. "Siap, Pak!"

"Segerakan!" ujarnya kemudian melangkah pergi.

Sekar ikut beranjak. "Gantian aku dong, masak kamu terus elah!"

"Bukan rejekimu haha!" Aku tertawa saat hendak melangkah keluar.

Sekar menahan tanganku agar tidak pergi. "Pokoknya gantian aku!"

"Enggak!"

Mata Sekar tampak melotot. "Tak cabik-cabik ginjalmu kalau nggak nurut!"

"Bodo!"

Kami berdua saling berebut untuk lebih dulu keluar dari gudang. Sekar menarik kaosku hingga mundur ke belakang. Aku gantian menarik rambutnya hingga dia meringis kesakitan.

Merasa mendapat kesempatan. Aku langsung keluar dan mengunci Sekar di dalam gudang.

"Kurang ajar kamu Zahra!"

...Bersambung......

...Hargai penulis dengan follow Instagram, nurudin_fereira ya 🙏...

Part 2 : Benalu

"Kopinya, Pak!" ucapku sambil menunduk. Setelah sampai di ruangan pak Erwin.

"Taruh situ!" titahnya yang masih fokus bermain game online pada ponselnya. Bersender pada kursi busa dengan kedua kaki yang naik ke atas meja.

Ini CEO kok nggak ada serius-seriusnya kerja sih? Malah main game. Untung ganteng.

Begitulah kalau anak orang kaya. Nggak perlu pinter-pinter, lulus kuliah langsung meneruskan perusahaan papa. 

Aku tebak, Pak Erwin berangkat ke kantor cuma untuk formalitas. Semua pekerjaannya mungkin sudah dihandle oleh orang kepercayaan ayahnya. 

Atau mungkin, dia berangkat ke kantor niatnya cuma biar nggak disebut pengangguran sama tetangga-tetangganya.

Kelihatan banget kalau dia maniac game sama seperti anak-anak muda pengangguran zaman sekarang.

"Kenapa masih disitu?" tanyanya sambil melirik ke arahku sekilas.

Aku menunduk sambil *******-***** ujung kaosku. "Bapak nggak pengen lihat wajah saya?"

"Kenapa?"

"Biar jatuh cinta." Aku nyengir kuda.

Pak Erwin menggoyang-goyangkan sepatunya. "Ini, sepatuku dari tadi udah ngelihatin wajahmu."

Anjrott! Aku mengumpat dalam hati.

Dasar bos somplak!

***

"Kak Sari, kakakmu yang pertama, menikah dengan anggota DPR."

"Lalu, kakakmu yang kedua menikah dengan seorang pilot. Sementara kamu, malah milih jadi babu kayak gini."

"Memalukan, lulus sekolah kerjanya cuma jadi babu!" cibir pamanku sebelum menghisap sebatang rokok yang terselip di bibirnya.

Aku menatapnya dengan wajah malas. "Izinkan aku pergi kalau anda tidak suka saya seperti ini!"

"Enak saja! Kamu harus balas budi!" Pamanku menyemburkan asap ke udara, kemudian menyesap secangkir kopi yang berada di atas meja.

"Kalian yang seharusnya sadar diri, dan pergi dari rumah ini!" sindiriku telak.

Paman menggeram. Menyorotku dengan tatapan tajam. "Kami yang telah membesarkanmu hingga seperti ini, mana sopan santunmu terhadap orang tua?"

"Kalian di sini hanya numpang!" Aku membalas tatapannya dengan pelototan tajam. "Jadi, siapa yang nggak punya sopan?!"

Paman Aji adalah kakak dari almarhum ayah. Mereka sekeluarga pindah ke rumah ini setelah kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan tragis. Namun, mereka lupa siapa sebenarnya pemilik asli rumah ini.

Mereka seperti penjajah.

Sekumpulan keluarga aji mumpung yang memanfaatkan situati untuk menikmati kemewahan, dengan kedok mengurusi anak yatim sepertiku.

Padahal tujuan mereka jelas, untuk menguasai harta kedua orang tuaku.

Sejak kecil, aku sudah diperlakukan selayaknya seorang babu oleh keluarga ini. Pantas bukan, jika ucapanku terkesan melawan. Aku ingin pergi dari rumah ini, tapi sayangnya pria bengis itu tidak mengizinkan.

Pernah suatu ketika aku kabur dari rumah. Namun, orang itu membayar beberapa orang suruhan untuk menyeretku pulang.

Tentu saja, mereka tidak ingin aku pergi dari rumah ini. Karena seluruh harta yang sekarang mereka nikmati adalah hakku sepenuhnya sebagai ahli waris yang sah.

Mereka takut, kalau aku mengusut kasus ini ke jalur hukum. Keluarga paman Aji akan terusir, jadi gembel. Karena itu mereka mengawasi pergerakanku dengan ketat. Agar tidak macam-macam.

Sangat membosankan. Padahal aku hanya ingin hidup tenang.

Masa bodoh soal harta, tidak ada pentingnya sama sekali bagi hidupku. Aku sudah sangat tersiksa hidup dengan mereka yang sok baik di depan orang-orang, tapi menusuk dari belakang.

Aku hanya ingin pergi. Pergi ke pelukan bos Erwin contohnya.

"Udah lah, nggak usah banyak bacot. Aku capek, baru pulang kerja!"

"Dasar, nggak punya sopan santun!" bentak paman Aji.

"Aku tidak perlu berlaku baik di depan orang yang tidak pernah memanusiakan manusia!" Aku tersenyum miris.

"Jaga bicaramu di depan pamanmu!" Bi Susi datang dari arah dapur. "Biar bagaimanapun dia adalah orang yang sudah membesarkanmu!"

Aku tertawa hambar. "Apa yang kalian miliki adalah hartaku, tempat yang kalian tinggali juga sebenarnya milikku. Kalian di sini hanya seorang pecundang yang menari-nari di atas penderitaan tuannya!"

Plakk!!!

Bi Susi menamparku begitu keras. Membuat wajahku tertoleh ke samping.

Aku tersenyum miring.

Bugh!

Sebuah tendangan meluncur mulus ke pinggangku. Hingga membuat tubuh ini terhempas ke lantai.

Rasa nyeri langsung menyebar. Aku mendongak sambil menyingkarkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah. Kembali tersenyum manis, sebagai ucapan terimakasih atas perlakuan mereka.

Meski pinggangku rasanya sakit luar biasa.

"Ya, kalian hanyalah seorang pecundang yang menari-nari di atas penderitaan majikannya."

"Kurang ajar!" Paman Aji yang sudah tersulut emosi langsung menendangku berkali-kali. Dengan sekuat tenaga, sampai dia lelah.

Tidak mempedulikan aku yang tergolek lemah di atas lantai. Tak usah ditanya bagaimana sakitnya tendangan itu. Bahkan sekarang, seluruh tulang-tulang di tubuhku terasa remuk.

Namun aku hanya tertawa. Menertawakan kelakuan mereka. "Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi bajing*n! Aku bisa saja mengusir kalian dari rumah ini! Sayangnya, aku tidak tega dengan kalian yang sudah numpang bertahun-tahun di rumah ini!"

"Br*ngsek!" Paman Aji menendangku sekali lagi. Dengan dada yang naik-turun penuh amarah.

"Benalu tak tahu diri, yang tidak pernah menghargai siapa tuan rumahnya!"

Bi Susi yang sedari tadi terpanggang oleh api amarah mengambil sapu dan memukul-mukulkannya ke arahku.

Aku hanya bisa menangkisnya dengan tangan menyilang di depan wajah.

Aku menahan mati-matian agar tidak menangis. Air mataku terlalu mahal untuk mereka lihat.

Setelah itu keduanya pergi. Meninggalkanku yang meringis kesakitan setelah dianiaya oleh mereka.

Kakiku sulit sekali digerakkan. Terpaksa aku harus merangkak untuk menuju ke kamar.

***

"Kamu nggak pa-pa?" tanya Kevin yang merasa iba melihat lengan dan wajahku lebam-lebam.

"Udah biasa." Aku menyeruput jus jeruk di depanku.

"Sebaiknya kamu jangan aneh-aneh deh, di depan pamanmu. Biar bagaimanapun mereka adalah orang yang merawatmu sejak kecil," ucap Kevin menasihati.

"Aku sudah sering bilang kan, aku tidak berbuat kesalahanpun mereka tetap saja menganiayaku."

Kevin menghela napas. "Mungkin, kamu saja yang nggak mau menghargai mereka. Kamu kan keras kepala."

Brakk!

Aku menggebrak meja dengan keras. Hingga pengunjung lain yang ada di cafe itu menoleh ke arah kami.

"Kok bisa sih, kamu nggak pernah mau percaya sama apa yang aku omongin."

"Zahra, aku percaya!" Kevin memegang tanganku. "Tapi, aku cuma ingin merubah sikapku menjadi lebih baik. Tidak keras kepala seperti ini. Cobalah interopeksi diri agar tidak membuat pamanmu kecewa dan menganiaya kamu!"

"Br*ngsek!" umpatku. "Ucapanmu sudah menunjukkan bahwa kamu tidak mau percaya apa yang sudah aku bicarakan!"

Kevin terdiam.

"Aku di sini korban, Kevin!"

"Ya tapi," Kevin terdiam. "Kamu cuma numpang di rumah mereka, jadi kamu harus nurut dengan peraturan mereka."

Aku menggeram geregetan. Semua orang tahunya aku yang numpang di rumah paman. Padahal itu rumahku, rumah orang tuaku. Mereka yang numpang dan bertindak semena-mena.

Hufft! Kenapa sih tidak ada orang yang percaya kepadaku. Kenapa semua orang lebih percaya kepada keluarga itu.

Bersambung...

...Hargai penulis dengan follow Instagram nurudin_fereira...

Part 3 : Misterius

"Zahra, aku percaya!" Kevin memegang tanganku. "Tapi, aku cuma ingin merubah sikapku menjadi lebih baik. Tidak keras kepala seperti ini. Cobalah interopeksi diri agar tidak membuat pamanmu kecewa dan menganiaya kamu!"

"Br*ngsek!" umpatku. "Ucapanmu sudah menunjukkan bahwa kamu tidak mau percaya apa yang sudah aku bicarakan!"

Kevin terdiam.

"Aku di sini korban, Kevin!"

"Ya tapi," Kevin terdiam. "Kamu cuma numpang di rumah mereka, jadi kamu harus nurut dengan peraturan mereka."

Aku menggeram geregetan. Semua orang tahunya aku yang numpang di rumah paman. Padahal itu rumahku, rumah orang tuaku. Mereka yang numpang dan bertindak semena-mena.

Hufft! Kenapa sih tidak ada orang yang percaya kepadaku. Kenapa semua orang lebih percaya kepada keluarga itu.

Drrrttt ... Drrtttt ...

Kulirik ponsel Kevin yang berdering di atas meja. Cowok itu langsung bergegas mengangkat teleponnya.

"Hallo Nesa, ada apa?" tanya Kevin pada seseorang di seberang sana sambil melirik ke arahku.

Mereka berbincang-bincang beberapa menit, aku tidak ingin mendengarnya.

Menggigit spaghetti yang aku lilitkan pada garpu pelan-pelan.

"Ah iya, aku segera ke sana." Kevin mengakhiri panggilan.

Aku menghela napas kasar.

"Aku duluan ya, Nesa udah pulang kerja. Minta dijemput," ucap Kevin sambil berkemas-kemas.

Aku menaikkan sebelah alis. "Bisa nggak sih, kamu berhenti peduliin dia saat kita lagi jalan berdua?"

"Zahra, Nesa butuh bantuan!" Kevin memasang wajah memelas.

"Vin, pacar kamu itu aku. Bukan Nesa, kenapa sih kamu lebih mentingin dia daripada aku?" Aku menahan diri agar tidak emosi.

"Kita kan masih bisa jalan lagi besok." Kevin mengusap-usap bahuku.

Aku langsung menepis tangannya.

"Ya udah, aku duluan ya. Kamu bisa pulang pakai taksi." Kevin beranjak dari duduk. Mengeluarkan beberapa lembar uang yang ia taruh di atas meja.

Mengecup pipiku sekilas, kemudian melenggang pergi.

Aku memejamkan mata sambil menelan ludah. Menikmati rasa sakit yang menjalar ke ulu hati. Melihat kekasih hati lebih peduli pada orang lain daripada pacarnya sendiri.

Lama-lama aku jadi curiga. Hubungan Kevin dan Nesa sepertinya lebih dari sekedar teman.

Aku yang sedang rapuh butuh sandaran, tidak ia pedulikan.

Huff, Ya Tuhan pada siapa aku harus berkeluh kesah. Tidak ada orang yang peduli kepadaku.

Aku sudah sangat lelah menghadapi kenyataan hidup. Itulah sebabnya aku memilih pasrah di dzolimi oleh keluarga pamanku. Karena tidak ada orang yang mau membelaku.

Setelah berdiam diri cukup lama. Tanpa melakukan apapun. Aku akhirnya memutuskan untuk pulang.

Tubuh lebam yang tertupi oleh kemeja kotak-kotak terasa sakit ketika digerakkan. Seharusnya sebagai seorang pacar, Kevin merasa prihatin.

Namun, responnya terkesan biasa saja dan justru malah mementingkan kepentingan Nesa.

Kevin begitu khawatir ketika sahabatnya, Nesa, pulang kerja sendirian, tapi dia tega sekali membiarkan pacarnya pulang sendirian dengan tubuh lebam-lebam.

Aku menuju ke kasir untuk membayar makanan yang sudah kami pesan.

"Pesen apa aja mbak?" tanya mas-mas penjaga kasir.

Deg.

Aku membulatkan mata. "B-bos Erwin?"

Pak Erwin tersenyum manis.

"Kok, Pak Erwin jadi tukang kasir di sini?" tanyaku sambil menelan ludah.

"Khusus kamu yang beli, aku jadi penjualnya."

Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Gimana sih Pak, direktur utama Wijaya grup malah jadi tukang kasir di sini?"

"Kamu yang gimana. Istri direktur utama Wijaya Grup malah beli makanan paling murah di sini."

Aku menunduk saat pak Erwin menyebutku istri direktur utama. Pipiku pasti sudah memerah sekarang.

"Yaudah, total berapa Pak?"

"Hmm, tiga juta."

"APA?!" Aku langsung melotot."Tiga juta?!"

Pak Erwin manggut-manggut, sambil menyeringai lebar.

"Mahal amat sih?"

"Nggak mampu bayar?" tanya Pak Erwin sambil menaikkan sebelah alis.

Uh, seksi sekali suaranya.

"Bapak jangan becanda deh!" Aku mengerucutkan bibir. Menyibak beberapa helai rambut yang menutupi wajah. "Harganya satu porsi cuma 12 ribu, elah!"

"Khusus kamu 3 juta."

"Parah, gajiku jadi office girl di perusahaanmu aja nggak sampai segitu." Aku memutar bola mata malas.

Pak Erwin melipat kedua tangan di depan dada. "Hmm."

"Ah, Pak, jangan becanda dong, aku pengen cepat-cepat pulang nih."

"Bayar tagihan 3 juta dulu, baru pulang."

"Gila, cuma beli 2 porsi spaghetti habisnya 3 juta."

"Terserah, kalau belum bayar nggak boleh pulang."

Aku tersenyum licik. "Tidur di sini sama bapak?"

"Berdiri di sini sampai pagi."

"Hufft, tau ah, ini aku bayar sesuai dengan harga yang ada di banner." Aku meletakkan selembar uang 50 ribu di meja kasir.

Pak Erwin membuangnya ke tong sampah.

"Pak! Gimana sih?!"

"Tiga juta."

"Aku nggak bawa uang segitu!" Aku bergidik sebal.

"Berarti nggak mampu bayar?"

"Iya lah!" jawabku sewot, membuang pandangan ke arah lain.

"Yaudah, dibayar cium aja."

Aku terbelalak. "Ha? Cium?"

Pak Erwin menjawabnya dengan menyunggingkan seulas senyum.

"Nggak salah apa?" Aku mengerjap-ngerjap.

Pak Erwin sedikit merunduk, mendekatkan wajahnya agar sejajar dengan wajahku. Pipiku langsung bersemu merah.

"Tiga juta kalau nggak mampu bayar, cium!"

"Beneran ih, Pak!" Aku salah tingkah. Melihat hidung bangir, rahang yang tegas, dan iris mata coklat keemasannya dari jarak yang sangat dekat itu.

"Cepet, keburu ada yang lihat."

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah di rasa aman aku langsung menyosor wajah pak Erwin.

Cup!

Sebelum aku mencium wajahnya, Pak Erwin buru-buru mencapit bibirku dengan jari tangannya.

Beliau kembali tersenyum. "Tiga juta, segitu bayaran yang pantas untuk pacarmu saat ingin menciummu."

Aku terbelalak.

"Jaga kehormatanmu baik-baik. Jika pacarmu ingin menciummu sembarangan, pacarmu harus bayar tiga juta. Bukan 50 ribu."

Sindiran keras.

***

Aku menunggu kedatangan taksi online pesananku di tepi jalan. Sudah beberapa menit berlalu, tapi taksi onlinenya tak kunjung datang.

Tubuhku seperti remuk. Rasanya pengen cepat-cepat pulang dan merebahkan diri di kasur empuk.

Tin!

Aku mendongak saat melihat mobil BMW hitam berhenti di depanku.

Kaca jendela mobil perlahan terbuka separuh. Menampilkan sosok sopir yang memakai topi, tidak terlalu jelas bagaimana wajahhya karena ia memakai pakaian serba hitam di suasana yang begitu gelap.

Aku hanya terpukau, kenapa mobilnya keren sekali. Untuk seukuran taksi online.

"Mbak Zahra ya?"

Aku mengangguk. "Iya, Mas."

"Ya udah masuk!"

Aku langsung melangkah mengitari mobil. Kemudian duduk di kursi yang berada di sebelah sang sopir.

Setelah duduk dan mengenakan sabuk pengaman. Aku terkejut bukan kepalang, melihat sang sopir yang melepas topinya.

Dengan pencahayaan yang temaram di dalam mobil, aku bisa melihat sudut bibir pria itu yang tersungging.

Aku menyalakan senter yang ada di ponsel untuk membunuh rasa penasaranku. Pria itu menyipitkan mata, saat senter dari ponselku menyorot wajahnya.

"Pak Erwin?"

"Kok, bapak ada di mana-mana sih?"

Bersambung...

...Hargai penulis dengan follow Instagram nurudin_fereira ya 🙏...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!