"Zahra, aku percaya!" Kevin memegang tanganku. "Tapi, aku cuma ingin merubah sikapku menjadi lebih baik. Tidak keras kepala seperti ini. Cobalah interopeksi diri agar tidak membuat pamanmu kecewa dan menganiaya kamu!"
"Br*ngsek!" umpatku. "Ucapanmu sudah menunjukkan bahwa kamu tidak mau percaya apa yang sudah aku bicarakan!"
Kevin terdiam.
"Aku di sini korban, Kevin!"
"Ya tapi," Kevin terdiam. "Kamu cuma numpang di rumah mereka, jadi kamu harus nurut dengan peraturan mereka."
Aku menggeram geregetan. Semua orang tahunya aku yang numpang di rumah paman. Padahal itu rumahku, rumah orang tuaku. Mereka yang numpang dan bertindak semena-mena.
Hufft! Kenapa sih tidak ada orang yang percaya kepadaku. Kenapa semua orang lebih percaya kepada keluarga itu.
Drrrttt ... Drrtttt ...
Kulirik ponsel Kevin yang berdering di atas meja. Cowok itu langsung bergegas mengangkat teleponnya.
"Hallo Nesa, ada apa?" tanya Kevin pada seseorang di seberang sana sambil melirik ke arahku.
Mereka berbincang-bincang beberapa menit, aku tidak ingin mendengarnya.
Menggigit spaghetti yang aku lilitkan pada garpu pelan-pelan.
"Ah iya, aku segera ke sana." Kevin mengakhiri panggilan.
Aku menghela napas kasar.
"Aku duluan ya, Nesa udah pulang kerja. Minta dijemput," ucap Kevin sambil berkemas-kemas.
Aku menaikkan sebelah alis. "Bisa nggak sih, kamu berhenti peduliin dia saat kita lagi jalan berdua?"
"Zahra, Nesa butuh bantuan!" Kevin memasang wajah memelas.
"Vin, pacar kamu itu aku. Bukan Nesa, kenapa sih kamu lebih mentingin dia daripada aku?" Aku menahan diri agar tidak emosi.
"Kita kan masih bisa jalan lagi besok." Kevin mengusap-usap bahuku.
Aku langsung menepis tangannya.
"Ya udah, aku duluan ya. Kamu bisa pulang pakai taksi." Kevin beranjak dari duduk. Mengeluarkan beberapa lembar uang yang ia taruh di atas meja.
Mengecup pipiku sekilas, kemudian melenggang pergi.
Aku memejamkan mata sambil menelan ludah. Menikmati rasa sakit yang menjalar ke ulu hati. Melihat kekasih hati lebih peduli pada orang lain daripada pacarnya sendiri.
Lama-lama aku jadi curiga. Hubungan Kevin dan Nesa sepertinya lebih dari sekedar teman.
Aku yang sedang rapuh butuh sandaran, tidak ia pedulikan.
Huff, Ya Tuhan pada siapa aku harus berkeluh kesah. Tidak ada orang yang peduli kepadaku.
Aku sudah sangat lelah menghadapi kenyataan hidup. Itulah sebabnya aku memilih pasrah di dzolimi oleh keluarga pamanku. Karena tidak ada orang yang mau membelaku.
Setelah berdiam diri cukup lama. Tanpa melakukan apapun. Aku akhirnya memutuskan untuk pulang.
Tubuh lebam yang tertupi oleh kemeja kotak-kotak terasa sakit ketika digerakkan. Seharusnya sebagai seorang pacar, Kevin merasa prihatin.
Namun, responnya terkesan biasa saja dan justru malah mementingkan kepentingan Nesa.
Kevin begitu khawatir ketika sahabatnya, Nesa, pulang kerja sendirian, tapi dia tega sekali membiarkan pacarnya pulang sendirian dengan tubuh lebam-lebam.
Aku menuju ke kasir untuk membayar makanan yang sudah kami pesan.
"Pesen apa aja mbak?" tanya mas-mas penjaga kasir.
Deg.
Aku membulatkan mata. "B-bos Erwin?"
Pak Erwin tersenyum manis.
"Kok, Pak Erwin jadi tukang kasir di sini?" tanyaku sambil menelan ludah.
"Khusus kamu yang beli, aku jadi penjualnya."
Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. "Gimana sih Pak, direktur utama Wijaya grup malah jadi tukang kasir di sini?"
"Kamu yang gimana. Istri direktur utama Wijaya Grup malah beli makanan paling murah di sini."
Aku menunduk saat pak Erwin menyebutku istri direktur utama. Pipiku pasti sudah memerah sekarang.
"Yaudah, total berapa Pak?"
"Hmm, tiga juta."
"APA?!" Aku langsung melotot."Tiga juta?!"
Pak Erwin manggut-manggut, sambil menyeringai lebar.
"Mahal amat sih?"
"Nggak mampu bayar?" tanya Pak Erwin sambil menaikkan sebelah alis.
Uh, seksi sekali suaranya.
"Bapak jangan becanda deh!" Aku mengerucutkan bibir. Menyibak beberapa helai rambut yang menutupi wajah. "Harganya satu porsi cuma 12 ribu, elah!"
"Khusus kamu 3 juta."
"Parah, gajiku jadi office girl di perusahaanmu aja nggak sampai segitu." Aku memutar bola mata malas.
Pak Erwin melipat kedua tangan di depan dada. "Hmm."
"Ah, Pak, jangan becanda dong, aku pengen cepat-cepat pulang nih."
"Bayar tagihan 3 juta dulu, baru pulang."
"Gila, cuma beli 2 porsi spaghetti habisnya 3 juta."
"Terserah, kalau belum bayar nggak boleh pulang."
Aku tersenyum licik. "Tidur di sini sama bapak?"
"Berdiri di sini sampai pagi."
"Hufft, tau ah, ini aku bayar sesuai dengan harga yang ada di banner." Aku meletakkan selembar uang 50 ribu di meja kasir.
Pak Erwin membuangnya ke tong sampah.
"Pak! Gimana sih?!"
"Tiga juta."
"Aku nggak bawa uang segitu!" Aku bergidik sebal.
"Berarti nggak mampu bayar?"
"Iya lah!" jawabku sewot, membuang pandangan ke arah lain.
"Yaudah, dibayar cium aja."
Aku terbelalak. "Ha? Cium?"
Pak Erwin menjawabnya dengan menyunggingkan seulas senyum.
"Nggak salah apa?" Aku mengerjap-ngerjap.
Pak Erwin sedikit merunduk, mendekatkan wajahnya agar sejajar dengan wajahku. Pipiku langsung bersemu merah.
"Tiga juta kalau nggak mampu bayar, cium!"
"Beneran ih, Pak!" Aku salah tingkah. Melihat hidung bangir, rahang yang tegas, dan iris mata coklat keemasannya dari jarak yang sangat dekat itu.
"Cepet, keburu ada yang lihat."
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah di rasa aman aku langsung menyosor wajah pak Erwin.
Cup!
Sebelum aku mencium wajahnya, Pak Erwin buru-buru mencapit bibirku dengan jari tangannya.
Beliau kembali tersenyum. "Tiga juta, segitu bayaran yang pantas untuk pacarmu saat ingin menciummu."
Aku terbelalak.
"Jaga kehormatanmu baik-baik. Jika pacarmu ingin menciummu sembarangan, pacarmu harus bayar tiga juta. Bukan 50 ribu."
Sindiran keras.
***
Aku menunggu kedatangan taksi online pesananku di tepi jalan. Sudah beberapa menit berlalu, tapi taksi onlinenya tak kunjung datang.
Tubuhku seperti remuk. Rasanya pengen cepat-cepat pulang dan merebahkan diri di kasur empuk.
Tin!
Aku mendongak saat melihat mobil BMW hitam berhenti di depanku.
Kaca jendela mobil perlahan terbuka separuh. Menampilkan sosok sopir yang memakai topi, tidak terlalu jelas bagaimana wajahhya karena ia memakai pakaian serba hitam di suasana yang begitu gelap.
Aku hanya terpukau, kenapa mobilnya keren sekali. Untuk seukuran taksi online.
"Mbak Zahra ya?"
Aku mengangguk. "Iya, Mas."
"Ya udah masuk!"
Aku langsung melangkah mengitari mobil. Kemudian duduk di kursi yang berada di sebelah sang sopir.
Setelah duduk dan mengenakan sabuk pengaman. Aku terkejut bukan kepalang, melihat sang sopir yang melepas topinya.
Dengan pencahayaan yang temaram di dalam mobil, aku bisa melihat sudut bibir pria itu yang tersungging.
Aku menyalakan senter yang ada di ponsel untuk membunuh rasa penasaranku. Pria itu menyipitkan mata, saat senter dari ponselku menyorot wajahnya.
"Pak Erwin?"
"Kok, bapak ada di mana-mana sih?"
Bersambung...
...Hargai penulis dengan follow Instagram nurudin_fereira ya 🙏...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
susi
wkwkwkwkwk...awas hantu gentayangan 🤣🤣😂
2022-10-25
0
Ryni Sutomo
gkgkgkgk lucu suka deh
2022-09-22
0
Nimah mamah iQbal
kaya nya aku familiar bngt sama nama author nya nih..krna aku prnh baca karya ny di aplk oranye..
2022-02-03
1