Cinta Seorang Mualaf

Cinta Seorang Mualaf

1

Bagian 1

Matahari bersinar begitu terik, dua anak manusia sedang beradu mulut di depan stasiun. Seorang wanita berambut hitam panjang menangis sesekali memukul dada lelaki di hadapannya.

"Kamu tega, Lex. Kamu khianati aku, demi perempuan ini!" ujar sang wanita seraya menunjuk ke arah wanita yang berada di belakang tunangannya itu.

"Maafkan aku, May, aku ...."

Plak!

Belum sempat lelaki itu melanjutkan ucapannya, sebuah tamparan mendarat di pipi sebelah kiri. Tangan kanan perempuan bernama Maya langsung menarik si wanita yang telah merebut tunangannya itu. Dengan sedikit terhuyung, wanita itu maju ke hadapan Maya. Ia menunduk ketakutan, beberapa pasang mata memandang ke arah mereka, security tak berani mendekat, karena dipikir itu masalah rumah tangga.

"Eh, dasar loe ya, pelakor. Nggak bisa apa cari cowok lain?" bentak Maya.

Wanita itu hanya diam, menunduk malu, sementara Alex malah merangkulnya, berusaha menenangkan.

"Lihat saja kalian berdua! Akan aku balas!" ancam Maya. Ia lalu melepas cincin tunangan yang diberikan Alex sebulan lalu, dan dilemparkan tepat di wajah lelaki itu.

Maya berlari menjauh, ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya, Alex yang selama ini ia banggakan di hadapan orang tuanya, yang selama ini ia cintai, ia sayangi, lima tahun berpacaran, satu bulan bertunangan, semuanya hancur karena wanita itu.

Bagaimana dengan kehidupannya kelak, padahal orang tuanya sudah menyiapkan sebuah pesta mewah untuk pernikahannya dengan Alex yang akan dilaksanakan tiga bulan lagi.

Maya terduduk di sebuah trotoar, masih di sekitar stasiun. Ia membenamkan wajahnya di antara kedua lutut, menumpahkan segala kekesalan dengan tangis yang tak kunjung berhenti, sesak yang saat ini ia rasakan.

'hidup gue udah berakhir di sini. Semua impian dan harapan gue musnah'.

Maya mengusap pipinya yang basah, lalu bangkit berjalan ke arah palang pintu kereta api yang terbuka. Ia melihat ke arah kanan dan kiri. Pikirannya kalut, ia seperti sudah tak ingin lagi melanjutkan hidupnya.

Ia melangkah ke kanan, di tengah rel kereta api. Menyusuri jalan berkerikil itu, sambil memandangi awan yang tiba-tiba saja mendung, seakan mewakili hatinya yang sedang kalut.

Sebuah teriakan dari kejauhan terdengar pelan.

"Woy ... Awas ada kereta! Minggir!"

"Mbak, minggir!"

"Ya Allah, itu orang mau ngapain di situ?"

"Jangan-jangan mau bunuh diri?"

Mereka yang melihat Maya di tengah rel berteriak, Maya bergeming, ia sama sekali tak mendengar suara itu, ia masih saja berjalan dengan santainya.

"Awaaaaaassss!"

Brugh!

"Aw ...."

Tubuh Maya terpental ke pinggir, kepalanya terbentur batu besar, seorang pria memakai topi putih baru saja menyelamatkan nyawanya. Samar-samar Maya masih melihat pria penolong itu, tapi seketika ia hilang kesadaran.

"Mbak, mbak. Bangun, Mbak!" Pria itu menepuk-nepuk pipi Maya.

Maya tak juga sadar, pria itu meminta bantuan warga untuk membopong tubuh wanita yang ditolongnya itu ke rumah. Lalu ia dibaringkan di sebuah ranjang kayu tanpa kasur, hanya beralaskan sebuah tikar lusuh.

***

.

"Gue di mana?" tanya Maya saat sudah tiga jam ia tak sadarkan diri.

"Di rumah saya, Mbak." Pria berbaju hitam lusuh mendekati Maya dengan membawa segelas air yang kemudian ia berikan pada Maya.

Maya minum perlahan.

"Maaf, kalau boleh tahu, rumah Mbak di mana? Nama Mbak siapa? Kenapa tadi berjalan di rel kereta? Mbak mau bunuh diri?"

Kedua mata Maya mengerjap, berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya.

"Saya nggak tahu," jawab Maya berbohong.

"Nama Mbak siapa?"

"Nggak tahu."

"Loh, jangan-jangan Mbak hilang ingatan?"

"Nggak tahu."

Pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia takut kalau sampai wanita yang ia tolong itu benar-benar amnesia, lalu bagaimana caranya agar wanita itu pulang dan kembali ke keluarganya.

Maya bangkit dari duduknya, ia berjalan ke depan, rumah bagian depan yang hanya terdapat sebuah kursi kayu panjang dengan meja panjang, dengan lantainya masih tanah, ia menatap ke arah atap, yang hanya ditutupi genteng coklat, dan sebagiannya sudah ada yang berlubang. Tak ada barang mewah di rumah pria itu.

"Ini rumah loe?" tanya Maya.

"Iya, Mbak. Maaf mbak rumah saya memang jelek."

"Siapa nama loe?"

"Adji, mbak."

"Kerja?"

"Iya, mencari barang bekas, botol plastik."

Maya langsung menoleh ke arah Adji.

"Loe mulung?"

Adji mengangguk. Maya tidak percaya, pria yang telah menyelamatkan nyawanya adalah seorang pemulung. Penampilannya memang lusuh, tapi wajahnya bukan seperti orang susah, kulitnya juga tidak hitam pekat, memang tidak terawat, terlihat dari pakaian dan rambutnya yang kusam.

Maya duduk di kursi depan, kalau di rumahnya mungkin bisa disebut ruang tamu.

"Kamarnya yang tadi?" tanya Maya lagi.

"Iya, Mbak."

"Nggak ada kasurnya?"

Adji menggeleng.

"Orang tua loe mana?"

Adji hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Maya tentang orang tuanya. Ia tak ingin bercerita banyak dengan orang yang baru dikenalnya.

"Owh, sorry. Kamar mandinya mana? Gue pengen pipis nih." Maya bangkit dan mencari toilet di sekeliling.

"Di luar, Mbak." Adji menunjuk ke arah belakang, kamar mandi berada di luar rumah, kecil dan pintunya dari seng yang digeser, tanpa atap, di sebelahnya terdapat pohon mangga yang besar, tampak beberapa buahnya sudah menggelantung.

Maya menatap tak percaya, ia celingukan.

"Tenang aja, Mbak. Nggak ada yang ngintip." Adji tersenyum melihat tingkah Maya.

***

.

Malamnya.

Adji baru saja pulang, setelah menukarkan hasil penemuannya ke pengepul, ia lalu membelanjakan uang itu untuk membeli dua bungkus nasi dan juga air mineral.

Berjalan perlahan menuju rumahnya, ia berharap wanita yang ditolongnya itu masih ada. Benar, Adji melihat Maya sedang duduk di bawah pohon besar depan rumahnya.

"Mbak, nggak masuk?" tanya Adji.

"Nggak ah, gelap. Gue takut."

"Kan lampunya bisa dinyalakan."

"Gue nggak ngerti, lagian kenapa nggak ada listrik sih? Betah banget tinggal di tempat kaya gitu."

Adji tersenyum. Lalu ia masuk ke rumah, mengambil dua lampu kecil yang berbahan bakar minyak tanah, ia hidupkan dengan sebuah korek, lalu ia gantung di sudut ruangan. Ia kembali ke luar memanggil Maya.

"Mbak, sini. Sudah nyala lampunya."

Maya menoleh. Lalu menghampiri Adji, mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Adji mengambil dua buah piring dan sendok.

"Mbak, makan dulu. Ini tadi saya belikan nasi bungkus, ini untuk mbak, ini saya." Adji tersenyum.

Maya membuka bungkusannya. Nasi putih beserta lauknya, sayur capcay dan ayam goreng, sementara ia melihat milik Adji yang hanya makan dengan lauk tahu tempe goreng, tumis kangkung dan sambal.

"Kok beda?" tanya Maya.

Adji hanya tersenyum.

"Iya, saya nggak suka ayam. Biasa makan tahu dan tempe saja."

Maya tersenyum getir. Ia tahu pria itu bukan tidak suka, melainkan tidak cukup uang untuk membeli lauk yang sama. Dilihatnya Adji makan dengan lahap. Ia merasa iba, lalu memotong sebagian ayam goreng miliknya dan diberikan pada Adji.

"Eum ... Jangan, Mbak. Nanti Mbak makan apa?" tanya Adji dengan mulut penuh nasi.

"Gue nggak biasa makan banyak-banyak, suka sakit perut." Kali ini Maya yang berbohong.

Adji hanya mengangguk.

"Terima kasih, Mbak."

"Sama-sama."

Mereka berdua makan malam dengan ditemani temaram lampu teplok yang sesekali berkedip karena tertiup angin dari arah pintu yang terbuka.

Selesai makan malam, Adji membersihkan diri, mandi dan berganti pakaian. Sementara Maya masih duduk di ruang tamu, kakinya ia tekuk di atas kursi, bersila, dan tangannya mendekap ke tengah. Merasa dingin dengan udara malam, ditambah gerimis kecil-kecil turun sejak sepuluh menit yang lalu.

Adji berjalan mendekat dan duduk di sebelah Maya.

"Nama Mbak siapa?"

"Eum ... Lana. Panggil saja Lana."

Adji mengernyit.

"Ayo saya antar pulang, sudah malam. Kalau Mbak tetap di sini, saya takut, warga akan mengusir saya, karena membawa wanita yang bukan mahrom ke rumah ini."

"Di luar gerimis, gue juga nggak tahu rumah gue di mana."

"Mbak nggak lagi bohong, kan?"

Maya terdiam. Tiba-tiba di depan pintu seseorang datang mengetuk pintu yang sudah terbuka.

"Mas Adji!" panggil seorang wanita berambut ikal panjang yang sudah berdiri di depan pintu.

Adji bangkit menghampiri.

"Arin, ada apa?"

"Itu siapa?" tanya wanita bernama Arin itu.

"Owh, dia ... Lana."

"Pacar kamu?"

"Owh, bukan, bukan."

"Terus ngapain dia si sini."

"Eum ... Nggak ngapa-ngapain, sebentar lagi pulang kok."

"Ya udah, ini aku cuma mau bawain Mas makan malam, dimakan ya. Aku bikin sendiri loh."

"Tapi, aku sudah makan."

"Tumben, biasanya kan Mas selalu makan masakan aku."

"Iya, soalnya ...."

"Owh, pasti karena perempuan itu, kan?"

"Bukan, bukan."

"Ya udah, pokoknya awas kalau Mas sampai ngapa-ngapain sama dia." Arin berjalan mengambil payungnya, lalu melangkah pergi.

Adji menerima rantang berisi makanan yang memang biasa diberikan oleh Arin, yang tak lain adalah anak pak RT setempat, dan sudah lama menyukainya.

"Pacar loe?" tanya Maya.

"Bukan." Adji meletakkan makanan itu di meja.

"Masa?"

"Mbak, mending Mbak sekarang pulang ya."

"Gue nggak mau pulang, gue nggak tahu harus pulang ke mana."

"Duh, kalau Mbak di sini, emang Mbak mau tidur di kamar tanpa kasur."

"Sebenarnya sih nggak mau, cuma gimana lagi."

Akhirnya Maya terpaksa menginap di rumah Adji, ia tidur di kamar dengan memakai sebuah sarung milik Adji untuk menyelimuti tubuhnya. Sedangkan Adji tidur di kursi depan.

Ia melihat Maya sudah terlelap, matanyapun sudah mengantuk, Adji terpejam, tepat pukul tiga dini hari ia bangun, menunaikan kewajibannya untuk sholat tahajud.

Tap.

Tap.

Tap.

Tok tok tok.

"Adji! Keluar loe, Adji!" Suara langkah kaki dan gedoran pintu serta teriakan dari luar mengejutkannya.

Ia melipat kembali sajadah menaruhnya di dalam lemari kecil. Bergegas menuju pintu. Maya yang tidur ikut terbangun karena suara berisik dari arah luar. Dengan sarung masih menyelimuti tubuhnya ia mengekor di belakang Adji.

Adji membuka pintu perlahan. Ia terkejut, warga sudah ramai di depan rumahnya.

"Nah kan, bener. Kalian berbuat mesum ya? Kita nggak nyangka, Dji. Ternyata loe berani berbuat mesum di kampung ini. Gaya loe sok alim, nggak taunya bawa perempuan ke dalam rumah." Suara Bang Jamal dengan nada keras.

"Usir aja."

"Kawinin!"

"Udah usir, arak, kawinin aja pak RT."

Riuh suara warga.

Adji dan Maya hanya diam tak mengerti apa maksudnya.

"Kami nggak ngapa-ngapain, bapak-bapak, ibu-ibu." Adji berusaha menjelaskan.

"Halah, mana ada maling mau ngaku."

"Iya, udah arak aja, trus kawinin."

"Sabar, semuanya kita selesaikan dengan baik-baik." Pak RT menengahi.

"Halah, Pak yang kaya gini jangan didiemin, jangan dikasih ampun. Biar kapok!"

Maya merasa ketakutan, ia tak menyangka semua akan terjadi seperti ini. Seandainya ia tadi menuruti apa kata Adji untuk pulang, warga mungkin tidak akan menggerebek. Ia juga tidak mau dinikahkan dengan seorang pemulung, belum dikenalnya pula. Lalu bagaimana ia harus menyelamatkan diri dari massa yang sudah berkerumun di rumah Adji. Kalau ia pergi, Adji juga pasti akan di usir dari kampung itu. Kalau menikah? Bagaimana dengan kedua orang tuanya kalau sampai tahu. Gagal menikah dengan Alex anak konglomerat, malah dapat pemulung.

Kepala Maya tiba-tiba sakit, tubuhnya seketika lunglai, kemudian ambruk, dengan cepat Adji menangkap tubuh Maya.

***

.

Bersambung.

Vote and komentar nya yaaa

Tengkyu 😘

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

KYK GK ADA LKI2 LAIN SAJA HINGGA INGIN BUNUH DIRI, MSH BAGUS TUNANGAN LO SLINGKUH SBLM LO NIKAH MA ALEX, BDRTI TUHAN SAYANG MA ELO MAY, KCUALI LO MA ALEX PCARANNYA GK SEHAT, SRING LAKUKN ZINAH, WAJAR SIH ELO KCEWA BANGET

2022-11-28

0

Dewi Ariyanti

Dewi Ariyanti

nyi.ak

2021-04-06

0

Neng Ayya

Neng Ayya

Ceritanya lucu.. Lanjut thor

2021-01-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!