Bagian 1
Matahari bersinar begitu terik, dua anak manusia sedang beradu mulut di depan stasiun. Seorang wanita berambut hitam panjang menangis sesekali memukul dada lelaki di hadapannya.
"Kamu tega, Lex. Kamu khianati aku, demi perempuan ini!" ujar sang wanita seraya menunjuk ke arah wanita yang berada di belakang tunangannya itu.
"Maafkan aku, May, aku ...."
Plak!
Belum sempat lelaki itu melanjutkan ucapannya, sebuah tamparan mendarat di pipi sebelah kiri. Tangan kanan perempuan bernama Maya langsung menarik si wanita yang telah merebut tunangannya itu. Dengan sedikit terhuyung, wanita itu maju ke hadapan Maya. Ia menunduk ketakutan, beberapa pasang mata memandang ke arah mereka, security tak berani mendekat, karena dipikir itu masalah rumah tangga.
"Eh, dasar loe ya, pelakor. Nggak bisa apa cari cowok lain?" bentak Maya.
Wanita itu hanya diam, menunduk malu, sementara Alex malah merangkulnya, berusaha menenangkan.
"Lihat saja kalian berdua! Akan aku balas!" ancam Maya. Ia lalu melepas cincin tunangan yang diberikan Alex sebulan lalu, dan dilemparkan tepat di wajah lelaki itu.
Maya berlari menjauh, ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya, Alex yang selama ini ia banggakan di hadapan orang tuanya, yang selama ini ia cintai, ia sayangi, lima tahun berpacaran, satu bulan bertunangan, semuanya hancur karena wanita itu.
Bagaimana dengan kehidupannya kelak, padahal orang tuanya sudah menyiapkan sebuah pesta mewah untuk pernikahannya dengan Alex yang akan dilaksanakan tiga bulan lagi.
Maya terduduk di sebuah trotoar, masih di sekitar stasiun. Ia membenamkan wajahnya di antara kedua lutut, menumpahkan segala kekesalan dengan tangis yang tak kunjung berhenti, sesak yang saat ini ia rasakan.
'hidup gue udah berakhir di sini. Semua impian dan harapan gue musnah'.
Maya mengusap pipinya yang basah, lalu bangkit berjalan ke arah palang pintu kereta api yang terbuka. Ia melihat ke arah kanan dan kiri. Pikirannya kalut, ia seperti sudah tak ingin lagi melanjutkan hidupnya.
Ia melangkah ke kanan, di tengah rel kereta api. Menyusuri jalan berkerikil itu, sambil memandangi awan yang tiba-tiba saja mendung, seakan mewakili hatinya yang sedang kalut.
Sebuah teriakan dari kejauhan terdengar pelan.
"Woy ... Awas ada kereta! Minggir!"
"Mbak, minggir!"
"Ya Allah, itu orang mau ngapain di situ?"
"Jangan-jangan mau bunuh diri?"
Mereka yang melihat Maya di tengah rel berteriak, Maya bergeming, ia sama sekali tak mendengar suara itu, ia masih saja berjalan dengan santainya.
"Awaaaaaassss!"
Brugh!
"Aw ...."
Tubuh Maya terpental ke pinggir, kepalanya terbentur batu besar, seorang pria memakai topi putih baru saja menyelamatkan nyawanya. Samar-samar Maya masih melihat pria penolong itu, tapi seketika ia hilang kesadaran.
"Mbak, mbak. Bangun, Mbak!" Pria itu menepuk-nepuk pipi Maya.
Maya tak juga sadar, pria itu meminta bantuan warga untuk membopong tubuh wanita yang ditolongnya itu ke rumah. Lalu ia dibaringkan di sebuah ranjang kayu tanpa kasur, hanya beralaskan sebuah tikar lusuh.
***
.
"Gue di mana?" tanya Maya saat sudah tiga jam ia tak sadarkan diri.
"Di rumah saya, Mbak." Pria berbaju hitam lusuh mendekati Maya dengan membawa segelas air yang kemudian ia berikan pada Maya.
Maya minum perlahan.
"Maaf, kalau boleh tahu, rumah Mbak di mana? Nama Mbak siapa? Kenapa tadi berjalan di rel kereta? Mbak mau bunuh diri?"
Kedua mata Maya mengerjap, berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya.
"Saya nggak tahu," jawab Maya berbohong.
"Nama Mbak siapa?"
"Nggak tahu."
"Loh, jangan-jangan Mbak hilang ingatan?"
"Nggak tahu."
Pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia takut kalau sampai wanita yang ia tolong itu benar-benar amnesia, lalu bagaimana caranya agar wanita itu pulang dan kembali ke keluarganya.
Maya bangkit dari duduknya, ia berjalan ke depan, rumah bagian depan yang hanya terdapat sebuah kursi kayu panjang dengan meja panjang, dengan lantainya masih tanah, ia menatap ke arah atap, yang hanya ditutupi genteng coklat, dan sebagiannya sudah ada yang berlubang. Tak ada barang mewah di rumah pria itu.
"Ini rumah loe?" tanya Maya.
"Iya, Mbak. Maaf mbak rumah saya memang jelek."
"Siapa nama loe?"
"Adji, mbak."
"Kerja?"
"Iya, mencari barang bekas, botol plastik."
Maya langsung menoleh ke arah Adji.
"Loe mulung?"
Adji mengangguk. Maya tidak percaya, pria yang telah menyelamatkan nyawanya adalah seorang pemulung. Penampilannya memang lusuh, tapi wajahnya bukan seperti orang susah, kulitnya juga tidak hitam pekat, memang tidak terawat, terlihat dari pakaian dan rambutnya yang kusam.
Maya duduk di kursi depan, kalau di rumahnya mungkin bisa disebut ruang tamu.
"Kamarnya yang tadi?" tanya Maya lagi.
"Iya, Mbak."
"Nggak ada kasurnya?"
Adji menggeleng.
"Orang tua loe mana?"
Adji hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Maya tentang orang tuanya. Ia tak ingin bercerita banyak dengan orang yang baru dikenalnya.
"Owh, sorry. Kamar mandinya mana? Gue pengen pipis nih." Maya bangkit dan mencari toilet di sekeliling.
"Di luar, Mbak." Adji menunjuk ke arah belakang, kamar mandi berada di luar rumah, kecil dan pintunya dari seng yang digeser, tanpa atap, di sebelahnya terdapat pohon mangga yang besar, tampak beberapa buahnya sudah menggelantung.
Maya menatap tak percaya, ia celingukan.
"Tenang aja, Mbak. Nggak ada yang ngintip." Adji tersenyum melihat tingkah Maya.
***
.
Malamnya.
Adji baru saja pulang, setelah menukarkan hasil penemuannya ke pengepul, ia lalu membelanjakan uang itu untuk membeli dua bungkus nasi dan juga air mineral.
Berjalan perlahan menuju rumahnya, ia berharap wanita yang ditolongnya itu masih ada. Benar, Adji melihat Maya sedang duduk di bawah pohon besar depan rumahnya.
"Mbak, nggak masuk?" tanya Adji.
"Nggak ah, gelap. Gue takut."
"Kan lampunya bisa dinyalakan."
"Gue nggak ngerti, lagian kenapa nggak ada listrik sih? Betah banget tinggal di tempat kaya gitu."
Adji tersenyum. Lalu ia masuk ke rumah, mengambil dua lampu kecil yang berbahan bakar minyak tanah, ia hidupkan dengan sebuah korek, lalu ia gantung di sudut ruangan. Ia kembali ke luar memanggil Maya.
"Mbak, sini. Sudah nyala lampunya."
Maya menoleh. Lalu menghampiri Adji, mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Adji mengambil dua buah piring dan sendok.
"Mbak, makan dulu. Ini tadi saya belikan nasi bungkus, ini untuk mbak, ini saya." Adji tersenyum.
Maya membuka bungkusannya. Nasi putih beserta lauknya, sayur capcay dan ayam goreng, sementara ia melihat milik Adji yang hanya makan dengan lauk tahu tempe goreng, tumis kangkung dan sambal.
"Kok beda?" tanya Maya.
Adji hanya tersenyum.
"Iya, saya nggak suka ayam. Biasa makan tahu dan tempe saja."
Maya tersenyum getir. Ia tahu pria itu bukan tidak suka, melainkan tidak cukup uang untuk membeli lauk yang sama. Dilihatnya Adji makan dengan lahap. Ia merasa iba, lalu memotong sebagian ayam goreng miliknya dan diberikan pada Adji.
"Eum ... Jangan, Mbak. Nanti Mbak makan apa?" tanya Adji dengan mulut penuh nasi.
"Gue nggak biasa makan banyak-banyak, suka sakit perut." Kali ini Maya yang berbohong.
Adji hanya mengangguk.
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama."
Mereka berdua makan malam dengan ditemani temaram lampu teplok yang sesekali berkedip karena tertiup angin dari arah pintu yang terbuka.
Selesai makan malam, Adji membersihkan diri, mandi dan berganti pakaian. Sementara Maya masih duduk di ruang tamu, kakinya ia tekuk di atas kursi, bersila, dan tangannya mendekap ke tengah. Merasa dingin dengan udara malam, ditambah gerimis kecil-kecil turun sejak sepuluh menit yang lalu.
Adji berjalan mendekat dan duduk di sebelah Maya.
"Nama Mbak siapa?"
"Eum ... Lana. Panggil saja Lana."
Adji mengernyit.
"Ayo saya antar pulang, sudah malam. Kalau Mbak tetap di sini, saya takut, warga akan mengusir saya, karena membawa wanita yang bukan mahrom ke rumah ini."
"Di luar gerimis, gue juga nggak tahu rumah gue di mana."
"Mbak nggak lagi bohong, kan?"
Maya terdiam. Tiba-tiba di depan pintu seseorang datang mengetuk pintu yang sudah terbuka.
"Mas Adji!" panggil seorang wanita berambut ikal panjang yang sudah berdiri di depan pintu.
Adji bangkit menghampiri.
"Arin, ada apa?"
"Itu siapa?" tanya wanita bernama Arin itu.
"Owh, dia ... Lana."
"Pacar kamu?"
"Owh, bukan, bukan."
"Terus ngapain dia si sini."
"Eum ... Nggak ngapa-ngapain, sebentar lagi pulang kok."
"Ya udah, ini aku cuma mau bawain Mas makan malam, dimakan ya. Aku bikin sendiri loh."
"Tapi, aku sudah makan."
"Tumben, biasanya kan Mas selalu makan masakan aku."
"Iya, soalnya ...."
"Owh, pasti karena perempuan itu, kan?"
"Bukan, bukan."
"Ya udah, pokoknya awas kalau Mas sampai ngapa-ngapain sama dia." Arin berjalan mengambil payungnya, lalu melangkah pergi.
Adji menerima rantang berisi makanan yang memang biasa diberikan oleh Arin, yang tak lain adalah anak pak RT setempat, dan sudah lama menyukainya.
"Pacar loe?" tanya Maya.
"Bukan." Adji meletakkan makanan itu di meja.
"Masa?"
"Mbak, mending Mbak sekarang pulang ya."
"Gue nggak mau pulang, gue nggak tahu harus pulang ke mana."
"Duh, kalau Mbak di sini, emang Mbak mau tidur di kamar tanpa kasur."
"Sebenarnya sih nggak mau, cuma gimana lagi."
Akhirnya Maya terpaksa menginap di rumah Adji, ia tidur di kamar dengan memakai sebuah sarung milik Adji untuk menyelimuti tubuhnya. Sedangkan Adji tidur di kursi depan.
Ia melihat Maya sudah terlelap, matanyapun sudah mengantuk, Adji terpejam, tepat pukul tiga dini hari ia bangun, menunaikan kewajibannya untuk sholat tahajud.
Tap.
Tap.
Tap.
Tok tok tok.
"Adji! Keluar loe, Adji!" Suara langkah kaki dan gedoran pintu serta teriakan dari luar mengejutkannya.
Ia melipat kembali sajadah menaruhnya di dalam lemari kecil. Bergegas menuju pintu. Maya yang tidur ikut terbangun karena suara berisik dari arah luar. Dengan sarung masih menyelimuti tubuhnya ia mengekor di belakang Adji.
Adji membuka pintu perlahan. Ia terkejut, warga sudah ramai di depan rumahnya.
"Nah kan, bener. Kalian berbuat mesum ya? Kita nggak nyangka, Dji. Ternyata loe berani berbuat mesum di kampung ini. Gaya loe sok alim, nggak taunya bawa perempuan ke dalam rumah." Suara Bang Jamal dengan nada keras.
"Usir aja."
"Kawinin!"
"Udah usir, arak, kawinin aja pak RT."
Riuh suara warga.
Adji dan Maya hanya diam tak mengerti apa maksudnya.
"Kami nggak ngapa-ngapain, bapak-bapak, ibu-ibu." Adji berusaha menjelaskan.
"Halah, mana ada maling mau ngaku."
"Iya, udah arak aja, trus kawinin."
"Sabar, semuanya kita selesaikan dengan baik-baik." Pak RT menengahi.
"Halah, Pak yang kaya gini jangan didiemin, jangan dikasih ampun. Biar kapok!"
Maya merasa ketakutan, ia tak menyangka semua akan terjadi seperti ini. Seandainya ia tadi menuruti apa kata Adji untuk pulang, warga mungkin tidak akan menggerebek. Ia juga tidak mau dinikahkan dengan seorang pemulung, belum dikenalnya pula. Lalu bagaimana ia harus menyelamatkan diri dari massa yang sudah berkerumun di rumah Adji. Kalau ia pergi, Adji juga pasti akan di usir dari kampung itu. Kalau menikah? Bagaimana dengan kedua orang tuanya kalau sampai tahu. Gagal menikah dengan Alex anak konglomerat, malah dapat pemulung.
Kepala Maya tiba-tiba sakit, tubuhnya seketika lunglai, kemudian ambruk, dengan cepat Adji menangkap tubuh Maya.
***
.
Bersambung.
Vote and komentar nya yaaa
Tengkyu 😘
Adji membaringkan tubuh Maya di atas ranjang kayunya, beberapa warga masih menunggu di luar, ia kembali ke luar menemui Pak RT yang sudah duduk menunggu penjelasannya.
"Maaf, Pak. Jadi begini. Mbak Lana itu saya temukan di rel kereta, kemarin siang dia berusaha untuk bunuh diri, saya hanya menolongnya, dan membawanya pulang, yang bawa ke sini juga warga kok, dan dia hilang ingatan, jadi saya nggak tahu harus bawa dia ke mana, saya tanya rumahnya saja dia tidak ingat," jelas Adji.
Pak RT dan warga yang mendengar manggut-manggut, "Ya sudah, begini saja, Dji. Bapak percaya sama kamu, kamu kan juga orang lama di sini, warga juga udah tahu siapa kamu, besok kita bantu cari keluarganya, nanti saya akan minta tolong Arin dan Fahmi untuk minta fotonya si ... Siapa tadi namanya?"
"Lana, Pak. Tapi saya juga nggak tahu itu nama dia apa bukan."
"Oh iya, yang penting kan wajahnya, mungkin saja ada orang yang kenal, atau ada salah satu anggota keluarganya yang kehilangan."
"Baik, Pak. Kalau begitu terima kasih. Maaf, sekali lagi, sudah membuat semuanya jadi terbangun dan kumpul di sini, saya janji tidak akan berbuat macam-macam, kalau sampai terjadi apa-apa, saya akan bertanggung jawab," ucap Adji.
"Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu, lagipula sudah adzan subuh, biasanya kamu yang adzan kan?" Pak RT bangkit dari duduknya menepuk bahu Adji pelan.
Adji hanya tersenyum dan menyalami Pak RT juga warga yang berkerumun membubarkan diri kembali ke rumahnya masing-masing. Iapun bernapas lega. Lalu ke kamar mandi, berwudhu kembali, dan berangkat ke masjid yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
***
.
.
Maya membuka mata perlahan, kepalanya masih agak pusing, ia menghela napas, menyadari kalau rumah Adji sudah sepi, tidak terlihat lagi warga yang berkumpul, begitu juga dengan Adji, ia tak menemukannya di situ. Iapun beringsut perlahan, jantungnya seketika berdebar mendengarkan suara dari arah samping rumah.
Kretek ...
Tap ... Tap ... Tap ...
Ia melirik arlojinya, masih pukul lima pagi. Untuk memastikan suara apa itu, Maya mencoba berjalan ke luar dengan perlahan. Matanya terbelalak melihat siapa yang sedang di samping rumah. Tampak Adji sedang menyampirkan karung kosong di bahu, membawa sebuah besi panjang yang ujungnya runcing dan bengkok, khas seorang pemulung. Ia tersenyum getir.
Adji berjalan menjauh, sampai hilang di balik dinding rumah besar di ujung jalan. Tiba-tiba saja kedua mata Maya basah, buliran bening mengalir di pipinya, ia mengusap pelan. Lalu kembali ke dalam, duduk di ruang tamu. Mengingat kembali akan pengkhianatan yang dilakukan oleh Alex, mantan tunangannya itu, membuat hatinya semakin sakit dan tidak ingin kembali pulang.
Saat ini pasti keluarganya sedang kelimpungan mencarinya, dan Alex sudah pasti sedang bahagia dengan wanita itu. Ia tak pernah menyangka, kisah cintanya akan berakhir seperti ini. Alex yang dulu penyayang, dan perhatian, bisa berpaling darinya. Padahal wanita itu tak lebih cantik dari dirinya. Entah apa yang membuat Alex lebih memilih wanita itu.
***
.
.
"Assalamualaikum ...."
"Waalaikumsalam." Maya cepat menghapus air matanya saat melihat Adji datang.
"Mbak udah bangun?" tanya Adji seraya meletakkan bungkusan di meja.
"Udah, loe dari mana?" tanya Maya pura-pura tidak tahu.
"Biasa, Mbak. Sebentar saya cuci tangan dulu." Adji melangkah ke belakang. Lalu kembali dengan membawa sebuah piring dan sendok.
"Maaf ya, Mbak. Ini saya cuma bisa belikan nasi uduk, tapi enak kok. Langganan saya, dijamin nagih," ucap Adji.
Maya tersenyum kecil, memperhatikan cara Adji melayaninya, dari membukakan bungkus nasi di atas piring, menuang air minum, memberikan sendok.
"Silahkan, Mbak!" ujarnya tersenyum ramah.
"Makasih, Ya."
"Sama-sama."
"Loe nggak makan?"
Adji menggeleng.
"Sudah tadi, saya ke samping dulu ya, Mbak." Adji bangkit melangkah ke luar menuju samping rumahnya.
Maya menatap nasi di hadapannya itu, ia tak pernah menikmati makanan seperti itu. Namun, perutnya terasa perih, perlahan ia menyendok nasi dengan bihun dan orek tempe, sesaat ia mencium aromanya, dan tersenyum.
Saat suapan itu masuk ke mulut, pelan ia kunyah, merasakan sensasi rasa yang tak pernah ia nikmati sebelumnya.
"Enak juga," gumamnya.
Karena merasa cocok di mulut, Maya sudah tak segan lagi untuk memakan nasi uduk pemberian Adji, suap demi suap ia nikmati. Sampai habis tak tersisa, ia lalu minum perlahan.
Setelah sarapan, Maya ikut ke samping, melihat Adji yang sedang sibuk memilah botol plastik bekas, memisahkan penutupnya dari gelas dan botol, lalu menekannya hingga pipih dan dimasukkan ke karung.
Maya berjalan mendekat.
"Gue bantuin, Ya!"
"Nggak usah, Mbak. Nanti tangannya kotor."
"Kan bisa cuci tangan."
Sambil berjongkok, Maya mengambil botol dengan dua jari, merasa jijik dan geli, Adji tersenyum melihatnya.
"Tuh kan, udah mendingan mbak di dalam saja."
"Tapi gue mau bantuin loe."
"Nggak usah, Mbak. Saya udah biasa kok, dikit lagi juga selesai."
"Dji," panggil Maya sambil memperhatikan cowok di hadapannya itu.
"Iya, Mbak." Adji menoleh sesaat, lalu melanjutkan pekerjaannya.
"Umur loe berapa?"
"Sembilan belas tahun, Mbak."
"Apa? Eum ... Maksud gue, loe nggak sekolah?"
"Udah lulus."
"Kenapa nggak cari kerja?"
"Saya nggak bisa ambil ijasah, karena terbentur biaya," ucapnya lirih.
Maya menarik napas pelan.
"Emang orang tua loe ke mana? Sodara loe gitu?" Maya semakin penasaran, apa iya Adji hanya hidup sebatang kara.
Adji hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan dari Maya.
"Okey, kalo loe nggak mau jawab, nggak apa-apa. Sorry ... Oh iya ini kalau dikiloin dapet berapa?" Maya mengalihkan perbicaraan, ia menunjuk ke tumpukan karung di belakang tubuh Adji yang sudah penuh.
"Perkilonya tiga ribu, Mbak."
"Apa? Tiga ribu perak?" Maya terbelalak tak percaya.
"Iya, lumayanlah, Mbak."
"Sebulan dapat berapa? Sehari minimal berapa kilo?"
"Ya nggak tentu sih, yah lumayan masih bisa buat nabung." Adji tersenyum kecil ke arahnya.
Maya menghela napas sesaat, membayangkan betapa keras perjuangan bocah di hadapannya itu, tiga ribu sekilo. Untuk mendapatkan uang tiga ribu rupiah dia harus mengumpulkan satu kilo botol plastik bekas, sementara dirinya, uang tiga ribu saja kurang untuk sekedar membayar parkir di mall atau di kantor dan tempat biasa ia hangout.
"Kenapa, Mbak?" tanya Adji mengejutkannya.
Maya menggeleng.
"Loe nabung buat apa?"
"Buat ambil ijasah sama nerusin kuliah, oh iya, Mbak. Saya harus berangkat lagi, ini nukar barang yang kemarin dulu, Mbak disini ya. Jangan ke mana-mana. Mungkin nanti dhuhur saya pulang, dan pasti saya akan bawakan Mbak makan siang lagi." Adji bangkit, lalu mengangkut karung-karung berisi botol bekas itu ke atas gerobak miliknya, ada lima karung besar berisi penuh, perlahan Adji menarik gerobak itu ke ujung jalan. Lalu berbelok ke kanan. Maya menatap miris.
Adji, bocah seusianya di luar sana sedang asyik jalan-jalan ke mall bersama pacar, atau asyik bermain game di ponsel, nonton di bioskop, nongkrong di kafe-kafe, atau belajar di bangku kuliah, sementara dirinya? Sudah harus bekerja keras, hanya untuk sekedar mengisi perut.
***
Maylana Hapsari

Matahari bersinar terik, sudah lewat dhuhur Adji belum juga tiba di rumah, Maya duduk sendirian di teras, lama ia merasa sepi, tanpa teman, pacar dan orang tua. Ia bangkit menuju ke dalam, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara berat yang dikenal memanggilnya.
"Maya!"
Maya menoleh perlahan, menatap siapa yang datang, matanya membulat melihat Hardi sang ayah sudah berada di hadapannya bersama Alex dan Arin wanita yang semalam ke rumah Adji.
Jantung Maya berdebar hebat, ia takut Hardi akan membawanya pulang dengan paksa, sedangkan Arin tahu kalau Maya sedang hilang ingatannya.
Maya bingung, ia harus bagaimana, tidak ada Adji di situ yang bisa menyelamatkannya.
"Maya, ayo pulang!" bentak Hardi.
Maya mengernyit.
"Anda siapa?" tanya Maya berpura-pura lupa.
"Maya! Kamu lupa sama aku? Aku calon suami kamu. Alex. Ini Papa kamu!" Pria bernama Alex mendekati Maya.
Telapak tangan Maya terasa gatal, ingin sekali ia menampar wajah pengkhianat itu. Namun, ia berusaha sabar.
"Maya, sayang ... Ini Papa. Yang sudah merawat dan membesarkan kamu selama dua puluh lima tahun ini. Masa kamu lupa. Tiga bulan lagi kan kamu dan Alex akan melangsungkan pernikahan. Kamu malah menghilang. Kami semua mencarimu semalam. Alex bilang kamu ngambek karena dia tak menepati janji bertemu di kafe." Papa bercerita panjang lebar.
Maya tidak tega dengan sang ayah yang menatapnya tajam itu, seakan tak dianggap, tapi ia sudah tak ingin lagi menikah dengan Alex. Bisa bisanya dia putar balikkan fakta, menyebutnya kalau dirinya ngambek padahal dia yang sudah berkhianat.
"Maaf, Om. Eum ... Mbak ini, memang hilang ingatan. Kemarin ditemukan teman saya mau bunuh diri di rel kereta." Arin mendekat ke arah Maya.
Wajah Alex seketika berubah, ia seakan ketakutan kalau Maya melakukan hal nekad karena perbuatannya.
"Mana teman kamu yang menolong anak saya?" tanya Hardi.
"Eum ... Sedang ke pengepul mungkin, Om."
"Pengepul? Maksudnya?"
"Iya, teman saya itu pemulung."
"Apa? Pemulung?"
Berkali-kali Hardi kaget mendengar pengakuan Arin. Ia tak menyangka ada seorang pemulung yang baik hati mau menolong anaknya.
"Baiklah, tolong nanti kalau teman kamu datang, bilang terima kasih, karena telah menolong anak saya, saya akan membawa anak saya pulang, saya akan memeriksa kondisi anak saya ke rumah sakit." Hardi menarik tangan Maya.
Maya mencoba melepaskan tangannya. Arin hanya mengangguk, dan tersenyum lega, akhirnya ia bisa menyingkirkan Maya dari rumah Adji, cowok idamannya.
Maya meronta, sementara kedua tangannya dipegangi oleh Hardi dan Alex, membawanya masuk ke mobil yang terparkir di ujung jalan, dari kejauhan tampak Adji sedang mendorong gerobaknya, dan membawa dua bungkus nasi yang menggantung di gerobak, dengan semangat ia menuju ke rumah.
Maya sudah masuk dan duduk di mobil belakang, ia menoleh melihat Adji dari dalam mobilnya, membuka kaca, dan berteriak.
"Adji ... Tolongin gue ... Adji ...."
Adji tak mendengar, bahkan iapun tak melihat mobil yang melaju jauh di depannya tadi.
Tubuh Maya lemah, ia bersandar di jok belakang, menatap ke arah luar jendela. Kenapa ia harus kembali lagi ke rumah, tanpa pamit dengan Adji. Bagaimana kalau nanti Adji mencarinya. Atau bahkan membencinya jika suatu saat kembali dipertemukan.
"Maaf, Pah, barangku ada yang tertinggal," ucap Maya.
Hardi menghentikan mobilnya di tepi jalan, menoleh ke arah belakang, dan tersenyum.
"Katanya amnesia?" ledek Hardi.
"Kita pulang ya, sayang ...," sambung Alex.
"Diem loe! Gue mau ngomong sama loe lagi!" bentak Maya.
"Loh, sayang kamu kok ngomong gitu sama Alex?"
"Asal Papah tau, Alex itu udah selingkuhin aku, makanya aku mau bunuh diri di rel. Kalau aku boleh memilih, mendingan aku mati dari pada harus pulang ke rumah apalagi nikah sama dia!"
Kali ini pandangan Hardi mengarah tajam pada Alex. "Benar itu, Lex?"
"Ah, enggak, Om. Mana mungkin saya melakukan itu pada anak Om yang cantik ini."
"Papah nggak usah dengerin omongannya dia, sekarang bawa aku ke rumah Adji, aku belum ngucapin makasih sama dia, Pah."
Hardi menghela napas kasar, melirik tajam ke arah Alex. Alex mengalihkan pandangannya ke depan.
***
.
.
"Adji ...," panggil Maya berlari menghampiri Adji yang baru saja ke luar dari rumah.
"Mbak, dari mana? Saya cari ke mana-mana, kata Arin ...." Belum sempat Adji melanjutkan pembicaraan, Hardi dan Alex sudah berdiri di hadapan mereka.
"Oh jadi kamu yang menolong anak saya?" tanya Hardi.
"I ... Iya, Pak," jawab Adji.
"Terima kasih, Ya."
"Sama-sama, Pak."
"Maya, cepat ambil barang kamu yang tertinggal, lalu kita pulang." Hardi memerintah Maya. Maya bergeming, ia bersembunyi di balik tubuh Adji.
Adji masih tampak bingung, ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa benar mereka adalah keluarga dari Lana.
"Aku nggak mau pulang, Pah. Aku mau di sini aja," ucap Maya tiba-tiba.
"Maksud kamu apa?"
"Pah, aku nggak mau pulang."
"Maya, tiga bulan lagi kamu menikah dengan Alex, undang sudah di pesan, gedung juga sudah di booking, semua sudah siap."
"Papah tega nikahin aku sama si pengkhianat itu. Pokoknya aku nggak mau pulang."
"Maya, ayo pulang." Hardi menarik paksa tangan anaknya, Adji hanya diam.
"Maya, ayo pulang!" Kini Alex ikut memegangi tangan Maya lagi.
Maya menarik tangan Adji, mencari perlindungan. Kini Adji tak tega ia turun tangan membantu Maya.
"Maaf, Pak. Memang tidak bisa dibicarakan dengan baik-baik," ucap Adji.
"Eh, loe diem aja ya, nggak usah ikut campur!" bentak Alex.
"Maaf, Bang. Bukan saya mau ikut campur, tapi ...."
"Eh, tunggu-tunggu, kayanya gue kenal sama loe, tapi di mana ya, muka loe pernah gue lihat." Alex memperhatikan wajah Adji dengan seksama.
Mereka sudah melepaskan tangannya dari tangan Maya. Maya berlari masuk ke rumah Adji dan menutup pintunya dari dalam.
Alex geram melihat sikap Maya yang meninggalkannya. Tangan Alex langsung mencengkeram kerah baju Adji.
Bugh!
Sebuah pukulan mendarat di wajah Adji.
"Gue kenal siapa, loe." Alex menyeringai.
Adji mengusap ujung bibirnya yang berdarah.
"Bang Alex," ucap Adji lirih.
"Iya, gue Alex. Masih inget gue?"
Hardi hanya diam memandangi keduanya.
"Adji, cepat masuk!" teriak Maya.
Adji hendak berlari ke dalam rumah, tapi sayang, gerakan tangan Alex lebih cepat menangkap tubuhnya.
Bugh!
Kali ini perut Adji kena pukul, ia tersungkur, lalu dengan tergopoh masuk ke dalam, menutup kembali pintu rumah.
Alex menggedor-gedor pintunya.
"Riyu! Loe Riyu kan? Bukan Adji!" teriak Alex dari balik pintu.
"Gue ingetin, kalo sampe loe nggak balikin Maya, gue bakal laporin ke bokap loe, tentang keberadaan loe sekarang!" Alex mengancam. Adji bergeming, tubuhnya lemah. Tiba-tiba ia hilang kesadaran.
****
.
Bersambung ...
Vote nya jangan lupa ...
Komennya juga ditunggu untuk kelanjutan kisah ini ...
Makasih 😘
***
.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di wajah cowok yang baru selesai melaksanakan ibadah sholat Isya di kamarnya. Cowok itu meringis.
Bugh!
Kali ini bogem mentah mengenai perutnya, berkali-kali tendangan juga diarahkan padanya. Cowok itu tersungkur, mencoba bangkit, sakit di sekujur tubuh membuatnya tak berdaya.
Ia mengusap ujung bibirnya yang berdarah, belum sempat ia bangkit untuk berdiri, kembali pukulan mengenai wajahnya, kali ini pelipisnya ikut mengeluarkan cairan kental berwarna merah.
Tap tap tap.
Brak!
"Ada apa, Pih?" Seorang pria muda berdiri di depan pintu, memandang ke arah sang ayah juga adiknya yang babak belur.
Tangan sang ayah masih mengepal, setelah mengeksekusi anak keduanya, wajahnya masih menyimpan kemarahan.
"Sejak kapan dia berpindah keyakinan?" tanya pria bertubuh tinggi besar dan sedikit buncit pada pria muda yang tak lain adalah anak sulungnya.
"Aku nggak tahu, Pih."
"Bawa dia ke gudang, beserta semua peralatannya, apa itu, karpet, sarung, dan yang dipakai di kepalanya itu, itu juga buku apa itu? Sama semua berkas identitasnya!" Pria paruh baya itu menunjuk satu persatu barang-barang milik anak keduanya, sementara si putra sulung sibuk mengemasi semua barang dan memasukkannya ke dalam kardus. Sang ayah pergi ke luar kamar.
"Jangan, Kak! Itu berkas sekolahku, itu Al-Qur'an, Kak! Kakak!" Sang adik menarik kaki kakaknya untuk tidak membawa benda berharganya ke gudang.
"Lepasin, Riyu! Aku cuma disuruh papi." Sang Kakak tak menghiraukannya, berjalan ke belakang menuju gudang.
"Kak! Kak Sean!"
Kakaknya bernama Sean itu lalu kembali ke kamar Riyu dengan membawa tali tambang, tangan adiknya mulai diikat, lalu dibawa ke gudang. Tak lama kemudian sang ayah datang kembali, membawa sejerigen bensin, dan memegang korek gas.
"Riyu! Kamu yakin dengan keputusanmu itu? Masih ada kesempatan untukmu, kembali pada keyakinan yang keluarga kita anut saat ini!" Lantang sang ayah berbicara di hadapan sang anak yang sudah tak berdaya itu.
"Aku yakin, Pih. Sudah tiga bulan ini aku menjadi mualaf, banyak pengalaman spiritual yang aku alami, hidupku semakin tenang, nyaman, apalagi saat berada di tengah-tengah umat muslim saat menunaikan sholat di mesjid."
Plak!
Kembali sang ayah menamparnya. Riyu memejamkan mata sesaat.
"Pih, lebih baik Papih bertaubat, kita sama-sama memulai hidup baru dengan menjadi mualaf, aku akan dukung Papih juga Kak Sean."
"Heh! Bicara apa kamu? Cuih!" Sean meludah ke arah Riyu duduk.
"Sekali lagi, kamu masih yakin dengan keputusanmu?" Papih bertanya lagi pada Riyu.
"Insya Allah, Riyu yakin, Pih. Allah sebaik-baik penolong."
"Okey, kita lihat, apa Allah Tuhan yang kamu maksud itu akan menolongmu?" Dengan cepat sang ayah menyiramkan bensin ke seluruh barang-barang berharga milik Riyu, lalu ke sekitar gudang, kemudian mulai menyalakan api dari korek yang dipegangnya.
"Kamu yakin, Riyu?"
"Insya Allah. Allahu Akbar ...!" Riyu terus merapal doa dalam hatinya, suara percikan api yang mulai membakar kertas sudah terdengar. Sang ayah menatap tajam dari kejauhan, Sean menjauh. Melihat api yang berkobar di gudang belakang rumahnya. Sang adik masih berada di dalam. Tanpa belas kasihan mereka berdua meninggalkan Riyu.
****
.
Perlahan Adji membuka kedua matanya, samar-samar ia melihat wanita berambut panjang menatap cemas ke arahnya.
"Dji, loe nggak apa-apa?" tanyanya.
Adji bangkit, ia duduk bersandar di belakang pintu, memijit pelipisnya.
"Mbak, kok masih di sini?"
"Ya iyalah, loe pingsan. Masa gue ninggalin loe gitu aja."
Adji kini mulai berdiri, lalu berjalan ke kursi dan duduk perlahan. Maya mengambil air minum ke belakang, lalu kembali dengan segelas air dan diberikan pada Adji.
"Minum dulu, nih!"
Adji minum perlahan.
"Lebih baik Mbak pulang," ucap Adji sambil meletakkan kembali gelas ke atas meja.
"Nggak bisa, loe babak belur. Lagi juga masih ada yang mau gue tanyain sama loe."
"Tanya apa? Mbak udah nipu saya, berpura-pura amnesia. Iya kan? Kenapa?"
"Ya ... Maaf ... Karena ... Gue nggak mau pulang."
"Ya udah, sekarang Mbak pulang, saya nggak mau terlibat dengan masalah Mbak."
"Tapi, loe udah nolongin gue, jadi loe ya mau nggak mau terlibat."
"Kok gitu?"
"Iya."
"Tau gitu, lebih baik kemarin saya nggak nolongin Mbak dong."
"Jahat, Loe."
Adji tersenyum kecil. Perutnya masih terasa nyeri. Ia masih kepikiran dengan Alex. Kalau sampai Alex memberitahukan keluarganya bahwa dia masih hidup, maka tidak menutup kemungkinan sang ayah dan kakaknya akan mencari dan membunuhnya kembali.
"Loe sebenarnya siapa?" Pertanyaan Maya membuat mata Adji membulat seketika.
"Saya Adji, Mbak."
"Maksud gue, kenapa Alex bisa kenal sama loe?"
"Eum ... Saya pernah ketemu di jalan."
"Jangan bohong. Kenapa dia bawa-bawa keluarga loe?"
"Saya nggak tahu, Mbak. Mungkin ada seseorang yang mirip dengan saya." Adji berusaha menyembunyikan identitasnya.
Maya mengernyit.
"Bisa jadi, sih. Mana mungkin Alex kenal sama pemulung."
"Mbak, lebih baik Mbak pulang ya." Kali ini Adji benar-benar memohon.
"Tapi, Dji. Gara-gara gue, loe babak belur."
"Iya, lebih baik, dari pada Mbak tetap di sini, mungkin besok saya dimakamkan."
Maya menghela napas pelan. Berpikir sejenak. Lalu ia mengambil keputusan untuk mengikuti saran bocah di hadapannya itu.
"Okey, gue akan pulang. Tapi gue masih boleh kan main ke sini?"
Adji mengangguk pelan.
****
.
.
Sudah dua hari Maya kembali ke rumah, kebetulan sang ayah sudah kembali ke Australia, sedang ada tugas dua Minggu di sana. Di rumahnya hanya ada adik perempuannya dan kakak laki-lakinya.
"May, loe ke mana aja kemarin? Gue kira udah mati!" Kakak laki-lakinya berdiri di depan pintu kamar.
"Sialan, Loe. Hampir sih, kalo nggak ditolong sama pemulung, mungkin gue udah masuk koran." Maya mengoles bibir dengan lipstik mate berwarna pink.
"Pemulung? Ish. Trus loe tidur di sana?"
Maya mengangguk.
"Sekarang loe mau ke mana?"
"Kerja. Berapa hari gue nggak masuk." Maya berjalan ke arah ranjang mengambil tasnya.
"May, bener si Alex selingkuh?"
"Mas Denisku sayang, bisa diem nggak? Nggak usah kepo sama urusan orang."
"Maya, gue nanya serius, temen gue mau kenalan sama loe." Denis yang dari tadi mengekor masih berusaha mencari tahu.
Langkah mereka berhenti di ruang makan. Maya menyeruput susu coklat miliknya, sementara sang kakak masih menunggu jawaban darinya.
"Kak Maya, Mas Denis ... Selamat pagi ...." Seorang cewek berseragam putih abu-abu duduk di antara mereka.
"Pagi, Sher," ucap Maya pada sang adik.
"May!"
"Mas, Alex itu pengkhianat! Loe tolong jelasin sama Papa, kalo gue nggak mau lagi nikah sama dia."
"Serius, Loe? Okey, gue dukung, tapi loe harus mau kenalan sama temen gue, orangnya ganteng, tajir pula." Denis mempromosikan teman sekantornya.
"Hem," jawab Maya malas seraya mengigit roti yang baru saja ia olesi selai coklat kegemarannya.
"Mas, aku bareng ya!" ucap Sherli.
"Bareng, numpang!"
"Hehehe iya."
"Motor loe mana?" tanya Denis.
"Habis bensin."
"Males sih, kalo pulang tuh, isi dulu sebelum kosong, kalo begini, siapa yang mau bawa motor loe ke pom bensin?"
"Kan ada Mang Ujang, nanti aku kasih uang buat isi bensin." Sherli memajukan bibirnya, kesal.
Maya hanya mendengarkan celotehan kedua saudaranya itu. Mereka hanya tinggal bertiga, Mamanya sudah meninggal sejak Sherli sang adik lahir ke dunia. Awalnya Denis dan Maya kesal atas kehadiran Sherli yang dianggap sudah membuat Mama yang mereka cintai pergi untuk selamanya.
Sherli di asuh dari orok oleh assisten rumah tangga, namanya mbok Asih. Orang kepercayaan Papa, dan sudah dianggap seperti nenek bagi anak-anak Hardi. Karena memang mereka sudah tak punya lagi nenek dan kakek.
***
.
.
Tok tok tok tok.
Sepatu pantofel Maya berbunyi di lantai kantornya, kedatangannya membuat suasana gaduh. Ada yang memandang ngeri, takjub, bahkan ada yang menghindar.
"Itu si Maya? Bukan setan kan?"
"Katanya dia mau bunuh diri?"
"Kasihan ya, diselingkuhin."
"Iya, mana udah mau nikah lagi."
"Kira-kira dia masih mau nggak ya balik sama si Alex?"
"Tau tuh, dia kan matre! Alex kaya. Palingan juga nanti dimaafin, ya nggak?"
Berbagai gunjingan ia dengar, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sudah biasa. Maya meletakkan tasnya di meja kerja, lalu duduk.
"Woy!" Sebuah tepukan agak lumayan keras mendarat di bahunya.
"Monik? Bisa nggak sih pelan-pelan? Emang nggak sakit?" Maya memegangi bahu kanannya.
"Sorry, ke mana aja, loe?" tanya Monik, rekan kerja satu teamnya.
Maya celingak-celinguk mengawasi keadaan sekitar.
"Ntar istirahat gue ceritain."
"Okey, btw, hape loe mana? Itu pesan wa di grup pada ngomongin loe. Ah gila. Coba deh, loe check."
"hehehe ... Dua hari gue nggak buka, capek banget, sumpah!"
"Emang loe abis ngapain? Nyuci? Masak?"
"Ya nggak gitu juga sih."
"Nah, itu. Oh iya. Ada bos baru loh. Ganteng banget, Mau. Sumpah. Jadi atasan kita. Kemarin baru dateng sih, perkenalan di ruang meeting. Gue sih bilangnya loe sakit."
"Oh ya? Siapa namanya?" tanya Maya antusias. Apalagi mendengar kata 'ganteng' dengan posisi Manager. Mata Maya langsung hijau.
"Sabar, keleus, sebentar lagi juga orangnya nongol," ucap Monik seraya menowel dagu Maya.
Benar saja, tak lama kemudian sesosok pria tegap dengan jas dan celana hitam, serta kemeja abu-abu, rambut klimis, datang dari arah pintu masuk. Seketika para karyawan berdiri menyambutnya, beberapa rekan kerja wanita matanya berbinar melihat ke arah pria itu, begitupun dengan Maya yang mulutnya ikut terbuka melihat pria tadi lewat di hadapannya.
"Ck ck ck ... Sampe melongo gitu lihatnya, ganteng kan?" tanya Monik.
Mata Maya masih menuju ke ruangan di mana pria itu masuk.
"Siapa namanya, Mon?"
"Sean, bapak Sean Konawa."
"Namanya kaya agak Jepang gitu."
Monik mengangguk.
****
.
.
Bersambung ...
Mohon vote and komentarnya yaaaa
Makasih.
.
😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!