2

Adji membaringkan tubuh Maya di atas ranjang kayunya, beberapa warga masih menunggu di luar, ia kembali ke luar menemui Pak RT yang sudah duduk menunggu penjelasannya.

"Maaf, Pak. Jadi begini. Mbak Lana itu saya temukan di rel kereta, kemarin siang dia berusaha untuk bunuh diri, saya hanya menolongnya, dan membawanya pulang, yang bawa ke sini juga warga kok, dan dia hilang ingatan, jadi saya nggak tahu harus bawa dia ke mana, saya tanya rumahnya saja dia tidak ingat," jelas Adji.

Pak RT dan warga yang mendengar manggut-manggut, "Ya sudah, begini saja, Dji. Bapak percaya sama kamu, kamu kan juga orang lama di sini, warga juga udah tahu siapa kamu, besok kita bantu cari keluarganya, nanti saya akan minta tolong Arin dan Fahmi untuk minta fotonya si ... Siapa tadi namanya?"

"Lana, Pak. Tapi saya juga nggak tahu itu nama dia apa bukan."

"Oh iya, yang penting kan wajahnya, mungkin saja ada orang yang kenal, atau ada salah satu anggota keluarganya yang kehilangan."

"Baik, Pak. Kalau begitu terima kasih. Maaf, sekali lagi, sudah membuat semuanya jadi terbangun dan kumpul di sini, saya janji tidak akan berbuat macam-macam, kalau sampai terjadi apa-apa, saya akan bertanggung jawab," ucap Adji.

"Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu, lagipula sudah adzan subuh, biasanya kamu yang adzan kan?" Pak RT bangkit dari duduknya menepuk bahu Adji pelan.

Adji hanya tersenyum dan menyalami Pak RT juga warga yang berkerumun membubarkan diri kembali ke rumahnya masing-masing. Iapun bernapas lega. Lalu ke kamar mandi, berwudhu kembali, dan berangkat ke masjid yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

***

.

.

Maya membuka mata perlahan, kepalanya masih agak pusing, ia menghela napas, menyadari kalau rumah Adji sudah sepi, tidak terlihat lagi warga yang berkumpul, begitu juga dengan Adji, ia tak menemukannya di situ. Iapun beringsut perlahan, jantungnya seketika berdebar mendengarkan suara dari arah samping rumah.

Kretek ...

Tap ... Tap ... Tap ...

Ia melirik arlojinya, masih pukul lima pagi. Untuk memastikan suara apa itu, Maya mencoba berjalan ke luar dengan perlahan. Matanya terbelalak melihat siapa yang sedang di samping rumah. Tampak Adji sedang menyampirkan karung kosong di bahu, membawa sebuah besi panjang yang ujungnya runcing dan bengkok, khas seorang pemulung. Ia tersenyum getir.

Adji berjalan menjauh, sampai hilang di balik dinding rumah besar di ujung jalan. Tiba-tiba saja kedua mata Maya basah, buliran bening mengalir di pipinya, ia mengusap pelan. Lalu kembali ke dalam, duduk di ruang tamu. Mengingat kembali akan pengkhianatan yang dilakukan oleh Alex, mantan tunangannya itu, membuat hatinya semakin sakit dan tidak ingin kembali pulang.

Saat ini pasti keluarganya sedang kelimpungan mencarinya, dan Alex sudah pasti sedang bahagia dengan wanita itu. Ia tak pernah menyangka, kisah cintanya akan berakhir seperti ini. Alex yang dulu penyayang, dan perhatian, bisa berpaling darinya. Padahal wanita itu tak lebih cantik dari dirinya. Entah apa yang membuat Alex lebih memilih wanita itu.

***

.

.

"Assalamualaikum ...."

"Waalaikumsalam." Maya cepat menghapus air matanya saat melihat Adji datang.

"Mbak udah bangun?" tanya Adji seraya meletakkan bungkusan di meja.

"Udah, loe dari mana?" tanya Maya pura-pura tidak tahu.

"Biasa, Mbak. Sebentar saya cuci tangan dulu." Adji melangkah ke belakang. Lalu kembali dengan membawa sebuah piring dan sendok.

"Maaf ya, Mbak. Ini saya cuma bisa belikan nasi uduk, tapi enak kok. Langganan saya, dijamin nagih," ucap Adji.

Maya tersenyum kecil, memperhatikan cara Adji melayaninya, dari membukakan bungkus nasi di atas piring, menuang air minum, memberikan sendok.

"Silahkan, Mbak!" ujarnya tersenyum ramah.

"Makasih, Ya."

"Sama-sama."

"Loe nggak makan?"

Adji menggeleng.

"Sudah tadi, saya ke samping dulu ya, Mbak." Adji bangkit melangkah ke luar menuju samping rumahnya.

Maya menatap nasi di hadapannya itu, ia tak pernah menikmati makanan seperti itu. Namun, perutnya terasa perih, perlahan ia menyendok nasi dengan bihun dan orek tempe, sesaat ia mencium aromanya, dan tersenyum.

Saat suapan itu masuk ke mulut, pelan ia kunyah, merasakan sensasi rasa yang tak pernah ia nikmati sebelumnya.

"Enak juga," gumamnya.

Karena merasa cocok di mulut, Maya sudah tak segan lagi untuk memakan nasi uduk pemberian Adji, suap demi suap ia nikmati. Sampai habis tak tersisa, ia lalu minum perlahan.

Setelah sarapan, Maya ikut ke samping, melihat Adji yang sedang sibuk memilah botol plastik bekas, memisahkan penutupnya dari gelas dan botol, lalu menekannya hingga pipih dan dimasukkan ke karung.

Maya berjalan mendekat.

"Gue bantuin, Ya!"

"Nggak usah, Mbak. Nanti tangannya kotor."

"Kan bisa cuci tangan."

Sambil berjongkok, Maya mengambil botol dengan dua jari, merasa jijik dan geli, Adji tersenyum melihatnya.

"Tuh kan, udah mendingan mbak di dalam saja."

"Tapi gue mau bantuin loe."

"Nggak usah, Mbak. Saya udah biasa kok, dikit lagi juga selesai."

"Dji," panggil Maya sambil memperhatikan cowok di hadapannya itu.

"Iya, Mbak." Adji menoleh sesaat, lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Umur loe berapa?"

"Sembilan belas tahun, Mbak."

"Apa? Eum ... Maksud gue, loe nggak sekolah?"

"Udah lulus."

"Kenapa nggak cari kerja?"

"Saya nggak bisa ambil ijasah, karena terbentur biaya," ucapnya lirih.

Maya menarik napas pelan.

"Emang orang tua loe ke mana? Sodara loe gitu?" Maya semakin penasaran, apa iya Adji hanya hidup sebatang kara.

Adji hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan dari Maya.

"Okey, kalo loe nggak mau jawab, nggak apa-apa. Sorry ... Oh iya ini kalau dikiloin dapet berapa?" Maya mengalihkan perbicaraan, ia menunjuk ke tumpukan karung di belakang tubuh Adji yang sudah penuh.

"Perkilonya tiga ribu, Mbak."

"Apa? Tiga ribu perak?" Maya terbelalak tak percaya.

"Iya, lumayanlah, Mbak."

"Sebulan dapat berapa? Sehari minimal berapa kilo?"

"Ya nggak tentu sih, yah lumayan masih bisa buat nabung." Adji tersenyum kecil ke arahnya.

Maya menghela napas sesaat, membayangkan betapa keras perjuangan bocah di hadapannya itu, tiga ribu sekilo. Untuk mendapatkan uang tiga ribu rupiah dia harus mengumpulkan satu kilo botol plastik bekas, sementara dirinya, uang tiga ribu saja kurang untuk sekedar membayar parkir di mall atau di kantor dan tempat biasa ia hangout.

"Kenapa, Mbak?" tanya Adji mengejutkannya.

Maya menggeleng.

"Loe nabung buat apa?"

"Buat ambil ijasah sama nerusin kuliah, oh iya, Mbak. Saya harus berangkat lagi, ini nukar barang yang kemarin dulu, Mbak disini ya. Jangan ke mana-mana. Mungkin nanti dhuhur saya pulang, dan pasti saya akan bawakan Mbak makan siang lagi." Adji bangkit, lalu mengangkut karung-karung berisi botol bekas itu ke atas gerobak miliknya, ada lima karung besar berisi penuh, perlahan Adji menarik gerobak itu ke ujung jalan. Lalu berbelok ke kanan. Maya menatap miris.

Adji, bocah seusianya di luar sana sedang asyik jalan-jalan ke mall bersama pacar, atau asyik bermain game di ponsel, nonton di bioskop, nongkrong di kafe-kafe, atau belajar di bangku kuliah, sementara dirinya? Sudah harus bekerja keras, hanya untuk sekedar mengisi perut.

***

Maylana Hapsari

Matahari bersinar terik, sudah lewat dhuhur Adji belum juga tiba di rumah, Maya duduk sendirian di teras, lama ia merasa sepi, tanpa teman, pacar dan orang tua. Ia bangkit menuju ke dalam, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara berat yang dikenal memanggilnya.

"Maya!"

Maya menoleh perlahan, menatap siapa yang datang, matanya membulat melihat Hardi sang ayah sudah berada di hadapannya bersama Alex dan Arin wanita yang semalam ke rumah Adji.

Jantung Maya berdebar hebat, ia takut Hardi akan membawanya pulang dengan paksa, sedangkan Arin tahu kalau Maya sedang hilang ingatannya.

Maya bingung, ia harus bagaimana, tidak ada Adji di situ yang bisa menyelamatkannya.

"Maya, ayo pulang!" bentak Hardi.

Maya mengernyit.

"Anda siapa?" tanya Maya berpura-pura lupa.

"Maya! Kamu lupa sama aku? Aku calon suami kamu. Alex. Ini Papa kamu!" Pria bernama Alex mendekati Maya.

Telapak tangan Maya terasa gatal, ingin sekali ia menampar wajah pengkhianat itu. Namun, ia berusaha sabar.

"Maya, sayang ... Ini Papa. Yang sudah merawat dan membesarkan kamu selama dua puluh lima tahun ini. Masa kamu lupa. Tiga bulan lagi kan kamu dan Alex akan melangsungkan pernikahan. Kamu malah menghilang. Kami semua mencarimu semalam. Alex bilang kamu ngambek karena dia tak menepati janji bertemu di kafe." Papa bercerita panjang lebar.

Maya tidak tega dengan sang ayah yang menatapnya tajam itu, seakan tak dianggap, tapi ia sudah tak ingin lagi menikah dengan Alex. Bisa bisanya dia putar balikkan fakta, menyebutnya kalau dirinya ngambek padahal dia yang sudah berkhianat.

"Maaf, Om. Eum ... Mbak ini, memang hilang ingatan. Kemarin ditemukan teman saya mau bunuh diri di rel kereta." Arin mendekat ke arah Maya.

Wajah Alex seketika berubah, ia seakan ketakutan kalau Maya melakukan hal nekad karena perbuatannya.

"Mana teman kamu yang menolong anak saya?" tanya Hardi.

"Eum ... Sedang ke pengepul mungkin, Om."

"Pengepul? Maksudnya?"

"Iya, teman saya itu pemulung."

"Apa? Pemulung?"

Berkali-kali Hardi kaget mendengar pengakuan Arin. Ia tak menyangka ada seorang pemulung yang baik hati mau menolong anaknya.

"Baiklah, tolong nanti kalau teman kamu datang, bilang terima kasih, karena telah menolong anak saya, saya akan membawa anak saya pulang, saya akan memeriksa kondisi anak saya ke rumah sakit." Hardi menarik tangan Maya.

Maya mencoba melepaskan tangannya. Arin hanya mengangguk, dan tersenyum lega, akhirnya ia bisa menyingkirkan Maya dari rumah Adji, cowok idamannya.

Maya meronta, sementara kedua tangannya dipegangi oleh Hardi dan Alex, membawanya masuk ke mobil yang terparkir di ujung jalan, dari kejauhan tampak Adji sedang mendorong gerobaknya, dan membawa dua bungkus nasi yang menggantung di gerobak, dengan semangat ia menuju ke rumah.

Maya sudah masuk dan duduk di mobil belakang, ia menoleh melihat Adji dari dalam mobilnya, membuka kaca, dan berteriak.

"Adji ... Tolongin gue ... Adji ...."

Adji tak mendengar, bahkan iapun tak melihat mobil yang melaju jauh di depannya tadi.

Tubuh Maya lemah, ia bersandar di jok belakang, menatap ke arah luar jendela. Kenapa ia harus kembali lagi ke rumah, tanpa pamit dengan Adji. Bagaimana kalau nanti Adji mencarinya. Atau bahkan membencinya jika suatu saat kembali dipertemukan.

"Maaf, Pah, barangku ada yang tertinggal," ucap Maya.

Hardi menghentikan mobilnya di tepi jalan, menoleh ke arah belakang, dan tersenyum.

"Katanya amnesia?" ledek Hardi.

"Kita pulang ya, sayang ...," sambung Alex.

"Diem loe! Gue mau ngomong sama loe lagi!" bentak Maya.

"Loh, sayang kamu kok ngomong gitu sama Alex?"

"Asal Papah tau, Alex itu udah selingkuhin aku, makanya aku mau bunuh diri di rel. Kalau aku boleh memilih, mendingan aku mati dari pada harus pulang ke rumah apalagi nikah sama dia!"

Kali ini pandangan Hardi mengarah tajam pada Alex. "Benar itu, Lex?"

"Ah, enggak, Om. Mana mungkin saya melakukan itu pada anak Om yang cantik ini."

"Papah nggak usah dengerin omongannya dia, sekarang bawa aku ke rumah Adji, aku belum ngucapin makasih sama dia, Pah."

Hardi menghela napas kasar, melirik tajam ke arah Alex. Alex mengalihkan pandangannya ke depan.

***

.

.

"Adji ...," panggil Maya berlari menghampiri Adji yang baru saja ke luar dari rumah.

"Mbak, dari mana? Saya cari ke mana-mana, kata Arin ...." Belum sempat Adji melanjutkan pembicaraan, Hardi dan Alex sudah berdiri di hadapan mereka.

"Oh jadi kamu yang menolong anak saya?" tanya Hardi.

"I ... Iya, Pak," jawab Adji.

"Terima kasih, Ya."

"Sama-sama, Pak."

"Maya, cepat ambil barang kamu yang tertinggal, lalu kita pulang." Hardi memerintah Maya. Maya bergeming, ia bersembunyi di balik tubuh Adji.

Adji masih tampak bingung, ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa benar mereka adalah keluarga dari Lana.

"Aku nggak mau pulang, Pah. Aku mau di sini aja," ucap Maya tiba-tiba.

"Maksud kamu apa?"

"Pah, aku nggak mau pulang."

"Maya, tiga bulan lagi kamu menikah dengan Alex, undang sudah di pesan, gedung juga sudah di booking, semua sudah siap."

"Papah tega nikahin aku sama si pengkhianat itu. Pokoknya aku nggak mau pulang."

"Maya, ayo pulang." Hardi menarik paksa tangan anaknya, Adji hanya diam.

"Maya, ayo pulang!" Kini Alex ikut memegangi tangan Maya lagi.

Maya menarik tangan Adji, mencari perlindungan. Kini Adji tak tega ia turun tangan membantu Maya.

"Maaf, Pak. Memang tidak bisa dibicarakan dengan baik-baik," ucap Adji.

"Eh, loe diem aja ya, nggak usah ikut campur!" bentak Alex.

"Maaf, Bang. Bukan saya mau ikut campur, tapi ...."

"Eh, tunggu-tunggu, kayanya gue kenal sama loe, tapi di mana ya, muka loe pernah gue lihat." Alex memperhatikan wajah Adji dengan seksama.

Mereka sudah melepaskan tangannya dari tangan Maya. Maya berlari masuk ke rumah Adji dan menutup pintunya dari dalam.

Alex geram melihat sikap Maya yang meninggalkannya. Tangan Alex langsung mencengkeram kerah baju Adji.

Bugh!

Sebuah pukulan mendarat di wajah Adji.

"Gue kenal siapa, loe." Alex menyeringai.

Adji mengusap ujung bibirnya yang berdarah.

"Bang Alex," ucap Adji lirih.

"Iya, gue Alex. Masih inget gue?"

Hardi hanya diam memandangi keduanya.

"Adji, cepat masuk!" teriak Maya.

Adji hendak berlari ke dalam rumah, tapi sayang, gerakan tangan Alex lebih cepat menangkap tubuhnya.

Bugh!

Kali ini perut Adji kena pukul, ia tersungkur, lalu dengan tergopoh masuk ke dalam, menutup kembali pintu rumah.

Alex menggedor-gedor pintunya.

"Riyu! Loe Riyu kan? Bukan Adji!" teriak Alex dari balik pintu.

"Gue ingetin, kalo sampe loe nggak balikin Maya, gue bakal laporin ke bokap loe, tentang keberadaan loe sekarang!" Alex mengancam. Adji bergeming, tubuhnya lemah. Tiba-tiba ia hilang kesadaran.

****

.

Bersambung ...

Vote nya jangan lupa ...

Komennya juga ditunggu untuk kelanjutan kisah ini ...

Makasih 😘

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

WAHHHH ADJI ALIAS RIYU GK BSA BERANTEM, GMN MAU LINDUNGI MAYA

2022-11-28

0

Dewi Ariyanti

Dewi Ariyanti

pasti alex ada maksud nikah sama maya tu...bilang didepan maya milih selingkuhannya didepan ayah maya pura2 baik

2021-04-06

0

Fitri Lin

Fitri Lin

apaan sih alex,ga tau malu...

2020-07-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!