5

***

.

Malam itu bulan begitu terang, dengan taburan bintang yang menghiasi awan, terlihat indah. Seorang wanita berdiri depan cermin dengan dress merah marun yang dipadu heels merah, rambut panjang yang ia bentuk ujungnya bergelombang digerai indah. Lipstik mate merah pun ia poles, hari ini adalah hari istimewa. Keluarga lelaki idamannya akan datang melamar, setelah lama berpacaran, akhirnya hubungan keduanya akan segera dipersatukan dalam jenjang yang lebih tinggi. Yaitu sebuah pernikahan.

Wanita itu berjalan pelan ke luar kamarnya yang berada di lantai dua. Menuruni anak tangga dengan jantung berdebar-debar karena bahagia. Rasa tak sabar menggelayut. Tiba di ruang tamu, papa, kakak dan adiknya sudah menunggu. Ia lalu duduk di antara mereka.

"Kamu cantik sekali, Nak," ucap Hardi lembut pada sang anak.

"Terima kasih, Pah."

"Gue dilangkahin deh, inget ya, gue minta pelangkahnya yang bagus, yang mahal!" ucap sang kakak laki-lakinya.

"Tenang, Mas. Apa yang loe minta, gue kasih!"

"Janji ya?"

"Iya dong, makanya doain adik tersayang loe ini biar bahagia bersama Alex."

Sang kakak hanya tersenyum kecil. Tak lama kemudian keluarga Sofyanto datang, sontak mereka menyambutnya. Lalu mempersilahkan masuk juga duduk.

Pak Sofyanto mengutarakan niatnya untuk melamar putri kedua dari Bapak Hardi yang bernama Maylana atau Maya untuk putra sulungnya Alexander Sofyan. Dengan senang hati keluarga Hardi menerima pinangan tersebut.

Malam itu rasanya begitu cepat, setelah lamaran dan makan bersama, Alex meminta izin pada calon mertuanya untuk membawa Maya ke suatu tempat. Berhubung waktu juga masih sore tepatnya pukul setengah delapan malam, Hardi mengizinkan. Ia menganggap mungkin sang anak ingin merayakan hari bahagianya hanya berdua dengan calon suaminya.

Alex mengajak Maya ke sebuah restoran mewah, yang sudah sejak pagi dipesannya. Ia juga menutup kedua mata calon istrinya itu untuk membuat surprise. Sesampainya, ia menuntun Maya ke kursi yang telah disediakan.

"Kamu sudah siap, Sayang?" tanya Alex.

Maya mengangguk, pelan Alex membuka ikatan yang menutup kedua matanya. Bibir Maya mengembang, di hadapannya terlihat sebuah meja yang sudah berisi beberapa makanan kesukaan Maya, sebuah lilin yang menyala, sekuntum bunga mawar merah, dan dua orang pemain biola mengiringi malam bahagia mereka.

"Kamu suka?"

Mata Maya berbinar, Alex memang romantis, ia beruntung bisa kenal dan menjalin hubungan dengannya, bahkan ia tak pernah menyangka kalau Alex benar-benar serius akan menikahinya.

Namun, kebahagiaan itu seketika musnah, saat sebulan setelah Alex meminangnya, ia kepergok sedang jalan berdua bersama seorang wanita, bahkan keduanya terlihat begitu mesra, Maya tak percaya begitu saja, ia mencari tahu, apa benar yang dilihatnya itu adalah Alex, tunangannya.

Berkat kerjasama teman-temannya, akhirnya ia berhasil mencari tahu, kalau wanita yang bersama Alex itu memang kekasih Alex, dan sudah dipacarinya selama setahun lebih. Hati Maya mendidih seketika, selama ini Alex sudah membohonginya. Ia pun hendak melabrak perempuan itu, mengikutinya dari rumah. Sampai ke sebuah stasiun, ia sudah tak sabar ingin menghajar wajah calon suaminya itu.

***

.

.

"Mbak, Mbak ...."

"Adji!"

Maya terbangun, dadanya masih berdegup kencang, mengingat kenangan indah bersama Alex yang tiba-tiba musnah. Cepat Maya memeluk tubuh pria di hadapannya itu, erat, dan menangis di pelukan Adji.

"Mbak, Mbak nggak apa-apa?" tanya Adji khawatir.

"Biarin gue nangis dulu, Dji," jawab Maya bergetar.

Adji hanya diam, membiarkan dadanya digunakan untuk wanita yang sedang terisak itu. Lama, sepuluh menit berlalu, Adji begitu sabar, ia lalu merengkuh tubuh Maya.

"Loe bau, Dji!" Maya melepas pelukannya.

Adji terkekeh.

"Baru sadar, Mbak?"

Maya mengusap air matanya, lalu duduk di sebelah Adji.

"Loe dari mana?"

"Kerja, Mbak."

"Kok sampai malam?"

"Iya, tadi di pengepul ngantri. Jadi malam deh baru pulang."

"Itu yang meninggal siapa?"

"Owh, itu gang belakang, Pak Ahmadi, sudah sepuh sih."

"Gue kira elo, abis yang kelihatan cuma huruf depan sama belakangnya doang."

"Hahaha ... Mbak nyumpahin saya meninggal?"

"Ya enggak, kalo loe meninggal, ntar yang nyelamatin gue lagi siapa? Trus yang bisa jadi tempat gue nangis siapa?"

"Owh, jadi saya cuma jadi tempat nangis doang."

"Apaan sih, Loe."

"Mbak ngapain ke sini? Kirain udah lupa sama saya."

"Gue sedih, Dji. Kenapa sih, nasib gue sial terus, abis diselingkuhin Alex, eh naksir cowok nggak tahunya udah punya anak sama istri."

"Sabar, Mbak. Jodoh nggak ke mana, ya paling di situ-situ aja," ucap Adji seraya bangkit dari duduknya. Lalu membuka pintu rumah, dan menyalakan lampu.

Maya berlari mengikuti Adji.

"Loh, ini ada lampu. Kenapa kemarin waktu gue ke sini nggak nyala."

"Baru dipasang kemarin sama Pak RT."

"Owh ... Trus bayarnya?"

"Murah, kata pak RT pasang token, dua puluh ribu bisa buat sebulan, lagipula saya kan cuma pakai lampu aja."

"Kenapa nggak dari dulu sih?" Maya duduk di ruang tamu.

Adji hanya tersenyum, sebenarnya Adji melakukan itu sekarang ya karena ia tahu, suatu saat wanita di hadapannya itu pasti akan kembali. Dan ia tak ingin gelap-gelapan lagi, lalu kegerebek warga.

"Malah bengong, nih gue bawain makanan." Maya meletakkan plastik berisi makanan di atas meja.

"Tapi saya udah makan, Mbak." Adji menolak dengan halus. Ia tadi memang sudah beli nasi rames di warteg Mbok Baenah yang terletak tak jauh dari tempat pengepul. Memang sih hanya dengan lauk seadanya.

"Yah, sayang Dji kalo nggak dimakan." Bibir Maya mengerucut. Padahal sebenarnya ia ingin ditemani makan.

Tak tega melihat Maya yang sudah membawakannya makanan, akhirnya Adji menerima.

"Ya udah sini."

Dengan senang hati Maya memberikan plastik tersebut, Adji membuka pelan. Dahinya mengernyit melihat isi dalam bungkus coklat itu. Lalu mengeluarkan isinya.

"Ini apa, Mbak?" tanya Adji pura-pura bingung, memperhatikan sebuah roti dengan isi di dalamnya.

"Itu namanya burger, Dji. Masa loe nggak tahu?"

"Ini sih roti isi, Mbak. Anak-anak di sini suka beli, tapi nggak sebesar ini sih," ujar Adji.

Wanita di hadapannya itu terkekeh. Adji senang melihatnya, entah perasaan apa yang kini menghinggap, sejak Maya menangis di pelukannya tadi, ia merasa ingin selalu menjadi pelindung. Tapi ia juga sadar diri.

"Cara makannya gini, nih!" Maya memperagakan cara menggigit burger, mulutnya terbuka lebar, Adji menahan tawa, sebenarnya ia juga tahu itu apa, dan makannya seperti apa, karena itu adalah makanan kesukaannya waktu masih tinggal bersama sang ayah dan juga kakaknya.

Adji mulai menggigit burger yang dipegangnya, mengunyah pelan, nikmat yang dirasa, entah kapan terakhir kali ia makan itu.

"Ya ampun, Dji. Makannya pelan-pelan dong, sini! Maya mengambil tisu dari dalam tasnya lalu mengusap bibir dan pipi Adji yang belepotan saus.

Adji menatap wajah wanita di hadapannya itu, ada desiran yang tak biasa ia rasakan. Merasa diperhatikan, Maya menatap ke arah Adji, lima detik mereka saling bersitatap.

"Apa loe lihat-lihat!" celetuk Maya, ia lalu mundur ke belakang.

"Mbak, mending sekarang Mbak pulang."

"Loe ngusir gue? Baru juga jam sembilan." Maya melirik ke arah arlojinya.

"Nggak baik anak gadis keluyuran di luar rumah."

"Gue kan nggak keluyuran."

"Nanti kalau bapak Mbak tahu, bisa marah loh."

"Tenang aja, bokap lagi di luar negeri."

"Mbak nggak takut pulang malam sendiri?"

"Udah biasa kali, Dji. Biasanya malah jam dua belas malam gue baru pulang, apalagi besok libur."

Adji menghela napas pelan.

"Kenapa? Loe khawatir?"

"Iya," jawab Adji lirih.

"Ya udah, gue nginep sini, Ya?"

"Eh jangan, jangan!"

"Hahaha ... Muka loe merah gitu. Tenang aja, gue pulang kok, bisa cuap-cuap ntar mas gue."

"Mbak, punya kakak?"

"Iya, Mas Denis. Kapan-kapan gue ajak dia ke sini sama adek gue juga."

"Punya adik juga, Mbak? Cewek cowok?"

"Punya, cewek."

"Cantik nggak?"

"Kenapa loe nanya-nanya? Kakaknya aja cantik begini, ya pasti adiknya cantik lah."

"Hehehe ... Mbak bisa aja."

"Tapi awas aja kalo sampe loe naksir sama adek gue."

"Kenapa emang? Udah punya pacar ya?"

"Eum ... Ya janganlah. Nggak boleh pacaran, masih kecil. Baru kelas dua SMP."

"Owh ...."

****

.

.

Tung tung tung.

Tepat jam dua belas malam, ponsel Maya berbunyi. Beberapa pesan masuk beruntun, ia tahu itu adalah bunyi pesan WA dari grup rempongnya. Enggan ia membaca, matanya masih terlalu berat untuk dibuka. Ia mematikan ponsel dan kembali tidur.

Paginya dengan malas Maya bangun, ke kamar mandi mencuci muka dan sikat gigi. Lalu ke ruang makan. Menyomot selembar roti tawar yang kemudian diolesi selai coklat, menggigit pelan.

Denis dan Sherli belum terlihat, mereka sedang berenang di halaman belakang, ia yang paling malas untuk olah raga, karena dari ruang makan terdengar suara riuh dari arah kolam renangnya.

"May, loe nggak ngelayat?" tanya Denis tiba-tiba. Ia datang sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.

"Emang siapa yang meninggal?"

"Si Alex! Emang loe nggak tau?"

"Uhuk!" Maya tersedak susu yang diminumnya.

"Innalilahi, semalem gue baru abis ketemu dia, sama ceweknya."

"Yang gue denger, mereka berantem di mobil. Trus nabrak kontener, tewas di tempat. Coba buka hape loe, palingan grup rempong loe itu udah penuh gosip ngomongin kematian cowok loe itu!"

Maya menepuk keningnya, ia langsung berlari menaiki tangga menuju kamar, mencari ponselnya yang ia taruh di bawah bantal, lalu menekan tombol power. Dadanya bergemuruh, masih tak percaya dengan apa yang dibilang Denis tadi, meskipun Alex sudah menyakitinya, tapi perasaan sayang itu jelas masih melekat, kenangan-kenangan indah yang mereka lalui bertahun-tahun tidak mungkin bisa dilupakan begitu saja, terlebih dia harus pergi selamanya dengan wanita itu.

Mata Maya memerah, basah. Membaca seluruh pesan dari teman-temannya di grup, bahkan sampai berita itu muncul di sosmed. Sesak sekali hatinya, antara sedih juga bahagia.

Saat ini ia bingung, apa ia harus pergi untuk ikut mengantarkan jenazah Alex ke pemakaman, untuk yang terakhir kalinya, tapi untuk apa? Bukankah ia sudah berkhianat.

Tung tung tung ...

[May, loe dmn? Kita udah di rumah Alex nih.]

Riris 08.30

[Sebentar lagi mau dimakamkan, buruan kesini, loe boleh sakit hati sama dia, tapi gue harap loe dateng, buat ngehargain keluarganya.]

Diana 08.32

[Iya, gue mandi dulu] send.

[Mandi bebek aja, GPL.] Gendis.

[OK!] send.

****

.

.

Tanah merah itu telah menutupi jasad Alex yang terkubur di dalamnya. Maya menabur bunga di atas makam mantan tunangannya dengan perasaan berkecamuk. Melihat orang tua Alex yang tak henti menangisi kepergian anak kesayangan mereka, terlebih kematiannya mengenaskan.

"Maafkan Alex ya, May," ucap Farah, Mama Alex seraya mengusap punggung Maya lembut.

"Iya, Tante." Maya mengangguk pelan.

Farah masih saja terisak sambil memeluk nisan sang anak. Sesekali ia terlihat mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.

***

.

.

"Loe ke mana aja sih, May? Semalaman kita rame digrup loe nggak nongol," tanya Diana.

Mereka kini sedang berada di dalam mobil Maya hendak menuju ke kafe tempat biasa mereka bertemu, seusai mengantarkan jasad Alex ke peristirahatan terakhirnya.

"Abis semedi," jawab Maya asal. Mana mungkin ia cerita kalau habis ke rumah Adji.

"Oh ya?" tanya Riris tak percaya.

Maya tak menanggapi ucapan Riris yang terdengar meledek.

"May, berhenti di warung depan tuh, gue haus, mau beli minum dulu!" pinta Diana sambil menunjuk ke arah warung pinggir jalan. Maya menghentikan mobilnya ke tepi jalan tepat di depan warung tersebut.

Mereka berempat turun, mengambil minuman dingin dari dalam kulkas transparan di depan warung, kemudian duduk di bangku panjang.

"Gue nggak nyangka, kematian Alex begitu tragis," celetuk Gendis.

"Karma itu berlaku!" Maya menimpali.

"Untung bukan loe yang mati duluan, May," ujar Diana.

"Iya, beruntung ada malaikat tanpa sayap yang nolongin gue," ucap Maya membuat ketiga mata temannya menatap tajam.

"Malaikat? Bukan malaikat maut kan, May?" tanya Diana.

"Hahaha ... Bukanlah."

"Kenalin dong sama malaikat penolong loe itu? Ganteng nggak?" Riris memainkan alisnya naik turun.

Maya tersenyum kecil. Belum saatnya ia mengenalkan Adji pada mereka. Bisa-bisa jadi rumor terhot di grup kalau temannya tahu malaikat penolong itu adalah seorang pemulung, dan dia pernah tidur dan digerebek di rumah itu.

Bisa malu tujuh turunan.

"Ati-ati dong kalau jalan!"

"Gimana sih? Jangan-jangan kamu copet ya? Yang nyamar jadi pemulung!"

"Wah iya nih, jangan-jangan loe maling?"

Suara riuh terdengar tak jauh dari mereka duduk. Maya menoleh ke arah suara, tampak orang berkerumun di sana. Entah apa yang terjadi.

"Eh kita lihat, Yuk." Diana bangkit dan berlari menuju kerumunan warga, ketiga temannya mengekor.

Jantung Maya tiba-tiba berdegup kencang, melihat siapa yang sedang disidang oleh warga karena dituduh copet. Dia adalah Adji. Mata mereka bertemu. Namun, Maya melangkah mundur dan menjauh. Ia tak mau terlibat dalam urusan Adji, meskipun sebenarnya ia ingin menolong, hanya saja keberadaan teman-temannya membuat dirinya enggan membantu si malaikat penolongnya itu.

"Mbak, tunggu!" Adji memanggil Maya dan berusaha ke luar dari kerumunan.

"Eh, loe mau ke mana? Kabur?" Langkahnya tertahan oleh seorang bapak.

"Pak, saya nggak nyopet. Boleh periksa badan saya," ujar Adji.

Si bapak tadi mengikuti ucapan Adji untuk segera memeriksa tubuhnya, dan si ibu yang tadi ditabrak Adji juga membenarkan kalau Adji tidak mencopet, hanya saja terjatuh saat pemuda itu berlari tunggang langgang ke arahnya.

"Trus kenapa tadi kamu lari kenceng banget? Nggak mungkin kalau nggak abis nyopet, palingan hasil copetan kamu dibuang kan?" cecar si bapak tadi.

"Pak, saya lari karena dikejar anjing, tuh dirumah besar itu waktu saya mulung di tempat sampahnya," jelas Adji.

"Owh ...." Serentak warga yang mendengar berlalu setelah mendengar penjelasan Adji.

Kedua netranya kembali menyisir jalanan mencari sosok wanita yang ia kenal, tapi sayang tak ia temukan keberadaannya. Mobil Maya juga sudah tak terlihat. Mereka telah meninggalkan tempat itu. Adji menarik napas pelan. Ia tahu, mungkin Maya malu bertemu dengannya di luar.

***

Bersambung ...

Mohon vote dan komentar nya ya ...

Makasih 😘

Terpopuler

Comments

Risna Oktivia

Risna Oktivia

I like it

2021-04-09

0

Dewi Ariyanti

Dewi Ariyanti

hemmm

2021-04-06

0

Wiwid

Wiwid

manusiawi....wajar...

2020-09-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!