***
.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di wajah cowok yang baru selesai melaksanakan ibadah sholat Isya di kamarnya. Cowok itu meringis.
Bugh!
Kali ini bogem mentah mengenai perutnya, berkali-kali tendangan juga diarahkan padanya. Cowok itu tersungkur, mencoba bangkit, sakit di sekujur tubuh membuatnya tak berdaya.
Ia mengusap ujung bibirnya yang berdarah, belum sempat ia bangkit untuk berdiri, kembali pukulan mengenai wajahnya, kali ini pelipisnya ikut mengeluarkan cairan kental berwarna merah.
Tap tap tap.
Brak!
"Ada apa, Pih?" Seorang pria muda berdiri di depan pintu, memandang ke arah sang ayah juga adiknya yang babak belur.
Tangan sang ayah masih mengepal, setelah mengeksekusi anak keduanya, wajahnya masih menyimpan kemarahan.
"Sejak kapan dia berpindah keyakinan?" tanya pria bertubuh tinggi besar dan sedikit buncit pada pria muda yang tak lain adalah anak sulungnya.
"Aku nggak tahu, Pih."
"Bawa dia ke gudang, beserta semua peralatannya, apa itu, karpet, sarung, dan yang dipakai di kepalanya itu, itu juga buku apa itu? Sama semua berkas identitasnya!" Pria paruh baya itu menunjuk satu persatu barang-barang milik anak keduanya, sementara si putra sulung sibuk mengemasi semua barang dan memasukkannya ke dalam kardus. Sang ayah pergi ke luar kamar.
"Jangan, Kak! Itu berkas sekolahku, itu Al-Qur'an, Kak! Kakak!" Sang adik menarik kaki kakaknya untuk tidak membawa benda berharganya ke gudang.
"Lepasin, Riyu! Aku cuma disuruh papi." Sang Kakak tak menghiraukannya, berjalan ke belakang menuju gudang.
"Kak! Kak Sean!"
Kakaknya bernama Sean itu lalu kembali ke kamar Riyu dengan membawa tali tambang, tangan adiknya mulai diikat, lalu dibawa ke gudang. Tak lama kemudian sang ayah datang kembali, membawa sejerigen bensin, dan memegang korek gas.
"Riyu! Kamu yakin dengan keputusanmu itu? Masih ada kesempatan untukmu, kembali pada keyakinan yang keluarga kita anut saat ini!" Lantang sang ayah berbicara di hadapan sang anak yang sudah tak berdaya itu.
"Aku yakin, Pih. Sudah tiga bulan ini aku menjadi mualaf, banyak pengalaman spiritual yang aku alami, hidupku semakin tenang, nyaman, apalagi saat berada di tengah-tengah umat muslim saat menunaikan sholat di mesjid."
Plak!
Kembali sang ayah menamparnya. Riyu memejamkan mata sesaat.
"Pih, lebih baik Papih bertaubat, kita sama-sama memulai hidup baru dengan menjadi mualaf, aku akan dukung Papih juga Kak Sean."
"Heh! Bicara apa kamu? Cuih!" Sean meludah ke arah Riyu duduk.
"Sekali lagi, kamu masih yakin dengan keputusanmu?" Papih bertanya lagi pada Riyu.
"Insya Allah, Riyu yakin, Pih. Allah sebaik-baik penolong."
"Okey, kita lihat, apa Allah Tuhan yang kamu maksud itu akan menolongmu?" Dengan cepat sang ayah menyiramkan bensin ke seluruh barang-barang berharga milik Riyu, lalu ke sekitar gudang, kemudian mulai menyalakan api dari korek yang dipegangnya.
"Kamu yakin, Riyu?"
"Insya Allah. Allahu Akbar ...!" Riyu terus merapal doa dalam hatinya, suara percikan api yang mulai membakar kertas sudah terdengar. Sang ayah menatap tajam dari kejauhan, Sean menjauh. Melihat api yang berkobar di gudang belakang rumahnya. Sang adik masih berada di dalam. Tanpa belas kasihan mereka berdua meninggalkan Riyu.
****
.
Perlahan Adji membuka kedua matanya, samar-samar ia melihat wanita berambut panjang menatap cemas ke arahnya.
"Dji, loe nggak apa-apa?" tanyanya.
Adji bangkit, ia duduk bersandar di belakang pintu, memijit pelipisnya.
"Mbak, kok masih di sini?"
"Ya iyalah, loe pingsan. Masa gue ninggalin loe gitu aja."
Adji kini mulai berdiri, lalu berjalan ke kursi dan duduk perlahan. Maya mengambil air minum ke belakang, lalu kembali dengan segelas air dan diberikan pada Adji.
"Minum dulu, nih!"
Adji minum perlahan.
"Lebih baik Mbak pulang," ucap Adji sambil meletakkan kembali gelas ke atas meja.
"Nggak bisa, loe babak belur. Lagi juga masih ada yang mau gue tanyain sama loe."
"Tanya apa? Mbak udah nipu saya, berpura-pura amnesia. Iya kan? Kenapa?"
"Ya ... Maaf ... Karena ... Gue nggak mau pulang."
"Ya udah, sekarang Mbak pulang, saya nggak mau terlibat dengan masalah Mbak."
"Tapi, loe udah nolongin gue, jadi loe ya mau nggak mau terlibat."
"Kok gitu?"
"Iya."
"Tau gitu, lebih baik kemarin saya nggak nolongin Mbak dong."
"Jahat, Loe."
Adji tersenyum kecil. Perutnya masih terasa nyeri. Ia masih kepikiran dengan Alex. Kalau sampai Alex memberitahukan keluarganya bahwa dia masih hidup, maka tidak menutup kemungkinan sang ayah dan kakaknya akan mencari dan membunuhnya kembali.
"Loe sebenarnya siapa?" Pertanyaan Maya membuat mata Adji membulat seketika.
"Saya Adji, Mbak."
"Maksud gue, kenapa Alex bisa kenal sama loe?"
"Eum ... Saya pernah ketemu di jalan."
"Jangan bohong. Kenapa dia bawa-bawa keluarga loe?"
"Saya nggak tahu, Mbak. Mungkin ada seseorang yang mirip dengan saya." Adji berusaha menyembunyikan identitasnya.
Maya mengernyit.
"Bisa jadi, sih. Mana mungkin Alex kenal sama pemulung."
"Mbak, lebih baik Mbak pulang ya." Kali ini Adji benar-benar memohon.
"Tapi, Dji. Gara-gara gue, loe babak belur."
"Iya, lebih baik, dari pada Mbak tetap di sini, mungkin besok saya dimakamkan."
Maya menghela napas pelan. Berpikir sejenak. Lalu ia mengambil keputusan untuk mengikuti saran bocah di hadapannya itu.
"Okey, gue akan pulang. Tapi gue masih boleh kan main ke sini?"
Adji mengangguk pelan.
****
.
.
Sudah dua hari Maya kembali ke rumah, kebetulan sang ayah sudah kembali ke Australia, sedang ada tugas dua Minggu di sana. Di rumahnya hanya ada adik perempuannya dan kakak laki-lakinya.
"May, loe ke mana aja kemarin? Gue kira udah mati!" Kakak laki-lakinya berdiri di depan pintu kamar.
"Sialan, Loe. Hampir sih, kalo nggak ditolong sama pemulung, mungkin gue udah masuk koran." Maya mengoles bibir dengan lipstik mate berwarna pink.
"Pemulung? Ish. Trus loe tidur di sana?"
Maya mengangguk.
"Sekarang loe mau ke mana?"
"Kerja. Berapa hari gue nggak masuk." Maya berjalan ke arah ranjang mengambil tasnya.
"May, bener si Alex selingkuh?"
"Mas Denisku sayang, bisa diem nggak? Nggak usah kepo sama urusan orang."
"Maya, gue nanya serius, temen gue mau kenalan sama loe." Denis yang dari tadi mengekor masih berusaha mencari tahu.
Langkah mereka berhenti di ruang makan. Maya menyeruput susu coklat miliknya, sementara sang kakak masih menunggu jawaban darinya.
"Kak Maya, Mas Denis ... Selamat pagi ...." Seorang cewek berseragam putih abu-abu duduk di antara mereka.
"Pagi, Sher," ucap Maya pada sang adik.
"May!"
"Mas, Alex itu pengkhianat! Loe tolong jelasin sama Papa, kalo gue nggak mau lagi nikah sama dia."
"Serius, Loe? Okey, gue dukung, tapi loe harus mau kenalan sama temen gue, orangnya ganteng, tajir pula." Denis mempromosikan teman sekantornya.
"Hem," jawab Maya malas seraya mengigit roti yang baru saja ia olesi selai coklat kegemarannya.
"Mas, aku bareng ya!" ucap Sherli.
"Bareng, numpang!"
"Hehehe iya."
"Motor loe mana?" tanya Denis.
"Habis bensin."
"Males sih, kalo pulang tuh, isi dulu sebelum kosong, kalo begini, siapa yang mau bawa motor loe ke pom bensin?"
"Kan ada Mang Ujang, nanti aku kasih uang buat isi bensin." Sherli memajukan bibirnya, kesal.
Maya hanya mendengarkan celotehan kedua saudaranya itu. Mereka hanya tinggal bertiga, Mamanya sudah meninggal sejak Sherli sang adik lahir ke dunia. Awalnya Denis dan Maya kesal atas kehadiran Sherli yang dianggap sudah membuat Mama yang mereka cintai pergi untuk selamanya.
Sherli di asuh dari orok oleh assisten rumah tangga, namanya mbok Asih. Orang kepercayaan Papa, dan sudah dianggap seperti nenek bagi anak-anak Hardi. Karena memang mereka sudah tak punya lagi nenek dan kakek.
***
.
.
Tok tok tok tok.
Sepatu pantofel Maya berbunyi di lantai kantornya, kedatangannya membuat suasana gaduh. Ada yang memandang ngeri, takjub, bahkan ada yang menghindar.
"Itu si Maya? Bukan setan kan?"
"Katanya dia mau bunuh diri?"
"Kasihan ya, diselingkuhin."
"Iya, mana udah mau nikah lagi."
"Kira-kira dia masih mau nggak ya balik sama si Alex?"
"Tau tuh, dia kan matre! Alex kaya. Palingan juga nanti dimaafin, ya nggak?"
Berbagai gunjingan ia dengar, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sudah biasa. Maya meletakkan tasnya di meja kerja, lalu duduk.
"Woy!" Sebuah tepukan agak lumayan keras mendarat di bahunya.
"Monik? Bisa nggak sih pelan-pelan? Emang nggak sakit?" Maya memegangi bahu kanannya.
"Sorry, ke mana aja, loe?" tanya Monik, rekan kerja satu teamnya.
Maya celingak-celinguk mengawasi keadaan sekitar.
"Ntar istirahat gue ceritain."
"Okey, btw, hape loe mana? Itu pesan wa di grup pada ngomongin loe. Ah gila. Coba deh, loe check."
"hehehe ... Dua hari gue nggak buka, capek banget, sumpah!"
"Emang loe abis ngapain? Nyuci? Masak?"
"Ya nggak gitu juga sih."
"Nah, itu. Oh iya. Ada bos baru loh. Ganteng banget, Mau. Sumpah. Jadi atasan kita. Kemarin baru dateng sih, perkenalan di ruang meeting. Gue sih bilangnya loe sakit."
"Oh ya? Siapa namanya?" tanya Maya antusias. Apalagi mendengar kata 'ganteng' dengan posisi Manager. Mata Maya langsung hijau.
"Sabar, keleus, sebentar lagi juga orangnya nongol," ucap Monik seraya menowel dagu Maya.
Benar saja, tak lama kemudian sesosok pria tegap dengan jas dan celana hitam, serta kemeja abu-abu, rambut klimis, datang dari arah pintu masuk. Seketika para karyawan berdiri menyambutnya, beberapa rekan kerja wanita matanya berbinar melihat ke arah pria itu, begitupun dengan Maya yang mulutnya ikut terbuka melihat pria tadi lewat di hadapannya.
"Ck ck ck ... Sampe melongo gitu lihatnya, ganteng kan?" tanya Monik.
Mata Maya masih menuju ke ruangan di mana pria itu masuk.
"Siapa namanya, Mon?"
"Sean, bapak Sean Konawa."
"Namanya kaya agak Jepang gitu."
Monik mengangguk.
****
.
.
Bersambung ...
Mohon vote and komentarnya yaaaa
Makasih.
.
😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
SEAN KN KKNYA RIYU, BRRTI SEAN KAFIR... BRUNTUNG RIYU UDH HIJRAH KE MUSLIM..
SMGA MAYA GK NAKSIR SEAN YG BRBEDA KYAKINAN
2022-11-28
0
Dewi Ariyanti
kknya aji
2021-04-06
0
Wiwi Alawiyah
kk y ajie yaaa
2020-09-13
1