***
.
.
Pria tua berjalan tergopoh-gopoh dengan menggendong karung berisi botol plastik yang tampak penuh di punggung, matanya terbelalak melihat kobaran api di belakang rumah besar. Suara jeritan minta tolong terdengar samar, ia berlari menjatuhkan karung yang dibawanya menuju arah suara.
"Astaghfirullah ...," pekiknya.
Brak!
Pria tua itu mendobrak pintu gudang, ia melihat seorang anak remaja yang sudah tergeletak di lantai dengan tangan masih terikat. Ia lalu masuk dan menolongnya, membawanya menjauh dari tempat itu.
"Uhuk ... Uhuk ...."
"Kamu nggak apa-apa, Nak?"
"Saya di mana?"
"Di rumah saya."
"Bapak siapa?"
"Saya, Tarjo. Namamu siapa, Nak?"
"Adji, Pak."
Seketika Adji kembali tak sadarkan diri. Tarjo lalu mengobati luka bakar yang di derita Adji dengan ramuan tradisional, ia membawa remaja yang ditolongnya ke rumah. Beruntung ia belum terlambat, kalau tidak mungkin nyawa Adji tak dapat diselamatkan.
***
.
Adji menggenggam erat kotak berisi gelang emas pemberian Almarhum Eyang Tarjo, penyelamat yang dikirim oleh Allah saat kejadian beberapa tahun silam. Saat dirinya dikurung di dalam gudang dan hendak dibakar hidup-hidup oleh ayah dan kakaknya.
Ia bersyukur bisa bertemu dengan Eyang Tarjo, meskipun beliau hanya seorang pemulung, akan tetapi ia begitu baik dan rajin ibadah, banyak pelajaran berharga yang didapat Adji selama tinggal dengan beliau. Rumah yang sekarang ditempatinya juga adalah satu-satunya harta peninggalan almarhum.
"Assalamualaikum." Sebuah ucapan salam terdengar disertai ketukan pintu. Adji yang sedang berada di dalam kamar langsung ke luar melihat siapa yang datang.
"Waalaikumsalam, Arin. Masuk!" Adji melihat Arin sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
Gadis itu tersenyum kecil, lalu masuk dan duduk di ruang tamu. Menatap ke arah pria di hadapannya itu.
"Mas Adji udah sembuh?" tanyanya.
Adji mengangguk pelan.
"Ini, aku bawain makan siang, karena aku tahu mas belum kerja." Arin meletakkan rantang di atas meja.
"Makasih ya, Rin. Ngerepotin."
"Enggak kok. Dimakan, Mas!"
"Eum ... Nanti saja, mau ke mesjid dulu, sudah waktunya dhuhur."
"Owh, kalau begitu aku permisi dulu."
"Makasih ya, Rin."
"Sama-sama, Mas."
Arin berpamitan, Adji lalu menaruh rantang tadi ke dapur. Kemudian ia mengambil sarung dan pecinya lalu berangkat ke mesjid tak jauh dari kediamannya.
***
.
.
Tung Tung Tung
Suara pesan masuk dari ponsel milik Maya terdengar beruntun. Sesekali si pemilik hanya melirik, rekan di sebelahnya menatap kesal.
"Hape loe nggak bisa apa di silent?" tanya Monik sambil menyomot benda pipih yang tergeletak di meja Maya. Lalu merubah pengaturan nada dering. Karena suara itu mengganggunya yang sibuk menyusun proposal untuk meeting sore nanti.
"Eh, Mon. Gue iseng nyari akun FB nya si bos," ucap Maya girang.
Monik menoleh dengan tatapan tak percaya.
"Terus, ketemu?"
Maya mengangguk cepat.
"Lihat, deh. Foto-foto dia nih, sumpah ganteng banget, keren, cool ...." Maya memandangi wajah bos barunya dalam layar monitor.
"Bos kaya dia kok mainan FB ya?"
"Ya, emang nggak boleh?"
"Bukan, nggak berkelas menurut gue."
"Kok bisa?"
"Ya buat apa coba?"
"Buat apa kek, suka-suka dia dong."
"Kapan terakhir dia update status?" tanya Monik penasaran.
"Eum ... 2013."
"Hahaha ... Lima tahun yang lalu, udah ah. Kerjaan gue nggak kelar-kelar inih." Monik kembali melanjutkan pekerjaannya. Sementara Maya masih stalking akun si bos mencoba mencari tahu, sampai matanya tertuju pada sebuah foto pria yang pernah ia temui.
Maya mengucek mata berkali-kali memastikan foto di dalam layar, Sean sang bos merangkul seorang cowok yang lebih muda di sebuah taman bermain, dan seorang pria paruh baya bertubuh tinggi besar di belakang mereka.
"Ehem." Suara berdehem membuat jemari telunjuk kanannya seketika memencet gambar silang di kanan layar. Ia menelan salivanya melihat siapa yang kini tengah berdiri di sebelah meja.
"Jadi kerjaan kamu tiap hari seperti ini? mainan fesbuk?" Suara Sean terdengar keras.
Maya menunduk malu, kepergok si bos.
"Maaf, Pak."
"Monik, bagaimana proposalnya, sudah belum"? tanya Sean.
"Eum ... Sudah, Pak. Sebentar, saya copy dulu."
"Bawa ke ruangan saya," ucap Sean yang langsung berjalan ke ruangannya.
"Makanya, nggak usah kepo!" ujar Monik.
Maya masih kaget. Jantungnya berdebar, di depan bos baru yang ditaksirnya itu ia malah kepergok membuat kesalahan. Ia menghela napas pelan, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
***
[Bisa kita ketemu?]
Sebuah pesan dari Alex membuat nafsu makan siangnya hilang. Baru saja ia ingin melupakan pria itu, tapi malah pesan darinya datang.
"Loe kenapa?" tanya Monik yang mengetahui perubahan wajah Maya setelah membaca pesan.
"Alex, ngajak gue ketemuan. Males."
"Owh, kalian udah putus kan?"
Maya mengangguk mantap.
"Trus ngapain dia masih mau nemuin loe?"
Maya mengangkat kedua bahunya.
"Sebentar, gue ambil kerupuk dulu." Maya bangkit dari duduknya, berjalan ke meja seberang hendak mengambil kerupuk dari dalam kaleng untuk lauk mie ayamnya.
Namun, kakinya tiba-tiba terantuk kursi panjang, seketika tubuhnya maju ke depan.
Brugh!
Seorang pria menangkap tubuh mungilnya, mengetahui siapa yang tengah menolong, jantungnya berdebar-debar, mata mereka saling beradu pandang.
"Sudah?" Suara pria itu mengejutkannya. Ia tersadar dalam posisi yang salah, memeluk si bos Sean Konawa.
Ia mundur perlahan, lalu membungkuk.
"Ma ... Maaf, Pak."
"Kalau jalan hati-hati ya."
"Eum ... Iya, Pak. Makasih."
"Kamu makan di mana?"
Maya melongo, si bos bertanya padanya, makan di mana. Ia menunjuk ke arah belakang, di sana Monik melambaikan tangannya.
"Owh, boleh saya gabung dengan kalian?"
Lagi-lagi Maya menatap tak percaya, apakah ini yang dinamakan pucuk dicinta ulampun tiba, hatinya bersorak. Selesai mengambil kerupuk, ia kembali ke mejanya bersama si bos juga Monik.
Maya tak berkutik melihat setiap aktivitas bos barunya itu, dari caranya makan, sampai minum, bahkan menjawab telepon, tak sedikitpun terlepas dari perhatiannya.
"Kok nggak dimakan?" tanya Sean pada Maya yang sedari tadi bengong menatap ke arahnya. Monik menyenggol lengan Maya, namun ia bergeming.
"Nama kamu siapa?" tanya Sean lagi.
Maya masih diam, dengan kesal Monik menginjak kaki sahabatnya itu. Maya teriak dan melotot ke arah Monik.
"Sakit, tau!" pekiknya mencubit paha Monik.
"Loe dari tadi diajak ngomong, malah bengong," ucap Monik sedikit berbisik.
"Maya, Pak," jawab Maya.
"Sudah punya pacar?" tanya Sean.
Maya dan Monik saling pandang, lalu Monik tersenyum lebar.
"Kemarin sih dia udah tunangan, Pak. Tapi sayang tunangannya selingkuh, trus mereka bubar deh. Putus. Jadi sekarang si Maya ini jomblo, Pak. Ngenes kan?" celetuk Monik. Sontak Maya dengan kesal mencubit pahanya lagi.
"Loe bisa nggak, nggak usah nyerocos. Mulut loe tuh ya," ucap Maya kesal.
Monik hanya meringis. Sean tersenyum kecil melihat kedua tingkah anak buahnya itu.
"Bapak sudah punya istri?" tanya Monik. Sean tertawa kecil.
"Sudah, saya sudah menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan cantik," jawabnya.
Hati Maya seketika luluh lantak. Pria yang dikaguminya, berharap akan menjadi pengganti Alex tunangannya yang brengsek itu. Ternyata sudah berkeluarga. Tidak mungkin ia masuk menjadi orang ketiga. Namun, pesona Sean sungguh membuatnya jatuh hati sejak pandangan pertama.
"Makasih ya, sudah ditemani makan siang, saya duluan ke dalam," ujarnya sambil berdiri.
"Oh iya, biar makannya saya yang bayar," sambungnya lagi.
"Terima kasih, Pak. Sering-sering ya, hehehe," seloroh Monik tak tahu malu.
Sean hanya tersenyum kecil, lalu pergi meninggalkan mereka berdua, setelah sebelumnya membayar makanan yang mereka pesan.
"Duh, patah hati gue," cicit Monik.
"Diem, loe!" Maya kesal diledek oleh sahabatnya itu, ia bangkit dari duduk, berjalan menuju kantor dengan gontai. Ia merasa malas kerja. Padahal kemarin sudah bersemangat karena ada cowok ganteng bisa buat cuci mata. Tapi ternyata suami orang.
***
.
Grup rempong alumni pelita cewek-cewek ketjeh.
[Woy, ke kafe bunga ntar malem nyok, jam 7 ada band 'Soulmate' manggung] Diana 16.30.
[Wah, vocalisnya ganteng tuh, eh tp gw diajak Doni ke basecampnya] Riris 16.35.
[Blh tuh, janjian dmn?] Sari 16.37.
[Disana aja, pesen tmpt gih dr skrg] Diana 16.38.
[Bawa pacar blh ga? Hehehe] Gendis 16.49.
[Ah elu, Dis. Jgn donk. Qt mau hepi2 nih, cowok lo kan rese] Sari 16.50.
[Maya mn nih? Ga ada suaranya? May, udah ngapa patah hatinya. Ntar qt cuci mata lagi di kafe] Diana 16.53.
Maya masih menatap layar ponselnya, tak ikut menanggapi obrolan teman-temannya di grup. Grup rempong yang berisi sepuluh orang, hanya beberapa saja yang aktif chat. Tapi kalau sudah ngobrol di grup, ratusan bahkan ribuan chat bisa mengantri untuk dibaca.
[May, gw denger si Alex mau dateng jg. Emg loe ga pengen bales dendam sama cewek barunya itu, bikin malu dia di kafe, katain pelakor] Diana 17.00.
Maya tersenyum kecil, Diana memang kompor meleduk. Siapapun yang terkena kasus pengkhianat, selalu ia yang bersemangat untuk membalaskan dendam. Meski begitu ia adalah seorang ibu yang baik hati dan sayang pada ketiga anak-anaknya.
[Okey, gw dtg] send.
Akhirnya Maya mengirimkan pesannya kalau dia akan datang ke cafe. Sebenarnya bukan untuk balas dendam, mungkin lebih tepatnya menghibur diri.
***
.
Tepat pukul lima sore, Maya berkemas hendak pulang. Setelah meja kerjanya rapi, iapun melangkah ke luar ruangan. Gerimis kecil-kecil mulai turun.
"Pasti macet nih," gumamnya.
"Mau, kabur aja loe, buru-buru amat sih, mau ke mana?" tanya Monik yang ternyata sedari tadi mengejarnya di belakang.
"Mau jalan, sama temen-temen, kenapa? Mau ikut?"
"Nggak ah, ntar laki gue kelabakan nyariin gue."
"Iya deh, penganten baru mah gitu, bisanya cuma manas-manasin jomblo macam gue."
"Hahaha ... Makanya cari cowok tuh yang biasa aja, nggak perlu kriteria sempurna, ya ganteng, ya kaya, pengusahalah, yang penting setia. Uang mah bisa dicari bareng-bareng."
"Ceramah melulu loe kaya ustadzah. Eh duit banyak aja tuh belum tentu bahagia."
"Nah tuh loe tau, May."
"Iya, apalagi yang nggak punya duit!"
Jleb. Monik diam seketika, temannya itu memang sesekali harus kena batunya. Ia berdoa dalam hati, agar Maya dapat jodoh yang jauh berbeda 180° dari hidupnya saat ini. Biar sadar.
Maya berlari ke arah sedan merah miliknya dengan menutup kepala menggunakan tas untuk menghindari hujan yang turun kian deras. Sementara Monik menunggu suaminya datang menjemput.
***
.
Maya tiba di parkiran Kafe Bunga, ia langsung masuk menuju tempat yang sudah dipesan oleh temannya, di bagian paling depan dan di pojok. Dua temannya sudah terlihat di sana. Gendis melambaikan tangan. Maya tersenyum dan berjalan mendekat.
Gendis dan Sari menyambut kedatangannya. Maya duduk, kedua matanya menyisir ke kursi-kursi pengunjung, ia mencari sosok yang telah mengkhianati cintanya, tak ia temukan. Tapi sosok tersebut baru saja melintas di sebelahnya, Alex bahkan tak menyadari keberadaan Maya. Cewek yang bersamanya bergelayut manja di lengan Alex.
Hati Maya memanas menyaksikan pemandangan itu. Mungkin ini memang waktunya ia membalas semua perbuatan perempuan yang telah merebut calon suaminya itu. Ia bangkit dari duduk, menghampiri meja Alex dan Nola, cewek itu bernama Nola, yang ia tahu dari akun sosmed Alex.
Byur!
Maya menyiram wajah Nola dengan juice alpukat yang dibawa dari mejanya. Wajah Nola belepotan, ia menatap geram ke arah Maya.
"Maya! Kamu apa-apaan sih?" tanya Alex dengan suara keras.
"Alex. Tadi siang kamu chat aku minta ketemu, dan malamnya kamu jalan sama dia?"
"May, aku cuma mau minta maaf."
"Maaf? Aku sudah maafin kamu kok, tapi dia enggak!" Maya menunjuk ke arah Nola yang sedang sibuk membersihkan sisa juice di wajahnya dengan tisu.
"Eh pelakor! Puas loe ngerebut Alex? Inget Lex. Kita udah putus, jangan sekali-kali merayu bokap aku buat nikahin aku sama kamu."
"May tunggu!" Alex menarik tangan Maya yang berjalan kembali ke mejanya, Maya menepis kasar.
"Lepasin, Lex."
"May, aku nggak mau putus sama kamu, aku sama Nola nggak ada hubungan apa-apa, kita cuma temenan," ucap Alex.
Maya tertawa.
"Teman? Teman mesra, iya? Udah Lex. Sekarang kita masing-masing!"
Alex tak akan menyerah kali ini, karena baginya Maya adalah aset, aset yang sangat berharga untuk menunjang karirnya, karena ia bekerja di perusahaan milik Hardi, ayah Maya.
***
.
Maya yang tak jadi kumpul dengan teman-temannya di kafe, kini tengah bingung hendak pergi ke mana. Ia ingin meluapkan segala keluh kesahnya, ingin curhat, nangis, tapi tak ada tempat untuk mengadu. Iapun teringat dengan Adji. Bagaimana kabar anak itu?
Dengan kecepatan sedang ia melajukan kendaraannya menuju rumah Adji, sebelumnya ia juga sudah membeli beberapa makanan dan minuman untuk mereka makan malam nanti.
Saat ia memarkir kendaraan di sebuah lapangan tak jauh dari gang masuk ke rumah Adji, matanya terpaku melihat sebuah bendera kuning berkibar di tiang listrik gang masuk rumah Adji. Tiba-tiba jantungnya berdebar hebat. Ia melangkah pelan, sambil membaca tulisan di bendera itu.
Tulisannya sudah agak pudar, mungkin karena terkena air hujan beberapa saat lalu. Ia melalui gang yang sempit dan gelap, matanya menyipit, rumah Adji tampak sepi. Ia tak ingin terjadi apa-apa pada si malaikat penolongnya itu.
Maya berlari, menggedor pintu rumah Adji, tak ada sahutan. Lututnya lemas seketika.
"Adji ... Loe di mana?" gumamnya seraya ketakutan kalau-kalau yang meninggal itu adalah Adji, akibat ulah Alex waktu itu.
***
.
Bersambung ...
Mohon vote dan komennya yaaa buat penyemangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
LO MAIN SUKA2 AZA MA SEAN, SEAN BEDA KYAKINAN MA LO, UNTUNG SEAN JUGA UDH NIKAH..
2022-11-28
0
Dewi Ariyanti
mungkin tetangga aji yg meninggal
2021-04-06
0