Menanti Cinta Pertama Kembali
Cinta itu teramat sulit untuk dimengerti bukan? Tak terlogika. Kata yang hanya bisa dimengerti oleh yang merasakannya. Dia datang tanpa permisi, tanpa ada tanda pasti. Dan yang menjadi masalah itu saat pergi juga tanpa pamit. Sakit bukan?
Apakah kau pernah jatuh cinta?
Aku , Natasya Aprilia. Aku pernah merasakan jatuh cinta. Cinta pertama yang tak akan pernah aku lupa. Cinta pertama dan satu-satunya.
Sebuah rasa cinta yang menyapaku saat masih sekolah dengan seragam putih biru, berlanjut hingga mengenakan seragam putih abu-abu. Cinta yang memberikan warna ditiap hariku. Orang yang mampu membuatku senyum sepanjang waktu. Menikmati masa remaja dengan bahagia. Hanya bahagia yang ku rasa saat ada disampingnya.
Dia lelaki yang baik dan tampan pastinya. Ia pria most wanted semasa sekolah. Tak pernah menuntut dan selalu pengertian. Selalu punya waktu untuk menemaniku, dengan perhatian-perhatian kecil yang membuatku jatuh terlalu dalam pada cintanya. Semasa menjalin kasih, dia tak pernah dekat dengan wanita lain. Dia setia. Bahkan sudah akrab dengan keluargaku. Hubungan tanpa cacat bagiku.
Namun. Saat perayaan dan perpisahan kelulusan sekolah SMA dia tak hadir. Pergi tanpa pamit dan tanpa kabar hingga kini. Berulang kali aku mendatangi tempat tinggalnya yang dulu ia tinggali bersama neneknya berharap ia kembali. Nihil. Rumah itu kini sudah terbengkalai tak terurus. Bahkan sudah terkesan angker karena terlalu lama tak dihuni.
Kamu tahu bagaimana rasanya ditinggalkan tanpa kata perpisahan dan alasan? Tanpa kabar apalagi kepastian hubungan? Sakit. Sakit yang sangat menyesakkan. Ia pergi membawa serta kepingan hatiku yang masih mencintainya. Yang membawa serta tawa dan keceriaanku. Aku benci tidak kepastian ini. Ingin mencari kepingan hati yang baru. Tapi ternyata tak mudah.
Aku berubah menjadi gadis pendiam dan pemurung disisa waktuku setelah kepergiannya. Berharap ia datang membawa kembali hatiku yang telah dicuri. Mengembalikan tawaku yang telah ia bawa pergi. Tapi hanya harapan yang sia-sia.
Sepuluh tahun telah berlalu. Hingga aku lulus kuliah, dan kini bekerja di sebuah bank dikota dengan gaji yang lumayan besar. Dia tak kunjung datang menemuiku. Tak ada tanda ia akan menghubungiku. Padahal. Aku sudah bersikeras berusaha tak mengganti cip card, agar mudah baginya untuk menghubungiku. Acun medsos dengan nama asli, agar dia mudah jika ia akan menyapaku. Menjaga hati agar selalu setia padanya.
"Kamu sangat bodoh Tasya." Umpatku pada diri sendiri. Membanting sembarang ponsel yang sedang menampakkan wajah yang sangat aku rindukan. Tidak. Semua fhotonya sudah terhapus dimemory ponselku. Bukan aku yang menghapus, tapi kakakku. Dia ingin aku move on. Tapi tak ada yang bisa menghapus kenangan yang sudah terlanjur ter upload dimedsosku, selain diriku sendiri bukan? Itu yang selalu ku lihat jika aku membuka acun medsos untuk melihat wajahnya.
Yah, kini aku tinggal di apartemen sendirian. Karena bekerja dikota yang jauh dari kampung halaman. Berharap bisa melupakan. Berharap kenangan kami turut tertinggal ditanah kelahiran. Namun nyatanya dia tetap hidup dalam ingatan. Wajahnya tak pernah hilang dalam ingatan.
"Kamu dimana Ar? Kenapa tak pernah ada kabar? Tidakkah kau merindukan aku? " Kembali ku pungut ponsel yang terpental diatas bantal. Kembali memandang potret yang tak pernah membosankan.
"Apakah hanya aku yang terpuruk karena merindu?"
Begitulah sepanjang dan setiap malamku. Selalu memandang photo lawas untuk mengobati rindu. Menanti deringan ponsel dari orang yang kurindu. Namun hanya kehampaan dan kekecewaan yang ku dapat.
"Apakah aku terlalu bodoh sebagai wanita? Menantimu untuk datang kembali padaku, padahal sudah bertahun-tahun kamu menghilang tanpa kabar." Mengusap wajah dalam bentuk gambar itu. Menarik nafas dalam untuk mengurai sesak didada.
"Andai kau sudah dapat penggantiku, kabarkan padaku, Ar. Agar aku juga bisa mencari penggantimu. Meskipun aku tak yakin aku mampu." Lalu aku mencium dan memeluk ponsel yang masih menampakkan kenangan kebersamaan kami . Lalu memilih memejamkan mata istirahat. Berharap esok hari ada kemungkinan untuk terwujudnya harapan.
Setelah lelah meratapi nasib percintaan, aku tertidur. Untuk menyambut hari baru dengan harapan yang masih sama. Waktu kan mempertemukan kami kembali untuk melanjutkan kisah cinta yang tertunda.
Pagi hari bukan suara alarm yang membangunkanku. Namun dering ponsel yang ku setel kencang. Berharap tak ada panggilan yang terlewat. Dan selalu berharap DIA yang melakukan panggilan. Namun selalu orang orang yang disekitarku yang membuat ponselku berdering. Orang-orang yang tak ku harapkan.
Aku bangun dengan melebarkan mata. Tanpa melihat siapa sang pemanggil, langsung menggeser layar untuk menyambungkan panggilan.
"Assalamualaikum." Sapa suara yang sangat aku kenal. Namun bukan suara yang selalu aku nantikan.
"Waalaikum salam." Jawabku masih malas untuk bangun dari tempat tidur. Gelap belum sempurna hilang. Yang membuatku masih ingin bermalas-malasan diatas tempat tidur. Lagian aku tinggal sendirian. Tak ada yang menuntutku untuk melakukan apapun dipagi hari, selain masuk kerja tepat waktu.
"Kamu baru bangun dek? Belum subuh?" Suara lembut bang Bagas mengingatkanku.
Ah. Sejak kuliah, dan tinggal jauh dari Abah, aku sering sekali sholat akhir waktu. Menunda-nunda waktu sholat. Namun tetap melaksanakannya.
"Iya bang." Suaraku serak. Masih malas menyibak selimut.
"Jangan melupakan kewajiban dek." Nasehatnya.
Bang Bagas kakak ku satu-satunya. Dia sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang putra yang tampan. Dan tinggal dikampung halaman menemani Abah. Karena adek perempuanku kuliah dikota yang sama denganku. Namun ia memilih masuk perguruan yang menyediakan asrama. Yang pasti menjamin keselamatannya.
"Iya bang. Ini juga mau sholat. Lagian abang ngapain sih pagi-pagi telpon? " Sungutku merasa terganggu. Bilangnya aja mau sholat, padahal masih nyaman memeluk guling dibalik selimut.
"Emang nggk boleh?"
"Bukannya nggk boleh ,abang. Tapi ada hal penting apa sih? hingga pagi buta gini udah telpon? Ganggu orang tidur aja." Gerutuku malas-malasan.
"Ini bukan lagi pagi buta, dek. Makanya bangun, keluar biar tahu waktu, udah terang gitu . Gadis kok jam segini belum bangun. Pantas saja jodohnya tak datang-datang. Dipatok ayam kali." Oceh bang Bagas dari sebarang.
"Ih apaan sih bang? Emang jodoh Tasya jagung pake dipatok ayam segala?" Ucapku sebal.
"My by. Makanya jadi gadis tu bangun pagi."
"Iya ini udah bangun, Abang. Ada apa sih pagi-pagi udah telpon aja?"
"Kamu tak ingin tanya kabar abah kah? Sudah hampir dua bulan kamu tak pulang." Suara Abang dari sebrang dengan nada sedih.
"Abah kenapa bang? Abah sehat-sehat aja kan?" Tanyaku langsung bangkit dari pembaringan. Kantukku langsung lenyap saat mendengar soal abah. Pasalnya Abah memang punya penyakit darah tinggi dan reumatik yang bisa kambuh kapan aja. Dan jika kambuh abah tak bisa berjalan, bahkan hanya berbaring dan bicara pun sulit.
"Pulanglah diakhir pekan nanti. Dan ajak dek Marta sekalian. " Pintanya berharap.
"Emang kenapa bang? Abah baik-baik saja kan?" Aku mulai khawatir dan sedikit panik. Mendesak agar bang Bagas mau menjelaskan ada apa.
"Abang tak bisa jelasin lewat telpon. Pulanglah!" Dengan suara sendunya.
"InsyaAllah, bang." Lirihku.
Lagian aku sudah rindu kampung halaman. Rindu Abah, orang tuaku satu-satunya. Karena ummi sudah berpulang saat aku masih sekolah SMP. Dan abah tak pernah menikah lagi. Memilih membesarkan kami bertiga.
"Ya udah. Sana subuh. Udah mau terbit tu matahari." Perintah Bang Bagas, lalu menutup telpon setelah salam.
Pikiranku menebak-nebak kemungkinan yang terjadi. Dan berdoa dengan tulus agar semua sehat-sehat saja.
_______
Selamat datang. Moga suka ya..🤗🤗😍
maaf kalo banyak yang belepotan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Nyai💔
hadir
2022-04-05
1