"Okey. Aku akan menerima lamaran dia. Belajar untuk membuka hati untuknya." Putusku akhirnya, yang membuat kak Ina tersenyum kearahku.
"Memang seharusnya begitu." Jawabnya dengan menepuk berulang bahuku.
Matahari mulai kembali keperaduan. Menyisakan merah saga dicakrawala. Menatap langit senja selalu mampu membuatku tersenyum. Menikmati keindahan sesaat yang akan disambut dengan kegelapan. Aku tak peduli meskipun aku tahu keindahan ini menuju kesunyian dan kepekatan malam. Yang aku tahu senja itu indah, meskipun hanya sesaat.
"Udah adzan magrib, dek. Pamali melamun diluar." Tegur bang Bagas yang akan berangkat kemasjid untuk jamaah. Sedangkan aku masih asik menikmati keindahan pergantian siang dan malam. Selalu mampu melupakan sejenak beratnya rindu dengan menatap langit jingga.
"Dek." Tepuk bang Bagas pada bahuku. Paham dia kalo aku sedang melamun, jadi tak akan dengar meskipun diteriaki.
"Apa sih bang? Ganggu orang aja." Protesku saat ada yang berani mengganggu.
"Masuk." Perintahnya. Meskipun kesal tapi aku menuruti aja.
Ba'da magrib kami makan malam bersama. Cuma aku Marta dan abah ya. Karena bang Bagas beserta keluarga dirumahnya sendiri.
"Gimana, nak? " Tanya abah setelah menyelesaikan makan. Dan aku bersiap untuk mencuci piring kotor kami.
"Aku cuci piring dulu, bah." Padahal aku sedang mencari kesibukan. Masih malas membahas Reyhan. Toh tadi sudah dibahas kan?
"Biar aku aja kak." Marta tumben mau menggantikan tugasku.
Sejak ummi meninggal kami selalu membagi tugas beberes rumah jika sedang ada disini. Peraturan tak tertulis yang harus dipatuhi. Aku berurusan dengan dapur dan cuci piring. Yang penting urusan dapur itu tugasku. Sedangkan Marta bertugas bersih-bersih ruangan lain, juga berurusan membersihkan dan mengurus pakaian. Menyapu halaman yang luas, itu tugas dia.
"enggk usah. Bentar aja."
"Sutts. Abah tak suka menunggu." Bisiknya setelah mendapat perintah dari tatapan abah.
Aku berjalan dibelakang abah menuju ruang keluarga. Siap-siap mendengarkan peraturan untuk nanti malam. Juga mendengarkan wejangan yang sebenarnya sudah aku hapal.
"Duduk." Kata abah menepuk kursi kosong disampingnya, saat aku memilih duduk disebrangnya. Aku menurut.
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan nanti?" Tanya abah lembut. Aku menggeleng pelan.
Pada lamaran-lamaran sebelumnya selalu abah yang menyampaikan penolakan untuk mewakiliku. Karena aku sering menolak untuk pulang saat diberi tahu ada yang datang melamar.
"Abah hanya memintamu untuk duduk dan diam, jaga selalu senyuman. Biarkan abah yang bicara nanti. Kamu tak perlu menjawab apa pun , meskipun pihak mereka bertanya. Percayalah! Kamu akan bersyukur menikah dengan dia."
Hah. Peraturan macam apa itu? Hanya diam tak boleh menjawab meskipun ditanya? Terus untuk apa aku hadir? Kenapa bukan abah aja yang mengurus semuanya? Rutukku hanya berani dalam hati.
"Abah tak ingin kamu mengacaukan semuanya." Tegasnya.
"Abah tak mempertimbangkan pendapat Tasya?" Ucapku lirih. Kecewa, itu yang kurasa. Disini yang akan dilamar siapa? Yang akan menjalani hidup berumah tangga siapa? Kenapa semua abah yang memutuskan.
"Percayakan semua sama abah." Jawabnya langsung berdiri dan pergi setelah mendengar kumandangan adzan isya.
Setelah abah kemasjid, kak Ina datang untuk membantu bersiap. Menggelar karpet diruang tamu. Merebus air untuk buat minuman hangat.
"Emang yang datang berapa orang sih kak?" Tanyaku heran. Kan kami punya kursi tamu untuk duduk? Kenapa kursi malah dikeluarkan dan digelar karpet? Merebus air minum satu panci sendiri. Belum lagi menata kue pada beberapa piring, ditambah membawa keripik singkong dan buah salak.
"Katanya sekeluarga aja sih dek. Tapi keluarga dia banyak . Dia kan anak bungsu dari sepuluh saudara. Belum lagi abah kan mengundang pak RT dan ustdz Fahri untuk menyaksikan dan menerima lamaran ini." Jelas kak Ina dengan tangan cekatan bekerja. Aku hanya bantu-bantu, dan menuruti perintah. Karena tak paham bagaimana acaranya.
Setelah isya rombongan datang berbarengan dengan abah yang pulang dari masjid. Mungkin tadi rombongan mampir dulu untuk jamaah isya dimasjid. Kurang lebih ada dua belas orang yang datang, dan semua laki-laki. Ditambah beberapa tetangga dan pak RT dan pak Ustdz. Ternyata penuh juga ruang tamu yang kami sediakan.
Aku hanya duduk diruang tengah dengan beberapa tetangga yang hadir, yang sudah asik bergosip sendiri. Aku hanya duduk didekat pintu, diam mendengarkan rundingan diruangan sebelah.
Aku keluar saat dipanggil untuk menerima kotak kecil yang berisi cincin. Sebagai tanda pengikat katanya. Yang melambangkan kalo aku sudah ditandai pemiliknya.
Aku melihat lelaki bernama Reyhan yang hanya menunduk saat memberikan kotak berwarna merah itu. Dengan tangan sedikit bergetar menyerahkan langsung tanda pengikatnya. Yang mendapatkan hadiah tawa renyah dan ledekan dari yang menyaksikan. Aku hanya diam dan tersenyum, menatap seluruh yang hadir. Menertawakan dalam hati lelaki yang ada dihadapanku.
Lucu banget lihat dia segrogi itu berhadapan denganku. Setelah menerima tanda pengikat, aku kembali duduk ditempat semula, meskipun dipersilahkan duduk diruangan yang sama dengan calon suami. Aku memilih kembali, kasihan aja lihat Reyhan yang gugup berhadapan denganku.
Acara berjalan lancar. Kurang lebih satu jam acara lamaran selesai. Sudah beserta musyawarah penentuan hari pernikahan itu. Dan semua tamu langsung pulang setelah acara.
Acara akan digelar sederhana bulan depan. Terlalu cepat bagiku. Tapi semua abah yang menentukan. Aku tak diizinkan mengeluarkan masukan. Terima beres pokoknya.
Aku memperhatikan dan memasang cincin yang cukup cantik menurutku. Memutarnya dijari manis dengan senyum kecil tersungging karena masih sedikit kebesaran cincinnya. Lalu melepasnya kembali dan menyimpannya ditempat semula. Takut hilang.
"Kak, bantuin napa?" Teriak Marta dari luar, yang pasti sedang beres-beres dan cuci piring setelah acara. Meskipun tak menyediakan makan berat, ternyata banyak juga piring kotornya.
"Iya." Jawabku dan keluar menyusul bersih-bersih. Karpet sudah tergulung, dan sampah sudah dibersihkan. Tinggal tumpukan piring yang belum dibereskan.
"Gitu ya orang mau nikah itu? Hilang rasa solidaritasnya, makanya tetap asik sendiri, tak peduli adek dan kakaknya lagi sibuk. Tak mau bantuin." Ceriwis Marta tak mau diam.
"Udah sih mar. Besok kamu palingan juga tak jauh beda." Kata kak Ina yang membelaku. Aku hanya diam malas menanggapi. Kalo diladeni tambah jadi tu anak.
"Nggk lah. Pastinya aku menikah dengan IKHLAS dan BAHAGIA. Nggk kayak kak Tasya." Ucapnya dengan penuh penekanan.
"Kamu pikir aku tak ikhlas?" Ucapku kesal, dan menyingsingkan baju untuk bantuin kak Ina cuci piring.
"Emang gitu kan?"
"Marta. Kalo kerja jangan ngedumel." Tegur Abah yang baru masuk setelah mengantar para tamu sampai luar.
"Jatahku udah selesai. Mau lanjut belajar." Kata Marta setelah selesai mengusung piring kebelakang, juga membereskan ruang tamu , tak menjawab nasehat abah. Melambaikan tangan untuk pamit masuk kamar.
"Terserah."
Aku dan kak Ina yang cuci piring.
"Kak. Perasaan tak nampak orang tuanya? Masih muda-muda semua tadi yang antar." Tanyaku. Yah, tadi akan aku melihat semua yang hadir. Semua masih muda.
Yah namanya anak bungsu dari sepuluh saudara. Pastilah orang tuanya sudah sepuh bukan? Memang aku belum tahu banyak tentang keluarga calon suami itu. Abah yang tahu banyak, tapi belum mau jelasin ke aku.
"Ayahnya sudah nggk ada." Jawab kak Ina setelah menarik nafas dalam.
"Kalo ibunya lumpuh." Lanjutnya pelan.
Hah? Apakah aku nanti harus mengurus mertua yang lumpuh?
"Apakah nanti aku harus hidup disana? Dia kan anak bontot?" Tanyaku berat. Ah, membayangkan mengurus mertua yang sepuh sudah bikin berat. Iya kalo suami perhatian ama istri. Kalo nggk gimana?
"Diskusikan sama suamimu nanti lah."
"Apa yang kakak rasa?" Tanyaku.
"Emang kakak kenapa?" Tanyanya dan menatapku heran, menghentikannya sejenak katena pertanyaanku yang menurutnya aneh.
"Ya, ngurus mertua."
"Owh, itu? Abah tu orangnya enak kok. Makan semua doyan, tak pilih-pilih. Kakak bersyukur sih mendapat mertua dan adek ipar kayak kalian." Jujurnya.
Ah, kakak Ina enak dapat adek ipar seperti aku dan Marta yang baik hati. Dan dapat mertua penyayang seperti abah. Nasibku nanti gimana ya?
Ah, sombongnya kumat.
___
Apakah readers tahu bagaimana rasanya hidup bersama mertua? Enak jika mendapat mertua penyayang dan perhatian. Tapi rata-rata orang yang lanjut usia itu sifatnya kembali ke anak-anak bukan? Pastilah menyebalkan dan merepotkan.
Tapi sebagai calon istri aku paham betul. Jika anak laki-laki adalah hak ibunya. Jadi aku tak berhak menghalangi seorang lelaki meraih syurganya lewat ibunya.
****
*Selamat baca. Semoga syuka.
jangan lupa tinggalkan jejak*.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Nyai💔
smgt trus untuk berkarya
2022-04-05
1