Aku sudah kembali bekerja seperti biasa. Semua urusan persiapan acara pesta pernikahan di handle oleh mempelai pria dan abah.
Tak ada yang berubah dalam setiap hariku. Meskipun tak lama lagi aku akan menjadi seorang istri dari Reyhan. Tapi tetap foto Arfan yang selalu menjadi pengantar tidurku. Wajah dan senyumnya yang masih selalu berlarian diotakku. Menunggu keajaiban tiba. Berharap dia datang sebelum ijab kabul diikrarkan.
Hari berganti minggu. Dua Minggu telah berlalu, Tetap tak ada interaksi khusus antara aku dan calon suami. Selain karena aku ada di kota, Reyhan juha tak pernah menyapa meskipun hanya lewat telpon dan chating. Tak pernah ada sapaan selamat pagi atau selamat tidur seperti dengan Arfan dulu. Tak ada obrolan suara telpon apalagi lewat panggilan vidio.
Hanya sekali Reyhan mengirim pesan. Itu pun menyangkut pencetakan undangan, dan nama-nama yang akan diundang dari pihak mempelai wanita. Cuma itu. Dan aku? Aku tak berniat menyapa duluan. Bahkan urusan gaun pengantin pun aku tak ikut campur sama sekali.
Akhir pekan ini aku juga tak pulang. Memilih menghabis kan waktu jalan-jalan dikota. Malas disibukkan oleh persiapan acara pesta jika pulang kerumah. Lagian aku hanya punya waktu seminggu lagi untuk bebas. Menikmati kebebasan sebelum menjadi istri orang. Sebenarnya acara masih dua minggu lagi. Tapi seminggu sebelum hari H aku harus sudah ambil cuti dan duduk manis dirumah.
Mau tak mau aku harus mau. Ikhlas tak ikhlas, aku harus belajar ikhlas. Percayakah kau pada jodoh? Jodoh itu sudah pasti ada cinta bukan? Tapi adanya cinta belum tentu jodoh. Apakah cintaku pada Arfan tak membuat takdir menyatukan kita dalam jodoh?
"Ar, kamu dimana?" Lirihku menatap ombak yang menghantam karang. Duduk sendiri menikmati senja ditepi pantai. Dulu semasa ada Arfan, aku sering melihat sunset bersamanya ditepi pantai.
"Apakah memang tak ada lagi cinta mu untukku? Tapi kenapa aku tak bisa melupakanmu? Kamu jahat, Ar. Aku benci kamu."Seruku pada pantai. Seandainya ada dia disini, ingin ku berteriak dan memaki dia yang pergi setelah berhasil merebut seluruh hatiku. Membuatku dilema begini.
Menggenggam kerikil dan melempar ketengah laut. Meluapkan emosi dan sakit hati. Terisak pelan, dan duduk diatas batu besar yang tersusun menghalangi abrasi. Memeluk kakiku sendiri untuk mengurai rasa sesak.
"Udah mau malam kok masih disini?" Suara bariton yang tanpa permisi duduk disampingku.
Aku menoleh. Ternyata ada Reyhan disini. Kenapa pula dia sampai nyasar disini?
"Ada masalah?" Tanyanya yang menangkap mata basahku. Aku kembali menatap lurus kedepan. Bukannya aku tak menghargai orang yang kini disampingku. Tapi aku masih ingin sendiri. Mengabaikan pertanyaannya. Dia juga tak memaksa.
"Kamu kenapa disini?" Ketusku tanpa melihatnya. Sebenarnya dia tak salah apapun. Tapi entah kenapa aku benci juga dengan lelaki ini. Dia yang membuatku harus memaksa belajar melupakan sosok yang telah lama ku tunggu.
"Ada acara pelatihan tadi."
Aku masih diam menatap matahari yang perlahan menghilang. Menyisakan semburat jingga diangkasa.
"Tempat tinggal kamu jauh dari sini kah?"
"Nggk"
"Cari masjid dulu yok. Udah adzan tu."
Tanpa protes aku menurut saja. Lagian memang sudah waktunya magrib.
Usai sholat kini kami mencari makan bersama. Setelah sekian lama selalu sendiri dan menjaga jarak dengan lelaki, kini aku makan dengan seorang lelaki lagi. Biasanya teman makan palingan abah dan Marta, atau Rena teman kantorku. Entah kenapa aku malah teringat kenangan dengan Arfan lagi, dan lagi.
Dulu, saat acara lamaran Reyhan nampak gugup sekali berhadapan denganku. Tapi kini dia lebih rileks. Meskipun ku perhatikan sedari tadi dia tak melihatku. Selalu memutus kontak mata meskipun kini kami duduk berhadapan. Bahkan sedari tadi banyak diam.
"Rey." Panggilku. Gemas melihatnya yang sedari tadi susah hanya untuk melihatku. Emang aku jauh dari kata cantik kah? Hingga dia begitu enggan untuk melihat?
"Hemmz. " Mengangkat kepala melihatku, meletakkan hp yang ternyata sedari tadi dilihatnya.
Owh, ternyata dia main hp? Hpnya lebih menarik dari pada aku?
Eh, kenapa pula aku harus tak terima dicuekin? Bukankah aku juga tak berharap lebih dalam hubungan ini? Masih berharap banyak Arfan akan datang sebelum acara pernikahan digelar?
"Kenapa?" Tanyanya bingung, karena melihatku yang masih terdiam. Asik dengan hati dan pemikiranku sendiri.
"Ya.. Apa tadi ya?" Gagap ku. Ketahuan memperhatikan wajah tampannya, meskipun sebenarnya otakku tak disana. Malah mengingat senyum sang cinta yang tak kembali.
"Ada apa? Kenapa jadi gugup begitu?" Ah, padahal dia hanya melihatku sesaat, kemudian berpaling melihat mobil-mobil lewat dari kaca transparan.
"Ehkm." Dehemku pelan, mengembalikan kesadaran." Boleh tanya sesuatu kah?"
"Boleh."
"Kamu kenapa sih memilih aku?" Tanyaku. Entahlah kenapa aku tanya begitu? Ya heran aja sebenarnya, kenapa dia memilih aku yang lebih tua dari dia. Padahal kami juga jarang bertemu. Jadi jangan bilang karena cinta. Lihat aku aja ogah gitu? Lagian dia cukup tampan dan mapan. Pastilah banyak perempuan yang lebih muda bersedia menjadi pendampingnya.
Diam. Reyhan diam tanpa menjawab. Lagian pesanan makanan kami datang, yang membuat perhatian teralihkan.
"Selamat makan ."
Coba deh ngucapin selamat makan itu menghadap lawan bicara, bukan hanya makanan yang dilihat. Bukan hanya karena dia calon suamiku. Tapi siapa pun itu. Aku benci kalo berdua an tapi diabaikan, dia memilih memperhatikan yang lain.
Aku jadi tak berniat melanjutkan pembahasan tadi. Tak ingin mendengar alasannya. Memilih langsung pulang setelah perut kenyang.
Reyhan mengantarku hingga didepan gedung apartement ku. Kurang kerjaan memang. Karena kami tetap menaiki kendaraan masing-masing.
____
Kini saatnya aku mengajukan cuti, sekaligus memberikan undangan pada kawan kerja.
Usai kerja aku langsung pulang. Bahkan sedari pagi abah sudah berulang menelpon untuk menanyakan kapan pulang. Marta aja udah pulang, masa calon pengantinnya belum? Begitu kata abah protes saat aku mengundur kepulangan. Ya kan marta kebenaran pas liburan, makanya pulang duluan.
Empat hari lagi aku akan berganti setatus.
Aku melajukan mobil dengan pelan, tanpa smangat. Semakin hari harapan untuk hidup bersama Arfan terkikis habis. Hingga kini dia tak juga kunjung nampak. Aku membuang nafas kasar jika mengingat semua yang terjadi.
Sampai rumah malam hari. Rumahku yang sederhana sudah disulap dengan banyak dekorasi. Tenda besar sudah dipasang dipelataran rumah. Dalam rumah sudah banyak barang, jauh dari kata bersih dan rapi. Belum lagi didapur penuh dengan bahan makanan dan camilan. Bahkan, selarut ini Marta dan kak Ina sedang membuat kue kering dibantu dengan para tetangga. Sedangkan Abah? mungkin sudah istirahat.
Repot ya nikahan didesa itu? Semua dikerjakan sendiri. Kalo dikota semua diserahkan pada yang bertugas, makanan pesan jadi. Selagi ada uang semua beres.
"Lembur nih?" Sapaku pada penghuni dapur yang asik masak sambil bergosip, plus nyemil kue yang sudah matang.
"Iya lah. Aku bela-belain lembut untuk kakak. Besok harus gantian ya, kalo aku nikah." Marta yang menjawab.
"Calon pengantin istirahat sana. Nggk boleh capek-capek." Kata tetangga yang membantu. Melarangku untuk turut membantu.
"Iya. Tenaganya dihemat untuk hari H." Sambung yang lain. Kak Ina hanya tersenyum dan mengusap pelan punggungku. Dia tahu kalo aku sedang malu diledek begitu.
"Ya udah aku istirahat dulu." Badanku memang capek pake banget setelah kerja langsung tancap gas pulang kampung.
Siang harinya lebih ramai lagi orang berdatangan untuk membantu masak persiapan acara. Memasak punjungan untuk para tamu undangan sepesial. Juga membuat kue hidangan. Dan aku tak boleh turut membantu. Menjadi pengantin itu dimanja sekali bukan?
Kini tiba malam terakhir aku akan menjadi seorang pengantin. Kamarku sudah berubah bentuk. Sudah dihias hingga menjadi cantik dan menarik. Tapi tetap tak membuat mataku tertarik.
Sepanjang malam aku tak bisa tidur. Menatap layar ponsel yang menampakkan foto masa lalu. Berharap akan ada keajaiban datang. Namun ternyata keajaiban itu tak pernah ada.
"Ikhlas itu berat, Ar. Berat untukku mengikhlaskan kamu pergi. Berat untuk menerima pernikahan ini dengan ikhlas dan lapang dada. Karena ternyata hati masih tak rela. " Lirihku disertai air mata yang mengalir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Nyai💔
dimna kmu ar
2022-04-05
1