NovelToon NovelToon

Menanti Cinta Pertama Kembali

Prolog

Cinta itu teramat sulit untuk dimengerti bukan? Tak terlogika. Kata yang hanya bisa dimengerti oleh yang merasakannya. Dia datang tanpa permisi, tanpa ada tanda pasti. Dan yang menjadi masalah itu saat pergi juga tanpa pamit. Sakit bukan?

Apakah kau pernah jatuh cinta?

Aku , Natasya Aprilia. Aku pernah merasakan jatuh cinta. Cinta pertama yang tak akan pernah aku lupa. Cinta pertama dan satu-satunya.

Sebuah rasa cinta yang menyapaku saat masih sekolah dengan seragam putih biru, berlanjut hingga mengenakan seragam putih abu-abu. Cinta yang memberikan warna ditiap hariku. Orang yang mampu membuatku senyum sepanjang waktu. Menikmati masa remaja dengan bahagia. Hanya bahagia yang ku rasa saat ada disampingnya.

Dia lelaki yang baik dan tampan pastinya. Ia pria most wanted semasa sekolah. Tak pernah menuntut dan selalu pengertian. Selalu punya waktu untuk menemaniku, dengan perhatian-perhatian kecil yang membuatku jatuh terlalu dalam pada cintanya. Semasa menjalin kasih, dia tak pernah dekat dengan wanita lain. Dia setia. Bahkan sudah akrab dengan keluargaku. Hubungan tanpa cacat bagiku.

Namun. Saat perayaan dan perpisahan kelulusan sekolah SMA dia tak hadir. Pergi tanpa pamit dan tanpa kabar hingga kini. Berulang kali aku mendatangi tempat tinggalnya yang dulu ia tinggali bersama neneknya berharap ia kembali. Nihil. Rumah itu kini sudah terbengkalai tak terurus. Bahkan sudah terkesan angker karena terlalu lama tak dihuni.

Kamu tahu bagaimana rasanya ditinggalkan tanpa kata perpisahan dan alasan? Tanpa kabar apalagi kepastian hubungan? Sakit. Sakit yang sangat menyesakkan. Ia pergi membawa serta kepingan hatiku yang masih mencintainya. Yang membawa serta tawa dan keceriaanku. Aku benci tidak kepastian ini. Ingin mencari kepingan hati yang baru. Tapi ternyata tak mudah.

Aku berubah menjadi gadis pendiam dan pemurung disisa waktuku setelah kepergiannya. Berharap ia datang membawa kembali hatiku yang telah dicuri. Mengembalikan tawaku yang telah ia bawa pergi. Tapi hanya harapan yang sia-sia.

Sepuluh tahun telah berlalu. Hingga aku lulus kuliah, dan kini bekerja di sebuah bank dikota dengan gaji yang lumayan besar. Dia tak kunjung datang menemuiku. Tak ada tanda ia akan menghubungiku. Padahal. Aku sudah bersikeras berusaha tak mengganti cip card, agar mudah baginya untuk menghubungiku. Acun medsos dengan nama asli, agar dia mudah jika ia akan menyapaku. Menjaga hati agar selalu setia padanya.

"Kamu sangat bodoh Tasya." Umpatku pada diri sendiri. Membanting sembarang ponsel yang sedang menampakkan wajah yang sangat aku rindukan. Tidak. Semua fhotonya sudah terhapus dimemory ponselku. Bukan aku yang menghapus, tapi kakakku. Dia ingin aku move on. Tapi tak ada yang bisa menghapus kenangan yang sudah terlanjur ter upload dimedsosku, selain diriku sendiri bukan? Itu yang selalu ku lihat jika aku membuka acun medsos untuk melihat wajahnya.

Yah, kini aku tinggal di apartemen sendirian. Karena bekerja dikota yang jauh dari kampung halaman. Berharap bisa melupakan. Berharap kenangan kami turut tertinggal ditanah kelahiran. Namun nyatanya dia tetap hidup dalam ingatan. Wajahnya tak pernah hilang dalam ingatan.

"Kamu dimana Ar? Kenapa tak pernah ada kabar? Tidakkah kau merindukan aku? " Kembali ku pungut ponsel yang terpental diatas bantal. Kembali memandang potret yang tak pernah membosankan.

"Apakah hanya aku yang terpuruk karena merindu?"

Begitulah sepanjang dan setiap malamku. Selalu memandang photo lawas untuk mengobati rindu. Menanti deringan ponsel dari orang yang kurindu. Namun hanya kehampaan dan kekecewaan yang ku dapat.

"Apakah aku terlalu bodoh sebagai wanita? Menantimu untuk datang kembali padaku, padahal sudah bertahun-tahun kamu menghilang tanpa kabar." Mengusap wajah dalam bentuk gambar itu. Menarik nafas dalam untuk mengurai sesak didada.

"Andai kau sudah dapat penggantiku, kabarkan padaku, Ar. Agar aku juga bisa mencari penggantimu. Meskipun aku tak yakin aku mampu." Lalu aku mencium dan memeluk ponsel yang masih menampakkan kenangan kebersamaan kami . Lalu memilih memejamkan mata istirahat. Berharap esok hari ada kemungkinan untuk terwujudnya harapan.

Setelah lelah meratapi nasib percintaan, aku tertidur. Untuk menyambut hari baru dengan harapan yang masih sama. Waktu kan mempertemukan kami kembali untuk melanjutkan kisah cinta yang tertunda.

Pagi hari bukan suara alarm yang membangunkanku. Namun dering ponsel yang ku setel kencang. Berharap tak ada panggilan yang terlewat. Dan selalu berharap DIA yang melakukan panggilan. Namun selalu orang orang yang disekitarku yang membuat ponselku berdering. Orang-orang yang tak ku harapkan.

Aku bangun dengan melebarkan mata. Tanpa melihat siapa sang pemanggil, langsung menggeser layar untuk menyambungkan panggilan.

"Assalamualaikum." Sapa suara yang sangat aku kenal. Namun bukan suara yang selalu aku nantikan.

"Waalaikum salam." Jawabku masih malas untuk bangun dari tempat tidur. Gelap belum sempurna hilang. Yang membuatku masih ingin bermalas-malasan diatas tempat tidur. Lagian aku tinggal sendirian. Tak ada yang menuntutku untuk melakukan apapun dipagi hari, selain masuk kerja tepat waktu.

"Kamu baru bangun dek? Belum subuh?" Suara lembut bang Bagas mengingatkanku.

Ah. Sejak kuliah, dan tinggal jauh dari Abah, aku sering sekali sholat akhir waktu. Menunda-nunda waktu sholat. Namun tetap melaksanakannya.

"Iya bang." Suaraku serak. Masih malas menyibak selimut.

"Jangan melupakan kewajiban dek." Nasehatnya.

Bang Bagas kakak ku satu-satunya. Dia sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang putra yang tampan. Dan tinggal dikampung halaman menemani Abah. Karena adek perempuanku kuliah dikota yang sama denganku. Namun ia memilih masuk perguruan yang menyediakan asrama. Yang pasti menjamin keselamatannya.

"Iya bang. Ini juga mau sholat. Lagian abang ngapain sih pagi-pagi telpon? " Sungutku merasa terganggu. Bilangnya aja mau sholat, padahal masih nyaman memeluk guling dibalik selimut.

"Emang nggk boleh?"

"Bukannya nggk boleh ,abang. Tapi ada hal penting apa sih? hingga pagi buta gini udah telpon? Ganggu orang tidur aja." Gerutuku malas-malasan.

"Ini bukan lagi pagi buta, dek. Makanya bangun, keluar biar tahu waktu, udah terang gitu . Gadis kok jam segini belum bangun. Pantas saja jodohnya tak datang-datang. Dipatok ayam kali." Oceh bang Bagas dari sebarang.

"Ih apaan sih bang? Emang jodoh Tasya jagung pake dipatok ayam segala?" Ucapku sebal.

"My by. Makanya jadi gadis tu bangun pagi."

"Iya ini udah bangun, Abang. Ada apa sih pagi-pagi udah telpon aja?"

"Kamu tak ingin tanya kabar abah kah? Sudah hampir dua bulan kamu tak pulang." Suara Abang dari sebrang dengan nada sedih.

"Abah kenapa bang? Abah sehat-sehat aja kan?" Tanyaku langsung bangkit dari pembaringan. Kantukku langsung lenyap saat mendengar soal abah. Pasalnya Abah memang punya penyakit darah tinggi dan reumatik yang bisa kambuh kapan aja. Dan jika kambuh abah tak bisa berjalan, bahkan hanya berbaring dan bicara pun sulit.

"Pulanglah diakhir pekan nanti. Dan ajak dek Marta sekalian. " Pintanya berharap.

"Emang kenapa bang? Abah baik-baik saja kan?" Aku mulai khawatir dan sedikit panik. Mendesak agar bang Bagas mau menjelaskan ada apa.

"Abang tak bisa jelasin lewat telpon. Pulanglah!" Dengan suara sendunya.

"InsyaAllah, bang." Lirihku.

Lagian aku sudah rindu kampung halaman. Rindu Abah, orang tuaku satu-satunya. Karena ummi sudah berpulang saat aku masih sekolah SMP. Dan abah tak pernah menikah lagi. Memilih membesarkan kami bertiga.

"Ya udah. Sana subuh. Udah mau terbit tu matahari." Perintah Bang Bagas, lalu menutup telpon setelah salam.

Pikiranku menebak-nebak kemungkinan yang terjadi. Dan berdoa dengan tulus agar semua sehat-sehat saja.

_______

Selamat datang. Moga suka ya..🤗🤗😍

maaf kalo banyak yang belepotan.

Lamaran?

Dua hari ini tak ada waktu untuk memandang poto kak Arfan untuk melepas rindu. Perihal Abah lebih menyita perhatianku. Selepas pulang kerja dipetang hari selalu telpon rumah, namun selalu gagal untuk bicara dengan abah. Begitu pula dipagi hari. Selalu bang Bagas yang menjawab panggilan telponku. Yang membuatku makin khawatir akan keadaan abah. Menerka-nerka.

Pagi hari sabtu aku sudah bangun lebih awal dan bersiap untuk pulang menjenguk abah. Dan sudah memerintah Marta untuk bersiap-siap. Agar aku tak perlu menunggu nya beberes saat menjemputnya. Langsung tancap. Bahkan jam tujuh kami sudah berangkat dari asrama Marta. Dia hanya hanya bersungut protes saat mendengar perintahku yang tak menerima negosiasi.

"Ada apa sih kak? Tumben pulang mendadak gini?" Tanyanya penasaran. Karena adek ku itu baru minggu lalu pulang, dan kini kembali ku ajak pulang. Awalnya dia menolak saat aku ajak pulang, karena senin besok ujian. Tapi aku memaksa.

"Kakak juga tak tahu. Bang Bagas nyuruh pulang. Abah sakit." Jawabku. ah, Padahal bang Bagas tak menjelaskan apa-apa tentang keadaan abah. Atau tak mau menjelaskan. Mungkin tak mau membuat kami khawatir?

"Apa? Abah sakit kak? Sakitnya kambuh?" Tanya Marta panik, yang hanya ku jawab dengan anggukan kepala.

"Terus gimana keadaannya sekarang? Apakah sampai dirawat dirumah sakit? Parah kah?" Tanya Marta menandakan kekhawatirannya.

"Kak jawab dong kak. Jangan bikin aku panik gini." Mencengkeram tanganku yang sedang mengemudi. Aku hanya diam membisu. Bukan karena tak sedih atau tak khawatir. Tapi juga tak tahu keadaannya bagaimana. Hanya menerka dan mengira. Yang membuatku sedih jika sampai hal buruk terjadi. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika sampai abah sakit parah.

"Kak." Menggoyangkan lenganku meminta jawaban.

"Berdoa aja yang terbaik." Jawabku mencoba tenang. Sedih? Rasanya hidupku sudah kebal dengan kesedihan.

Marta memilih mengeluarkan ponselnya untuk melakukan panggilan. Namun tak pernah nyambung pada nomor tujuan. Marta duduk dengan tak tenang. Sibuk menekan ponsel, lalu menempelkan pada telinganya. Mengumpat pelan saat tak terhubung. Berulang kali melakukan gerakan yang sama, namun berulang kali juga dia mendesis kesal dengan umpatan pelan.

"Nomornya tak ada yang aktif kak. Eh, coba nomor kak Ina." Ucapnya sendiri, lalu mengulang menekan nomor kakak ipar satu-satunya.

Sedangkan aku memilih diam. Menenangkan pikiran yang berkecamuk menerka kemungkinan yang terjadi. Dan mencoba tetap fokus pada jalanan, jangan sampai terjadi hal yang tak diinginkan.

"Nggk diangkat kak. Gimana dong?" Tanya Marta tak sabaran. Aku hanya mendengus dan memutar kemudi membelok di jalanan lenggang , lalu menginjak gas lebih kencang. Sungguh aku juga tak sabar. Semoga kedatangan kami belum terlambat.

Oh, otak. Jangan membuatku frustasi dan tak berarti jika sampai waktu menakdirkan aku tak punya lagi tempat untuk pulang.

"Kak, pelan-pelan kak. "Pinta Marta takut saat kami dijalanan sepi, jauh dari kemacetan. Sudah keluar dari padatnya perkotaan. "Jangan sampai kita malah yang mati duluan." Serunya tertahan. Aku masih diam. Tak menggubris adekku yang memang cerewet itu.

Ah, aku dulu juga begitu. Cerewet yang tak jauh dari periang ya. Banyak tanya banyak ketawa. Mudah akrab dengan semua orang. Hingga perginya kak Arfan membawa serta banyak hal dalam hidupku.

"Kak, pelanin dikit kak." Rengeknya ketakutan.

"Diam. Nggk usah ganggu konsentrasi. Makanya tu jendela ditutup rapat." Jawabku membentak tanpa melihatnya. Tapi dia mana takut dengan suaraku.

Memang kebiasaan Marta, kalo naik mobil suka menikmati terpaan angin dari luar. Makanya dia tak suka kecepatan tinggi. Tak menikmati perjalanannya katanya.

"Kak. jangan kelewatan kak. Kalo Abang tahu pasti akan marah." Memperingatkanku yang sama sekali tak ku gubris.

"Dia tak tahu." Jawabku masih berusaha santai. Meskipun hatiku kalut.

"Idih kakak lah. Aku belum mau mati kak, Aku belum nikah. Kasihan mas Johan kalo sampai aku mati duluan. Hiks hiks. Nanti dia kehilangan. Aku tak mau dia nangis, sedangkan aku sudah tak bisa menghiburnya." Mulut Marta tak mau diam. Yang membuatku tambah sebal.

Bukan suaranya yang membuatku sebal. Aku sayang sama dia. Aku tak pernah bosan mendengar keceriwisannya. Tapi tentang kehilangan? Menangis? Aku benci kata-kata itu. Kenapa adekku malah mengkhawatirkan orang lain jika menangis dan sedih karena kehilangan? Sedangkan dia tak pernah peduli saat aku menangis karena kehilangan. Dia malah mencibirku yang gagal move on selama bertahun-tahun. Padahal. Kata orang waktu adalah sebaik-baiknya obat untuk luka hati? Ternyata bohong. Aku tak percaya.

Setelah dua jam melaju dengan kecepatan tinggi, memecah jalanan perkampungan yang lenggang. Kini kami sudah sampai didepan rumah sederhana tempat kami tumbuh dewasa. Rumah yang nampak sepi dengan pintu utama yang terbuka.

Marta turun dengan tergesa. Bahkan sebelum aku mematikan mesin mobil butut milikku. Aku hanya memaki dalam hati atas sikapnya yang tak pernah berubah.

Aku berlari kecil memasuki rumah yang tetap berdiri kokoh meskipun termakan usia.

"Assalamualaikum." Salamku. Tak ada yang menjawab dan menyambutku pulang. Jadi aku langsung menyusul Marta yang sudah masuk kekamar abah.

"Kenapa?" Tanyaku saat Marta keluar kamar abah dengan muka bersungut-sungut.

"kakak bohong." Jawabnya dan duduk dikursi kayu diruang tengah.

Aku heran dengan tudingan Marta yang mengataiku bohong. Menunjuk diriku sendiri tak paham . lalu melongok kekamar abah. Terlihat disana Abah sedang rukuk melakukan sholat dhuha. Tak ada tanda reumatik abah kambuh, karena abah masih mampu sholat dengan berdiri menghadap kiblat. Dan wajah keriputnya nampak segar tanpa menyimpan rasa sakit.

Aku kembali dan duduk disamping Marta dengan mendesah malas.

"Kalo tahu gitu tadi aku tak ikut pulang. Mendingan belajar untuk persiapan ujian." Gerutu Marta saat melihatku mendekatinya.

"Terus kenapa abang memintaku pulang?" Bingungku, kembali menatap pintu kamar Abah yang terbuka.

"Kakak yang diminta pulang, karena sudah lama tak pulang. Bukan aku." Masih merengut aja dia. Aku hanya menghela nafas malas mendengar omelan Marta.

"Abang minta untuk ngajak kamu kok. " belaku apa adanya.

"Apa iya? Lagian abang kemana? Kak Ina juga tak ada tuh." Tak percaya, dan mengedarkan pandangan dirumah yang sepi penghuni. Keluar dan melihat rumah bang Bagas yang terkunci. Aku hanya mengangkat bahu tak peduli.

Rumah bang Bagas bersebelahan dengan rumah abah. Jadi dari depan pintu rumah abah, sudah nampak pintunya terbuka atau tertutup.

"Kalian sudah sampai?" Suara Abah yang mengalihkan perhatian kami. Marta kembali duduk dibangku semula. Dan abah yang masih lengkap dengan baju takwanya duduk diantara kami.

"Abah sehat?" Tanyaku dan bersalaman, bergantian dengan Marta.

"Seperti apa yang kalian lihat. Abah sehat wal afiat. Emang siapa yang bilang kalo abah sakit?" Tanya Abah yang duduk diantara kami.

"Dia." Kata Marta menunjukku, yang membuat abah menoleh kearahku.

"Ya Abang bilang aku suruh pulang dan ajak dek Marta. Dan suaranya sedih gitu. Aku mau minta bicara sama abah, kata abang abah lagi istirahat. Ya kirain karena abah sakit ." jelasku tak enak, dan memeluk lelaki yang juga aku rindukan.

"Terus kalian menyesal pulang? Karena abah yang nggk sakit?" Tanyanya dengan wajah dibuat sedih.

"Nggk kok." Jawab kami bersamaan, dan memeluk tubuhnya yang sudah renta , namun tetap gagah dimata kami.

"Beneran?" Tanya abah tak percaya, dengan tatapan menyelidik.

"Beneran lah. Kan kangen juga sama abah." Jawab Marta bergelayut manja dilengan Abah. Aku hanya diam memeluknya erat.

"Kamu nggk kangen sama abah?" Mengusap pelan kepalaku yang menyandar padanya.

"Kangen bah." Jawabku dengan air mata yang mulai meleleh. Bukan kerena abah. Tapi karena mengingat beratnya menahan rindu. Rindu yang terus menggerogoti nalarku.

"Abah yang minta abang kalian untuk meminta kalian pulang. " Ucapnya pelan dengan tangan masih memeluk dua putrinya.

"Tapi Marta besok lusa ada ujian lo Bah." Sungutnya manja, aku hanya melirik malas. Menikmati kehangatan pelukan abah.

"Ya, belajar dirumah bisa. Bawa buku kan?" Jawab abah santai, dan mengacak rambut Marta yang masih enggan untuk ditutup.

"Bawa."

"Abang mana bah? Kok tak nampak?" Tanyaku.

"Namanya akhir pekan ya jalan-jalan lah." Jawabnya santai, tanpa rasa bersalah. Yang membuatku dan Marta mendesah sebal. Aku sudah kebut-kebutan dijalan karena khawatir, yang malah dapat omel sepanjang jalan oleh adek kesayangan itu. Eh, ternyata? Yang dikhawatirkan tak kenapa-kenapa. Yang nyuruh pulang malah asik menikmati akhir pekan.

"Kemana?" Marta mulai kepo.

"Entah."

"Emang ada apa minta kami pulang bah? Cuma kangen?" Tanyaku penasaran. Tak biasanya abah begitu.

"Nanti malam ada tamu sepesial untuk anak abah." Jawabnya dengan menerbitkan senyum diwajahnya. Dan mengusap pelan punggungku.

Aku melihat Marta, Siapa? Bertanya lewat mata. Tapi dia hanya mengangkat batu tak tahu. Juga tak mau tahu.

"Nanti malam ada yang akan melamar anak abah. Sebenarnya sudah beberapa minggu lalu dia melamar lewat Abah, dan hari ini lamaran resmi." Jelas abah, menjawab kebingungan kami yang diskusi lewat lirikan mata.

"Siapa bah? " Marta kaget, duduk dengan tegap dan mata melebar.

Pasalnya diantara dua anak gadis abah hanya dia yang punya pacar. Sedangkan aku? Sudah menjadi rahasia umum jika aku masih menunggu keajaiban masa lalu, untuk sudi menjadi masa depan juga.

Aku pun sedikit terkejut. Merasa mulai ada yang tak beres ini. Jika yang melamar Johan? Pasti Marta sudah heboh sedari tadi.

Abah melihat kami bergantian. Dengan wajah teduhnya, dan senyum yang tak surut tersungging.

"Siapa yang melamar, Bah? Dan untuk siapa? Bukan untuk aku kan? Aku masih kecil." Tanya Marta heboh.

"Kamu mau dilamar? Sudah siap?"

"Masih kuliah bah. Lagian pacarku bersedia kok nunggu sampai aku lulus." Jawabnya dengan manyun.

"Kalo Tasya?" Gantian melihatku. Aku hanya membisu. Aku masih menunggu Arfan pulang untuk mempersunting. Apakah dia sudah pulang? Tapi ini ada lamaran yang datang.

"Iya kak Tasya yang sudah siap nikah, bah."

"Lihat abah, nak." Menaikkan daguku untuk melihatnya. Aku masih diam. Entah apa yang aku rasakan. Mengikuti permintaan abah, menatapnya dengan mata yang mulai basah. Abah menyentuh pipiku dengan lembut.

"Dia orang baik, nak. Kamu juga sudah kenal dengan dia. Abah tak punya alasan untuk menolak. Lagian umur kamu sudah 28 tahun, nak. Nunggu sampai kapan? "

"Siapa sih dia bah?" Marta masih merengek bertanya.

"Rayhan." Jawab abah menyebut nama yang aku kenal. Yang membuatku terbelalak tak percaya.

Namanya Reyhan

Rayhan?

Meskipun tak akrab dengan pemuda itu. Tapi aku tahu siapa dia. Orang yang lumayan sering berkunjung kerumah. Karena dia mengajar disekolah yang sama dengan abah. Disekolah islam terpadu yang ada didekat sini. Tapi setahuku Reyhan bukan orang kampung sini. Tapi kampung sebelah.

"Reyhan ,Bah?" Beo ku tak percaya. Mengulang nama yang disebut abah. Abah hanya menganggukkan kepala.

"Dapat brondong." Lirih Marta dengan bibir mencibir. Yang langsung dapat tatapan tajam dari abah.

Aku tahu pasti, kalo Reyhan lebih muda dari aku. Meskipun aku tak tahu umur pastinya, tapi semasa sekolah dia dibawahku jauh. Aku wisuda sarjana, dia baru melepas seragam putih abunya. Semasa sekolah SMP maupun SMA tak pernah ketemu. Karena memang tak mungkin ketemu. Kemungkinan empat tahun jarak umur kami, jika dilihat dari masa sekolah. Bahkan jika kebetulan bertemu pun dia menyapaku kakak. Terus nanti gimana dong?

"Meskipun umur dia lebih muda, tapi tak menjamin kalo kamu lebih dewasa bukan? Umur dia sudah cukup matang untuk menikah. Dan abah jamin kalo dia orang baik-baik. Tak akan meninggalkanmu tanpa kabar. Abah juga sudah kenal keluarganya. " Jelas abah meyakinkanku. Aku masih diam, dengan mata lekat menatap mata abah yang berusaha menyalurkan keyakinan.

"Tapi, bah. Kami nggk saling kenal, apalagi cinta. Juga dia lebih muda jauh dari Tasya bah." Tolakku pelan. Belum ingin membuka hati untuk yang lain. Kenangan manis dengan Arfan kembali berkelebat membayangi. Pulang lah Ar. Aku lelah dibujuk nikah terus sama abah. Aku maunya kamu, Ar. Batinku memberontak. Menolak tegas pernikahan tanpa cinta. Tapi logika memaksaku untuk berhenti berharap pada orang yang entah dimana.

"Kenalan setelah menikah bisa, nak. Umur dia sudah cukup untuk menikah, kamunya aja yang kelewat umur." Jawab abah yang membuatku mendelik kesal. Masak dibilang kelewat umur?

Aku tak bisa terus menulikan telinga sih. Dikampung ini, gadis 28 tahun belum menikah itu sudah menjadi gunjingan warga tiap saat. Meskipun abah bukan pecinta gosip, dan tak terlalu peduli dengan gosip. Abah tetap menghawatirkan masa depanku. Menginginkanku cepat menikah.

"Aku masih muda, abah. Dikantor Tasya banyak juga yang belum menikah. Bahkan ada yang umurnya diatas Tasya." Kataku membela diri dengan muka memberengut.

"Tu, kak. Kelewat umur udahan. Terima aja sih kak. Dia baik kok, meskipun pendiam akut." Marta ikutan bicara meledek.

"Diam kamu, dek." Perintahku kesal.

"Tapi saran Marta ya, kak. Kakak cerewet dikit lah. Biar nanti nggk kayak manekin di sandingkan. Diam-diaman terus. Haha." Malah menjadi tu Marta meledeknya. Tak tahu apa kalo ini lagi serius.

Aku hanya memelototinya marah. Ingin ku tarik mulut tak tersaringnya itu. Tapi dia keburu pergi membawa tas penuh buku. Mau belajar dikamarnya.

"Nak. Percayalah. Rasa cinta akan datang dengan sendirinya. Jika kamu berusaha untuk mencintainya. Abah sudah tak punya alasan untuk menolak, nak. Karena dia memenuhi kriteria suami idaman." Jelas abah menghadapku. Kami duduk berhadapan tanpa sekat.

"Tapi, bah.." Ucapku lirih. Ragu untuk mengutarakan penolakan karena hal yang sama.

"Tapi apa? Sudah tiga lelaki datang melamar dan semuanya kamu tolak. Yah, memang pemuda yang dulu tak memenuhi kriteria menantu idaman untuk abah. Makanya abah setuju saat kamu menolak. Tapi kali ini, abah sarankan untuk dipertimbangkan matang-matang."

Arfan. Kamu dimana? Aku bingung banget. Aku tak mungkinkan menolak lamaran semua lelaki hanya untuk menunggumu? Sedangkan kamu dimana aja aku tak tahu.

"Sampai umur berapa kamu akan terus menunggu Arfan ,nak?" Suara abah berubah tegas dan tajam. Tak selembut tadi.

"Bukankah abah yang selalu mengajariku untuk sabar?" Belaku.

"Sabar itu ada tempatnya, sayang. Sabar menanti yang tak pasti. Siapa yang menjamin kalo Arfan akan datang kembali kesini? Bahkan siapa yang menjamin kalo Arfan masih ada dimuka bumi ini?"

"Abah.." Seruku kaget. Sungguh aku terperanjat dengan kata-kata abah. Aku tak percaya abah mendoakan kalo Arfan sudah meninggal? Bukankah itu maksudnya?

"Kenapa? Sepuluh tahun dia menghilang ,nak. Tanpa kabar berita. Apa lagi yang kamu harapkan? "

"Aku sayang sama dia, bah." Lirihku diambang putus asa. Aku sudah lelah memberikan alasan yang sama setiap ada yang datang untuk menanyakannku.

"Jangan jadikan itu untuk menjadikan alasan untuk menolak lamaran orang yang baik, nak. " Tegas abah. Aku hanya diam menunduk, menahan mata yang siap menumpahkan genangannya.

"Abah sudah menerima lamarannya. Jadi abah mau kamu menikah dengan nak Reyhan. "Tegas Abah tak terima bantahan. Lalu pergi meninggalkanku yang masih merutuki nasib.

Apakah aku harus berhenti menunggumu, Ar? Apakah benar kata abah, jika hubungan kita memang tak ada harapan lagi untuk dilanjutkan?

Ku tarik nafas dalam. Mengangkat wajah dengan tegak, menghapus air mata yang masih mengalir.

"Mungkin memang sudah waktunya aku belajar mencintai yang lain. Reyhan juga tak kalah tampan darimu, bahkan dia lebih sholeh dan lebih muda. " Putusku untuk meyakinkan diri. Mencoba menghadirkan wajah lelaki yang akan menjadi suamiku. Membuka mata untuk mengakui kelebihan Reyhan yang sudah aku tahu.

Tapi kenapa dia memilih aku yang notabene nya lebih tua? Apa alasannya? Tak ada paksaan kan?

Reyhan dan Arfan tak jauh jeda. Sama-sama tampan dan pendiam. Meskipun Arfan tak jadi pendiam jika didepanku. Bahkan sangat humoris. Jika Reyhan? semoga juga begitu. Mereka sama-sama lelaki dengan prestasi yang banyak diakui. Bahkan yang aku tahu dari abah, jika Reyhan sudah mampu jadi kepala sekolah diusianya yang ku bilang masih dini itu. Kalo Arfan? Aku tak tahu dia dimana, dan sudah menjadi apa.

Aku memilih masuk kamar. Merebahkan badan untuk istirahat. Mengistirahatkan badan yang sudah bangun lebih pagi, juga mengistirahatkan otak dan hati yang sedang berkecamuk bingung.

Mempertahankan cinta yang lama? Atau harus membuka lembaran baru?

Mencoba menghapus kemungkinan-kemungkinan untuk kembali bersama Arfan. Kemungkinan-kemungkinan yang selama ini ku tanamkan dalam hati dan pikiran agar bisa bersabar menunggu hingga bertahun-tahun lamanya.

______

Sore hari bang Bagas baru pulang bersama kak Ina dan Tama, anaknya.

"Tante Marta." Seru Tama yang melihat Marta membaca buku diruang keluarga. Sedangkan aku memasak menyiapkan makan malam.

"Iya, sayang. Habis jalan-jalan dari mana tadi?" Tanya Marta menutup bukunya.

"Main ke pantai." Jawabnya riang. Namanya habis jalan-jalan pasti riang lah ya.

"Oleh-olehnya mana?" Menengadahkan tangan menagih oleh-oleh.

"Tama belinya ini." Menunjukkan mainan robot yang dibawanya.

Aku tersenyum sendiri melihat interaksi Tama dan Marta. Kalo aku memang tak terlalu dekat. Tama mendekatiku jika ada maunya aja. Apa lagi kalau bukan minta mainan dan uang?

"Masak apa, dek?" Tanya mbk Ina mengagetkanku, dia masuk lewat pintu belakang, dengan menenteng beberapa plastik ditangannya.

"Tumis kangkung, kak. Sama goreng ikan betok." Jawabku sambil menyajikan makanan dimeja makan. "Kakak bawa apaan sih banyak banget?" Melihat plastik gelap yang sudah diletakkan diatas meja.

"Makanan." Mengambil piring untuk meletakkan makanan yang dibawanya.

"Banyak kali." Kataku saat membuka plastik, yang ada beberapa macam kue dalam jumlah yang lumayan banyak . Padahal anggota keluarga ini tak banyak kok.

"Emang abah belum cerita kalo nanti malam akan ada tamu sepesial untukmu?" Tanyanya dengan senyum menggodaku.

"Emang seriusan ya kak?" Aku masih tak percaya. Bagai mimpi aja abah memaksaku menerima lamaran pemuda yang masih dibawah umurku. Dulu abah tak pernah memaksaku akan hal apapun.

"Ya serius lah, dek. Masalah begituan tak mungkin menjadi candaan. " Jawabnya pasti, dengan tangan menata kue pada piring-piring yang ada. Aku hanya menonton, memilih menata hatiku yang berantakan.

"Udah lah. Percaya sama abah. Dulu kakak sama abangmu juga tak ada cinta saat menikah. Dan akhirnya juga bisa saling mencintai dan bahagia. " Jawabnya dengan senyum meyakinkanku.

Aku tahu. Bang bagas menikahi kak Ina tanpa ada pacaran terlebih dahulu. Abang langsung aja menerima saat ditawari menikah dengan gadis pilihan abah. Dan pastinya dengan memberikan biodata kak Ina.

"Apa aku bisa mencintai dia?" Kataku ragu. Bertanya pada diri sendiri.

"Kenapa tak bisa? Apa alasannya hingga membuatmu tak bisa cinta sama dia? Dia baik, dia sopan, dia murah senyum meskipun irit bicara. Yang pasti sholeh." Kata kak Ina meyakinkanku.

"Udahlah, tak usah banyak mikir. Masih untung diusiamu yang tak lagi muda ini, masih ada cowok mapan dan sholeh yang mau menikahimu. Apalagi dia masih muda."

"Kenapa dia memilih aku? Bukankah katanya cowok itu lebih cenderung memilih wanita yang lebih muda dari dia?"

"Mana kakak tahu lah. Yang pasti dia tak main-main akan niatnya itu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!