Dua hari ini tak ada waktu untuk memandang poto kak Arfan untuk melepas rindu. Perihal Abah lebih menyita perhatianku. Selepas pulang kerja dipetang hari selalu telpon rumah, namun selalu gagal untuk bicara dengan abah. Begitu pula dipagi hari. Selalu bang Bagas yang menjawab panggilan telponku. Yang membuatku makin khawatir akan keadaan abah. Menerka-nerka.
Pagi hari sabtu aku sudah bangun lebih awal dan bersiap untuk pulang menjenguk abah. Dan sudah memerintah Marta untuk bersiap-siap. Agar aku tak perlu menunggu nya beberes saat menjemputnya. Langsung tancap. Bahkan jam tujuh kami sudah berangkat dari asrama Marta. Dia hanya hanya bersungut protes saat mendengar perintahku yang tak menerima negosiasi.
"Ada apa sih kak? Tumben pulang mendadak gini?" Tanyanya penasaran. Karena adek ku itu baru minggu lalu pulang, dan kini kembali ku ajak pulang. Awalnya dia menolak saat aku ajak pulang, karena senin besok ujian. Tapi aku memaksa.
"Kakak juga tak tahu. Bang Bagas nyuruh pulang. Abah sakit." Jawabku. ah, Padahal bang Bagas tak menjelaskan apa-apa tentang keadaan abah. Atau tak mau menjelaskan. Mungkin tak mau membuat kami khawatir?
"Apa? Abah sakit kak? Sakitnya kambuh?" Tanya Marta panik, yang hanya ku jawab dengan anggukan kepala.
"Terus gimana keadaannya sekarang? Apakah sampai dirawat dirumah sakit? Parah kah?" Tanya Marta menandakan kekhawatirannya.
"Kak jawab dong kak. Jangan bikin aku panik gini." Mencengkeram tanganku yang sedang mengemudi. Aku hanya diam membisu. Bukan karena tak sedih atau tak khawatir. Tapi juga tak tahu keadaannya bagaimana. Hanya menerka dan mengira. Yang membuatku sedih jika sampai hal buruk terjadi. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika sampai abah sakit parah.
"Kak." Menggoyangkan lenganku meminta jawaban.
"Berdoa aja yang terbaik." Jawabku mencoba tenang. Sedih? Rasanya hidupku sudah kebal dengan kesedihan.
Marta memilih mengeluarkan ponselnya untuk melakukan panggilan. Namun tak pernah nyambung pada nomor tujuan. Marta duduk dengan tak tenang. Sibuk menekan ponsel, lalu menempelkan pada telinganya. Mengumpat pelan saat tak terhubung. Berulang kali melakukan gerakan yang sama, namun berulang kali juga dia mendesis kesal dengan umpatan pelan.
"Nomornya tak ada yang aktif kak. Eh, coba nomor kak Ina." Ucapnya sendiri, lalu mengulang menekan nomor kakak ipar satu-satunya.
Sedangkan aku memilih diam. Menenangkan pikiran yang berkecamuk menerka kemungkinan yang terjadi. Dan mencoba tetap fokus pada jalanan, jangan sampai terjadi hal yang tak diinginkan.
"Nggk diangkat kak. Gimana dong?" Tanya Marta tak sabaran. Aku hanya mendengus dan memutar kemudi membelok di jalanan lenggang , lalu menginjak gas lebih kencang. Sungguh aku juga tak sabar. Semoga kedatangan kami belum terlambat.
Oh, otak. Jangan membuatku frustasi dan tak berarti jika sampai waktu menakdirkan aku tak punya lagi tempat untuk pulang.
"Kak, pelan-pelan kak. "Pinta Marta takut saat kami dijalanan sepi, jauh dari kemacetan. Sudah keluar dari padatnya perkotaan. "Jangan sampai kita malah yang mati duluan." Serunya tertahan. Aku masih diam. Tak menggubris adekku yang memang cerewet itu.
Ah, aku dulu juga begitu. Cerewet yang tak jauh dari periang ya. Banyak tanya banyak ketawa. Mudah akrab dengan semua orang. Hingga perginya kak Arfan membawa serta banyak hal dalam hidupku.
"Kak, pelanin dikit kak." Rengeknya ketakutan.
"Diam. Nggk usah ganggu konsentrasi. Makanya tu jendela ditutup rapat." Jawabku membentak tanpa melihatnya. Tapi dia mana takut dengan suaraku.
Memang kebiasaan Marta, kalo naik mobil suka menikmati terpaan angin dari luar. Makanya dia tak suka kecepatan tinggi. Tak menikmati perjalanannya katanya.
"Kak. jangan kelewatan kak. Kalo Abang tahu pasti akan marah." Memperingatkanku yang sama sekali tak ku gubris.
"Dia tak tahu." Jawabku masih berusaha santai. Meskipun hatiku kalut.
"Idih kakak lah. Aku belum mau mati kak, Aku belum nikah. Kasihan mas Johan kalo sampai aku mati duluan. Hiks hiks. Nanti dia kehilangan. Aku tak mau dia nangis, sedangkan aku sudah tak bisa menghiburnya." Mulut Marta tak mau diam. Yang membuatku tambah sebal.
Bukan suaranya yang membuatku sebal. Aku sayang sama dia. Aku tak pernah bosan mendengar keceriwisannya. Tapi tentang kehilangan? Menangis? Aku benci kata-kata itu. Kenapa adekku malah mengkhawatirkan orang lain jika menangis dan sedih karena kehilangan? Sedangkan dia tak pernah peduli saat aku menangis karena kehilangan. Dia malah mencibirku yang gagal move on selama bertahun-tahun. Padahal. Kata orang waktu adalah sebaik-baiknya obat untuk luka hati? Ternyata bohong. Aku tak percaya.
Setelah dua jam melaju dengan kecepatan tinggi, memecah jalanan perkampungan yang lenggang. Kini kami sudah sampai didepan rumah sederhana tempat kami tumbuh dewasa. Rumah yang nampak sepi dengan pintu utama yang terbuka.
Marta turun dengan tergesa. Bahkan sebelum aku mematikan mesin mobil butut milikku. Aku hanya memaki dalam hati atas sikapnya yang tak pernah berubah.
Aku berlari kecil memasuki rumah yang tetap berdiri kokoh meskipun termakan usia.
"Assalamualaikum." Salamku. Tak ada yang menjawab dan menyambutku pulang. Jadi aku langsung menyusul Marta yang sudah masuk kekamar abah.
"Kenapa?" Tanyaku saat Marta keluar kamar abah dengan muka bersungut-sungut.
"kakak bohong." Jawabnya dan duduk dikursi kayu diruang tengah.
Aku heran dengan tudingan Marta yang mengataiku bohong. Menunjuk diriku sendiri tak paham . lalu melongok kekamar abah. Terlihat disana Abah sedang rukuk melakukan sholat dhuha. Tak ada tanda reumatik abah kambuh, karena abah masih mampu sholat dengan berdiri menghadap kiblat. Dan wajah keriputnya nampak segar tanpa menyimpan rasa sakit.
Aku kembali dan duduk disamping Marta dengan mendesah malas.
"Kalo tahu gitu tadi aku tak ikut pulang. Mendingan belajar untuk persiapan ujian." Gerutu Marta saat melihatku mendekatinya.
"Terus kenapa abang memintaku pulang?" Bingungku, kembali menatap pintu kamar Abah yang terbuka.
"Kakak yang diminta pulang, karena sudah lama tak pulang. Bukan aku." Masih merengut aja dia. Aku hanya menghela nafas malas mendengar omelan Marta.
"Abang minta untuk ngajak kamu kok. " belaku apa adanya.
"Apa iya? Lagian abang kemana? Kak Ina juga tak ada tuh." Tak percaya, dan mengedarkan pandangan dirumah yang sepi penghuni. Keluar dan melihat rumah bang Bagas yang terkunci. Aku hanya mengangkat bahu tak peduli.
Rumah bang Bagas bersebelahan dengan rumah abah. Jadi dari depan pintu rumah abah, sudah nampak pintunya terbuka atau tertutup.
"Kalian sudah sampai?" Suara Abah yang mengalihkan perhatian kami. Marta kembali duduk dibangku semula. Dan abah yang masih lengkap dengan baju takwanya duduk diantara kami.
"Abah sehat?" Tanyaku dan bersalaman, bergantian dengan Marta.
"Seperti apa yang kalian lihat. Abah sehat wal afiat. Emang siapa yang bilang kalo abah sakit?" Tanya Abah yang duduk diantara kami.
"Dia." Kata Marta menunjukku, yang membuat abah menoleh kearahku.
"Ya Abang bilang aku suruh pulang dan ajak dek Marta. Dan suaranya sedih gitu. Aku mau minta bicara sama abah, kata abang abah lagi istirahat. Ya kirain karena abah sakit ." jelasku tak enak, dan memeluk lelaki yang juga aku rindukan.
"Terus kalian menyesal pulang? Karena abah yang nggk sakit?" Tanyanya dengan wajah dibuat sedih.
"Nggk kok." Jawab kami bersamaan, dan memeluk tubuhnya yang sudah renta , namun tetap gagah dimata kami.
"Beneran?" Tanya abah tak percaya, dengan tatapan menyelidik.
"Beneran lah. Kan kangen juga sama abah." Jawab Marta bergelayut manja dilengan Abah. Aku hanya diam memeluknya erat.
"Kamu nggk kangen sama abah?" Mengusap pelan kepalaku yang menyandar padanya.
"Kangen bah." Jawabku dengan air mata yang mulai meleleh. Bukan kerena abah. Tapi karena mengingat beratnya menahan rindu. Rindu yang terus menggerogoti nalarku.
"Abah yang minta abang kalian untuk meminta kalian pulang. " Ucapnya pelan dengan tangan masih memeluk dua putrinya.
"Tapi Marta besok lusa ada ujian lo Bah." Sungutnya manja, aku hanya melirik malas. Menikmati kehangatan pelukan abah.
"Ya, belajar dirumah bisa. Bawa buku kan?" Jawab abah santai, dan mengacak rambut Marta yang masih enggan untuk ditutup.
"Bawa."
"Abang mana bah? Kok tak nampak?" Tanyaku.
"Namanya akhir pekan ya jalan-jalan lah." Jawabnya santai, tanpa rasa bersalah. Yang membuatku dan Marta mendesah sebal. Aku sudah kebut-kebutan dijalan karena khawatir, yang malah dapat omel sepanjang jalan oleh adek kesayangan itu. Eh, ternyata? Yang dikhawatirkan tak kenapa-kenapa. Yang nyuruh pulang malah asik menikmati akhir pekan.
"Kemana?" Marta mulai kepo.
"Entah."
"Emang ada apa minta kami pulang bah? Cuma kangen?" Tanyaku penasaran. Tak biasanya abah begitu.
"Nanti malam ada tamu sepesial untuk anak abah." Jawabnya dengan menerbitkan senyum diwajahnya. Dan mengusap pelan punggungku.
Aku melihat Marta, Siapa? Bertanya lewat mata. Tapi dia hanya mengangkat batu tak tahu. Juga tak mau tahu.
"Nanti malam ada yang akan melamar anak abah. Sebenarnya sudah beberapa minggu lalu dia melamar lewat Abah, dan hari ini lamaran resmi." Jelas abah, menjawab kebingungan kami yang diskusi lewat lirikan mata.
"Siapa bah? " Marta kaget, duduk dengan tegap dan mata melebar.
Pasalnya diantara dua anak gadis abah hanya dia yang punya pacar. Sedangkan aku? Sudah menjadi rahasia umum jika aku masih menunggu keajaiban masa lalu, untuk sudi menjadi masa depan juga.
Aku pun sedikit terkejut. Merasa mulai ada yang tak beres ini. Jika yang melamar Johan? Pasti Marta sudah heboh sedari tadi.
Abah melihat kami bergantian. Dengan wajah teduhnya, dan senyum yang tak surut tersungging.
"Siapa yang melamar, Bah? Dan untuk siapa? Bukan untuk aku kan? Aku masih kecil." Tanya Marta heboh.
"Kamu mau dilamar? Sudah siap?"
"Masih kuliah bah. Lagian pacarku bersedia kok nunggu sampai aku lulus." Jawabnya dengan manyun.
"Kalo Tasya?" Gantian melihatku. Aku hanya membisu. Aku masih menunggu Arfan pulang untuk mempersunting. Apakah dia sudah pulang? Tapi ini ada lamaran yang datang.
"Iya kak Tasya yang sudah siap nikah, bah."
"Lihat abah, nak." Menaikkan daguku untuk melihatnya. Aku masih diam. Entah apa yang aku rasakan. Mengikuti permintaan abah, menatapnya dengan mata yang mulai basah. Abah menyentuh pipiku dengan lembut.
"Dia orang baik, nak. Kamu juga sudah kenal dengan dia. Abah tak punya alasan untuk menolak. Lagian umur kamu sudah 28 tahun, nak. Nunggu sampai kapan? "
"Siapa sih dia bah?" Marta masih merengek bertanya.
"Rayhan." Jawab abah menyebut nama yang aku kenal. Yang membuatku terbelalak tak percaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments