Rayhan?
Meskipun tak akrab dengan pemuda itu. Tapi aku tahu siapa dia. Orang yang lumayan sering berkunjung kerumah. Karena dia mengajar disekolah yang sama dengan abah. Disekolah islam terpadu yang ada didekat sini. Tapi setahuku Reyhan bukan orang kampung sini. Tapi kampung sebelah.
"Reyhan ,Bah?" Beo ku tak percaya. Mengulang nama yang disebut abah. Abah hanya menganggukkan kepala.
"Dapat brondong." Lirih Marta dengan bibir mencibir. Yang langsung dapat tatapan tajam dari abah.
Aku tahu pasti, kalo Reyhan lebih muda dari aku. Meskipun aku tak tahu umur pastinya, tapi semasa sekolah dia dibawahku jauh. Aku wisuda sarjana, dia baru melepas seragam putih abunya. Semasa sekolah SMP maupun SMA tak pernah ketemu. Karena memang tak mungkin ketemu. Kemungkinan empat tahun jarak umur kami, jika dilihat dari masa sekolah. Bahkan jika kebetulan bertemu pun dia menyapaku kakak. Terus nanti gimana dong?
"Meskipun umur dia lebih muda, tapi tak menjamin kalo kamu lebih dewasa bukan? Umur dia sudah cukup matang untuk menikah. Dan abah jamin kalo dia orang baik-baik. Tak akan meninggalkanmu tanpa kabar. Abah juga sudah kenal keluarganya. " Jelas abah meyakinkanku. Aku masih diam, dengan mata lekat menatap mata abah yang berusaha menyalurkan keyakinan.
"Tapi, bah. Kami nggk saling kenal, apalagi cinta. Juga dia lebih muda jauh dari Tasya bah." Tolakku pelan. Belum ingin membuka hati untuk yang lain. Kenangan manis dengan Arfan kembali berkelebat membayangi. Pulang lah Ar. Aku lelah dibujuk nikah terus sama abah. Aku maunya kamu, Ar. Batinku memberontak. Menolak tegas pernikahan tanpa cinta. Tapi logika memaksaku untuk berhenti berharap pada orang yang entah dimana.
"Kenalan setelah menikah bisa, nak. Umur dia sudah cukup untuk menikah, kamunya aja yang kelewat umur." Jawab abah yang membuatku mendelik kesal. Masak dibilang kelewat umur?
Aku tak bisa terus menulikan telinga sih. Dikampung ini, gadis 28 tahun belum menikah itu sudah menjadi gunjingan warga tiap saat. Meskipun abah bukan pecinta gosip, dan tak terlalu peduli dengan gosip. Abah tetap menghawatirkan masa depanku. Menginginkanku cepat menikah.
"Aku masih muda, abah. Dikantor Tasya banyak juga yang belum menikah. Bahkan ada yang umurnya diatas Tasya." Kataku membela diri dengan muka memberengut.
"Tu, kak. Kelewat umur udahan. Terima aja sih kak. Dia baik kok, meskipun pendiam akut." Marta ikutan bicara meledek.
"Diam kamu, dek." Perintahku kesal.
"Tapi saran Marta ya, kak. Kakak cerewet dikit lah. Biar nanti nggk kayak manekin di sandingkan. Diam-diaman terus. Haha." Malah menjadi tu Marta meledeknya. Tak tahu apa kalo ini lagi serius.
Aku hanya memelototinya marah. Ingin ku tarik mulut tak tersaringnya itu. Tapi dia keburu pergi membawa tas penuh buku. Mau belajar dikamarnya.
"Nak. Percayalah. Rasa cinta akan datang dengan sendirinya. Jika kamu berusaha untuk mencintainya. Abah sudah tak punya alasan untuk menolak, nak. Karena dia memenuhi kriteria suami idaman." Jelas abah menghadapku. Kami duduk berhadapan tanpa sekat.
"Tapi, bah.." Ucapku lirih. Ragu untuk mengutarakan penolakan karena hal yang sama.
"Tapi apa? Sudah tiga lelaki datang melamar dan semuanya kamu tolak. Yah, memang pemuda yang dulu tak memenuhi kriteria menantu idaman untuk abah. Makanya abah setuju saat kamu menolak. Tapi kali ini, abah sarankan untuk dipertimbangkan matang-matang."
Arfan. Kamu dimana? Aku bingung banget. Aku tak mungkinkan menolak lamaran semua lelaki hanya untuk menunggumu? Sedangkan kamu dimana aja aku tak tahu.
"Sampai umur berapa kamu akan terus menunggu Arfan ,nak?" Suara abah berubah tegas dan tajam. Tak selembut tadi.
"Bukankah abah yang selalu mengajariku untuk sabar?" Belaku.
"Sabar itu ada tempatnya, sayang. Sabar menanti yang tak pasti. Siapa yang menjamin kalo Arfan akan datang kembali kesini? Bahkan siapa yang menjamin kalo Arfan masih ada dimuka bumi ini?"
"Abah.." Seruku kaget. Sungguh aku terperanjat dengan kata-kata abah. Aku tak percaya abah mendoakan kalo Arfan sudah meninggal? Bukankah itu maksudnya?
"Kenapa? Sepuluh tahun dia menghilang ,nak. Tanpa kabar berita. Apa lagi yang kamu harapkan? "
"Aku sayang sama dia, bah." Lirihku diambang putus asa. Aku sudah lelah memberikan alasan yang sama setiap ada yang datang untuk menanyakannku.
"Jangan jadikan itu untuk menjadikan alasan untuk menolak lamaran orang yang baik, nak. " Tegas abah. Aku hanya diam menunduk, menahan mata yang siap menumpahkan genangannya.
"Abah sudah menerima lamarannya. Jadi abah mau kamu menikah dengan nak Reyhan. "Tegas Abah tak terima bantahan. Lalu pergi meninggalkanku yang masih merutuki nasib.
Apakah aku harus berhenti menunggumu, Ar? Apakah benar kata abah, jika hubungan kita memang tak ada harapan lagi untuk dilanjutkan?
Ku tarik nafas dalam. Mengangkat wajah dengan tegak, menghapus air mata yang masih mengalir.
"Mungkin memang sudah waktunya aku belajar mencintai yang lain. Reyhan juga tak kalah tampan darimu, bahkan dia lebih sholeh dan lebih muda. " Putusku untuk meyakinkan diri. Mencoba menghadirkan wajah lelaki yang akan menjadi suamiku. Membuka mata untuk mengakui kelebihan Reyhan yang sudah aku tahu.
Tapi kenapa dia memilih aku yang notabene nya lebih tua? Apa alasannya? Tak ada paksaan kan?
Reyhan dan Arfan tak jauh jeda. Sama-sama tampan dan pendiam. Meskipun Arfan tak jadi pendiam jika didepanku. Bahkan sangat humoris. Jika Reyhan? semoga juga begitu. Mereka sama-sama lelaki dengan prestasi yang banyak diakui. Bahkan yang aku tahu dari abah, jika Reyhan sudah mampu jadi kepala sekolah diusianya yang ku bilang masih dini itu. Kalo Arfan? Aku tak tahu dia dimana, dan sudah menjadi apa.
Aku memilih masuk kamar. Merebahkan badan untuk istirahat. Mengistirahatkan badan yang sudah bangun lebih pagi, juga mengistirahatkan otak dan hati yang sedang berkecamuk bingung.
Mempertahankan cinta yang lama? Atau harus membuka lembaran baru?
Mencoba menghapus kemungkinan-kemungkinan untuk kembali bersama Arfan. Kemungkinan-kemungkinan yang selama ini ku tanamkan dalam hati dan pikiran agar bisa bersabar menunggu hingga bertahun-tahun lamanya.
______
Sore hari bang Bagas baru pulang bersama kak Ina dan Tama, anaknya.
"Tante Marta." Seru Tama yang melihat Marta membaca buku diruang keluarga. Sedangkan aku memasak menyiapkan makan malam.
"Iya, sayang. Habis jalan-jalan dari mana tadi?" Tanya Marta menutup bukunya.
"Main ke pantai." Jawabnya riang. Namanya habis jalan-jalan pasti riang lah ya.
"Oleh-olehnya mana?" Menengadahkan tangan menagih oleh-oleh.
"Tama belinya ini." Menunjukkan mainan robot yang dibawanya.
Aku tersenyum sendiri melihat interaksi Tama dan Marta. Kalo aku memang tak terlalu dekat. Tama mendekatiku jika ada maunya aja. Apa lagi kalau bukan minta mainan dan uang?
"Masak apa, dek?" Tanya mbk Ina mengagetkanku, dia masuk lewat pintu belakang, dengan menenteng beberapa plastik ditangannya.
"Tumis kangkung, kak. Sama goreng ikan betok." Jawabku sambil menyajikan makanan dimeja makan. "Kakak bawa apaan sih banyak banget?" Melihat plastik gelap yang sudah diletakkan diatas meja.
"Makanan." Mengambil piring untuk meletakkan makanan yang dibawanya.
"Banyak kali." Kataku saat membuka plastik, yang ada beberapa macam kue dalam jumlah yang lumayan banyak . Padahal anggota keluarga ini tak banyak kok.
"Emang abah belum cerita kalo nanti malam akan ada tamu sepesial untukmu?" Tanyanya dengan senyum menggodaku.
"Emang seriusan ya kak?" Aku masih tak percaya. Bagai mimpi aja abah memaksaku menerima lamaran pemuda yang masih dibawah umurku. Dulu abah tak pernah memaksaku akan hal apapun.
"Ya serius lah, dek. Masalah begituan tak mungkin menjadi candaan. " Jawabnya pasti, dengan tangan menata kue pada piring-piring yang ada. Aku hanya menonton, memilih menata hatiku yang berantakan.
"Udah lah. Percaya sama abah. Dulu kakak sama abangmu juga tak ada cinta saat menikah. Dan akhirnya juga bisa saling mencintai dan bahagia. " Jawabnya dengan senyum meyakinkanku.
Aku tahu. Bang bagas menikahi kak Ina tanpa ada pacaran terlebih dahulu. Abang langsung aja menerima saat ditawari menikah dengan gadis pilihan abah. Dan pastinya dengan memberikan biodata kak Ina.
"Apa aku bisa mencintai dia?" Kataku ragu. Bertanya pada diri sendiri.
"Kenapa tak bisa? Apa alasannya hingga membuatmu tak bisa cinta sama dia? Dia baik, dia sopan, dia murah senyum meskipun irit bicara. Yang pasti sholeh." Kata kak Ina meyakinkanku.
"Udahlah, tak usah banyak mikir. Masih untung diusiamu yang tak lagi muda ini, masih ada cowok mapan dan sholeh yang mau menikahimu. Apalagi dia masih muda."
"Kenapa dia memilih aku? Bukankah katanya cowok itu lebih cenderung memilih wanita yang lebih muda dari dia?"
"Mana kakak tahu lah. Yang pasti dia tak main-main akan niatnya itu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Nyai💔
lnjut
2022-04-05
1
Maemuna Mgs
lanjut,suka dengan ceritanya....👍👍👍👍💪💪💪💪😍😍😍😍😍
2022-01-12
1