Musim Akan Selalu Berganti (Cerita Cinta Holly)
Holly Yulvyana Chandra turun dari mikrolet, nama angkot di kota ini. Gadis itu mengeringkan keringat di pelipisnya. Masih pagi tapi cuaca sudah begitu panas. Dengan berlari kecil gadis manis itu masuk ke lorong sempit hanya seukuran satu mobil di tengah perkampungan yang padat di bagian pinggiran utara kota ini. Rumah mereka terletak di atas ketinggian, masuk sampai di ujung lorong sekitar 200 meter kemudian menanjak naik di jalan setapak, rumah kelima.
Rambut pendeknya terlihat mengkilat di bawah terpaan sinar terik matahari, memang sudah berminyak karena belum keramas. Pipinya memerah karena kepanasan berjalan dengan wajah tanpa pelindung dari sengatan surya.
Holly terlahir di tengah keluarga sederhana. Papanya seorang pekerja bangunan biasa dengan pekerjaan yang tak menentu, kadang bisa berbulan-bulan tidak ada pekerjaan. Mama seorang penjahit, pelanggannya banyak bahkan ada pelanggan tetap, jadi mama selalu punya penghasilan. Meskipun sekarang ada mall, toko baju dan butik bertebaran di kota ini, tapi masih banyak orang yang memilih menjahitkan pakaian. Tapi tetap saja penghasilan mama tak bisa mencover kebutuhan seluruh keluarga, terlebih jika papa tidak ada panggilan untuk bekerja.
Holly anak paling bontot, umur baru genap tujuh belas tahun. Dia punya enam kakak, empat perempuan dan dua laki-laki. Dua kakak perempuan, Herlina dan Helny sudah menikah masing-masing punya dua dan tiga anak, bocah-bocah perusuh di rumah. Masih ada Henny, Hofny dan Helen yang belum menikah dan juga belum bekerja. Holly paling dekat dengan Hanie, hanya Hanie yang selalu memperlakukan Holly dengan baik.
"Ini ma..."
Holly meletakkan nota pembayaran ongkos jahit dari bu Flora, salah satu langganan tetap sang mama. Bu Flora menjahitkan lima pakaian, ongkos jahit tiga ratus ribu per satu pakaian dan bu Flora selalu memberikan nota saat pembayaran. Mama mengamati sejenak angka yang tertera di kertas kemudian menatap penuh tanya wajah Holly.
"Semua diambil Henny..."
Holly menjawab tatapan itu. Mama mengambil ponsel di saku daster dan melakukan panggilan.
📱
"Henny, mama udah kasih tahu kamu kan, ambil satu juta, yang lima ratus ribu buat mama, kenapa kamu ambil semua..."
"Iya aku ambilnya satu juta..."
Holly yang ikut menempelkan kupingnya di ponsel mama langsung teriak...
"Jangan bohong... kamu ambil semua, aku suruh kamu hitung tadi..."
.
"Holly!"
Mama menutup panggilan dan meletakkan ponsel di atas mesin jahit. Holly sudah tahu, pasti mama tidak mempercayai dirinya, lebih percaya Henny.
"Dia ambil semua ma, aku belum sempat pisahin yang lima ratus ribu sudah dirampas Henny di depan pintu kost-an."
"Sini uangnya, kamu simpan di mana..."
Mama menggerayangi seluruh bagian tubuh Holly. Gadis itu pasrah. Mama menemukan uang dua ribu perak sisa bayar angkot di kantong celana pendek Holly. Ada rasa sedih menyelusup di hati gadis itu. Rasa sedih bertambah dengan rasa lelah mengantar jahitan, ongkos yang mama berikan tidak cukup jadi setengah perjalanan dia memutuskan jalan kaki. Kemudian harus ke kost Henny mengantar uang dan menerima perlakuan kasar kakak perempuannya itu, sekarang menerima tindakan kasar mamanya sendiri.
Kesedihan yang selalu dia simpan sendiri.
"Awas kamu, kalau mama tahu kamu bohong, sudah sering kamu bohong dan curi uang mama!!"
Kapan aku bohong? Kapan aku nyuri uang mama?
Hatinya sesak, tapi tak berdaya.
Mama kembali duduk di depan mesin jahit, tak peduli dengan hati anaknya karena sikapnya barusan.
"Holly, kalau anak-anak bangun buatkan mie instan, ada di kamarku, buat tiga bungkus jangan lebih..."
Herlina si kakak Tertua melongok di depan pintu ruang jahit mama, sudah rapih siap ke swalayan di Pasar 45, tempat dia bekerja sebagai kasir lima tahun ini.
"Lina, suruh suamimu yang urus anak-anakmu, Holly mama mau suruh ke tempat obras, mesin obras mama belum selesai diperbaiki."
Holly hanya melihat dengan sedih kantong plastik besar berisi bahan baju yang dimaksud mama, pekerjaan tak ada habisnya.
"Yosie tidurnya subuh, gak mungkin dia bangun pagi ini..."
Herlina langsung pergi tanpa kompromi dengan mama, turun dengan tergesa di jalan setapak dari paving itu.
Holly menuju dapur, dia tahu dia tidak akan punya waktu untuk belajar. Ini sudah hari jumat, minggu tenang sebelum ujian hampir berakhir tapi dia hanya bisa belajar sedikit, padahal hari senin nanti ujian nasional.
Dia ingin melanjutkan kuliah setelah ini, dia sudah mengurus Bidikmisi semacam beasiswa kuliah untuk mereka yang tidak mampu. Dia harus punya prestasi yang bagus sebagai salah satu persyaratan, dan nilai ujian akhir juga menentukan.
Setelah melakukan semua pekerjaan untuk rumah ini termasuk meladeni ponakan-ponakannya, tak ada istirahat, sekarang dia harus keluar lagi ke tempat obras di Pasar 45. Dia mengambil sebuah bukunya, di tempat obras siapa tahu bisa belajar sedikit...
.
🌱
.
Hari sabtu, Holly berkali-kali menghela napas dan membuang kasar, seolah kekesalannya bisa ikut terurai dengan hembusan sepenuh jiwa yang diikuti mata perih karena menahan tangis serta dada yang terasa sakit seolah baru dipukul martil milik papa. Rumah ini tak pernah memberi ketenangan untuknya.
Dia sudah mengungsi di sudut paling sepi rumah ini, tapi memang di mana ada tempat seperti itu di rumah ini. Berkali-kali digusur dan diganggu lima ponakan yang sedang bermain, menangis, teriak, lari-larian, rebutan ponsel dan mainan, rebutan remote tv, rebutan makanan, rebutan daerah teritori, rebutan perhatian. Semuanya terlalu aktif, mau yang laki-laki atau perempuan sama saja, selalu membuat rusuh. Tidak ada tempat yang bebas dari penjelajahan mereka, tidak ada tempat yang bisa rapih di rumah ini, bahkan tidak ada perabot rumah yang bagus karena semua dijadikan mainan atau alat eksperimen bagaimana cara merusak benda dengan baik.
Siapa yang bisa melarang dan mengendalikan mereka? Tidak ada. Suara orang dewasa hanya menghentikan sementara. Dan rumah ini hanya sedikit lebih tenang bila 2 ponakan paling besar pergi ke sekolah.
Holly tidak bisa konsentrasi untuk belajar, gangguan selalu datang, bahkan beberapa buku pelajarannya sudah rusak hasil kreativitas entah ponakan yang mana. Selama beberapa menit dia hanya bengong dan sesekali mengusap airmata yang akhirnya tak terbendung. Dia ingin sekali lulus SMA dengan nilai yang baik, keinginannya untuk kuliah sangat besar dan sangat kuat karena ingin merubah hidupnya sendiri dan kuliah adalah salah satu jalan terbaik yang bisa dia pikirkan sekarang.
"Ling... ayo ikut aku..."
Suara Hanie sang kakak yang baru keluar dari kamar mandi menarik Holly dari kesedihan yang menguasai pikirannya.
"Ke mana?"
"Ke tempat aku kerja..."
"Ngapain? Aku mau belajar Han... senin aku ujian..."
"Itu maksudnya, kamu bisa belajar dengan tenang di sana..."
"Emang boleh?"
"Boleh... ayo buruan..."
"Bentar, aku sekalian mandi aja, pinjam kaos ya? Sama minta shampoo..."
"Iya... Jangan lama mandinya..."
Hanie masuk ke kamar, menarik sebuah kaos bersih dari lemari yang sudah tak berpintu akibat ulah para ponakan, mengambil satu sachet shampoo di atas lemari kemudian melemparkan pada Holly yang menunggu di depan pintu.
Sejak kecil mereka berdua menggunakan baju yang sama, tidak tahu mana persisnya milik Hanie dan mana milik Holly, kecuali baju model cewek tentu tidak bisa digunakan Hanie karena dia cowok tulen.
"Heii... Holly, mau ke mana kamu hahh?"
Suara besar mama menyapa telinga Holly saat dia bersiap hendak naik motornya Hanie. Mama melongok dari jendela samping ruangan jahit mama. Suara motor membuat mama berdiri dari depan mesin jahitnya terutama saat melihat siapa yang hendak naik di belakang Hanie.
"Mau belajar di tempat Hanie, di sini aku gak bisa belajar ma..."
"Eh... eh... eh... siapa yang ijinkan kamu keluar? Kamu sudah masak untuk makan siang?"
"Nasi udah, ma... aku udah goreng telur."
"Hahh? Itu aja? Malas kamu ya? Mama kerja keras sepanjang hari, kamu hanya masakin telur?"
"Helen gak belanja ma, hanya ada telur di kulkas."
"Mana Helen, mama udah kasih uang tadi..."
Mama Lisbeth teriak kemudian memanggil-manggil Helen, suaranya yang besar menggema mungkin hingga ujung lorong kompleks rumah mereka, waduuh. Mama sudah masuk ke ruang tengah hendak ke kamar Helen, salah satu kakak yang tugasnya belanja untuk keperluan rumah.
"Ayo cepat naik..."
"Han, aku gak ikut, nanti mama cariin, kalau aku gak ada mama bisa marah-marah dua hari dua malam..."
"Udah... yang penting sekarang kamu harus belajar, di sini mana bisa. Gak ada juga yang bisa kamu masak, nungguin Helen belanja pasti nanti sore baru dia pulang, itupun kalau ada uangnya... ayo!"
"Kalau gak ada pasti mama minta ke kamu, Han..."
"Itu juga... malas ah, setengah gaji aku udah dipakai buat belanja bulan ini. Si Herlina sama Helny selalu lari bea. Uang aku buat beli makanan untuk semua, uang mereka cuma buat mereka... enak banget. Selalu aja kayak gitu. Ayo cepetan..."
Dengan setengah takut Holly naik ke boncengan motor matic kakaknya, dan Hanie langsung tancap gas meluncur di jalan setapak itu diiringi teriakan mama Lisbeth...
"HANIE... MAMA PERLU KAMU, BALIK KE SINIIII..."
"Han... mama teriak itu..."
"Gak ahh... aku juga butuh uang aku..."
Kata orang anak bungsu biasanya paling disayang dan paling dimanja, tapi Holly tak bisa mengingat pernah seperti itu diperlakukan oleh kakak-kakak dan orang tuanya. Yang ada di memorinya adalah perlakuan mereka yang jauh berbeda.
.
.
🦋
Hi....
Jumpa dengan Holly di sini... semoga ada yang suka....
Yang baru mulai baca... tinggalkan like+komen+hadiah+vote yaaaaaa
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Putri Minwa
hai thor putri Minwa mampir ya
2022-11-10
1
Tia
lanjut disini Thor....✋✋✋
2022-10-17
1
Rosdiana Diana
lanjuttt
2022-07-26
1