Hanya ada sedikit perubahan, suara keras mama tidak terdengar lagi memerintah Holly mengerjakan ini-itu, itu saja. Selebihnya masih sama, Holly tetap saja menjadi andalan orang-orang di rumah ini. Pagi, Holly masih siapin sarapan untuk semua, memasak nasi sekalian lauk dan sayur untuk makan siang baru dia mandi dan berangkat sekolah. Ke sekolah dia hanya jalan kaki, untungnya jarak tidak terlalu jauh sekitar lima ratus meter saja.
Rutinitas harian yang tidak berat lagi buat Holly karena sudah dia lakoni bahkan sejak SMP: pulang dari sekolah, dia cuci piring, kemudian cuci baju kotor sebagian anggota keluarga. Helny dan Herlina punya tukang cuci sendiri. Belum lagi kalau mama punya kebutuhan apa untuk jahitan, beli benang lah, beli ritsleting, beli kain furing, dan macem-macem yang lain, semua Holly, si gadis kurus dan tidak tinggi, postur yang ringkih sebenarnya entah dengan kekuatan apa dia bisa mengerjakan semua hal.
Sudah seminggu selesai ujian, Holly sekarang tidak ke mana-mana. Sejak peristiwa Hanie protes, sejak itu pula mama mendiamkan Holly. Holly kadang mencoba bicara, tapi wajah keras mama membuat bibirnya kelu. Tapi ada sesuatu yang ingin dia katakan. Maka Holly mencoba lagi...
"Ma..."
Holly berdiri di ambang pintu ruang jahit.
Mama diam saja, tak ada reaksi. Apa yang ada di hati mama, Holly tidak mengerti. Karena mama masih bersikap tak acuh Holly meninggalkan ruangan mama. Ada papa Rudolf yang pulang ke rumah setelah sepuluh hari mengerjakan renovasi rumah seorang kerabat. Mungkin bicara pada papa saja...
"Pa..."
Holly mendekati papa dengan sedikit takut. Suara lemah dan ragu hampir tak terdengar karena volume suara TV yang besar, papa lagi menonton.
"Papa..."
Holly mengguncang pelan lengan papa. Papa yang merasa terganggu menoleh dengan mimik ketus.
"Aku udah selesai ujian, pa..."
"Terus? Papa udah kasih tahu gak ada lanjut kuliah ya, jangan merengek, sadar diri, kita orang gak mampu!"
"Aku kalau kuliah ada Bidikmisi, gak keluar biaya pembangunan atau pendaftaran... lagian masih proses, belum ada pengumuman..."
"Tetap saja kuliah itu butuh biaya, beli buku itu pakai uang. Gak ada uang untuk itu. Belum ongkos kamu ke kampus, angkot dua kali dari sini, pp berarti setiap hari empat kali dikali Rp. 4000, Rp. 16.000, sebulan berapa hanya buat ongkos??"
"Bentar aku hitung pa..."
Si Hellen nimbrung duduk di samping papa dan langsung menghitung di ponselnya.
"Rp. 384.000, pa... wah... bisa beli beras sekarung itu... cuman buat ongkos Holly doang, belum jajannya. Udah... terima aja gak kuliah, jangan ketinggian cita-citanya, aku aja gak tamat SMA gak masalah. Buat masa depan gampang, cari suami yang punya duit banyak..."
Holly membuang napas sedih, tak ada yang mendukung keinginannya di sini. Bahkan papa mama sudah sering mematahkan hatinya dengan perkataan tak akan membiayai. Hanya Hanie yang mengerti dirinya.
Papa dan mama sama saja, bukan orang tua yang concern dengan pendidikan anak. Anak-anak tidak pernah didorong untuk sekolah dengan benar, kalau kalian suka sekolah silakan, gak sekolah bodoh amat, kasarnya seperti itu. Makanya si Hofny gak lulus SMP, Hellen berhenti di kelas 11 SMA, gak naik kelas sih, makanya malu untuk lanjut. Rapor anak gak pernah diambil, diundang rapat orang tua gak pernah hadir. Dan yang parah, selalu menunda pembayaran partisipasi pendidikan atau kewajiban anak untuk sekolah. Akhirnya di sekolah ada guru-guru sudah hapal kelakuan mereka karena ada beberapa anak yang sekolah di sekolah yang sama, pak Rudolf dan ibu Lisbeth paling susah untuk ditagih apa-apa dengan alasan tidak mampu.
"Pa... maksud aku, minggu lalu selesai ujian aku dipanggil guru Wali Kelas aku, ijazah aku nanti gak akan dikasih sebelum memberikan partisipasi untuk acara kelulusan. Semua anak udah ngasih tinggal aku doang yang belum..."
"Nanti aja... jangan ganggu, papa lagi nonton."
Komunikasi gak mungkin berlanjut, papa bahkan tidak melirik Holly, mata fokus ke layar TV. Sepulang kerja, papa beli TV baru, menggati TV lama yang rusak. Di rumah ada TV tapi di kamar Helny dan Herlina. Papa memang sudah niatkan membeli barang elektronik itu, makanya papa terima pekerjaan renovasi yang ditawarkan. Seperti itu kelakuan papa sebenarnya, jika ada sesuatu yang dia inginkan maka dia akan bekerja, tapi jika tidak papa sering menolak pekerjaan dengan alasan sakit darah tinggi, gak boleh terlalu lama di bawah terik matahari, sementara pekerjaan papa katanya bereziko, takut tiba-tiba jatuh dari atap 🤨
"Pa... aku pijitin ya... papa cape kan?"
"Pasti ada maunya kamu..."
"Kok papa tahu..."
"Memang pernah kamu pijitin papa tanpa imbalan?"
"Hehehe... minta uang buat beli kuota, Rp. 68.000 aja, murah kok..."
Holly segera menyingkir mendengar percakapan itu, pasti dikasih sama papa kalau Hellen yang minta, dia anak kesayangan papa. Sementara Henny anak kesayangan mama, apapun yang dia minta, termasuk ngekos dengan alasan rumah gak tenang, mama biarkan. Lalu Holly kesayangan siapa?
¤¤¤
"Han... aku ikut kamu ke toko ya?"
Hanie memandang wajah Holly dengan heran.
"Gak sekolah kamu?"
"Kan tinggal nunggu pengumuman..."
"Oh iya... tapi gak takut dimarahin mama?"
"Takut sih... tapi... aku butuh uang buat bayar partisipasi kelulusan. Tahu sendiri susah minta uang ke mama atau papa..."
Hanie tersenyum masam, orang tuanya gak kenal skala prioritas kebutuhan.
"Berapa?"
"Mmm... kamu udah sering ngasih uang buat aku..."
"Memang siapa lagi yang mau gasih kamu uang di rumah ini? Yang ada ngasih kamu beban..."
"Maksud aku... aku boleh kerja di toko? Aku pengen kayak kamu, bisa megang uang sendiri..."
"Udah gak niat kuliah?"
"Masih kok... meskipun mama dan papa gak mau biayain... makanya aku pengen kerja, cari uang sendiri buat nanti mau ikut SBMPTN kan perlu uang buat ngurus itu..."
"Katanya ada Bidikmisi?"
"Iya, aku udah daftar lewat sekolah, nunggu juga lolos gak lewat jalur undangan SBMPTN, kalau gak lolos aku ikut seleksi masuk Tumou Tou. Kata temen aku, kalau lolos seleksi, Bidikmisinya belum langsung keluar, kita harus biaya sendiri dulu di awal. Makanya aku harus cari uang, beli kebutuhan kuliah pakai uang juga kan..."
"Kalau gak lolos dua-duanya gimana?"
"Kalau gak lolos tahun ini aku mau kerja setahun, nabung dulu, terus tahun depan mau daftar universitas negri aja, kuliah di swasta mahal. Nah lebih gampang buat aku, udah ada tabungannya..."
Hanie mengacak rambut adiknya, dia terharu dengan tekad adiknya yang tidak berubah meskipun tak ada dukungan orang tua.
"Oke... siap-siap kalau gitu... tapi udah selesai masak? Entar mama teriak-teriak lagi..."
"Udah... tapi kamu yang ngomong ke mama ya, aku mau kerja, sejak waktu itu... mama gak pernah mau ngomong sama aku, Han..."
Butiran kristal muncul di ujung mata yang mendadak perih, seperti hatinya.
"Ya udah... mungkin mama malu atau merasa bersalah sama kamu, baru sadar bahwa kamu juga statusnya anak..."
"Aku memang anak sih Han, muka aku mirip banget sama Lina dan Hellen, tapi aku anak yang gak diharapkan lahir tapi terlanjur dibuat, kata Helny aku itu korban mama dan papa kedinginan, hehehe..."
Holly tertawa sumbang, sebuah tawa dalam sedih.
"Bisa aja kamu, memang kamu tahu apa itu korban kedinginan... udah, nanti aku yang ngomong ke mama, biar dia ijinin kamu kerja... Mandi sana, keramas juga, rambut kamu udah berminyak..."
"Minta shampoo..."
.
Di depan toko bangunan terbesar di ruas jalan raya ini, Hanie dan Holly sedang menunggu dua orang karyawan toko membuka pintu toko dari besi besar dan berat. Saat mereka tiba aktivitas langsung di mulai. Pintu pagar dibuka seluruhnya. Contoh seng, keramik dan bahan bangunan lainnya mulai ditata rapi di selasar tokoh untuk pajangan. Terpal penutup bahan bangunan yang besar seperti tangki air dan berbagai ukuran besi yang terletak di sebuah sisi halaman toko, diangkat dan dilipat oleh dua orang. Terlihat sekali bahwa Hanie bossnya di sini, dia hanya memerintah ini-itu dengan kedua tangannya di pinggang.
"Mama bilang apa tadi, Han?"
Holly bertanya di samping Hanie.
"Mama gak ngomong apa-apa. Tapi dari mimik mukanya aku tahu mama ijinin kok kamu kerja...Tenang aja ya... tapi aku belum bisa nerima kamu jadi karyawan, loh... itu wewenang Ci Cun. Kamu hanya bantuin aku, tapi jangan khawatir, aku bisa bayar kamu, hahaha..."
Holly memukul lengan kakaknya.
Sore-sore seseorang muncul di toko dengan mobil sedan hitam miliknya. Toko mulai sepi pengunjung dan sedikit waktu lagi toko tutup. Hanie sedang duduk santai di kursi depan meja miliknya, memainkan sebuah games di ponsel. Sesekali matanya menatap layar monitor CCTV di sampingnya.
"Han..."
Tenry duduk di meja besar dengan santainya.
"Ten... dari mana mau ke mana?"
"Dari Marina, mau ke sini lah... udah di sini kan..."
"Gimana progress di Marina?"
"Lancar sih... dua minggu lagi mau training karyawan..."
"Kalau butuh bantuan bilang aja..."
"Hahaha... kayak kamu punya waktu aja..."
"Eh... udah rekrut karyawan ya?"
"Udah sih... kamu tahu Ci Cun kan... gerak cepat dia..."
"Ya aku akuin mamamu, gesit banget, pekerja keras, gil a... subuh udah bangun, ke sana kemari kontrol semua toko, belum kerjaan yang lain, dia bisa punya stamina buat kerja sampai larut malam... gak ada matinya..."
"Hahaha... makanya usahanya bisa jadi besar dan banyak..."
"Dan banyak keuntungannya... kamu yang nikmatin kan hasil kerja mamamu..."
"Iyalah, bodoh kalau gak... tapi tau gak, aku tuh takut sebenarnya gak bisa nerusin usaha segigih mereka..."
"Masa sih... udah kamu mulai sejak dulu kan, sejak kecil udah diajarin bisnis, masa gak percaya diri?"
"Ya... manusiawi lah kalau aku takut... eh... ada si Lingling di sini?"
Perhatian Tenry teralihkan dengan sosok Holly yang mendekati mereka membawa sebuah bahan yang dicari seorang pelanggan. Holly hanya mengerling sesaat pada Tenry, tak nyaman untuk memandang langsung atau pun menyapa.
"Han, ini berapa?"
Holly meletakkan sebuah glass block di meja.
"Rp. 28.500."
"Gak kurang lagi Ko Han? Kita langganan di sini loh..."
Ibu yang mau beli datang menawar.
"Bu, udah pas harganya, kita juga paling murah, boleh cek di toko lain..."
"Mau ambil banyak kok, dikurangi lagi ya..."
"Ya udah, Rp. 28.000, segitu aja bisa saya kasih..."
"Cewek, saya ambil 5 block ya..."
Si ibu langsung ngomong kebutuhannya pada Holly. Setelah seharian bekerja, sekarang Holly mulai cekatan. Dia mengambil permintaan si ibu.
"Han, 5 itu banyak ya?"
Tenry tertawa pelan. Tapi mata memperhatikan Holly.
"Banyak versi kamu emang berapa sih..."
"Hahaha... paling tidak sepuluh gitu..."
Tenry mengambilkan sebuah dus dan membantu Holly mengepak glass block, sementara Hanie menerima pembayaran. Holly risih dibantuin si Koko dan masih tidak berani beradu pandang, sedikit menjauh saat dus diikat pakai tali plastik, dan hanya menyodorkan gunting dengan mata di dus glass block. Sementara Koko yang baik hati itu tersenyum melihat Holly yang berdiri canggung di sebelahnya. Holly kembali ke tempat dia suka duduk di balik sebuah lemari display.
"Han, Lingling belajar lagi di sini?"
"Gak, udah selesai ujian, udah libur. Dia pengen belajar kerja jadi aku bawa ke sini, bantu-bantu kita aja, dari pada di rumah dia di..."
Hanie tak meneruskan kalimatnya. Tenry menangkap sesuatu dalam perubahan suara Hanie, serta sebuah kilatan emosi yang tergambar beberapa detik.
"Jangan suruh dia ngangkat yang berat-berat Han, kasihan badannya kecil gitu... Aku penasaran deh, kalian semua kakak-kakak si Lingling pada tinggi-tinggi, kok dia doang yang mini gitu..."
"Gak tahu, mungkin karena dia dipaksa melakukan banyak pekerjaan orang dewasa di masa pertumbuhannya..."
Hanie menjawab dengan nada rendah, dia memperhatikan postur tubuh adiknya, bener kata Tenry, keempat saudara perempuan rata-rata bertubuh tinggi, Holly yang kecil sendiri di keluarganya.
"Maksud kamu?"
"Ya gitu... yang aku tahu sejak SMP dia udah masak, nyuci, ngurus 5 ponakan juga. Semua pekerjaan di rumah deh... Bagus juga dia bisa kerjain kerjaan ibu rumah tangga tapi kadang aku rasa udah keterlaluan buat dia, tapi dia gak pernah protes, tetap rajin di rumah, dan sialnya semua orang rumah suka banget manfaatin dia. Itu anak terlalu penurut sih... makanya aku senang dia punya niat kerja, setidaknya dia terbebas dari beban yang belum seharusnya dia pikul..."
Tenry memandang Holly dari tempat dia duduk.
"Han... siap-siap tutup aja, udah jamnya juga, kita makan di luar ya, ajak si Lingling..."
Hanie hanya mengangguk lalu memerintahkan beberapa karyawan untuk mulai berbenah, toch udah sepi pengunjung. Ponsel Tenry berbunyi, saat melihat nama kontak yang memanggil, Tenry hanya mengecilkan volume tanpa menjawab panggilan. Hanie yang sedang membereskan nota pink mengamati Tenry dan merasa aneh Tenry membiarkan panggilan dari Glo.
.
.
🦋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Putri Minwa
selamat berkarya
2022-11-10
0
Hesti Pramuni
mm.. mode curiga nih abang Hannie..
2022-04-07
3
Bunda Titin
kasian holly......😔😭
2022-01-25
2