Holly Yulvyana Chandra turun dari mikrolet, nama angkot di kota ini. Gadis itu mengeringkan keringat di pelipisnya. Masih pagi tapi cuaca sudah begitu panas. Dengan berlari kecil gadis manis itu masuk ke lorong sempit hanya seukuran satu mobil di tengah perkampungan yang padat di bagian pinggiran utara kota ini. Rumah mereka terletak di atas ketinggian, masuk sampai di ujung lorong sekitar 200 meter kemudian menanjak naik di jalan setapak, rumah kelima.
Rambut pendeknya terlihat mengkilat di bawah terpaan sinar terik matahari, memang sudah berminyak karena belum keramas. Pipinya memerah karena kepanasan berjalan dengan wajah tanpa pelindung dari sengatan surya.
Holly terlahir di tengah keluarga sederhana. Papanya seorang pekerja bangunan biasa dengan pekerjaan yang tak menentu, kadang bisa berbulan-bulan tidak ada pekerjaan. Mama seorang penjahit, pelanggannya banyak bahkan ada pelanggan tetap, jadi mama selalu punya penghasilan. Meskipun sekarang ada mall, toko baju dan butik bertebaran di kota ini, tapi masih banyak orang yang memilih menjahitkan pakaian. Tapi tetap saja penghasilan mama tak bisa mencover kebutuhan seluruh keluarga, terlebih jika papa tidak ada panggilan untuk bekerja.
Holly anak paling bontot, umur baru genap tujuh belas tahun. Dia punya enam kakak, empat perempuan dan dua laki-laki. Dua kakak perempuan, Herlina dan Helny sudah menikah masing-masing punya dua dan tiga anak, bocah-bocah perusuh di rumah. Masih ada Henny, Hofny dan Helen yang belum menikah dan juga belum bekerja. Holly paling dekat dengan Hanie, hanya Hanie yang selalu memperlakukan Holly dengan baik.
"Ini ma..."
Holly meletakkan nota pembayaran ongkos jahit dari bu Flora, salah satu langganan tetap sang mama. Bu Flora menjahitkan lima pakaian, ongkos jahit tiga ratus ribu per satu pakaian dan bu Flora selalu memberikan nota saat pembayaran. Mama mengamati sejenak angka yang tertera di kertas kemudian menatap penuh tanya wajah Holly.
"Semua diambil Henny..."
Holly menjawab tatapan itu. Mama mengambil ponsel di saku daster dan melakukan panggilan.
📱
"Henny, mama udah kasih tahu kamu kan, ambil satu juta, yang lima ratus ribu buat mama, kenapa kamu ambil semua..."
"Iya aku ambilnya satu juta..."
Holly yang ikut menempelkan kupingnya di ponsel mama langsung teriak...
"Jangan bohong... kamu ambil semua, aku suruh kamu hitung tadi..."
.
"Holly!"
Mama menutup panggilan dan meletakkan ponsel di atas mesin jahit. Holly sudah tahu, pasti mama tidak mempercayai dirinya, lebih percaya Henny.
"Dia ambil semua ma, aku belum sempat pisahin yang lima ratus ribu sudah dirampas Henny di depan pintu kost-an."
"Sini uangnya, kamu simpan di mana..."
Mama menggerayangi seluruh bagian tubuh Holly. Gadis itu pasrah. Mama menemukan uang dua ribu perak sisa bayar angkot di kantong celana pendek Holly. Ada rasa sedih menyelusup di hati gadis itu. Rasa sedih bertambah dengan rasa lelah mengantar jahitan, ongkos yang mama berikan tidak cukup jadi setengah perjalanan dia memutuskan jalan kaki. Kemudian harus ke kost Henny mengantar uang dan menerima perlakuan kasar kakak perempuannya itu, sekarang menerima tindakan kasar mamanya sendiri.
Kesedihan yang selalu dia simpan sendiri.
"Awas kamu, kalau mama tahu kamu bohong, sudah sering kamu bohong dan curi uang mama!!"
Kapan aku bohong? Kapan aku nyuri uang mama?
Hatinya sesak, tapi tak berdaya.
Mama kembali duduk di depan mesin jahit, tak peduli dengan hati anaknya karena sikapnya barusan.
"Holly, kalau anak-anak bangun buatkan mie instan, ada di kamarku, buat tiga bungkus jangan lebih..."
Herlina si kakak Tertua melongok di depan pintu ruang jahit mama, sudah rapih siap ke swalayan di Pasar 45, tempat dia bekerja sebagai kasir lima tahun ini.
"Lina, suruh suamimu yang urus anak-anakmu, Holly mama mau suruh ke tempat obras, mesin obras mama belum selesai diperbaiki."
Holly hanya melihat dengan sedih kantong plastik besar berisi bahan baju yang dimaksud mama, pekerjaan tak ada habisnya.
"Yosie tidurnya subuh, gak mungkin dia bangun pagi ini..."
Herlina langsung pergi tanpa kompromi dengan mama, turun dengan tergesa di jalan setapak dari paving itu.
Holly menuju dapur, dia tahu dia tidak akan punya waktu untuk belajar. Ini sudah hari jumat, minggu tenang sebelum ujian hampir berakhir tapi dia hanya bisa belajar sedikit, padahal hari senin nanti ujian nasional.
Dia ingin melanjutkan kuliah setelah ini, dia sudah mengurus Bidikmisi semacam beasiswa kuliah untuk mereka yang tidak mampu. Dia harus punya prestasi yang bagus sebagai salah satu persyaratan, dan nilai ujian akhir juga menentukan.
Setelah melakukan semua pekerjaan untuk rumah ini termasuk meladeni ponakan-ponakannya, tak ada istirahat, sekarang dia harus keluar lagi ke tempat obras di Pasar 45. Dia mengambil sebuah bukunya, di tempat obras siapa tahu bisa belajar sedikit...
.
🌱
.
Hari sabtu, Holly berkali-kali menghela napas dan membuang kasar, seolah kekesalannya bisa ikut terurai dengan hembusan sepenuh jiwa yang diikuti mata perih karena menahan tangis serta dada yang terasa sakit seolah baru dipukul martil milik papa. Rumah ini tak pernah memberi ketenangan untuknya.
Dia sudah mengungsi di sudut paling sepi rumah ini, tapi memang di mana ada tempat seperti itu di rumah ini. Berkali-kali digusur dan diganggu lima ponakan yang sedang bermain, menangis, teriak, lari-larian, rebutan ponsel dan mainan, rebutan remote tv, rebutan makanan, rebutan daerah teritori, rebutan perhatian. Semuanya terlalu aktif, mau yang laki-laki atau perempuan sama saja, selalu membuat rusuh. Tidak ada tempat yang bebas dari penjelajahan mereka, tidak ada tempat yang bisa rapih di rumah ini, bahkan tidak ada perabot rumah yang bagus karena semua dijadikan mainan atau alat eksperimen bagaimana cara merusak benda dengan baik.
Siapa yang bisa melarang dan mengendalikan mereka? Tidak ada. Suara orang dewasa hanya menghentikan sementara. Dan rumah ini hanya sedikit lebih tenang bila 2 ponakan paling besar pergi ke sekolah.
Holly tidak bisa konsentrasi untuk belajar, gangguan selalu datang, bahkan beberapa buku pelajarannya sudah rusak hasil kreativitas entah ponakan yang mana. Selama beberapa menit dia hanya bengong dan sesekali mengusap airmata yang akhirnya tak terbendung. Dia ingin sekali lulus SMA dengan nilai yang baik, keinginannya untuk kuliah sangat besar dan sangat kuat karena ingin merubah hidupnya sendiri dan kuliah adalah salah satu jalan terbaik yang bisa dia pikirkan sekarang.
"Ling... ayo ikut aku..."
Suara Hanie sang kakak yang baru keluar dari kamar mandi menarik Holly dari kesedihan yang menguasai pikirannya.
"Ke mana?"
"Ke tempat aku kerja..."
"Ngapain? Aku mau belajar Han... senin aku ujian..."
"Itu maksudnya, kamu bisa belajar dengan tenang di sana..."
"Emang boleh?"
"Boleh... ayo buruan..."
"Bentar, aku sekalian mandi aja, pinjam kaos ya? Sama minta shampoo..."
"Iya... Jangan lama mandinya..."
Hanie masuk ke kamar, menarik sebuah kaos bersih dari lemari yang sudah tak berpintu akibat ulah para ponakan, mengambil satu sachet shampoo di atas lemari kemudian melemparkan pada Holly yang menunggu di depan pintu.
Sejak kecil mereka berdua menggunakan baju yang sama, tidak tahu mana persisnya milik Hanie dan mana milik Holly, kecuali baju model cewek tentu tidak bisa digunakan Hanie karena dia cowok tulen.
"Heii... Holly, mau ke mana kamu hahh?"
Suara besar mama menyapa telinga Holly saat dia bersiap hendak naik motornya Hanie. Mama melongok dari jendela samping ruangan jahit mama. Suara motor membuat mama berdiri dari depan mesin jahitnya terutama saat melihat siapa yang hendak naik di belakang Hanie.
"Mau belajar di tempat Hanie, di sini aku gak bisa belajar ma..."
"Eh... eh... eh... siapa yang ijinkan kamu keluar? Kamu sudah masak untuk makan siang?"
"Nasi udah, ma... aku udah goreng telur."
"Hahh? Itu aja? Malas kamu ya? Mama kerja keras sepanjang hari, kamu hanya masakin telur?"
"Helen gak belanja ma, hanya ada telur di kulkas."
"Mana Helen, mama udah kasih uang tadi..."
Mama Lisbeth teriak kemudian memanggil-manggil Helen, suaranya yang besar menggema mungkin hingga ujung lorong kompleks rumah mereka, waduuh. Mama sudah masuk ke ruang tengah hendak ke kamar Helen, salah satu kakak yang tugasnya belanja untuk keperluan rumah.
"Ayo cepat naik..."
"Han, aku gak ikut, nanti mama cariin, kalau aku gak ada mama bisa marah-marah dua hari dua malam..."
"Udah... yang penting sekarang kamu harus belajar, di sini mana bisa. Gak ada juga yang bisa kamu masak, nungguin Helen belanja pasti nanti sore baru dia pulang, itupun kalau ada uangnya... ayo!"
"Kalau gak ada pasti mama minta ke kamu, Han..."
"Itu juga... malas ah, setengah gaji aku udah dipakai buat belanja bulan ini. Si Herlina sama Helny selalu lari bea. Uang aku buat beli makanan untuk semua, uang mereka cuma buat mereka... enak banget. Selalu aja kayak gitu. Ayo cepetan..."
Dengan setengah takut Holly naik ke boncengan motor matic kakaknya, dan Hanie langsung tancap gas meluncur di jalan setapak itu diiringi teriakan mama Lisbeth...
"HANIE... MAMA PERLU KAMU, BALIK KE SINIIII..."
"Han... mama teriak itu..."
"Gak ahh... aku juga butuh uang aku..."
Kata orang anak bungsu biasanya paling disayang dan paling dimanja, tapi Holly tak bisa mengingat pernah seperti itu diperlakukan oleh kakak-kakak dan orang tuanya. Yang ada di memorinya adalah perlakuan mereka yang jauh berbeda.
.
.
🦋
Hi....
Jumpa dengan Holly di sini... semoga ada yang suka....
Yang baru mulai baca... tinggalkan like+komen+hadiah+vote yaaaaaa
.
Hanie kerja di toko bangunan selama ini, toko milik orang tua sahabat baiknya, Tenry. Mereka bersahabat sejak kelas satu SMP, Tenry pindah ke sekolah Hanie karena berkelahi di sekolah sebelumnya. Mereka duduk sebangku dan akhirnya bersahabat hingga sekarang. Empat tahun bekerja di sini membuat dia jadi salah satu orang kepercayaan Ko Siong, papa Tenry. Tenry sendiri kuliah di luar negeri dan hanya sesekali pulang, Hanie memilih bekerja karena kondisi keuangan tidak memungkinkan untuk dia lanjut kuliah.
"Ko Han... ini mau bayar. Keramik 60x60 20 dus, keramik 20x40 15 dus, semen 20 sak, semen putih 5 kg."
Salah satu karyawan toko dan seorang pelanggan mendekati meja kasir. Tampang Hanie memang sangat Asia, mata segaris, hidung bangir, kulit kuning langsat cerah, ehm... good looking sih. Gak heran dia dianggap salah satu bos pemilik toko, padahal dia makan gaji juga di sini sama seperti karyawan lain. Sejak tiba di toko, Hanie sudah sibuk dengan urusan toko, dia bertanggung jawab penuh untuk toko ini.
Holly sendiri sedang belajar di ruangan bagian belakang toko, tempat biasa Hanie istirahat. Ruangan yang sangat adem, ada taman indoor dengan air terjun buatan, ada pantry kecil, meja makan, dan satu set sofa serta sebuah TV flat yang sangat besar di salah satu dinding. Ruangan yang apik dan bersih, berbanding terbalik dengan bagian dalam toko yang penuh barang dan bahan bangunan.
Hanya yang agak unik, baik keramik yang terpasang di lantai, di bagian taman dan di sekitar pantry, beragam warna, ukuran dan motif tapi dipasang dengan rapih. Mungkin keramik sisa atau keramik sample untuk toko yang dimanfaatkan saja, wc dan kamar mandi seperti itu juga. Ruangan itu terpisah dari ruang istirahat karyawan toko.
"Ko Han... ada closet duduk merek Tot*o... berapa harganya..."
"Ada, kita punya mulai dari harga dua jutaan..."
Hanie menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari tumpukan nota di atas meja yang sedang dia hitung. Di situ ada mesin hitung digital yang sedang on.
"Ada warna ungu atau hijau tosca..."
"Gak ada... Kita gak punya warna seperti itu."
"Masa gak ada, Ko Han?"
"Yang kualitas bagus umumnya hanya ada dua pilihan warna, hitam dan putih, kebetulan yang tersedia di sini warna putih. Closet merek lain yang lebih murah baru punya pilihan warna, pink, biru atau merah maroon, itu aja sih warna yang tersedia di sini..."
"Beneran merek Tot*o gak ada warna ungu atau tosca?"
Hanie mengangkat kepala, usil banget pertanyaannya atau memang serius mau mencari warna yang anti mainstream. Terekam seorang lelaki berkacamata hitam dengan rambut coklat keemasan menggunakan topi putih senada dengan celana dan sneakernya.
"Kalau keramik anda bisa temukan warna yang anda cari om... tapi itu pun jarang ada... di toko ini gak ada barang dengan warna itu, mungkin di toko lain ada..."
Hanie kembali fokus kertas-kertas pink di tangannya.
"Bisa pesankan? Nanti saya bayar dua kali lipat..."
"Om... dibayar sepuluh kali lipat pun saya tidak bisa pesankan, ke toko lain aja mungkin ada... "
"Hahaha..."
Hanie menyadari sesuatu, dia kemudian berdiri saat mengenali siapa tamu toko itu sebenarnya. Sementara Tenry masih terkekeh.
"Hahaha..."
"Gila kamu Ten... iseng banget... kapan kamu pulang ke sini..."
Kedua sahabat itu saling rangkulan sebentar. Tenry masih terbahak, pundaknya ditepuk dengan keras oleh Hanie.
"Kapan sampe? Minggu lalu aku ke rumah gak ada yang ngomong kalau kamu mau pulang..."
"Udah dua hari di sini. Mama papa juga gak tau aku bakal pulang..."
"Kirain kamu langsung S2, Ten..."
"Gak, selesaiin yang ini aja berat banget...lagian kuliah setinggi apapun, aku tetap akan berakhir di belakang meja kasir..."
"Hahaha... ya udah, kamu udah di sini, meja kasir ini aku kembaliin... aku jadi kuli angkut semen lagi..."
"Hehh... udah cocok kamu dipanggil Ko Han... lagian aku gak pegang toko ini, pegang toko baru di Marina... toko ini tetap kamu yang pegang kok..."
"Oh... jadi yang di Marina jadi toko bangunan juga?"
"Iya... semacam swalayan bahan bangunan, ada eletronik juga sama furniture, houseware lah atau apalah... mau saingan sama Hardwa*re dan AC*E... hahaha..."
Acara kangen-kangenan dua sahabat pun berlangsung di tengah kesibukan meladeni konsumen.
"Kamu udah kayak oppa Korea, Ten... rambut udah kayak jagung..."
"Kerjaan si Glorya sih, minggu lalu aku anterin dia ke salon, eh malah aku dipaksa ikut ngecat rambut kayak dia..."
"Sayang banget sama pacar, sampai warna rambut aja couple-lan..."
"Gak seperti itu. Dianya maksa aku akhirnya jadi pengen nyoba juga sih... tau gak... ibu suri ngamuk-ngamuk, hahaha norak katanya anak laki ngecat rambut..."
"Iyalah... Ci Cun dilawan... Dede aja waktu itu pirangin rambut langsung disuruh hitamin lagi, hahaha, kasihan sampai nangis-nangis mohon-mohon, mamamu gak peduli. Gak disuruh hitamin lagi?"
Hanie menunjuk kepala Tenry, topi sudah dibuka sejak tadi.
"Ada sih, maksa terus sejak aku datang, aku bilang nunggu aja sebulan lagi, aku ke barber pasti hilang nih pirang. Gak ngerti deh, jaman sekarang mamaku masih aja kolot kayak gitu..."
"Glo nyusul kamu ya ke Aussie?"
"Gak... aku mampir di J sebelum ke sini..."
"Udah mau merit dong kalian... Glo udah selesai juga kan?"
Tenry hanya diam tak menanggapi, raut wajah juga sedikit berubah. Ada sesuatu yang tak bisa dia pahami sekarang tentang perasaannya pada Glo.
"Ada minuman dingin, Han?"
Tenry mengalihkan pembicaraan.
"Ada... bentar aku ambilin, masih sama kan selera kamu?"
"Gak usah berdiri Ko Han, layani customer kamu, aku bisa ambil sendiri, aku bukan tamu..."
"Iya... tahu, kamu bossnya malahan..."
"Hahaha..."
Tenry melangkah ke pintu belakang. Tentu dia tahu di mana dia bisa mengambil minuman. Di semua toko milik mereka pasti mamanya, Ci Cun yang masih kolot itu suka sediain show case untuk menyimpan minuman kemasan, karena sang mama penyuka minuman dingin, jadi suka siapin itu, kali aja dia berkunjung ke toko gak perlu ribet nyari ke minimart lagi.
Dahi Tenry mengernyit saat melihat seorang gadis di ruangan itu, duduk santai di sofa dengan kedua kaki dinaikkan di meja kopi di depannya, tapi wajah serius menatap buku di tangannya. Sedang belajar? Wajah agak familiar tapi tak bisa mengingat siapa gadis ini. Sambil mendekati show case yang terletak di dekat meja makan Tenry tetap mengamati gadis itu. Postur tubuh kurus, garis wajah yang masih sangat muda, seorang remaja mungkin masih SMA. Gadis itu tidak terganggu dengan kehadiran Tenry di ruangan ini.
Holly kaget saat terdengar bunyi pintu ditutup di depannya. Pandangan teralih dari buku, ada lelaki di depannya berjarak sekitar tiga meter sedang minum langsung dari sebuah kemasan botol plastik bergambar potongan jeruk orange. Satu tangan lelaki itu masih di handle pintu show case. Dia dijinkan kakaknya mengambil minuman yang dia mau, tapi sangking senangnya bisa berada di tempat tenang tanpa gangguan dan bisa belajar, dia lupa mengambil minuman. Sekarang jadi ingin minum saat melihat tenggorokan lelaki di depannya yang bergerak dengan kepala terangkat. Holly tak sadar menelan ludah dan tak sadar juga mata terus menatap di bagian wajah lelaki itu.
Saat tatapan mereka bertemu...
"Ko Tenry..."
Holly berkata seperti bisikan untuk dirinya sendiri. Tenry masih mencoba mengingat gadis yang menyebut namanya tanpa suara, Tenry membaca lewat gerak bibir Holly.
"Siapa?"
Tenry bertanya sambil menunjuk Holly dengan tangan yang masih memegang botol minuman kosong. Mata masih menyelidik. Dengan kaku Holly menjawab.
"Holly... Ko..."
"Holly? Adiknya Hanie kan? Holly yang itu? Kenapa kamu gak tumbuh besar? Kok muka kamu jadi beda?"
Apanya yang beda?
Holly menunduk, ada rasa malu mengingat dulu saat pertama menstruasi, dia tak mengerti, di rok seragamnya bagian belakang ada noda darah lumayan besar dan Tenry yang memberitahu. Saat itu Tenry hendak menjemput Hanie dan sempat berpapasan di pintu rumah. Rasa malu selalu ada setiap bertemu Tenry. Makanya setiap Tenry datang ke rumah, Holly menghindar, kali ini setelah kurang lebih empat tahun, Tenry terlihat makin ganteng. Ahh... Holly pura-pura melanjutkan belajarnya, mata langsung ke buku dengan sikap masih menunduk, kaki perlahan dia turunkan dari meja.
"Lagi belajar ya?"
Tenry belum beranjak ternyata. Holly melirik sedikit, ekor mata menangkap pandangan Tenry padanya.
"Iya Ko..."
Lirih jawaban Holly, mulai salah tingkah.
"Kelas berapa sekarang Ling?"
Hanya ada dua orang yang menyebut namanya seperti itu, Hanie dan Ko Tenry, entah siapa yang mulai, kenapa Ling ya? Dari dulu dia penasaran tentang hal ini.
"Kelas tiga SMA, Ko..."
"Oh... sebentar lagi ujian kan?"
"Hari senin UN, Ko..."
"Oh... ya udah yang semangat belajarnya... nih buat kamu..."
Holly melihat sebuah botol diangsurkan Tenry tepat di depan wajahnya. Ehh... kapan Ko Tenry mendekat ke sini? Matanya beralih tepat di mata teduh itu, senyum lembut Tenry juga terekam kornea matanya. Secepatnya mata beralih lagi ke tangan Tenry, tapi entah kenapa tangannya tak mampu dia angkat untuk mengambil orange juice yang ada bulirnya itu.
Tenry kemudian membuka tutupnya, klik.. lalu mengambil tangan kanan Holly.
"Lanjutin belajarnya..."
Ko Tenry pergi dan sempat memegang kepala Holly sejenak.
Deggg... kok rasanya beda sekarang? Dulu kayak pernah megang kepala juga si Ko Tenry ini, tapi waktu itu gak ada rasanya biasa aja... sekarang kok jadi pengen lagi? Nyaman aja digituin. Holly menatap sosok lelaki tinggi itu sampai menghilang di balik pintu.
.
.
Tenry Vincent Tanos titip salam hangat untuk semua....
Happy Reading 😇
🦋
.
Tenry kembali ke dalam toko. Ada senyum kecil di wajahnya, sikap canggung dan malu si Holly penyebabnya. Hanie tak ada di kursi kebesarannya, sedang membantu seorang pelanggan memilih engsel pintu di sebuah rak. Kursi plastik yang dia duduki tadi sudah berpindah dan digunakan seorang pelanggan lain. Akhirnya Tenry duduk di belakang meja kasir.
"Ko Han, ada yang mau bayar..."
"Sebentar..."
Hanie sedang ada di atas tangga mengambil sesuatu di rak paling atas.
"Sini barangnya... apa aja?"
Tenry mengambil alih. Tidak sukar untuk Tenry karena dulu ini adalah pekerjaannya setiap kali pulang sekolah. Dulu dia membuat beberapa buku untuk daftar harga barang, sekarang tinggal input di PC di depannya. Salah satu karyawan toko yang tidak kenal siapa Tenry sempat ragu untuk memberikan informasi barang yang sudah dipilih pembeli, tapi langsung terintimidasi dengan pandangan Tenry, terlihat juga Ko Han terkesan membiarkan saja.
Akhirnya beberapa transaksi pembayaran dilayani Tenry dan Hanie memilih berdiri di belakang sebuah rak kaca berisikan berbagai jenis dan ukuran lampu Phili*ps sambil melayani pengunjung toko. Beberapa waktu berlalu, karena ramainya pengunjung membuat kehadiran Tenry menjadi sebuah bantuan yang memang dibutuhkan.
Di ruang dalam, Holly selesai belajar. Perut sudah keroncongan sejak tadi, lima menit lagi jam dua siang, sudah ada makanan di sebuah rantang putih lima susun di atas meja. Lama menunggu, tapi tidak ada tanda-tanda Hanie masuk ruangan ini untuk makan. Holly melongokkan kepala di pintu penghubung toko yang tepat di samping kasir. Tenry melihatnya.
"Ling... udah selesai belajar?"
"Udah, tinggal mengulang aja."
Holly menjawab dengan nada rendah masih dengan sikap canggung.
"Bisa bantuin Koko?"
"Holly bantu apa Ko?"
Holly mendekat takut-takut, disambut senyum Tenry.
"Kamu ke rak di depan sana, ada kotak-kotak kayu berisi paku. Kamu timbang paku setengah inchi, itu paku yang paling kecil, 500 gram. Paku tiga inchi satu kilo. Timbangannya ada di sana. Ada kok label ukuran paku di sisi depan kotak kayu..."
"Iya Ko..."
Holly melakukan sesuai permintaan Tenry walau serba canggung dan lamban. Karena dia menimbang agak lama. Hanie mendekat.
"Jangan ragu-ragu... angkanya lebih sedikit gak masalah, asal jangan kurang, gak bisa persis di angka lima ratus kalau timbangan digital... nah segitu boleh. Bungkus koran dulu baru masukin plastik terus bawa ke Ko Tenry untuk di cek lagi..."
Hanie kemudian langsung berlalu karena masih melayani pembeli yang lain. Holly jadi keterusan membantu. Awalnya Holly takut-takut mengambil barang yang salah atau salah menimbang, tapi lama-lama dia lupa rasa laparnya dan menjadi asisten si Koko Tenry mengambilkan ini-itu. Setelah kesibukan berkurang...
"Hei Ko Han... kamu gak ke sini, uang di laci aku ambil semua ya..."
"Ambil aja, itu punya kamu juga..."
"Kamu bisa dipecat ibu Suri kalau setorannya gak sesuai..."
Hanie mendekat sambil tertawa dan duduk di meja yang penuh dengan tumpukan nota di beberapa keranjang kecil di salah satu bagiannya.
"Tinggal aku sodorin rekaman CCTV... ketahuan siapa yang ambil, anak kesayangannya sendiri..."
"Hahaha... ada makanan gak? Lapar sekarang, udah jam tiga loh..."
"Ada... ada rantangan buat aku, tapi isinya lumayan untuk bertiga... ayo."
Hanie mengunci laci berisi uang, membereskan beberapa nota pink kemudian memanggil seorang karyawan wanita yang biasa bantuin dia di kasir.
"Silvi... gantiin saya ya, mau makan dulu..."
"Iya Ko Han..."
"Ayo Ling... kamu juga lapar kan? Koko denger perutmu bunyi sejak tadi... kamu pasti cape juga..."
Si Koko senyum lagi, sekarang Holly jadi suka senyum itu. Senyum juga muncul di wajah mungilnya saat mengikuti dua lelaki itu menuju ruang istirahat. Senyum yang otomatis keluar dari hati yang menghangat karena Ko Tenry yang ramah dan memperlakukannya dengan manusiawi.
Di rumah sendiri dia tak pernah disenyumin dengan tulus setelah melakukan sesuatu untuk mereka. Yang ada mimik wajah marah orang-orang rumah yang menuntut dia melakukan ini-itu, bahkan tak peduli dia cape atau lagi sakit. Saat perbandingan itu melintas di pikirannya, rasa takut kena omelan mama tiba-tiba muncul, ini sudah berapa jam dia keluar rumah, sekalipun ada Hanie yang pasti membela dia tapi perkataan menyakitkan sebagian dari mereka, gak mungkin dibendung Hanie. Senyumnya langsung menghilang.
"Ling... sini, kenapa bengong di situ?"
Hanie memanggil Holly yang hanya terdiam di ambang pintu, pikirannya berlarian antara mau makan atau minta dianterin Hanie pulang atau minta ongkos buat naik angkot.
"Hahaha... cape ya kamu? Sini makan dulu, sejak SMP badan kamu gini-gini aja... kalian gak kasih makan dia ya, Han?"
Tenry mendekati Holly sampai ke belakang tubuhnya, dua tangannya naik ke bahu gadis mungil itu dan menuntun Holly ke meja makan, setelah Holly duduk Tenry mengambil perlengkapan makan di pantry dan meletakkan di meja lalu duduk di samping Holly. Hanie hanya melihat sekilas dan sibuk membuka rantang makanan.
Tenry menyodorkan sebuah piring lengkap dengan sendok garpu, baru hari ini Holly merasakan perhatian seseorang yang lain selain Hanie. Holly jadi baper terlebih makin lama dipandang kok si Ko Tenry makin ganteng aja, kenapa bisa gitu ya? Mana baik lagi, gak kasar, dorongan tadi begitu lembut, rasa yang ditinggalkan dua tangan itu di bahunya masih menguasai hatinya. Dia juga menyebut dirinya Koko serasa sesuatu untuk Holly.
Holly menunduk sambil makan dalam diam, tidak mengerti apa yang sementara bermain-main di hati dan pikirannya, rasa yang bercampur-campur kayak es campur, ada dingin, ngilu, manis dan asem-asem dikit, tapi juga ada lembutnya kayak alpukad... 😘🍧 Di satu sisi kemarahan mama sudah membayangi.
"Makan yang banyak Ling, kurus banget kamu..."
Tenry memperhatikan kaos yang jatuhnya kayak daster saja di tubuh si Holly, dia mengenali itu, kaos oblong miliknya yang digunakan Hanie dulu saat menginap di rumahnya. Tenry senyum lagi dan lagi. Koko jadi banyak senyum karena apa ya?
Makan siang yang sangat terlambat diwarnai banyak cerita Tenry dan Hanie. Holly tidak bisa menyimak pembicaraan dua laki-laki di dekatnya sekarang. Pikirannya ke mana-mana, salah satunya ke pemilik senyum indah di sampingnya. Akhirnya Holly memutuskan pulang saja setelah makan. Menerima kemarahan sang mama sudah terlalu sering, tapi dia punya kewajiban di rumah.
"Koko aja yang cuci piringnya..."
Tenry mengambil alih piring di tangan Holly. Holly hanya melongo... Ko Tenry melakukan hal-hal yang membuat Holly tercengang.
"Holly aja..."
"Sana belajar lagi..."
Tenry mendorong pelan tubuh mungil Holly lalu memegang kepala Holly lagi, kali ini lebih lama dan sambil senyum manisss. Hanie yang membereskan rantang sedikit bertanya juga dengan sikap sahabatnya. Tidak biasanya, meskipun Holly sudah dikenal Tenry sejak lama karena persahabatan mereka, Tenry yang punya sikap ramah dan gampang menjalin komunikasi dengan siapa saja tapi tidak serta-merta bersikap dekat dan penuh perhatian pada seseorang.
"Han, aku pulang sekarang aja, minta ongkos ya..."
Holly mendekati meja makan.
"Kenapa? Tunggu aja sebentar lagi, terusin belajarnya di sini. Jam lima toko udah tutup kok..."
"Mama..."
"Udah, nanti aku yang ngomong Ling... masa kamu gak diberi kesempatan belajar..."
"Tapi..."
"Udah... pasti sampe rumah kamu disuruh urusin bocah-bocah, terus masak buat malam... di sini aja sama aku..."
"Aku udah selesai belajar kok... pulang aja ya?"
"Nanti... bareng aku."
Hanie tak menghiraukan rengekan Holly, dia langsung masuk ke toko lagi. Holly mengekori Hanie.
"Han... kasihan mama udah cape jahit sepanjang hari terus harus masak untuk makan malam..."
"Ada Hellen..."
"Mana mau dia masak..."
"Ling, sesekali kamu juga pikirin dirimu sendiri... sekarang yang penting gimana kamu lulus ujian... Tunggu aja... sana ke belakang lagi. Lagi pula apa bedanya pulang sekarang atau nanti."
Ya apa bedanya...
Holly kembali ke belakang dengan menunduk, di pintu ada Tenry yang menatapnya. Saat melewati lelaki itu sebuah usapan di atas kepala mampir, tidak lama karena Tenry pun segera berlalu, sekali lagi rasa nyaman menyusup di gundah hatinya.
Tenry duduk di kursi kebesaran Hanie lagi karena laki-laki itu sudah kembali tenggelam dengan kesibukannya, kali ini mengawasi barang yang baru mulai diturunkan dari sebuah truk, ada kertas di tangannya. Tenry memang tidak meragukan lagi pemberian diri sahabatnya dalam pekerjaannya di sini, selain kejujurannya juga cara dia memperbaiki banyak hal di toko ini sehingga toko ini keuntungannya naik secara signifikan. Papanya sendiri menyebutkan Hanie bawa hoki untuk mereka.
Tapi hati Tenry sekarang terusik dengan Holly, dari percakapan kakak adik tadi juga dari tampilan Holly sekarang sedikitnya ada hal-hal yang dia tangkap tentang Holly yang membuat dia jatuh kasihan.
Ponselnya yang berdering lagi akhirnya menarik dia dari pusaran pemikirannya tentang Holly. Panggilan Glo yang dia abaikan sejak tadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!