Janda Yang Malang
Satu persatu kukemas pakaianku ke dalam koper dan beberapa tak rangsel. Bergegas kulangkahkan kakiku meninggalkan kontrakan itu seorang diri menuju Stasiun Kereta Api menggunakan taksi yang sudah kupesan sebelumnya.
Kota Bandung tujuanku saat itu, dimana aku menerima panggilan kerja di sebuah rumah sakit yang kukirimi surat lamaran dua minggu yang lalu. Surat cerai yang masih dalam tahap proses itu kubiarkan keluargaku yang mengurus nanti. Pengadilan agama akan memberi kabar bila surat perceraianku telah siap.
Dua bulan sudah proses persidangan yang aku jalani untuk bisa melepas status pernikahanku dengan Bagus. Air mata sepertinya sudah bosan kukeluarkan untuk masalah ini. Stres dan depresi pastinya menemani hari-hariku saat itu.
Yah, saat dimana aku harus menentukan pilihan untuk tetap hidup bersama dengan lelaki pemalas dan ringan tangan itu, atau menyudahi semuanya dengan resiko gelar janda yang akan tersemat padaku.
Satu tahun ku habiskan waktuku bersama Bagas menjalani bahtera rumah tangga. Tak seperti kebanyakan rumah tangga yang lain, awal pernikahan yang seharusnya dibumbui dengan keromantisan mengawali kehidupan yang baru itu, justru berbanding terbalik dengan kami.
Meski dua tahun sebelumnya kami saling mengenal dan berpacaran, namun tak semua sifat dasar Bagas terpancar pada waktu itu. Ramah, supel, dan santun, itulah yang dikenal orang-orang selama ini tentang dirinya.
Namun siapa sangka, suaranya begitu lantang manakala menghardik diriku dalam amarahnya. Begitu pun dengan tangannya yang sering begitu mudah ia ayunkan ke pipiku hingga pernah menimbukan bekas memar yang tak kunjung hilang dalam satu minggu.
"Kalo tak sanggung hidup susah makanya jangan ngajak aku nikah secepat ini!!" bentak Bagas dalam pertengakaran kami yang cukup melelahkan.
Aku yang hanya terdiam di sudut ruangan kamar kontrakanku yang tak begitu luas itu. Lelah sudah aku untuk berkata padanya, sebab tak ada guna lagi, yang ada hanyalah keributan yang tiada ujung. Sifat Bagas yang begitu kasar membuatku tak ingin lagi melanjutkan pertengkaran yang mengakibatkan pipiku lebam dibuatnya.
"Plakk!!" suara ayunan tangannya pada pipiku yang membuatku teriak histeris karena kesakitan. Namun hal ini tak membuat ada perasaan sesal padanya. Ia terus menerus bergerutu layaknya seorang perempuan yang sedang mengomel tiada henti.
"Dikit-dikit nangis, dikit-dikit ngeluh, hidup susah sedikit nangis, kapan sih kamu nggak nangis?" bentak Bagas sambil menudingkan telunjuknya ke arahku.
"Dasar lelaki tak tanggung jawab, kalo nggak bisa menafkahi bilang aja, jangan bawa-bawa menyesal nikah belum siap, alasan aja kamu!" balasku yang tak tahan dengan sikapnya.
Diambilnya air segayung dan diguyurkan padaku yang seketika membasahi badanku membuat aku kedinginan, sebab saat itu musim dingin sedang berlangsung di kotaku. Aku yang teriak histeris sambil kusebut ibuku berharap menolongku saat itu kemudian diseretnya ke arah kamar mandi. Perlawanan terjadi disana, saat aku meronta-ronta yang tak ingin dibawanya ke kamar mandi itu.
Namun apalah daya tubuku dan tanganku tak sanggup menahan kekuatan Bagas yang tentunya lebih dari aku. Aku yang melemah saat itu hanya bisa pasrah ketika Bagas mengguyur kembali tubuhku berulang kali. Dan kali ini tubuhku benar-benar basah kuyup. Getaran gigiku menemani air mataku yang tak henti-hentinya menetes, bukan karena kesakitan, namun hati ini yang terasa remuk redam melihat sikap seorang suamiku yang kuharapkan sebagi tauladan yang baik untukku, namun hanya kecewa yang disuguhkan.
Perangai agamis pada Bagas juga membuat siapapun terkelabuhi atas sikapnya yang sesungguhnya kasar padaku. Tak ada yang mengenalinya sebagai diriny sebagai sosok ringan tangan. Hanya diriku dan dinding rumah kontrakan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan Bagas padaku sehari-hari.
Seketika ia pergi meninggalkanku dalam keadaan basah kuyup di kamar mandi itu. Dibawanya motor butut satu-satunya harta yang ia miliki saat itu dengan kencang dan penuh emosi.
Seketika kuseka air mataku yang sedari tadi membuat bengkak kelopak mataku. Aku kuatkan hatiku untuk segera menyudahi ini semua. Ku raih gawaiku dan kuberanikan diri untuk menceritakan hal ini pada ibuku meski berat. Ibuku yang mencoba memahami pun mengambil langkah agar aku segera menyudahi hubunganku dengan Bagas yang masih seumur jagung itu.
Pertimbangan beluam ada buah hati hasil dari pernikahanku membuat ibu dan abangku satu-satunya meringankan keputusanku untuk bercerai dengan Bagas segera. Mereka pun tak tahan dengan derita hidupku yang akhirnya terungkap semenjak kejadian itu.
Kepulangan diriku ke kampung halamanku setelah kejadian itu hanyalah semata untuk segera mengurus perceraianku dengan Bagas. Beruntung prosesnya tidak terlalu ribet, lantaran Bagas sendiri pun sudah pasrah dengan keputusanku. Jika ada panggilan persidangan ia tak pernah menanggapi apalagi datang untuk hadir. Dengan begitu sang jaksa mudah untuk mengetuk palu perpisahan kami.
Setelah semua tinggal menunggu Akta Cerai, aku bergegas kembali ke Kota dimana aku tinggal di kontrakan bersama Bagas untuk segera mengemasi barang-barangku yang tersisa di sana. Tampak seperti tak ada kehidupan di rumah itu. Suasana begitu sepi dengan debu-debu yang bertebaran di sekitar lantai pertanda jarang dibersihkan.
Rupanya semenjak kepergianku ke kampung untuk mengurus cerai, ia pun tak menempati rumah kontrakan kami. Bagas memilih tinggal bersama teman-teman di kost-kostan, dimana mereka tinggal dan menghabiskan waktu selama pernikahan kami berlangsung.
Iya,di sana di kost teman-temannya itulah ia sering meninggalkanku sampai tengah malam, bahkan terkadang sampai tak pulang. Bermain bersama teman-temannya membuat ia tak menyadari bahwa dirinya telah beristri yang patut untuk dipertanggung jawabkan.
Sepertinya ia masih sulit untuk menerima kondisinya bahwa dirinya telah berumah tangga. Kehidupannya yang selalu berhura-hura bersama teman-temannya belum bisa ia tinggal, hingga seringkali ia lupa mana yang menjadi prioritas seorang lelaki yang telah berumah tangga.
Tak jarang kontrakan kami pun menjadi sasaran tempat berkumpul mereka hanya sekedar untuk begadang bersama, ataupun bermain sesuatu yang tidak jelas arahnya. Hal ini cukup membuatku risih dibuatnya, mengingat sebagai seorang wanita, aku ingin adanya privasi pada tempat tinggalku. Bukan seperti sebuah markas yang setiap saat menjadi tempat yang setiap sudut mereka injak dengan langkah kakinya meski itu adalah kamar kami berdua.
Sikapnya yang kekanak-kanakkan pun membuat Bagas tak ingin membahas masalah program kehamilanku. Dirinya justru selalu ingin mencegah manakala aku menginginkan seorang anak. Hal ini membuat dirinya rela ber KB demi menunda kehadiran buah hati kami. Sedihnya bukan main yang aku rasakan. Ketika sebuah pernikahan adalah kehamilan yang akan dinantikan setiap pasangan, namun ini justru seperti ditolak.
Entah apa yang ada dalam pikiran Bagas, mungkin saja kesiapan yang tak ada akan perekonomian yang tak kunjung membaik membuat dirinya tak ingin kehadiran buah hati terlebih dahulu. Namun bagaimana lantas perekonomian akan berubah sementara dirinya seorang pengangguran.
Untuk makan sehari-hari kami hanya mengandalkan uang dari kiriman ibuku yang sebetulnya ibuku kirimkan hanya untuk tambahan uang belanja kebutuhan perawatan wajahku. Namun karena kebutuhan, perawatan tubuh yang biasa aku beli selama hidup bersama ibuku harus kulupakan demi bisa makan.
Aku yang sedang berusaha mencari pekerjaan kesana kemari pun akhirnya justru tak tahan dengan pernikahan ini. Suatu ketika ku iseng mencari lowongan kerja di luar kota dan melayangkan sebuah lamaran di sebuar Rumah Sakit di Kota Bandung.
Entah memang karena sudah jalan takdirku atau hanya sebuah kebetulan, aku mendapat panggilan kerja di Rumah sakit itu tepat di saat aku sudah resmi berpisah dari Bagas. Sehingga tak ada lagi bebanku untuk meninggalkannya untuk bekerja jauh darinya seperti dahulu yang dirinya selalu melarangku bekerja di kota lain.
Semenjak itu Bagas tak pernah lagi menemuiku ataupun menghubungiku. Aku pun telah hilang jejak darinya dan berusaha tak mau lagi mencari tau tentang dirinya. Kami melangkah menjalani kehidupan masing-masing. Terakhir kulihat dari beranda FB miliknya ia pun sedang asik menikmati kehidupannya yang bebas bersama teman-temannya. Setelah itu aku tak tau lagi lantaran sudah kublokir semua kontak-kontaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Wati_esha
Dibuka langsung dengan masalah rumah tangga. 😊
2020-07-18
2
Suharnik
Awal cerita yg sedih bangeet😭😭😭😭
2020-07-17
1
Renita
saya mau dengar
2020-07-17
3