Setelah mengenal Deri, kini hari-hariku banyak diisi waktu bersamanya. Sepulang dari bekerja ia selalu menyempatkan untuk mampir dikontrakanku untuk menemuiku bila kebetulan aku tak sedang jadwal kerja shift. Entah itu camilan atau pun sebungkus makan ia sering bawakan untukku.
Tentu aku suka, tapi sejujurnya aku tak ingin merepotkan dirinya seperti ini. Semenjak aku menanggapi perkenalan dengannya, hubunganku dengannya sepertinya semakin intens. Tak jarang ia juga menghubungi aku lewat chatt jika aku sedang bekerja, meski bukan aku yang memulai.
"Kapan nanti pas kita libur bareng kita jalan yuk?" pinta Deri padaku saat sedang asik menonton tivi di ruang kontrakanku.
"Emmmh, emang mau kemana?" tanyaku balik sembari memakan camilan yang ia bawakan untukku.
"Ya keliling Kota Bandunglah, atau ke lokasi wisata yang ada di sini, kamu belum pernah kan semenjak tinggal di sini?" ujar dia menjelaskan padaku seraya berharap aku mau.
Aku hanya terdiam tak menggubrisnya lagi, sebab aku tak mau jika nantinya aku berharap banyak pada Deri melebihi seorang teman. Kehadiran Deri mampu mengusir rasa sepiku ketika aku harus memulai kehidupan baruku yang sama sekali belum memiliki teman dekat di sini. Oleh karena itu, sejujurnya aku merasa beruntung bertemu dengannya. Hanya saja hatiku begitu takut kalau suatu hari nanti aku jatuh cinta padanya atas segala perhatiannya padaku.
Ingin sekali rasanya aku tolak Deri yang datang ke kontrakanku setiap saat itu, namun aku tak sampai hati. Meski sikapnya menunjukkan sebuah perhatian khusus padaku, namun aku menganggap mungkin karena aku dan dia teman satu daerah yang kebetulan bertemu sama-sama di perantauan ini, jadi dia berusaha akrab denganku.
Karena itu pada akhirnya aku tak keberatan jika aku harus selalu menerima dirinya datang di kontrakanku. Hal itu juga yang membuat obrolan kita selalu nyambung, sebab selalu saja ada yang kita bahas terutama tentang masa-masa sekolah kita dan teman-teman kita yang sama.
Deri yang bekerja di sebuah perusahaan bahan bangunan itu sudah sekitar lima tahun berada dikota ini. Itu tampak dari hapalnya hampir semua jalan dan setiap sudut kota di tempat ini. Rasa-rasanya ia sudah mulai bosan tinggal di sini. Berbeda dengan aku yang baru saja memulai meraba-raba jalan di sekitar kota ini dan belum tau seluk-beluk jauh kota ini.
Malam itu kami pergi bersama, Deri yang sudah lama mengajakku makan malam di luar bersama akhirnya tak ada lagi alasan aku untuk menolaknya. Selepas pulang kerja shift pagi, aku bergegas bersiap-siap sebelum ia menjemputku. Entah mengapa malam itu hatiku begitu gembira, berbunga-bunga bak wanita yang sedang jatuh cinta.
"Ah.... ada-ada saja kamu Bunga....., jangan keGeEran deh, dia cuma temen loh, dia juga mungkin cuma menganggap kamu temen yang buat ngisi sepi hari-harinya di sini, ingat juga statusmu apa, dan sampe saat ini Deri belum tau kan?? lupakan dia....lupakan dia... jangan harap dia lebih....plisss...." ucap diriku dihadapan cermin seraya meneteskan air matanya sebab hatinya yang begitu rapuh saat itu.
Aku yang selama ini sebetulnya masih menyimpan luka yang masih perih mengagah akibat perceraian dengan Bagas itu sesungguhnya masih terasa stres dan depresi. Sesekali dalam lamunanku masih dibayangi perasaan sakit atas kehidupan masa laluku yang buruk bersama Bagas. Semenjak kehadiran Deri, semua sedikit mereda, namun karena rasa tak percaya diriku, itulah yang membuat hatiku gundah dibuatnya.
"Greng...greng..."bunyi suara motor Deri pun tiba di depan pintu kontrakkanku.
"Krek" segera kubuka pintu, sebab aku pun sudah siap sejak tadi.
Deri yang saat itu tampak cute menggunakan kaos hitam dipadu dengan topi membuat hatiku berdebar menatapnya. Senyum manisnya yang menyambutku yang tengah berdiri di depan pintu mengenakan gaun merah marun seolah seperti sebuah panah asmara yang siap menancap tepat dijantung hatiku.
"Yuk" ajaknya sembari menstarter motornya.
"Kita mau makan dimana?" teriaku padanya sebab suara motor dan kendaraan yang lain mengiringi perjalanan kita.
"Ke cafe ucikra ya? kamu belum pernah nyicipin masakan di sana kan? enak-enak loh, menunya juga macem-macem!" jelasnya dengan nada teriak juga.
"Oke, aku nurut kamu aja!" seruku sembari mencium wangi parfum yang Deri pakai merebah pada hidungku yang berada tepat di belakang punggungnya itu.
Tak lama kami sampailah pada sebuah cafe yang terbilang cukup romantis. Gemerlap hiasan lampu warna-warni yang sedikit redup dipadu dengan gemercik suara air terjun kecil di kolam yang berada di sela-sela tempat duduk kami membuat suasana hatiku begitu nyaman. Ditambah lagi Deri yang tak henti-hentinya memandangi wajahku yang membuat rona merah di pipiku tersipu malu.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Deri menawarkan aku makanan yang ada di buku menu di atas meja tempat duduk kami.
"Hmmm terserah kamu aja deh, kamu makan apa, aku ikutan juga" jawabku yang tak mau banyak memilih menu yang menurutku tak terlalu menggugah selera selain karena hanya bisa bersama dengan Deri saja sudah membuat hatiku cukup nyaman.
"Iya, tapi masak kamu nggak pingin sesuatu gitu? yakin nih aku yang milih?" ujar dia yang kemudian memanggil pelayan cafe di sana untuk segera memesan makanan yang sudah ia tentukan.
Aku hanya mengangguk tanda setuju dengan apa yang dia pesan. Selain karena tak begitu memikirkan menu, aku pun tak ingin terlalu menguras kantong Deri dengan memesan makanan yang sebetulnya bisa saja aku pilih sesuai dengan yang aku mau. Karena aku yakin Deri juga sesama perantauan seperti aku, yang kebutuhan sehari-harinya hanya mengandalkan gaji. Ditambah lagi aku belum tau seluk beluk latar belakang keluarga Deri bagaimana, apakah dia orang berada, ataukah hanya orang biasa.
"Gimana? enak makanan di sini?" tanya Deri padaku sambil menyantap makanan yang telah ia pesan untukku dan untuknya.
"Iya, lumayan enak, tapi aku juga bisa bikin kog kalo cuma masakan kayak gini" jawabku sedikit songong yang ingin memamerkan keahlian memasakku.
"Oya, jadi kamu bisa masak? kalo gitu gimana kalo kita masak bareng aja? kan lumayan bisa hemat, buat makan kita berdua, jd gak perlu beli di warteg lagi, soalnya aku sering bosen, cuma gimana yah, kalo mau masak aku sendirian jatohnya boros". Pinta dia padaku yang penasaran ingin tau rasa masakkanku.
"Gleg" aku menelan ludah dengan perasaan beradu bimbang. Bagaimana mungkin aku bisa menghindar darinya apalagi dia ngajak kita masak bareng, itu artinya setiap hari aku bakal ketemu dengan dia lagi. Bahkan udah mirip sama pasangan suami istri nantinya. Aku juga nggak habis pikir kenapa seolah dia ingin begitu akrab denganku". Gumamku dalam hati.
"Iiiya juga sih bisa hemat, aku juga kalo terus-terusan makan di luar lama-lama bosen, sesekali memang kepingin masak. Cuma permasalahannya kalo misal pas aku kerja shift yang jadwalnya nggak bareng kamu gimana? kan kita nggak bisa setiap saat makan bareng". Jawabku beralasan seraya menghisap sedotan dari gelas berisi orange jus itu.
"Iya juga sih, tapi sebetulnya bisa aja, kamu masak aja sesempet kamu, nah nanti kunci kontrakan kamu aku duplikatin aja, biar aku bisa makan di kontrakan kamu, gimana?" tanya dia serius meyakinkan aku.
"Waduh, apa nanti nggak bermasalah ya kalo kamu sering di kontrakanku?" tanyaku sedikit kuatir sembari memilin gaun merah yang kupakai.
"Hmmm kamu pikir aku bakal maling di kontrakkan kamu? yang nggak lah, sembarangan amatlah kamu nuduh aku kayak gitu, lagian kan kita satu daerah, gampang aja kalo aku jahatin kamu mau nyari aku di kampungku". Ujar Deri ketus dengan memamerkan wajahnya yang cemberut.
"Bukan gitu maksudku Der, aku cuma nggak enak sama warga sekita kalo kamu sering-sering ke kontrakkan aku, dikira kita pasangan mesum lagi". Jelasku dengan rasa tak enak hati.
"Owh, ya udah kalo gitu kita masak bareng aja pas kebetulan shift kita samaan dan bisa ketemu gimana? kan sekalian bisa selang-seling juga kadang masak, kadang juga bisa beli". Ujar dia tak hilang alasan untuk bisa terus bersamaku.
"Hmmm ya udah deh kalo itu mau kamu". Jawabku yang tak mau lagi mendebat karena tak sampai hati padanya.
Deri pun akhirnya tersenyum lega mendapatiku menyetujui kemauannya itu. Sembari menghabiskan makanan, tak henti dia berbincang denganku mengenai dirinya atau pun pekerjaannya. Begitu pun dengan aku, banyak yang aku ceritakan tentang diriku, kecuali dengan statusku. Aku rasa belum saatnya untuk dia tahu, lagi pula belum ada keberanianku untuk menjelaskan padanya saat itu.
Aku takut Deri akan menjauhiku kalau dirinya tau statusku yang janda. Sebenarnya aku senang berteman dengannya, sebab tak ada lagi teman yang bisa dekat seperti ini di kota ini selain dengannya.
Setelah makan malam itu, tak henti-hentinya Deri terus mengajak aku chatting hingga tidur yang memberhentikan chattingan kami. Hampir setiap ada waktu, Deri selalu menghubungiku, jauh lebih sering dibanding saat sebelum acara makana malam bersama waktu itu.
Dua hari berikutnya,tibalah jadwal shift kami yang sama. Deri pun menagih janjiku yang akan masak untuknya. Sebuah kantong kresek berisi belanjaan lauk dan sayur ia berikan padaku untuk dimasak waktu itu. Tak lupa ia pun membantuku menyiapkan bahan masakkan yang akan aku masak.
Dengan penuh seksama ia memperhatikan aku yang mulai memasak. Senyum mereka di bibirnya sembari sesekali melihat wajahku yang terciprat air rendaman beras yang sedang aku cuci lantaran baskom yang untuk wadah meleset jatuh.
Seketika dia membantuku mengambil baskom itu, dan segera menyeka percikan air di wajahku dengan sapu tangan berbau wangi miliknya. Dengan lembut ia usapkan sapu tangan itu di wajahku. Ini membuat aku semakin deg-degkan tak karuan. Romantisnya membuat hatiku GeEr yang seolah ia sedang naksir padaku.
Wajahnya yang semakin dekat dengan wajahku ketika ia sedang mengelap air di wajahku itu serasa membuat hatiku meronta ingin dikecup mesra olehnya. Entah mengapa seperti ada rasa yang mulai bergejolak di sana dan di setiap sorot matanya yang sipit itu.
"Tara...udah mateng, yuk kita cicipin masakkannya, semoga kamu suka ya, btw kalo kamu nggak suka besok bisa aku perbaiki deh". Ujarku sembari menyodorkan semangkuk sayur yang sudah aku masak.
"Ahh, kalo kamu yang masak aku pasti suka kog". Sembari mengambil masakkanku yang ia taruh dalam piringnya.
"Hmmm ini enak...enak banget... lebih enak dari masakkan emakku di rumah". Puji dirinya padaku yang membuat hatiku semakin bergetar GeEr.
"Halah kamu bisa aja" balasku sembari ikut makan bersama dan merasakan hasil masakkanku yang menurutku biasa. Entahlah bagi Deri apakah enak beneran atau hanya memujiku supaya aku senang dan terus masak buat dia.
Semenjak itu pun kami selalau masak bersama jika jadwal kami sama. Deri yang selalu doyan dengan masakkanku bahkan sering memuji enak itu membuat hatiku semakin bersemangat untuk selalu membuatkannya masakkan.
Sesekali meski jadwal kerja kami tak sama, aku tetap membuat masakkan untukknya yang kemudian aku masukkan ke dalam wadah makanan lalu ku letakkan di depan pintu kontrakkan Deri, supaya nanti jika ia sudah pulang dari kerja bisa langsung menyantap masakkanku.
Dia pun semakin bahagia atas perlakuanku itu. Sepertinya ia semakin menunjukkan rasa perhatiannya padaku. Seakan-akan hanya ada aku dalam kehidupannya saat itu. Setiap ada waktu, aku dan Deri selalu menghabiskan waktu bersama. Entah itu di kontrakkanku, atau sesekali aku datang ke kontrakannya.
Hatiku terasa semakin nyaman bersamanya. Meski awalnya beberapa kali ingin menjauhinya, namun kini sepertinya aku benar-benar mulai tak rela jauh darinya. Perangainya yang lembut padaku, membuat benih-benih perasaanku mulai tumbuh padanya dalam waktu singkat. Perilaku yang sejak dulu aku dambakan pada sosok lelaki yang tak aku dapatkan pada Bagas mantan suamiku dulu kini ada pada Deri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Suharnik
pikir2 dulu bunga klau mau jalani hubumgam baru
2020-07-17
0
Veri Darmawan
katanya msh trauma ko ganjen sih
2020-07-13
0