Pagi ku melangkah untuk berangkat ke tempat kerja seperti biasa. Meskipun jadwalku dengan Deri hari ini sama-sama shift pagi, namun tidak seperti biasanya dia menghampiriku menggunakan motornya untuk bisa berangkat berbarengan selepas kejadian telepon tadi pagi.
"Deri!" seruku memanggilnya yang baru saja meluncur keluar dari kontrakannya menggunakan motor.
Namun siapa sangka ia tak menoleh sedikit pun meski dari kaca spion motornya ia melihatku yang memanggil namanya. Aku hanya menghela nafas panjang sembari menghentikan sejenak langkahku, namun seketika aku bergegas kembali berjalan menuju tempat kerja secepatnya supaya aku tak terlambat, sebab biasanya aku bisa berangkat lebih cepat karena diantar oleh Deri menggunakan motor, tapi kali ini aku harus berjalan, dan membiasakan berjalan kaki seperti sedia kala. Sayangnya aku tak persiapkan waktu dulu untuk berangkat lebih pagi seperti sebelum aku mengenal Deri. Aku pikir dia tak akan semarah ini, kalau saja aku tau, maka sejak tadi pagi segera bergegas untuk berangkat.
"Deri, aku minta maaf kalo aku udah buat kamu marah, aku tau diri siapa aku, sekarang aku janji nggak akan ganggu kamu lagi, maaf kalo aku pernah mengusik hidup kamu". Isi chatt ku yang ku kirirm pada Deri sesampai aku di tempat kerja.
Selepas itu kuletakkan lagi gawaiku di dalam saku celana seragam kerjaku, dan aku pun kembali memulai aktivitas bekerjaku. Ku dorong troli peralatan medis yang akan aku serahkan pada tempat penseterilan alat.
"Bunga, mata kamu sembab amat, kayaknya lagi galau nih ye.... hmmm" ujar salah satu temanku yang bertemu di lorong menuju lokasi penseterilan alat.
"Ah, enggak kog, biasa aja, aku tidurnya kemaleman, jd masih ngantuk, makanya mataku sembab". Balasku sembari berlalu mendorong troli itu.
"Oke deh, kalo perlu jangan sungkan-sungkan curhat sama aku ya, aku akan mendengarkan dengan setia kog!". Jelas dia sambil berlalu juga seraya meyakinkanku untuk bercerita masalahku padanya. Yah, dialah Noni, ratu gosip di tempat kerjaku yang selalu ingin tau apa masalah teman-tamannya untuk jadi bahan gosippannya.
Dulu waktu awal aku kenal dirinya, sempat tergiur untuk kuceritakan sesuatu tentang aku padanya, namun aku begitu kecewa setelah beberapa hari kemudian ternyata hampir seluruh teman di tempat kerjaku tau akan ceritaku. Semenjak itu aku berusaha menjauhinya dan tidak pernah mau bercerita atau pun mengobrol apa pun padanya lebih banyak.
Sesekali aku memandangi gawaiku untuk mengecek apakah Deri membalas chattku. Namun sepertinya harapanku sirna, sudah 3 jam berlau selepas aku mengirimkan chattingku padanya namun tak ada balasan apapu darinya.
"Hhhehhh" Kuhela nafas panjang lagi sembari menghampiri pasienku yang akan aku bawa ke ruang persalinan untuk segera mempersiapkan diri untuk bersalin.
Mendampingi pasien bersalin sudah barang tentu adalah tugasku sehari-hari. Sebelumnya aku juga pernah bekerja di sebuah rumah sakit sewaktu masih berpacaran dengan Bagas mantan suamiku dulu, kemudian aku resign karena menikah dengannya. Dulu aku terpaksa resign karena ia tak ingin aku sibuk bekerja hingga tak sempat mengurus rumah tangga. Ia yang berjanji akan menanggung semua nafkahku dengan baik membuat hatiku meleleh dan terpanggil untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Apalagi waktu itu aku membayangkan akan segera menjadi seorang ibu dari anak-anak mungilku.
Namun sayangnya itu hanya sebuah impian belaka. Pekerjaan yang sudah aku korbankan ternyata tak membuahkan hasil yang sebanding, keadaan ekonomiku makin terpuruk dan janji sang Bagas hanya rayuan belaka. Apalagi untuk merencanakan program kehamilan waktu itu, untuk makan sehari-hari saja kita selalu bertengkar.
Entah mengapa aku menjadi teringat masa laluku. Namun seketika lamunanku terbuyar dengan teriakan sakit oleh pasienku. Segera aku melengkapi semua kebutuhannya dan memimpin persalinannya.
"Oek...oek..." suara tangisan bayi mungil terdengar keras tak lama sejak aku memimpin persalinan itu.
Melihat sepasang suami istri yang menitiklan air mata kebahagiaan atas kelahiran buah hati mereka membuatku ikut terharu. Entah mengapa kali ini hatiku merasa terenyuh. Seakan-akan aku ikut merasakan kebahagiaan mereka, dan seakan-akan akulah yang berada sebagai sepasang suami istri seperti posisi mereka saat ini. Tak bisa dipungkiri, aku memang mendambakan kehadiran seorang bayi sejak lama, namun semua harus aku tepis karena kegagalan. Ditambah lagi harapanku dengan Deri semakin memudar.
"Hmmm seaindainya Deri mau menerimaku apa adanya, mungkinkah aku akan bahagia seperti mereka". Gumamku dalam hati sembari menatap pasangan suami istri itu yang sedang menimang bayi mereka.
Jam menunjukkan saatnya pulang. Kulihat gawaiku kembali sembari dalam perjalanan pulangku. Tak ada chatt dari yang aku harapkan. Kali ini aku berhenti sejenak tepat di depan pintu kontrakan Deri. Kutatap pintunya yang masih terkunci menandakan dirinya belum pulang dari kerjanya.
Kembali aku melangkah selepas sekian menit aku terus memandangi tempat tinggal Deri, kini aku pun mulai membesarkan hatiku untuk melupakanya. Tak lagi aku mengecek-ngecek gawaiku lagi. Tak lagi aku berharap tentang dia lagi. Aku kembalikan pada diriku yang kemarin seperti sebelum mengenal sosok Deri.
Perempuan lemah yang tak ingin lagi menjalin cinta dengan lelaki mana pun, sebab tak mudah percaya dengan seorang laki-laki karena kegagalannya yang pernah dilalui.
Kupandangi dapurku yang beberapa perabotannya milik Deri yang sengaja ia tinggal supaya kita bisa masak bersama dulu. Tak ada lagi keinginanku untuk memasak lagi, sebab kini aku akan terbiasa untuk makan sendiri tanpa Deri lagi. Bahkan kini aku akan kembali membeli sayur ke tempat ibu warteg dimana aku pernah bertemu Deri pertama kali.
Pagi itu selepas aku shift malam, aku sempatkan mampir ke warteg langgananku itu. Terlihat sosok Deri duduk di bangku pojok sambil menghisap rokoknya selepas sarapan yang telah ia habiskan.
Aku yang terperanggah menatap wajahnya langsung dilemparkan tatapan sinis memandangku. Tak ku usahakan ada senyuman untuknya, sebab aku ingat telah berjanji padanya untuk tidak mengganggunya lagi, maka aku pun berpura-pura seperti tidak mengenal dia.
Segera ia mematikan rokoknya dan menyisakan putung rokok yang baru sedikit ia hisap itu. Bergegas ia berangkat menuju tempat kerjanya dengan motornya itu, tanpa peduli dengan aku.
"Eh neng, itu kan kawan eneng, kog cuek-cuekkan gitu?" tanya ibu warteg dengan heran.
"Ah, nggak kog ibu, itu cuma tetangga kontrakan aja, ya agak kenal sedikit, mungkin lagi buru-buru". Balasku berasalan sembari membayar pesananku yang telah ia bungkus dan disodorkan padaku.
"Ih, jangan boong atuh neng, ibu sendiri sering liat kalian berboncengan berduaan tiap berangkat kerja, atau mau main, iya kan? hayo?" ujar dirinya lagi yang buat aku tak bisa mengelak.
"Aduh, neng teh pamit dulu ya bu, buru-buru, udah capek soalnya habis shift malam, ngantuk mau bobok" balasku sambil berlalu.
"Eh eneng ah, tapi nggak papa neng, semenjak eneng udah nggak sama Aa itu lagi eneng sama si Aa jadi langganan di sini lagi, hehehe!" tukas dirinya dengan suara keras sebab aku terus melangkah.
Dia tau semenjak aku dan Deri sering bersama kami memang jarang membeli makanan di warungnya itu. Sebab kami berdua sering masak dan makan bersama sesuai permintaan Deri waktu itu.
Kurebahkan tubuhku di atas kasurku yang masih berseragam itu. Terasa sepi yang aku rasakan saat ini. Hari-hariku kini kembali seperti sosok yang baru tinggal di perantauan. Dimana aku tak memiliki seorang teman pun untuk sekedar ngobrol dan diajak bermain. Kini kunikmati kesendirianku ini dengan sering menelpon ibuku yang berada di kampungku.
Dialah orang yang paling khawatir dengan keadaanku. Apalagi semenjak aku gagal dalam pernikahanku dulu. Ia yang selalu berpikir keras tentang keadaanku. Sampai-sampai ia pernah dirawat di rumah sakit dulu ketika mendengar keretakkan rumah tanggaku dengan Bagas.
Ibuku yang selama ini berkorban banyak denganku dan dengan rumah tanggaku dulu dengan Bagas. Ia yang selalu mengirimi aku uang untuk keperluanku waktu itu, selama Bagas tak memberiku uang. Tak sampai hati ia mendengar bahwa ternyata Bagas melakukan KDRT terhadapku.
Malam hari sebelum aku tidur, kubuka Mp3 yang ada di gawaiku. Aku pasang headseat pada kedua tekingaku untuk mendengarkan musik-musik yang aku sukai. Gawaiku yang tak lagi berdering oleh telepon atau pun chatt dari seseorang yang sekedar menannyakan kabarku.
Hanya musik yang selalu mengiringi kesepianku di setiap hari-hariku. Begitupun dengan Deri. Hari-harinya kini ia habiskan untuk mendengar musik kesukaannya rock metal. Sembari bermedia sosial untuk mencari jodoh seperti yang ia impikan, dan bukan aku tentunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Nona Muda
ihhh Derry .. nyebelin bngtt luu akh ...
mending sama bunga ajj udh jelas" sttus.ny janda
daripada ma perawan bukan janda bukan... 😁
2020-08-07
0
Mamah Nabilla
mending cari uang aja yg banyak bahagiain diri sendiri dan orang tua.cowok kayak begitu mah gak usah diharap,begitu tau janda langsung berubah 180 derajat,hadeeuuuhhhh
2020-08-02
0
MikhaiLa
Sabar Ya ...
kLuu dia Sayangg Pasti dia Mau TeriMa Kamu apa Adax
2020-05-20
0