"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat, mau ya?" tawaran dia padaku seraya menatap wajahku tajam, seolah menandakan keseriusan di bola matanya.
"Emang mau kemana?" tanyaku penasaran dan sedikit perasaan deg-degkan di hati menyelimutiku.
"Kamu ikut aja, nanti pasti kamu suka" jelasnya sembari melontarkan senyum manisnya.
Aku yang menganggung tanda setuju pun bergegas mempersiapkan diri untuk pergi bersamanya. Ku ganti pakaianku dengan dandanan secantik mungkin. Rasa bahagia di waktu itu bercampur perasaan cemas. Ada sedikit firasat bila Deri akan mengungkapkan perasaanya padaku lantas jawaban apa yang harus aku berikan.
Tanpa ragu aku menaiki motor yang tidak terlalu bagus itu dan boleh dikatakan ketinggalan jaman untuk seumuran kami. Namun hanya perasaan senang yang aku rasakan dibonceng bersamanya. Sesekali tanpa sadar ia meraih tanganku untuk mendekap tubuhnya agar aku bisa berpelukan merasakan hangat tubuhnya.
Namun seketika kulepaskan pelukkan itu, lantaran aku malu, sebab kami belum ada hubungan apapun.
Tak lama perjalanan kami akhirnya pun sampai pada tempat yang di tuju. Tempat dimana suasana sangat nyaman bagiku, apalagi aki tak pernah kemari sebelumnya. Tampak sebuah kawah putih berkabut di sana. Hawa yang sejuk merebah pada tubuhku yang sedikit mungil dan tinggi semampai.
Melihatku yang mendekapkan tangan ke perutku karena dingin, Deri segera membuka jaketnya dan mengenakannya pada tubuhku. Hangat dan penuh keromantisan yang aku rasakan. Begitu berbunga-bunga hatiku saat itu. Ditambah lagi genggaman tangannya yang tak lepas di setiap langkah kami berdua yang berjalan mendekati kawah putih itu.
Bebatuan yang cantik dan beberapa tanaman jamur tumbuh di sana menghiasi lereng kawah itu. Pandangan yang sedikit kerap menghilang akibat kabut yang saling berterbangan menghiasi keromantisan kami berdua yang sesekali saling bertatapan dan melempar senyum gembira.
"Gimana? kamu suka tempatnya?" tanya Deri sembari memberhentikan langkah kami di sebuat batu untuk segera duduk berdua saling berjajar itu.
"Iya, aku suka banget, tempatnya bagus" jawabku manja sembari takjub menatap ke segala arah lokasi itu.
Ingin rasanya aku yang duduk bersebelahan dengannya itu segera menyandarkan tubuhku agar ia pun merangkulku hangat dalam dekapannya. Namun hatiku sungguh malu dan tak berani melakukan itu. Segera kutepis khayalan itu dengan permainanku melempar batu-batu kecil di sekitarku duduk ke arah kawah itu.
"Tempat ini romantis ya? cocok untuk orang-orang yang berpasangan" ujar Deri sembari menatap batu kerikil yang sejak tadi aku lemparkan ke kawah dan membentuk gelembung air dan percikan kecil.
"Iiiya" jawabku singkat dan gugup. Entah mengapa debaran jantungku kini semakin kencang, seolah-olah hendak mendengar kabar sesuatu yang mengejutkan.
"Kamu sendiri, udah punya pasangan?" tanya ia padaku sembari menolehkan pandangannya padaku.
"Aaaku? emmm, belum" jawabku gugup, dan makin gugup sembari memilin jaket Deri yang aku kenakan tanpa memasukkan lenganku itu.
"Hhhehhh kenapa kog jawabnya gugup gitu?" tanya dia kembali sembari mengernyitkan dahinya yang putih.
"Hmmm, bisa ku tebak, kamu sebenernya udah punya pasangan ya? tapi LDRan!" tebak dia sembari menyeruku yang sempat diam atas pertanyaannya itu.
"Ih, sok tau kamu" jawabku jutek, sebab bingung dan sembari berpikir ingin menjelaskan apa.
"Trus, kenapa dong kamu nggak mau jawab? jawab kek punya, atau belum punya, kan aku nggak penasaran". Ujar dia lagi yang kini gantian melempar batu kerikil ke arah kawah.
"Emangnya kenapa kalo aku punya pasangan, dan kalo belum punya pasangan? apa urusan kamu coba?" ketusku untuk menutupi kegugupanku yang hampir tak bisa lagi berkata padanya.
"Ya urusan dong, kan kalo belum brati aku masih punya kesempatan, kalo udah ya aku mundur" ujarnya lagi.
"Maksud kamu apaan sih aku nggak ngerti?" tanyaku dengan hati yang sudah meleleh, antar senang tapi bingung luar biasa.
"Kamu nggak ngerti?? ya udah sini aku jelasin, mau?" tanya dia yang kemudian kami saling diam seketika. Mungkin dirinya ingin mengungkapkan sesuatu tapi masih mencoba merangkai kata.
Aku yang terus gugup dan mencoba menenangkan diri sambil terus memilin jaket Deri pun memilih diam tanpa kata. Ingin rasanya aku jelaskan semuanya tentangku, namun harus darimana aku memulai cerita dan bagaimana memulai kalimatnya.
"Eeee" suara itu seketika bersamaan antara aku dan Deri seolah ingin berkata sesuatu tapi kami berbarengan.
"Ya udah kamu duluan" persilahkanku pada Deri.
"Ehmm, kamu dulu aja deh" lempar dia padaku.
"Enggak ah, kamu dulu aja, biasanya kan cowok duluan yang...." tak ku lanjutkan namun kemudian Deri seperti mengerti.
"Iya, sebenernya aku pingin ngungkapin sesuatu, kalo aku ada rasa sama kamu. Hanya saja, kita sama-sama tau kalo kita bukan lagi seorang ABG, kita udah saling dewasa, itu artinya aku pingin kita menjalani hubungan serius. Aku pingin mengenal kamu lebih lanjut sebagai pasanganku, yang kemudian dalam waktu dekat jika memang berjodoh maka kita segera menikah".
Deg, hatiku meleleh mendengarnya. Tanganku bergetar dibuatnya, tak sanggup lagi aku harus berkata apa. Menelan ludah pun seolah aku sulit sat itu. Aku pun diam sementara tak menjawab apapun atas ungkapan dirinya. Sejenak aku sembari berpikir bagaimana untuk membalas ungkapan perasaan dia padaku.
"Deri, apa kamu yakin memilih aku sebagai calonmu? kamu sendiri belum mengenal aku? apa ini nggak terlalu cepat buat kita? aku takut nantinya kamu akan menyesal" ungkapku dengan penuh keberanian.
"Kenapa harus nggak yakin selama aku liat kamu baik kog." ujar dia meyakinkan.
Aku pun kembali diam tak bergeming. Seketika suasana meleleh bercampuk aduk di sana. Hawa yang semakin dingin pung merebah ke seluruh tubub kami. Tak henti-hentinya Deri menggosok-gosok tubunya untuk sedikit membuat kehangatan pada tububnya. Aku yang tak enak hati karena sudah mengenakkan jaketnya pun terpaksa segera memasukkan tanganku pada lengan jaket yang belum sempat aku lakukan lantaran tadi Deri yang memakaikannya hanya diatas bahuku. Kini aku sletingkan rapat jaketnya agar tubuhku tak kedinginan lagi, sebab aku begitu tak tahan dengan hawa dingin.
"Aku bukan berasal dari keluarga kaya, kamu sendiri bisa lihat, motor yang aku pake bukan motor baru kayak yang lain, dan aku juga bukan termasuk cowok mapan yang udah punya segala hal untuk persiapan menikah, jadi mungkin wajar kalo seaindainya kamu bakal nolak aku". Tukasnya berkecil hati sembari menundukkan wajahnya.
"Bukan gitu maksudku Deri... aku cuma bingung, soalnya ini terlalu cepat, aku nggak mau nantinya kita akan saling kecewa... aku mohon kasih aku kesempatan waktu untuk berpikir..." Bujukku pada Deri dengan perasaan cemas namun sudah menghilang getaran hati sebab telah berubah menjadi tegang.
"Oke, aku bisa ngerti kog, kalo itu mau kamu, aku bakal nunggu nanti sampe kamu mau menjawab ungkapan isi hati aku yang tadi" Ujar dia sembari melebarkan hatinya yang seolah tak harus memburuku untuk segera menjawab ungkapannya itu.
Senyum manisku lega kulontarkan untuk dia. Sekali lagi hatiku meleleh melihat kesabarannya yang mau menungguku kapan saja aku mau menjawab perasaan hatinya itu.
Tak terasa hari sudah semakin sore, kemudia Deri pun mengajak aku kembali ke kontrakan untuk mengantarkan aku istirahat menyiapkan tenagaku untuk bekerja esok pagi selepas libur nersama dengannya.
Sesampai di kontrakkanku, tak hentin-hentinya aku memikirkan bagaimana caranya menjelaskan pada Deri tentang diriku. Disatu sisi aku memang menharapkan Deri dan senang ada bersamanya, namun disisi lain aku tak mau berlama-lama terus membohonginya dan menggantungkkan perasaannya.
Bolak balik aku melangkah ke sana kemari dalam kamarku, hingga denting jam dinding kamarku pun menunjukkan bahwa malam telah larut. Aku yang sedari tadi sudah mengenakan pakaian tidur setelah membersihkan diri selepas pergi dengan Deri langsung menjatuhkan tubuhku di atas kasur lantaiku. Tatapanku ke atas langit-langit dinding yang tak lepas dari bayang-bayang Deri tak segera menemukan jawaban untuk bisa aku menjelaskan semua pada Deri tentangku. Hingga aku pun terlelap dengan perasaan yang masih gundah.
Dalam lelapku, aku di temani sebuah mimpi berada di sebuah lorong seorang diri bersama seorang bayi mungil yang begitu tampan. Bayi itu ju gendong dengan begitu sayangnya seolah itu adalah anakku. Tak lama aku berjalan seorang diri dalam gelap dan rasa takut, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh seram berlari ke arahku untuk mengejarku. Aku yang ketakutan sontak ikut berlari sekencang-kencangnya dan sesekali menoleh ke arah belakang yang rupanya tak hanya satu orang yang mengejarku. Semakin lama orang-orang itu semakin banyak, semakin membuat aku takut, bingung dan harus lari kemana. Dengan nafas yang terengah-tengah dan keringat bercucuran membasahi rambut panjangku, aku berlari sekencang-kencangnya, namun apalah dayaku mereka terlalu ramai dan seseorang hampir meraihku.
Sontak aku terbangun dari mimpiku dengan tubuh yang basah penuh dengan keringat bercucuran di atas bantalku. Nafasku yang masih terengah-engah berasa begitu lelah sembari menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 04.30 dan tak lama dari itu adzan subub berkumandangan.
Aku yang segera melupakan tentang mimpi itu tak mau berpikir banyak tentang itu. Meski sempat memikirkan apa arti dari mimpi itu, namun segera kutepis mengingat bagiku mimpi hanyalah sebuah bunga tidur.
Bergegas aku ke mara mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat subuh. Jarang sekali aku menyentuh perakara ibadah dalam hidupku, banyak hal yang lalai dalam diriku, terutama pada subuhku, jika tidak karena kesiangan, atau memang sengaja karena aku malas bangun pagi bila sedang mendapati shift siang.
Aku yang merasa bersalah di hadapan Tuhan pun mengadu padannya mengenai kegundahanku. Aku yang mengakui bahwa aku sering lalai padaNya, dari siang yang sok sibuk, malam yang ketiduran, dan pagi yang terlewatkan. Pantas jika Dia sering menghukumku. Gumamku dalam hati seketika selesai menunaikan sholat subuh.
Suasana pagi yang tenang, membuat pikiranku sedikit jernih. Ada rasa tergugah untuk segera memberikan jawaban pada Deri tentang hal yang kemarin dia ungkapkan padaku. Terbesit padaku yang sempat gagal dalam pernikahan, sudah tak seharusnya aku memikirkan jatuh cinta dengan seorang pria layaknya sebagai ABG. Apalagi Deri menginginkan untuk menuju keseriusan. Yah, meski itu sesuatu yang membuatku sangat meleleh, namun aku harus bisa selektif menyikapinya. Lantaran aku tak mau gagal lagi untuk kedua kalinya.
Ini subuh hari, meski aku bukanlah sosok wanita yang soleha idaman semua pria, sudah sepatutnya aku mendambakan juga seorang pria yang mampu menjadi imam yang baik, bukan seperti mantan suamiku dulu yang terlihat alim, pandai ilmu agama dan mengaji, namun setelah menikah semua berbanding terbalik. Maka subuh ini saatnya aku mengecek dirinya apakah sudah bangun untuk menunaikan sholat subuh seperti harapanku pada lelaki yang hendak ingin ku pilih menjadi imam.
"Halo Deri, kamu lagi apa?" tanyaku dari padanya yang berniat menjelaskan tentangku di telepon sekaligus mengecek apakah dia sudah bangun pagi.
"Barusan sholat subuh, ini lagi nglipet sajadah" jawabnya membuatku meleleh mendengarnya.
Dugaanku yang buruk terhadap Deri salah, rupanya dia juga sososk yang alim. Lantas ini membuatku makin berkecil hati.
"Bagaimana mungkin seorang Deri yang baik ini akan mendampingiku yang berstatus janda ini" gumamku dalam hati menciutkanku, namun tak lantas menyurutkanku untuk mengungkapkan pada Deri.
"Deri, maaf sebelumnya kalo aku belum pernah jujur sama kamu selama ini tentang aku" mulai kalimatku yang sepertinya didengarkan oleh Deri dengan seksama.
"Sebenernya aku ini udah pernah menikah Der, tapi bercerai, iyah lebih tepatnya statusku sekarang janda, jadi sebaiknya pikirkan lagi kalo kamu mau menjalin hubungan denganku". Ujarku padanya tanpa beban.
"Kenapa kamu nggak bilang? seharusnya kalo dari awal kamu bilang sama aku, aku nggak perlu larut mendekati kamu, aku bisa berpikir dulu, kenapa kamu nggak cerita dari awal?" tanya dia kaget seolah marah dan menyalahkannku.
"Maaf Der...aku minta maaf banget, aku juga nggak ngerti harus berbuat apa, aku sebenernya juga suka sama kamu, aku nyaman ada sama kamu, aku takut kalo kamu menjauhi aku, tapi aku nggak bisa terus-terusan membohongi kamu, sekalipun kita bisa berhubungan, ini pun akan seperti membohongi diriku sendiri, awal memang berat, tapi sekarang aku udah coba jujur, dan aku udah siap apapun keputusan kamu seandainya kamu akan menjauhiku setelah ini." Jelasku panjang lebar namun kemudian dibalas tutup telepon oleh Deri.
Kemudian aku coba menghubinginya kembali, tapi sepertinya ia tak mau mengangkatnya lagi. Aku yakin dia begitu kecewa dengan kabar ini seperti yang sudah kuduga.
Tanpa terasa air mata ini mengalir di pipiku yang masih kusam karena bangun tidur itu. Serasa kehilangan untuk yang kedua kali atas cintaku. Entahlah, mengapa seorang Deri yang harus ada dan mampu menghapus jejak rasa traumaku terhadap laki-laki setelah aku gagal dengan Bagas. Derilah sosok pria yang selama ini aku beranikan diri untuk memulai saling dekat sebagai menyalurkan rasa yang sejak lama selalu aku tepis pada lelaki yang mencoba mendekatiku.
Namun kini sepertinya seketika kandas. Harapanku yang ingin mencoba meniti kehidupan baru bersama pria sepertinya harus segera aku kubur dalam-dalam.
"Bodoh, aku bodoh, emang aku ini siapa, bukankah dari awal aku udah ingetkn kamu Bunga.... kamu jangan pernah main sama laki-laki, karena kamu bukan cewek beruntung" gumamku mengecilkan hatiku yang seketika aku seka air mataku dan bergegas mandi untuk berangkat kerja pagi hari ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Astrid Queennara
klu laki² betul ² suka sama qt apa pun setatus yg kita pegang pasti dia mau menerima qt apa ada nya..
berarti si Deri cm omdo diang tuh bilang suka
2020-07-28
2
Teh Ai..
yg sabar ya bungga semoga ad yg mau nerima kmu ap adanya...
lanjit thorr
2020-05-02
1