NovelToon NovelToon

Janda Yang Malang

Akhir dari pernikahanku

Satu persatu kukemas pakaianku ke dalam koper dan beberapa tak rangsel. Bergegas kulangkahkan kakiku meninggalkan kontrakan itu seorang diri menuju Stasiun Kereta Api menggunakan taksi yang sudah kupesan sebelumnya.

Kota Bandung tujuanku saat itu, dimana aku menerima panggilan kerja di sebuah rumah sakit yang kukirimi surat lamaran dua minggu yang lalu. Surat cerai yang masih dalam tahap proses itu kubiarkan keluargaku yang mengurus nanti. Pengadilan agama akan memberi kabar bila surat perceraianku telah siap.

Dua bulan sudah proses persidangan yang aku jalani untuk bisa melepas status pernikahanku dengan Bagus. Air mata sepertinya sudah bosan kukeluarkan untuk masalah ini. Stres dan depresi pastinya menemani hari-hariku saat itu.

Yah, saat dimana aku harus menentukan pilihan untuk tetap hidup bersama dengan lelaki pemalas dan ringan tangan itu, atau menyudahi semuanya dengan resiko gelar janda yang akan tersemat padaku.

Satu tahun ku habiskan waktuku bersama Bagas menjalani bahtera rumah tangga. Tak seperti kebanyakan rumah tangga yang lain, awal pernikahan yang seharusnya dibumbui dengan keromantisan mengawali kehidupan yang baru itu, justru berbanding terbalik dengan kami.

Meski dua tahun sebelumnya kami saling mengenal dan berpacaran, namun tak semua sifat dasar Bagas terpancar pada waktu itu. Ramah, supel, dan santun, itulah yang dikenal orang-orang selama ini tentang dirinya.

Namun siapa sangka, suaranya begitu lantang manakala menghardik diriku dalam amarahnya. Begitu pun dengan tangannya yang sering begitu mudah ia ayunkan ke pipiku hingga pernah menimbukan bekas memar yang tak kunjung hilang dalam satu minggu.

"Kalo tak sanggung hidup susah makanya jangan ngajak aku nikah secepat ini!!" bentak Bagas dalam pertengakaran kami yang cukup melelahkan.

Aku yang hanya terdiam di sudut ruangan kamar kontrakanku yang tak begitu luas itu. Lelah sudah aku untuk berkata padanya, sebab tak ada guna lagi, yang ada hanyalah keributan yang tiada ujung. Sifat Bagas yang begitu kasar membuatku tak ingin lagi melanjutkan pertengkaran yang mengakibatkan pipiku lebam dibuatnya.

"Plakk!!" suara ayunan tangannya pada pipiku yang membuatku teriak histeris karena kesakitan. Namun hal ini tak membuat ada perasaan sesal padanya. Ia terus menerus bergerutu layaknya seorang perempuan yang sedang mengomel tiada henti.

"Dikit-dikit nangis, dikit-dikit ngeluh, hidup susah sedikit nangis, kapan sih kamu nggak nangis?" bentak Bagas sambil menudingkan telunjuknya ke arahku.

"Dasar lelaki tak tanggung jawab, kalo nggak bisa menafkahi bilang aja, jangan bawa-bawa menyesal nikah belum siap, alasan aja kamu!" balasku yang tak tahan dengan sikapnya.

Diambilnya air segayung dan diguyurkan padaku yang seketika membasahi badanku membuat aku kedinginan, sebab saat itu musim dingin sedang berlangsung di kotaku. Aku yang teriak histeris sambil kusebut ibuku berharap menolongku saat itu kemudian diseretnya ke arah kamar mandi. Perlawanan terjadi disana, saat aku meronta-ronta yang tak ingin dibawanya ke kamar mandi itu.

Namun apalah daya tubuku dan tanganku tak sanggup menahan kekuatan Bagas yang tentunya lebih dari aku. Aku yang melemah saat itu hanya bisa pasrah ketika Bagas mengguyur kembali tubuhku berulang kali. Dan kali ini tubuhku benar-benar basah kuyup. Getaran gigiku menemani air mataku yang tak henti-hentinya menetes, bukan karena kesakitan, namun hati ini yang terasa remuk redam melihat sikap seorang suamiku yang kuharapkan sebagi tauladan yang baik untukku, namun hanya kecewa yang disuguhkan.

Perangai agamis pada Bagas juga membuat siapapun terkelabuhi atas sikapnya yang sesungguhnya kasar padaku. Tak ada yang mengenalinya sebagai diriny sebagai sosok ringan tangan. Hanya diriku dan dinding rumah kontrakan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan Bagas padaku sehari-hari.

Seketika ia pergi meninggalkanku dalam keadaan basah kuyup di kamar mandi itu. Dibawanya motor butut satu-satunya harta yang ia miliki saat itu dengan kencang dan penuh emosi.

Seketika kuseka air mataku yang sedari tadi membuat bengkak kelopak mataku. Aku kuatkan hatiku untuk segera menyudahi ini semua. Ku raih gawaiku dan kuberanikan diri untuk menceritakan hal ini pada ibuku meski berat. Ibuku yang mencoba memahami pun mengambil langkah agar aku segera menyudahi hubunganku dengan Bagas yang masih seumur jagung itu.

Pertimbangan beluam ada buah hati hasil dari pernikahanku membuat ibu dan abangku satu-satunya meringankan keputusanku untuk bercerai dengan Bagas segera. Mereka pun tak tahan dengan derita hidupku yang akhirnya terungkap semenjak kejadian itu.

Kepulangan diriku ke kampung halamanku setelah kejadian itu hanyalah semata untuk segera mengurus perceraianku dengan Bagas. Beruntung prosesnya tidak terlalu ribet, lantaran Bagas sendiri pun sudah pasrah dengan keputusanku. Jika ada panggilan persidangan ia tak pernah menanggapi apalagi datang untuk hadir. Dengan begitu sang jaksa mudah untuk mengetuk palu perpisahan kami.

Setelah semua tinggal menunggu Akta Cerai, aku bergegas kembali ke Kota dimana aku tinggal di kontrakan bersama Bagas untuk segera mengemasi barang-barangku yang tersisa di sana. Tampak seperti tak ada kehidupan di rumah itu. Suasana begitu sepi dengan debu-debu yang bertebaran di sekitar lantai pertanda jarang dibersihkan.

Rupanya semenjak kepergianku ke kampung untuk mengurus cerai, ia pun tak menempati rumah kontrakan kami. Bagas memilih tinggal bersama teman-teman di kost-kostan, dimana mereka tinggal dan menghabiskan waktu selama pernikahan kami berlangsung.

Iya,di sana di kost teman-temannya itulah ia sering meninggalkanku sampai tengah malam, bahkan terkadang sampai tak pulang. Bermain bersama teman-temannya membuat ia tak menyadari bahwa dirinya telah beristri yang patut untuk dipertanggung jawabkan.

Sepertinya ia masih sulit untuk menerima kondisinya bahwa dirinya telah berumah tangga. Kehidupannya yang selalu berhura-hura bersama teman-temannya belum bisa ia tinggal, hingga seringkali ia lupa mana yang menjadi prioritas seorang lelaki yang telah berumah tangga.

Tak jarang kontrakan kami pun menjadi sasaran tempat berkumpul mereka hanya sekedar untuk begadang bersama, ataupun bermain sesuatu yang tidak jelas arahnya. Hal ini cukup membuatku risih dibuatnya, mengingat sebagai seorang wanita, aku ingin adanya privasi pada tempat tinggalku. Bukan seperti sebuah markas yang setiap saat menjadi tempat yang setiap sudut mereka injak dengan langkah kakinya meski itu adalah kamar kami berdua.

Sikapnya yang kekanak-kanakkan pun membuat Bagas tak ingin membahas masalah program kehamilanku. Dirinya justru selalu ingin mencegah manakala aku menginginkan seorang anak. Hal ini membuat dirinya rela ber KB demi menunda kehadiran buah hati kami. Sedihnya bukan main yang aku rasakan. Ketika sebuah pernikahan adalah kehamilan yang akan dinantikan setiap pasangan, namun ini justru seperti ditolak.

Entah apa yang ada dalam pikiran Bagas, mungkin saja kesiapan yang tak ada akan perekonomian yang tak kunjung membaik membuat dirinya tak ingin kehadiran buah hati terlebih dahulu. Namun bagaimana lantas perekonomian akan berubah sementara dirinya seorang pengangguran.

Untuk makan sehari-hari kami hanya mengandalkan uang dari kiriman ibuku yang sebetulnya ibuku kirimkan hanya untuk tambahan uang belanja kebutuhan perawatan wajahku. Namun karena kebutuhan, perawatan tubuh yang biasa aku beli selama hidup bersama ibuku harus kulupakan demi bisa makan.

Aku yang sedang berusaha mencari pekerjaan kesana kemari pun akhirnya justru tak tahan dengan pernikahan ini. Suatu ketika ku iseng mencari lowongan kerja di luar kota dan melayangkan sebuah lamaran di sebuar Rumah Sakit di Kota Bandung.

Entah memang karena sudah jalan takdirku atau hanya sebuah kebetulan, aku mendapat panggilan kerja di Rumah sakit itu tepat di saat aku sudah resmi berpisah dari Bagas. Sehingga tak ada lagi bebanku untuk meninggalkannya untuk bekerja jauh darinya seperti dahulu yang dirinya selalu melarangku bekerja di kota lain.

Semenjak itu Bagas tak pernah lagi menemuiku ataupun menghubungiku. Aku pun telah hilang jejak darinya dan berusaha tak mau lagi mencari tau tentang dirinya. Kami melangkah menjalani kehidupan masing-masing. Terakhir kulihat dari beranda FB miliknya ia pun sedang asik menikmati kehidupannya yang bebas bersama teman-temannya. Setelah itu aku tak tau lagi lantaran sudah kublokir semua kontak-kontaknya.

Pertemuan dengan Deri

Kini aku pun memulai kehidupan baru di Kota Bandung. Aku tinggal di sebuah kontrakan petak yang tak cukup luas dan sederhana. Semenjak perceraianku waktu lalu perekonomianku tidak terlalu baik, hingga aku harus bisa menghemat segala keperluanku. Terlebih aku baru akan memulai kerja dan belum menerima gaji.

Di sebuah Rumah Sakit besar aku bekerja menjalani sistem shift yang terbagi menjadi tiga, yakni pagi, siang, dan malam. Perkenalan dengan teman-teman baru pun aku lakukan. Sedikit demi sedikit aku mulai beradaptasi, baik di lingkungan tempat tinggalku, maupun di tempat aku bekerja. Sejauh ini yang aku temui mereka semua ramah dan membuat aku nyaman. Sedikit lega buatku yang tinggal sebatang kara ini, tak ada teman yang aku kenal sebelumnya, apalagi sanak saudara di sana. Aku benar-benar memulai kehidupan seperti orang asing yang baru saja tiba di sebuah kota.

Aku berjalan kaki menuju tempat kerjaku, sebab jarak antara kontrakanku dengan rumah sakit itu tak begitu jauh. Beberapa rumah dan kontrakan lain aku lewati dalam setiap langkahku.

"Berangkat neng?" sapa tetangga kontrakan dengan ramah kepadaku.

"Iya 'a" balasku dengan senyuman yang tak kalah ramah.

Yah, meski aku adalah orang baru di situ, mereka semua ramah padaku, berbeda dengan lingkungan tinggalku saat aku masih berumah tangga dengan Bagas dulu.

Sosok seorang pria bertubuh sedang dan tak begitu tinggi sedang mengeluarkan motornya dari kontrakannya. Hampir setiap aku berangkat kerja memang sering melihatnya, entah ketika dia sedang akan kekuar berangkat kerja, ataupun hanya sekedar duduk santai menghisap rokoknya di depan kontrakannya itu.

Tatapan wajahnya terlihat memperhatikanku. Seperti seolah ingin menegur aku namun diliputi rasa malu, sebab memang kami tak saling mengenal sebelumnya. Sikapku yang cuek pun membuat ia mengurungkan untuk sekedar menyapaku. Kemudian ia segera berlalu melajukan motornya melewatiku yang sedang berjalan dengan sedikit menolehkan wajahnya padaku, namun ketika kubalas tatapannya, ia segera membuang wajahnya seketika.

Malam itu aku pulang dari rumah sakit karena kebetulan aku tugas shift siang, hingga aku harus berjalan di tepian jalan menuju kontrakan yang tampak mulai sepi karena hari hampir larut malam. Aku yang memang pulang sedikit terlambat dari jam biasanya lantaran ada pasien gawat yang mengharuskan aku lembur membuat penghuni kontrakan sebagian sudah terlelap. Dengan tenang aku melangkahkan kakiku dengan santai karena sedikit lelah yang aku rasa selepas bekerja.

Lagi-lagi aku berjumpa dengan sosok pria yang tadi siang bertemu itu. Kali ini ia menatapku dan melontarkan senyum ramah padaku sebab aku membalas tatapannya dengan ramah. Aku pun segera membalas senyumannya meski tak begitu semringah sebab badanku terasa letih.

Aku yang terus melangkah berlalu darinya, merasakah ia terus memperhatikanku hingga aku sampai pada kontrakanku dan memasukinya untuk segera melepas lelah. Sebelum merebahkan tubuhku di atas kasur, aku yang penasaran dengan pria tadi pun mencoba menggeser sedikit tirai jendelaku untuk memastikan apakah benar sang pria tadi benar-benar memperhatikanku. Benar saja, matanya tak berhenti menatap ke arah kontrakkanku yang memang jaraknya tak jauh dari kontrakkannya. Dengan sedikit perasaan heran aku pun mencoba segera melupakannya dan bergegas membersihkan diriku agar aku bisa segera beristirahat.

Keesokan harinya, seperti biasa aku pergi ke sebuah warteg di ujung jalan yang tak jauh dari kontrakanku untuk membeli makan mengisi perutku yang sudah mulai keroncongan. Tampak pria itu sedang duduk di sudut bangku di dalam warteg itu sambil menyantap makanannya.

"Bu, nasi ayam dibungkus satu ya" ucapku pada pemilik warteg itu.

"Iya neng, sama apa lagi?" tanya ibu warteg sembari menyiapkan pesananku.

"Udah cukup itu aja bu" jawabku ramah.

Mendengar suaraku ia pun langsung menoleh ke arahku dan seketika melemparkan senyuman manisnya padaku.

"Sarapan" basa-basinya padaku sembari menawarkan sepiring nasinya yang sedang disantap waktu itu.

"Iya makasih" balasku ramah.

"Kog nggak makan di sini aja?" tanya dia lagi sembari menyambar segelas air hendak meminumnya.

"Enggak, di bungkus aja, nggak biasa makan sendirian di Warteg" jawabku sambil menerima bungkusan makan yang sudah selesai dibungkus ibu Warteg.

"Oh, ya nggak papa makan di sini aja sama aku nih" ucap di menawarkan diri menemaniku makan di situ.

"Iya laen kali aja, ini punyaku udah terlanjur dibungkus" jawabku sambil berlalu meninggalkan Warteg itu selepas memberikan uang pembayaran pada ibu Warteg itu.

Ketika langkahku hampir sampai kontrakan, kutengokkan wajahku mengarah pada warteg tadi, dan kulihat dia sudah berlalu hendak berangkat ke tempat kerja. Langkahku pun aku lanjutkan untuk segera bisa menyantap makanan yang sudah aku beli.

Hari ini aku kerja shift siang yang kedua dalam mingguku. Tak seperti kemarin, kali ini aku pulang tepat pada jam pulang. Baru saja aku keluar dari gerbang rumah sakit, aku melihat sosok pria itu menghampiriku seolah-olah ia sengaja telah menungguku sejak tadi di depan rumah sakit.

"Hari ini nggak lembur?" tanya ia menyapaku yang sedang terperangah sedikit kaget dengan kehadirannya.

"Iya, kalo kemaren ada pasien gawat darurat, jadi aku harus lembur karena harus bantu teman-temanku menangani itu" jawabku.

"Oya, aku belum tau nama kamu, kita tetanggaan kontrakan, dan kamu sepertinya orang baru, makanya aku belum tau namamu?" tanya dia sembari mengiringi langkahku pulang.

"Bunga" jawabku singkat.

"Owh, Bunga, kamu asal mana?" tanya dia seperti mengintrogasiku.

"Aku dari Lampung, emang kenapa?" tanyaku kembali.

"Oya??brati kita satu daerah dong" ucap dia kaget namun terasa gembira.

"Eh, nama kamu sapa? tadi aku lupa nanya?" tanyaku sembari merangkul tas gendongku yang hampir jatuh dari bahuku.

"Aku Deri" jawabnya singkat.

Akhirnya sepanjang perjalanan kita mengobrol dan mulai saling akrab. Usut punya usut ternyata kami berasal dari satu daerah tinggal dan bahkan pernah satu sekolah pada waktu SMP. Pantas saja pertama kali aku bertemu dengannya terasa wajah tak asing padanya. Namun meski kita pernah satu sekolah, tak saling mengenal, sebab aku dan Deri berbeda kelas dan tak pernah bertegur sapa.

"Kamu udah sampe di kontrakanmu, kenapa nggak masuk?" tanyaku padanya yang terus mengikuti langkahku.

"Aku antar kamu sampe kontrakan, kasian cwe pulang malem-malem sendirian" ujarnya seperti memberi perhatian padaku.

"Itu kontrakan aku kan kelihatan dari sini dan nggak jauh, aku bisa pulang sendiri kog, ngapain kamu ngikutin aku, nanti kan jadi bolak balik?" jawabku heran.

"Udah nggak papa, kan nggak salah juga sih aku nganterin kamu sampe kontrakan?" balasnya seolah tak ingin menyudahi perjumpaan denganku.

Tak lama dari itu akupun sampai di depan pintu kontrakanku. Sebelum aku masuk, tak lupa ia menanyakan nomor ponselku padaku, dan segera menyimpannya dalam ponselnya. Aku yang bergegas masuk ke dalam kontrakanku itu melihat ia melambaikan tangannya padaku sembari melangkah pergi meniggalkan bekas senyum manis di wajahnya.

Malam itu wajah Deri cukup membuat aku terngiang-ngiang diatas tempat tidurku. Wajahnya yang tak lumayan tampan hanya standar sebagai seorang lelaki biasa itu dibanding dengan Bagas mantan suamiku, entah mengapa mebuatku sedikit terusik. Kusegerakan untuk melupakannya dan mencoba tak menghadirkan suatu perasaan padanya apapun yang terjadi. Janjiku dalam hati malam itu.

Kehidupanku yang belum sembuh dari luka batin yang mendalam, ditambah lagi statusku sebagai janda membuatku tak ingin lagi tergoda dengan pria. Entah karena rasa traumaku ataupun rasa tak percaya diriku membuat aku ingin menjauh dari lelaki yang mendekatiku. Sama pun yang terjadi dengan Iyan, seorang teman lelaki di tempat aku bekerja pun sedang berusaha mendekatiku, namun aku segera menjauh darinya karena tak ingin aku menceritakan tentang aku padanya, juga pada orang lain.

Aku yang dahulu dikenal ramah dan mudah bergaul kini cenderung menutup diri semenjak menyandang status jandaku. Mataku yang sedari tadi hanya berkedip-kedip menatap langit-langit kontrakanku yang warna catnya mulai memudar tak terasa pun mulai terlelap.

Pagi hari aku buka mataku perlahan, kuraih gawaiku yang berada dekat dengan bantalku. Kulihat sebuah pesan masuk belum terbaca olehku sebab aku baru mengetahuinya. Tampak sebuah nomor baru di layar kacaku.

[Kalo mau sarapan bareng yuk, biar kamu nggak sendirian lagi kayak kemaren]. Sebuah kalimat dalam pesan singkat itu terbaca oleh mataku.

Ternyata Deri yang mengirimkan pesan itu. aku yang tak ingin beranjak dari kasurku sebab mataku masih merasa ngantuk pun meneruskan tidurku kembali dan tak menghiraukan pesan dari Deri. Hatiku sebenarnya ingin sekali akrab dengannya, namun entahlah, hatiku tak sanggup bila suatu hari nanti harus menjelaskan statusku pada Deri. Aku yakin kecewa akan aku alami. Belum lagi rasa traumaku pada lelaki dan hampir tak ingin lagi percaya dengan rayuan lelaki kini membuatku segera menepis untuk bisa dekat dengan lelaki baru.

Aku yang baru berusaha memejamkan mata kembali tiba-tiba di kejutkan dengan bunyi gawaiku. Segera kuraih, dan benar saja, nomor Deri muncul di layar memanggilku.

"Halo, Bunga, kog kamu nggak balas WAku?" tanya dirinya dengan penuh harap.

"Iya, aku ketiduran lagi, soalnya badanku capek jadi masih kerasa ngantuk, makanya aku pingin tidur lagi" jawabku dengan suara serak dan lesu.

"Owh ya udah kalo gitu, tapi nanti kalo udah bangun jangn lupa sarapan ya?" ujarnya sambil menutup teleponnya.

Aku yang melanjutkan tidurku tak menghiraukan hal itu. Saat itu yang terpenting aku harus tidur cukup agar nanti malam saat aku shift malam aku tidak mengantuk.

Selepas magribh, aku bersiap-siap untuk berangkat kerja. Tak lupa aku mengenakan seragamku yang baru saja ku setrika siang tadi selepas tidurku yang cukup panjang itu. Sepiring nasi lauk tempe goreng yang aku masak sendiri mengganjal di perutku untuk persiapan bertempur dengan pekerjaanku nanti malam.

Setelah semua siap, aku pun bergegas keluar dari pintu kontrakanku. Baru saja kubuka pintunya, kulihat sebuah motor parkir tepat di depan pintu kontrakanku itu. Yah, kulihat Deri ada dihadapanku sekarang, dengan senyuman manisnya dari bibir tipisnya yang sebetulnya menyentuh hatiku.

"Oh, seandainya statusku bukanlah janda, aku yakin akan berusaha menyambut hatinya untukku" gumamku dalam hati sembari menatap wajahnya.

"Kamu shift malam? ayok aku anter pake motor biar kamu nggak capek, nanti malem kan kamu harus bekerja" ujar dia menawarkan padaku.

"Dari mana kamu tau kalo aku shift malem? lagian jaraknya kan deket, kenapa harus pake motor?" balasku dengan gurat kerut di keningku.

"Udah ayok naek, kan aku bilang daripada kamu udah capek duluan padahal kamu nanti malem bakal begadang, mending aku anter kamu pake motor kan?" jawabnya lagi sembari menyuruhku untuk segera menaikinya.

Dag dig dug rasa hatiku saat itu, entah mengapa aku sedikit grogi dibonceng motor olehnya. Seperti ada getaran hati yang harus disambut namun aku tepis.

Karena jaraknya yang dekat, maka hanya sebentar aku merasakan duduk berboncengan dengannya itu. Sesampainya di depan gerbang aku pun bergegas menuju rumah sakit dan tak lupa meninggalkan ucapan terima kasih pada Deri yang sudah rela mengantarku hari ini. Dengan senyum lembutnya, ia menganggukan kepala dan bergegas pergi bersama motornya dengan santai.

Malam itu aku bekerja ditemani oleh Deri lewat chatingan-chatingan dengannya. Sesekali ia mencoba menelepon bila aku terlambat membalas chatinganku. Kebetulan pasien malam itu sepi, hingga aku punya banyak waktu luang untuk membalas chatt dari Deri.

Entah karena keesokan harinya Deri libur bekerja, ia menemaniku begadang hampir menunjukkan waktu subuh. Ketika rasa kantuk mulai menyelimutinya dan aku yang harus memulai rutinitas pekerjaan di waktu subuh, maka segera kuakhiri chattingan dengannya itu.

Masak bersama

Setelah mengenal Deri, kini hari-hariku banyak diisi waktu bersamanya. Sepulang dari bekerja ia selalu menyempatkan untuk mampir dikontrakanku untuk menemuiku bila kebetulan aku tak sedang jadwal kerja shift. Entah itu camilan atau pun sebungkus makan ia sering bawakan untukku.

Tentu aku suka, tapi sejujurnya aku tak ingin merepotkan dirinya seperti ini. Semenjak aku menanggapi perkenalan dengannya, hubunganku dengannya sepertinya semakin intens. Tak jarang ia juga menghubungi aku lewat chatt jika aku sedang bekerja, meski bukan aku yang memulai.

"Kapan nanti pas kita libur bareng kita jalan yuk?" pinta Deri padaku saat sedang asik menonton tivi di ruang kontrakanku.

"Emmmh, emang mau kemana?" tanyaku balik sembari memakan camilan yang ia bawakan untukku.

"Ya keliling Kota Bandunglah, atau ke lokasi wisata yang ada di sini, kamu belum pernah kan semenjak tinggal di sini?" ujar dia menjelaskan padaku seraya berharap aku mau.

Aku hanya terdiam tak menggubrisnya lagi, sebab aku tak mau jika nantinya aku berharap banyak pada Deri melebihi seorang teman. Kehadiran Deri mampu mengusir rasa sepiku ketika aku harus memulai kehidupan baruku yang sama sekali belum memiliki teman dekat di sini. Oleh karena itu, sejujurnya aku merasa beruntung bertemu dengannya. Hanya saja hatiku begitu takut kalau suatu hari nanti aku jatuh cinta padanya atas segala perhatiannya padaku.

Ingin sekali rasanya aku tolak Deri yang datang ke kontrakanku setiap saat itu, namun aku tak sampai hati. Meski sikapnya menunjukkan sebuah perhatian khusus padaku, namun aku menganggap mungkin karena aku dan dia teman satu daerah yang kebetulan bertemu sama-sama di perantauan ini, jadi dia berusaha akrab denganku.

Karena itu pada akhirnya aku tak keberatan jika aku harus selalu menerima dirinya datang di kontrakanku. Hal itu juga yang membuat obrolan kita selalu nyambung, sebab selalu saja ada yang kita bahas terutama tentang masa-masa sekolah kita dan teman-teman kita yang sama.

Deri yang bekerja di sebuah perusahaan bahan bangunan itu sudah sekitar lima tahun berada dikota ini. Itu tampak dari hapalnya hampir semua jalan dan setiap sudut kota di tempat ini. Rasa-rasanya ia sudah mulai bosan tinggal di sini. Berbeda dengan aku yang baru saja memulai meraba-raba jalan di sekitar kota ini dan belum tau seluk-beluk jauh kota ini.

Malam itu kami pergi bersama, Deri yang sudah lama mengajakku makan malam di luar bersama akhirnya tak ada lagi alasan aku untuk menolaknya. Selepas pulang kerja shift pagi, aku bergegas bersiap-siap sebelum ia menjemputku. Entah mengapa malam itu hatiku begitu gembira, berbunga-bunga bak wanita yang sedang jatuh cinta.

"Ah.... ada-ada saja kamu Bunga....., jangan keGeEran deh, dia cuma temen loh, dia juga mungkin cuma menganggap kamu temen yang buat ngisi sepi hari-harinya di sini, ingat juga statusmu apa, dan sampe saat ini Deri belum tau kan?? lupakan dia....lupakan dia... jangan harap dia lebih....plisss...." ucap diriku dihadapan cermin seraya meneteskan air matanya sebab hatinya yang begitu rapuh saat itu.

Aku yang selama ini sebetulnya masih menyimpan luka yang masih perih mengagah akibat perceraian dengan Bagas itu sesungguhnya masih terasa stres dan depresi. Sesekali dalam lamunanku masih dibayangi perasaan sakit atas kehidupan masa laluku yang buruk bersama Bagas. Semenjak kehadiran Deri, semua sedikit mereda, namun karena rasa tak percaya diriku, itulah yang membuat hatiku gundah dibuatnya.

"Greng...greng..."bunyi suara motor Deri pun tiba di depan pintu kontrakkanku.

"Krek" segera kubuka pintu, sebab aku pun sudah siap sejak tadi.

Deri yang saat itu tampak cute menggunakan kaos hitam dipadu dengan topi membuat hatiku berdebar menatapnya. Senyum manisnya yang menyambutku yang tengah berdiri di depan pintu mengenakan gaun merah marun seolah seperti sebuah panah asmara yang siap menancap tepat dijantung hatiku.

"Yuk" ajaknya sembari menstarter motornya.

"Kita mau makan dimana?" teriaku padanya sebab suara motor dan kendaraan yang lain mengiringi perjalanan kita.

"Ke cafe ucikra ya? kamu belum pernah nyicipin masakan di sana kan? enak-enak loh, menunya juga macem-macem!" jelasnya dengan nada teriak juga.

"Oke, aku nurut kamu aja!" seruku sembari mencium wangi parfum yang Deri pakai merebah pada hidungku yang berada tepat di belakang punggungnya itu.

Tak lama kami sampailah pada sebuah cafe yang terbilang cukup romantis. Gemerlap hiasan lampu warna-warni yang sedikit redup dipadu dengan gemercik suara air terjun kecil di kolam yang berada di sela-sela tempat duduk kami membuat suasana hatiku begitu nyaman. Ditambah lagi Deri yang tak henti-hentinya memandangi wajahku yang membuat rona merah di pipiku tersipu malu.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Deri menawarkan aku makanan yang ada di buku menu di atas meja tempat duduk kami.

"Hmmm terserah kamu aja deh, kamu makan apa, aku ikutan juga" jawabku yang tak mau banyak memilih menu yang menurutku tak terlalu menggugah selera selain karena hanya bisa bersama dengan Deri saja sudah membuat hatiku cukup nyaman.

"Iya, tapi masak kamu nggak pingin sesuatu gitu? yakin nih aku yang milih?" ujar dia yang kemudian memanggil pelayan cafe di sana untuk segera memesan makanan yang sudah ia tentukan.

Aku hanya mengangguk tanda setuju dengan apa yang dia pesan. Selain karena tak begitu memikirkan menu, aku pun tak ingin terlalu menguras kantong Deri dengan memesan makanan yang sebetulnya bisa saja aku pilih sesuai dengan yang aku mau. Karena aku yakin Deri juga sesama perantauan seperti aku, yang kebutuhan sehari-harinya hanya mengandalkan gaji. Ditambah lagi aku belum tau seluk beluk latar belakang keluarga Deri bagaimana, apakah dia orang berada, ataukah hanya orang biasa.

"Gimana? enak makanan di sini?" tanya Deri padaku sambil menyantap makanan yang telah ia pesan untukku dan untuknya.

"Iya, lumayan enak, tapi aku juga bisa bikin kog kalo cuma masakan kayak gini" jawabku sedikit songong yang ingin memamerkan keahlian memasakku.

"Oya, jadi kamu bisa masak? kalo gitu gimana kalo kita masak bareng aja? kan lumayan bisa hemat, buat makan kita berdua, jd gak perlu beli di warteg lagi, soalnya aku sering bosen, cuma gimana yah, kalo mau masak aku sendirian jatohnya boros". Pinta dia padaku yang penasaran ingin tau rasa masakkanku.

"Gleg" aku menelan ludah dengan perasaan beradu bimbang. Bagaimana mungkin aku bisa menghindar darinya apalagi dia ngajak kita masak bareng, itu artinya setiap hari aku bakal ketemu dengan dia lagi. Bahkan udah mirip sama pasangan suami istri nantinya. Aku juga nggak habis pikir kenapa seolah dia ingin begitu akrab denganku". Gumamku dalam hati.

"Iiiya juga sih bisa hemat, aku juga kalo terus-terusan makan di luar lama-lama bosen, sesekali memang kepingin masak. Cuma permasalahannya kalo misal pas aku kerja shift yang jadwalnya nggak bareng kamu gimana? kan kita nggak bisa setiap saat makan bareng". Jawabku beralasan seraya menghisap sedotan dari gelas berisi orange jus itu.

"Iya juga sih, tapi sebetulnya bisa aja, kamu masak aja sesempet kamu, nah nanti kunci kontrakan kamu aku duplikatin aja, biar aku bisa makan di kontrakan kamu, gimana?" tanya dia serius meyakinkan aku.

"Waduh, apa nanti nggak bermasalah ya kalo kamu sering di kontrakanku?" tanyaku sedikit kuatir sembari memilin gaun merah yang kupakai.

"Hmmm kamu pikir aku bakal maling di kontrakkan kamu? yang nggak lah, sembarangan amatlah kamu nuduh aku kayak gitu, lagian kan kita satu daerah, gampang aja kalo aku jahatin kamu mau nyari aku di kampungku". Ujar Deri ketus dengan memamerkan wajahnya yang cemberut.

"Bukan gitu maksudku Der, aku cuma nggak enak sama warga sekita kalo kamu sering-sering ke kontrakkan aku, dikira kita pasangan mesum lagi". Jelasku dengan rasa tak enak hati.

"Owh, ya udah kalo gitu kita masak bareng aja pas kebetulan shift kita samaan dan bisa ketemu gimana? kan sekalian bisa selang-seling juga kadang masak, kadang juga bisa beli". Ujar dia tak hilang alasan untuk bisa terus bersamaku.

"Hmmm ya udah deh kalo itu mau kamu". Jawabku yang tak mau lagi mendebat karena tak sampai hati padanya.

Deri pun akhirnya tersenyum lega mendapatiku menyetujui kemauannya itu. Sembari menghabiskan makanan, tak henti dia berbincang denganku mengenai dirinya atau pun pekerjaannya. Begitu pun dengan aku, banyak yang aku ceritakan tentang diriku, kecuali dengan statusku. Aku rasa belum saatnya untuk dia tahu, lagi pula belum ada keberanianku untuk menjelaskan padanya saat itu.

Aku takut Deri akan menjauhiku kalau dirinya tau statusku yang janda. Sebenarnya aku senang berteman dengannya, sebab tak ada lagi teman yang bisa dekat seperti ini di kota ini selain dengannya.

Setelah makan malam itu, tak henti-hentinya Deri terus mengajak aku chatting hingga tidur yang memberhentikan chattingan kami. Hampir setiap ada waktu, Deri selalu menghubungiku, jauh lebih sering dibanding saat sebelum acara makana malam bersama waktu itu.

Dua hari berikutnya,tibalah jadwal shift kami yang sama. Deri pun menagih janjiku yang akan masak untuknya. Sebuah kantong kresek berisi belanjaan lauk dan sayur ia berikan padaku untuk dimasak waktu itu. Tak lupa ia pun membantuku menyiapkan bahan masakkan yang akan aku masak.

Dengan penuh seksama ia memperhatikan aku yang mulai memasak. Senyum mereka di bibirnya sembari sesekali melihat wajahku yang terciprat air rendaman beras yang sedang aku cuci lantaran baskom yang untuk wadah meleset jatuh.

Seketika dia membantuku mengambil baskom itu, dan segera menyeka percikan air di wajahku dengan sapu tangan berbau wangi miliknya. Dengan lembut ia usapkan sapu tangan itu di wajahku. Ini membuat aku semakin deg-degkan tak karuan. Romantisnya membuat hatiku GeEr yang seolah ia sedang naksir padaku.

Wajahnya yang semakin dekat dengan wajahku ketika ia sedang mengelap air di wajahku itu serasa membuat hatiku meronta ingin dikecup mesra olehnya. Entah mengapa seperti ada rasa yang mulai bergejolak di sana dan di setiap sorot matanya yang sipit itu.

"Tara...udah mateng, yuk kita cicipin masakkannya, semoga kamu suka ya, btw kalo kamu nggak suka besok bisa aku perbaiki deh". Ujarku sembari menyodorkan semangkuk sayur yang sudah aku masak.

"Ahh, kalo kamu yang masak aku pasti suka kog". Sembari mengambil masakkanku yang ia taruh dalam piringnya.

"Hmmm ini enak...enak banget... lebih enak dari masakkan emakku di rumah". Puji dirinya padaku yang membuat hatiku semakin bergetar GeEr.

"Halah kamu bisa aja" balasku sembari ikut makan bersama dan merasakan hasil masakkanku yang menurutku biasa. Entahlah bagi Deri apakah enak beneran atau hanya memujiku supaya aku senang dan terus masak buat dia.

Semenjak itu pun kami selalau masak bersama jika jadwal kami sama. Deri yang selalu doyan dengan masakkanku bahkan sering memuji enak itu membuat hatiku semakin bersemangat untuk selalu membuatkannya masakkan.

Sesekali meski jadwal kerja kami tak sama, aku tetap membuat masakkan untukknya yang kemudian aku masukkan ke dalam wadah makanan lalu ku letakkan di depan pintu kontrakkan Deri, supaya nanti jika ia sudah pulang dari kerja bisa langsung menyantap masakkanku.

Dia pun semakin bahagia atas perlakuanku itu. Sepertinya ia semakin menunjukkan rasa perhatiannya padaku. Seakan-akan hanya ada aku dalam kehidupannya saat itu. Setiap ada waktu, aku dan Deri selalu menghabiskan waktu bersama. Entah itu di kontrakkanku, atau sesekali aku datang ke kontrakannya.

Hatiku terasa semakin nyaman bersamanya. Meski awalnya beberapa kali ingin menjauhinya, namun kini sepertinya aku benar-benar mulai tak rela jauh darinya. Perangainya yang lembut padaku, membuat benih-benih perasaanku mulai tumbuh padanya dalam waktu singkat. Perilaku yang sejak dulu aku dambakan pada sosok lelaki yang tak aku dapatkan pada Bagas mantan suamiku dulu kini ada pada Deri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!