"Surprise....."
Semua berteriak sekencang mungkin dan seketika lampu rumah yang awalnya padam kini menyala seketika. Tak cukup hanya itu, letusan balon dan terompet yang di tiup secara bersamaan sungguh membuatku terkejut dan hampir melompat seketika ke arah Adrian.
Aku hampir menangis terharu di buatnya. Semua orang ternyata sudah berkumpul di sini. Bapak, Ibu, mas Bagas, Niken, Dinda bahkan kerabat dari Bapak dan Ibu pun datang semua kesini. Ya, mereka yang sebelumnya membenci dan pernah menghinaku habis-habisan kini seakan lupa pada kejadian waktu itu. Budhe Ranti, tante Lastri dan tante Yeni, mereka semua sudah tak memandang sebelah mata lagi padaku. Sikap mereka sudah kembali lagi seperti saat aku masih bersama Bagas dulu.
"Happy anniversary," seru mereka dengan kompak. Baiklah. Kini aku tak dapat menyembunyikan tangisku lagi. Aku memeluk Adrian erat guna menumpahkan luapan haru dan kebahagiaanku yang datang bersamaan.
"Ayo, kalian tiup lilinnya!" Budhe Ranti menginterupsi. Dinda yang membawa kue ulang tahun dalam sebuah troli, datang mendekati kami berdua. Ah...sebuah kue yang sangat indah bahkan terlalu sayang kalau untuk di makan.
"Jangan lupa, buat permintaan kalian dulu!!" Seru tante Lastri yang terkenal paling bawel. Aku dan Adrian tersenyum karenanya. Kami memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya sama-sama meniup lilin tersebut.
Tepuk riuh membahana memenuhi ruangan seketika. Kelihatan jelas sekali kalau mereka semua ikut bahagia bersamaku. "Ayo Rian, potong kuenya dan suapkan pada istrimu." Kini ibu menyuruh. Beliau lalu memberikan sebilah pisau pada Adrian. Dan tanpa banyak komentar, Adrian menuruti perintah sang ibu.
"Buka mulutmu, Sayang!" suruh Adrian padaku. Dengan wajah malu-malu akupun membuka mulutku. Memakan kue tersebut dalam sekali gigitan.
"Dan sekarang, giliran mbak Anggun yang menyuapi mas Rian." Suara Dinda menengahi. Anak itu kini sudah tumbuh menjadi remaja cantik. Saat ini Dinda sudah duduk di bangku SMA kelas X.
Aku lalu mengambil pisau yang tadi di letakkan Adrian di atas nampan. Ku iris kecil dari kue tersebut dan seperti Adrian sebelumnya, akupun menyuapkan kue tersebut padanya. Kami berdua tersenyum bahagia dan saling berpelukan. Sekali lagi terdengar tepuk tangan riuh rendah dari sanak keluarga.
"Terima kasih, Pak, Bu," ucapku haru lalu memeluk mereka satu persatu.
"Semoga kalian bahagia selalu," kata Ibu dengan posisi masih mendekapku.
Satu-persatu mereka memberi ucapan selamat dan doa padaku dan Adrian. Kami benar-benar merasa bahagia saat ini. Lalu Ibu mengajak kami semua ke ruang makan. Disana derai tawa tak lepas dari bibir kami semua. Berbagai obrolan dan candaan membaur seiring dengan dentingan garpu dan sendok yang bertabrakan pada piring.
"Jadi kapan kalian akan punya anak? Apakah kalian belum merencanakannya sampai sekarang?" Budhe Ranti tiba-tiba membuka obrolan yang membuat kami tersedak hampir bersamaan. Kejadian tersebut sempat membuat beberapa keluarga tertawa.
"Jadi, benar apa yang di tanyakan mbak Ranti? Kalian masih belum pengen punya momongan?" Tante Yeni menyela sambil meneguk orange jusnya. Dan semua mata kini tertuju pada kami berdua.
"Ehmm....kami...." Aku tak bisa meneruskan kata-kataku. Pertanyaan itu tak pernah terbersit sedikitpun pada benak kami berdua. Aku dan Adrian memang tak pernah membicarakan tentang hal ini sebelumnya.
"Pasti Tante. Tentu kami pengen segera punya anak. Benar kan, Sayang?" Adrian menjawab tiba-tiba dan menoleh ke arahku bersamaan dengan kalimat yang ia lontarkan. Adrian meraih tanganku dan menggenggamnya. Dia pasti bisa merasakan suhu tubuhku yang berubah dingin.
"Ehm...yach..." akupun terpaksa mengikuti kata-kata Adrian. Entah itu hanya sekedar alasan atau memang sebuah kejujuran. Yang pasti hingga saat ini belum sekalipun aku dan Adrian membicarakan soal anak. Dan hingga detik ini, aku juga masih menjalani kontrasepsi. Kalau untukku sendiri, tentunya aku memang belum siap dengan kehadiran seorang anak. Ini jelas karena hadirnya Cinta. Meski dia sekarang ada dalam asuhan Bagas dan istrinya, tapi rasanya aku masih belum siap untuk punya anak lagi.
Dan pembicaraan itupun mati seketika berganti dengan topik yang lain. Aku dan Adrian menghabiskan waktu hingga malam hampir larut.
"Kalian tidak tidur disini?" tanya Ibu saat aku berpamitan pulang.
"Ndak, Bu. Lain kali saja. Besok mas Rian ada pertemuan penting di kantor," aku menolak halus.
"Ya sudah. Oh...iya, kau tak mau menemui Cinta dulu sebelum pergi? Karena besok Bagas dan Niken akan kembali ke Semarang pagi-pagi sekali."
"Ya. Ini saya mau ke sana. Tapi mungkin saat ini Cinta sudah tidur."
"Pergilah! Kau bisa memberikan ucapan selamat malam untuknya." Aku mengangguk seraya tersenyum tipis pada Ibu mertuaku.
Benar saja. Ternyata Cinta memang sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu. Niken yang sedang menungguinya sambil tiduran, bangkit seketika saat melihatku masuk ke dalam kamarnya.
"Mbak," desisnya lirih sambil mengulas senyum padaku. Ya. Meski secara fakta dia adalah kakak iparku, namun Niken selama ini tak pernah memanggilku dengan hanya menggunakan nama saja. Padahal aku sudah melarangnya, karena harusnya aku yang memanggil dia 'mbak'. Namun wanita itu tetap berkeras pada pendiriannya. Dia hanya ingin menghormatiku saja, itu katanya. Mungkin karena adanya Cinta yang membuat ia mempunyai pemikiran demikian. Dan aku hanya mengikut saja demi untuk menjaga perasaannya.
"Dia sangat pulas," ucapku sambil membelai wajah putri kecilku. Ah...tidak. Dia sekarang adalah anak Bagas dan Niken. Aku menciumnya beberapa kali untuk kemudian perlahan-lahan turun dari pembaringan. "Aku harus pulang, Niken." Aku lalu berpamitan pada Niken.
"Mbak Anggun tidak menginap disini?"
"Tidak. Besok Adrian ada rapat di kantornya. Jadi kami pasti harus berangkat lebih pagi dari biasanya."
"Ehmm...baiklah. Hati-hati Mbak."
"Yach, kau juga jaga diri baik-baik." Aku menoleh sejenak ke tempat dimana Cinta berbaring. Sejak tadi aku memang belum sempat menggendongnya. Itu karena dia rewel terus. Dan menurut informasi yang di berikan Niken, itu karena tadi pagi Cinta menerima imunisasi. Itulah sebabnya dia enggan di ajak siapapun termasuk juga diriku. Biarlah. Dengan melihatnya sehat saja, aku sudah cukup senang. Meski aku tak menampik kerinduan yang membumbung jauh dalam hatiku.
Bapak dan Ibu mengantarkan kami sampai ke halaman rumah. Aku melambaikan tanganku terakhir kali sebelum akhirnya Adrian menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah tersebut.
👇
👇
👇
"Apa permintaanmu tadi, Anggun?" tanya Adrian saat kami sudah ada di dalam mobil.
"Kau sendiri?" Bukannya menjawab aku justru balik bertanya.
"Aku hanya berharap, semoga kebahagiaan selalu bersama kita," jawabnya klise dan terdiam untuk sejenak. "Sekarang, katakan apa permintaanmu!!"
Aku masih belum ingin menjawab. Ada keraguan dalam hatiku. Permintaanku kali ini memang cukup aneh. "Aku, ingin kita menemukan cinta dan kebahagiaan kita." Aku melirik ke arah Adrian sekilas. Dan dia nampak mengerutkan keningnya. Dia pasti heran dengan permintaanku. Ah...jangankan dia, aku saja yang membuat permintaan juga di buat tak mengerti. Aku tidak tahu, permintaan itu terlintas begitu saja dalam pikiranku. Dan ku pikir Adrian akan mengungkitnya lebih jauh, namun nyatanya dia hanya terdiam sampai kami tiba di rumah kami kembali.
Kenapa? Kenapa aku meminta demikian? Sepertinya aku ragu bahwa Adrian adalah cinta sejatiku. Seakan bukan dialah yang merupakan kebahagiaanku. Entahlah...semoga itu hanya selintas pikiran iseng yang muncul dalam pikiranku dan bukan merupakan sebuah tanda dari awal yang buruk dalam pernikahanku. Semoga saja....
🌺🍃🌺🍃🌺🍃🌺🍃🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Nurrita
karna 'perahu cinta' akan menemukan sendiri tempat dimana seharusnya dia berlabuh
2020-04-16
1
Nana
smg aja nanti jodohnya sm dion
2020-03-27
0
Kenny sihyanti
Dari hati saja anggun sudah tak yakin akan kebahagiaannya sama adrian...
tapi kebahagiaan anggun sama dion
dion yang bisa membuat anggun bhagia...
dia sllu ad di waktu yang tepat...
2020-03-18
2