...***...
"Sebaiknya kalian tidak usah banyak bermain sandiwara." Pemuda itu tampak kesal. "Tujuanku, adalah membunuh kau." Ia menunjuk ke arah Prabu Praja Permana. "Aku mengetahui, jika kau adalah praja permana." Ia merasa kesal. "Tidak usah menyamar, dengan mengenakan penutup mata seperti itu."
"Seperti yang hamba duga." Selendang Merah melihat ke arah Prabu Praja Permana. "Memang Gusti Prabu yang diincar."
"Jadi begitu?." Respon Prabu Praja Permana.
"Menyerah saja, tidak perlu melawan."
"Aku mengetahui, kau adalah seorang pendekar pembunuh bayaran." Selendang Merah menatap tajam ke arah pemuda itu. "Siapa yang menyuruh kau? Untuk membunuh Gusti Prabu praja permana?."
"Kau tidak perlu mengetahuinya." Responnya. "Dan sebaiknya kau tidak usah ikut campur."
"Jadi? Kau masih ingin memaksa?." Sorot matanya tampak tajam, sambil mengeluarkan pedang Elang Merah.
Deg!.
Pemuda itu terkejut melihat pamor pedang itu, merasakan getaran yang tidak biasa.
"Kau juga seorang pendekar pembunuh bayaran?."
"Menurut mu?."
"Kali ini, aku biarkan kau bernafas dengan baik praja permana." Pemuda itu mundur beberapa langkah. "Karena kau dijaga elang merah." Setelah berkata seperti itu, ia segera meninggalkan tempat, karena baginya tidak mau bermasalah dengan sesama pendekar pembunuh bayaran.
...***...
Di sebuah tempat.
"Saat ini Gusti Prabu berada di luar istana." Ucapnya. "Apa yang akan kita lakukan Gusti?."
"Kita jangan terburu-buru dalam bertindak." Jawabnya. "Kita akan dalam masalah, jika rencana kita sampai diendus oleh Gusti Prabu."
"Bukankah? Kita memiliki pelindung yang kuat Gusti?." Ucapnya. "Apa yang perlu kita takutkan?."
"Kedudukannya di istana ini tidak kuat." Ia menatap lurus. "Sama saja kita terjun ke dalam api."
"Kabar yang hamba dapatkan." Ia memberi hormat. "Ia hanya bermain wanita saja."
"Salah satunya itu." Responnya. "Dari pada kita dalam masalah nantinya? Lebih baik bersabar dulu, sambil mengamati keadaan."
"Baiklah Gusti." Responnya. "Hamba rasa Gusti benar."
"Walaupun saat ini Gusti Prabu tidak ada di istana, Gusti Ratu masih bisa menjaga istana."
"Ya, kau benar." Balasnya. "Karena itulah, kita tidak boleh gegabah dalam bertindak."
"Untuk sementara waktu kita harus membuat kerusuhan saja."
"Bicara masalah kerusuhan." Responnya. "Akhir-akhir ini terjadi kerusuhan yang dibuat oleh pendekar golongan hitam."
Mereka saling bertatapan satu sama lain.
"Mereka dijuluki kelompok pendekar setan."
"Apakah karena itu?." Ucapnya aneh. "Gusti Prabu mengembara? Untuk mengetahui tentang kelompok pendekar setan?."
"Bisa saja seperti itu."
"Kalau begitu, tugas kita akan lebih mudah."
...***...
Pemuda yang tidak jadi menyerang Prabu Praja Permana.
"Tatapan matanya." Dalam hatinya masih ingat pada pendekar wanita itu. "Tidak aku duga, jika dia seorang pendekar dengan pedang elang merah."
Hatinya terasa gelisah, tidak menduga jika ada pendekar pembunuh bayaran yang memiliki tenaga dalam di atasnya.
"Getaran pedang itu, menandakan isinya yang sangat kuat." Ia berdiri, dan duduk lagi. "Sepertinya dia sudah lama menyelami dunia hitam dibandingkan aku."
Kali ini ia menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon yang cukup besar.
"Apa ilmu Kanuragan yang aku miliki? Masih kurang?." Ia menghela nafas pelan. "Sehingga aku tidak berani menatap matanya." Hatinya benar-benar resah. "Semoga saja pendekar elang merah tidak bersama praja permana sampai besok." Hanya itu saja harapannya.
...***...
Di sebuah rumah yang mewah.
Nyai Manik Kencana keluar dari biliknya, pikirannya masih kusut.
"Kenapa pendekar pembunuh bayaran itu? Masih belum bergerak sama sekali?." Dalam hatinya sangat gelisah. "Apakah sesulit itu membunuh kanda adipati?." Dalam hatinya semakin heran.
Saat itu melangkahkan kakinya menuju ke luar, karena suaminya belum juga masuk ke dalam bilik.
"Apa yang sedang dipikirkan kanda adipati?."
Saat itu matanya menangkap Adipati Rassha Kentara sedang termenung di ruangan utama.
"Kanda adipati?." Ia mendekati suaminya yang tampak termenung.
"Oh? Dinda." Adipati Rassha Kentara melihat ke arah istrinya. "Kenapa belum tidur? Ini sudah larut malam."
Nyai Manik Kencana mendekati suaminya, duduk dengan tenang.
"Kanda juga belum tidur." Ucapnya. "Kenapa kanda belum tidur?."
"Kanda hanya belum bisa tidur saja." Adipati Rassha Kentara menghela nafas.
"Apakah kanda resah? Karena sebentar lagi?." Ucapnya. "Prajurit istana akan ke sini? Meminta upeti pada kanda?."
"Itu benar dinda." Jawabnya. "Tapi mereka tidak mau membayar upeti yang telah ditentukan."
"Hm." Nyai Manik Kencana menghela nafas pelan. "Itu karena perbuatan kanda sendiri." Dalam hatinya. "Mulut kanda memang busuk, dan kejam pada orang lain."
"Dinda manik kencana."
Deg!.
"Ada apa kanda?." Ia terkejut, karena sempat melamun.
"Apakah kau memiliki pendapat yang bagus?." Ucapnya. "Untuk mengatakan pada prajurit, bahwa aku tidak bisa menyerahkan upeti pada mereka."
"Saya akan memikirkannya kanda."
"Tolong bantu saya dinda." Raut wajahnya tampak sedih. "Saya tidak mau berurusan dengan pihak istana."
"Akan saya usahakan kanda." Ia hanya tersenyum kecil.
"Sialan." Umpatnya dalam hati. "Kenapa pendekar pembunuh bayaran itu? Masih saja belum memberikan kabar padaku?." Dalam hatinya sangat marah. "Apakah ia tidak sanggup? Membunuh Gusti Prabu? Sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama?." Kepalanya terasa pusing memikirkan itu semua.
...***...
"Apakah ia telah pergi nini?." Prabu Praja Permana tidak lagi mendengar suara orang lain di sana.
"Dia sudah pergi Gusti." Ia menyimpan kembali pedang Elang Merah.
"Sepertinya tenaga dalam nini sangat kuat." Ucap sang Prabu. "Sehingga membuat ia mundur, tanpa adanya pertarungan."
"Kekuatan hamba biasa saja." Ia tersenyum kecil. "Tidak sebanding dengan Gusti Prabu."
"Nini sangat merendah sekali." Prabu Praja Permana terkekeh kecil. "Saya tadi dapat merasakan, hawa pedang yang nini miliki, sangat berbahaya sekali."
"Namanya, juga pendekar pembunuh bayaran." Ia tertawa kecil. "Harus ada yang dipegang."
"Ya, saya rasa benar." Respon sang Prabu.
"Sebaiknya, untuk sementara waktu Gusti jangan pergi ke mana-mana dulu." Ucapnya. "Hamba tidak mungkin menjaga Gusti." Ia menghela nafas dengan pelan. "Hamba telah berjanji, bahwa hamba akan kembali secepatnya pada seseorang." Jelasnya. "Hamba memang berhasil mengobati mata Gusti Prabu, tapi akan pulih sampai satu pekan lamanya." Ia mengamati penampilan Prabu Praja Permana. "Haman yakin, pemuda itu akan mengincar nyawa Gusti."
"Kalau begitu." Respon sang Prabu. "Tolong antarkan saya sampai ke gerbang istana menjelang subuh."
"Sandika Gusti Prabu." Ia memberi hormat. "Kalau begitu, istirahatlah Gusti." Ia melangkah tak jauh dari Prabu Praja Permana. "Hamba telah menyiapkan tempat Gusti tidur malam ini." Ia kembangkan kain panjang. "Maaf, jika hamba tidak sopan." Ucapnya dengan hati-hati. "Dan tidak memberikan tempat yang nyaman kepada Gusti."
"Terima kasih atas perhatian nini." Prabu Praja Permana tersenyum kecil. "Rasanya saya sangat sungkan sekali."
"Tidak apa-apa Gusti. Balasnya cepat. "Hanya ini, yang bisa hamba lakukan untuk Gusti."
...***...
Pangeran Wira Wijaksana tersenyum kecil, saat matanya menangkap sosok wanita yang sangat ia cintai.
"Nimas."
Wanita cantik itu mengalihkan pandangannya, tersenyum dengan lembut.
"Kanda."
"Apa yang nimas lakukan di sini?." Ia menatap lembut. "Kenapa nimas tidak segera menemui saya?."
"Bukankah? Kanda yang berjanji pada saya?." Responnya. "Bahwa kanda yang akan menemui saya di sini?."
"Hehehe!." Pangeran Wira Wijaksana tertawa kecil. "Maafkan saya, nimas jangan marah ya?."
"Kanda yang lupa janji." Wanita cantik itu memalingkan wajahnya. "Saya telah lama menunggu kanda di sini."
Deg!.
Saat itu Pangeran Wira Wijaksana terbangun dari tidur, nafasnya sedikit memburu.
"Nimas rembulan indah."
Nama wanita itu selalu ia sebutkan dalam hembusan nafasnya.
"Apakah masih hidup nimas?." Hatinya terasa sakit. "Apakah kita masih bisa bertemu kembali nimas?." Hatinya terasa sesak. "Apakah kau masih ingat padaku? Jika aku bertemu denganmu nantinya?."
Hatinya terasa resah memikirkan itu semua.
"Andai saja saat itu aku tidak tergoda padanya." Ingatannya tertuju pada kejadian masa lalu. "Kita pasti bisa hidup bersama." Dalam hatinya tidak karuan memikirkan keadaan Rembulan Indah, wanita yang sangat ia cintai di dalam setiap langkahnya.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Apakah mereka bisa?. Mencintai seseorang tanpa menunggu masa penghujung waktu?. Apa makna dari ini semua?. Apa hubungannya dengan kisah ini?. Next.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
rajes salam lubis
lanjutkan, mantap
2022-11-03
1