...***...
Selendang Merah mengatur tenaga dalamnya dengan pelan. Setelah itu ia melihat ke arah prabu Praja Permana yang tadi sempat terabaikan karena pertarungan mereka.
"Sampurasun, Gusti Prabu." Ucapnya. "Hormat hamba kepada Gusti Prabu."
Selendang Merah kembali mengenakan kain tipis untuk menutupi wajahnya. Ia terlihat mencemaskan keadaan sang Prabu.
"Rampes." Balas Prabu Praja Permana, yang sedang berusaha melihat.
"Apakah mata Gusti Prabu baik-baik saja?."
"Nisanak mengenali saya?." Prabu Praja Permana tampak waspada.
"Hamba mengenali wajah Gusti Prabu, di selebaran kertas lukisan yang tersebar." Jawabnya. "Di kertas itu mengatakan bahwa gusti prabu adalah Raja baru di kerajaan sendang agung."
"Jadi begitu ya?." Meskipun keadaannya masih sakit, ia masih bisa tersenyum dengan ramah."Terima kasih, karena nisanak telah menolong saya." Ucapnya lagi.
"Gusti prabu tidak perlu berterima kasih kepada hamba." Responnya cepat. "Sudah seharusnya sesama manusia saling membantu, bukan?."
Rasanya sangat sungkan mendapatkan ucapan terima kasih dari seorang Raja. Suatu hal yang luar biasa bisa membantu rajanya dalam kesulitan.
"Subhanallah." Balas sang Prabu. "Nisanak ternyata orang yang sangat baik sekali." Prabu Praja Permana dapat merasakan ketulusan dari perkataan orang yang telah menolongnya itu.
"Mohon ampun Gusti Prabu." Ia kembali memberi hormat. "Sebaiknya hamba segera mengobati mata Gusti Prabu." Ia terlihat cemas. "Sebelum terjadi sesuatu pada mata Gusti Prabu." Selendang Merah menawarkan bantuan pada sang prabu.
"Terima kasih sekali lagi nisanak." Prabu Praja Permana tersenyum kecil. "Bantuan yang nisanak tawarkan pada saya, itu adalah anugrah yang sangat luar biasa."
"Mari ikuti hamba."
Selendang merah membantu Prabu Praja Permana menuju tempat yang bisa ia gunakan untuk mengobati sang prabu. Sedikit banyak Selendang Merah mengerti tentang ilmu pengobatan. Dengan menyalurkan tenaga dalamnya, Selendang Merah berharap sakit yang dirasakan oleh Prabu Praja Permana bisa sembuh.
...***...
Malam telah larut, namun ia belum juga bisa tidur, karena memikirkan ibunya. Ibunya yang pergi ke desa lain karena mendapatkan pesan surat, untuk membasmi kawanan perampok yang telah meresahkan sebuah desa.
Bukankah itu terdengar aneh?. Tentu saja aneh. Mengapa desa itu tidak meminta bantuan pada raja?. Bukankah keamanan desa adalah kewajiban dari sang raja?.
Katanya percuma saja meminta bantuan dari raja. Mereka lebih meminta pembunuh bayaran melakukannya.
Selain itu ibunya memang melakukan pekerjaan yang berbahaya. Bukan saja membunuh kawanan perampok, namun juga membunuh orang-orang besar petinggi kerajaan jika memang orang-orang tersebut pantas untuk mati.
"Ibu." Dalam hatinya. "Aku harap ibu besok pagi sudah pulang." Ia menghela nafas dengan pelan. "Aku sangat merindukan ibu." Ia sangat merindukan ibunya, sekaligus mencemaskan ibunya itu.
Namanya adalah Andara Wijaya, ia memasuki umur remaja. Di umurnya yang sekarang Rembulan Indah sangat waspada akan keselamatan anaknya.
Namun bisakah Rembulan indah terus menyembunyikan rahasia pada anaknya?. Kita lihat saja bagaimananya nanti.
...***...
Sementara itu seorang pemuda dengan mata liar mengamati seorang lelaki dewasa yang ada di sebuah selebaran kertas.
"Dari lukisannya saja." Dalam hatinya mengamati itu. "Dia memiliki pesona wajah yang sangat tampan sekali." Ia tampak serius mengamati lukisan itu. "Tapi kenapa? Malah diincar bawahannya yang tidak tahu diri?."
Dalam hatinya merasa aneh, dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat itu.
"Apakah karena cemburu? Rajanya memiliki ketampanan seperti ini?."
Dalam hati pemuda itu sedang dikuasai oleh rasa penasaran yang sangat berlebihan.
"Aku harus menyapa raja muda ini." Ia menyeringai lebar. "Mungkin saja aku mendapatkan kekayaan, karena raja yang akan aku hadapi." Ia tersenyum aneh. "Sepertinya sangat lemah sekali."
...***...
Setelah berhasil menyembuhkan sang Prabu, Selendang Merah membuat api unggun untuk mengusir hawa dingin yang mereka rasakan.
"Terima kasih saya ucapkan pada nini." Prabu Praja Permana meraba kain yang menutupi mata. "Saya tidak menduga, jika mereka sangat licik sekali."
"Gusti adalah seorang Raja." Responnya. "Jangan sampai terluka, akibat perbuatan licik sekelompok orang."
"Apakah saya boleh mengetahui? Siapa nini sebenarnya?." Prabu Praja Permana mencoba tenang.
"Nama hamba selendang merah, orang jahat."
"Orang jahat?." Prabu Praja Permana heran. "Apa maksud nini?."
"Orang jahat, sangat jahat." Jawabnya. "Suka membunuh orang lain, kalau ada permintaan."
"Astaghfirullah hal'azim, apa maksudmu nini?."
"Hamba ini adalah seorang pendekar pembunuh bayaran." Ia terkekeh kecil. "Dengan julukan selendang merah penebar maut." Jelasnya. "Begitu yang mereka berikan kepada hamba gusti."
"Tapi, saya tidak merasakan getaran kejahatan dari nini." Prabu Praja Permana tersenyum kecil. "Justru saya bersyukur, nini membantu saya."
"Itu karena Gusti Prabu bukan target hamba."
Deg!.
"Hamba akan berbahaya, jika orang itu adalah target hamba."
"Kenapa nini menjadi seorang pembunuh bayaran?." Sang Prabu berhati-hati bertanya. "Kenapa seorang wanita? Mengambil pekerjaan yang sangat berbahaya seperti itu?."
"Hukum, dan keadilan." Jawabnya. "Negeri ini masih memiliki kekurangan dalam menegakkan keduanya." Hatinya terasa sakit. "Baru saja hamba membantu orang tua, yang anaknya diculik oleh penguasa daerah." Jelasnya dengan perasaan yang berkecamuk. "Kekuasaan membuat seseorang bersikap semena-mena." Ia menambah kayu agar apinya tidak padam. "Menculik seorang wanita, demi memuaskan keinginannya yang sesat."
Prabu Praja Permana belum bereaksi sama sekali, masih mendengarkan penjelasan dari Selendang Merah.
"Tapi hamba memang membunuh mereka yang menyimpang." Ia terkekeh kecil. "Mereka pantas mati, karena keadilan dari pihak pemerintah, tidak memberikan itu."
"Karena itulah nini." Respon Prabu Praja Permana. "Saya melakukan pengembaraan, untuk melihat apa yang salah dengan negeri ini?."
"Apakah karena para petinggi istana?." Responnya. "Tidak bekerja dengan baik? Membuat seorang Raja melakukan pengembaraan?."
"Saya hanya ingin mengikuti cara Gusti Prabu kian santang." Prabu Praja Permana kembali tersenyum kecil. "Beliau menjadi seorang Raja tanpa mahkota."
"Hamba pernah mendengar nama Gusti Prabu kian santang." Ucapnya. "Tapi hamba tidak menduga, jika Gusti Prabu akan mengikuti cara seperti itu."
...***...
Malam telah larut, di sebuah tempat yang cukup sepi. Setan Selendang Jingga Kematian sedang menatap langit malam yang tenang, namun hatinya dipenuhi oleh kebencian yang sangat dalam pada seorang wanita.
"Rembulan indah." Hatinya terbakar amarah yang membara. "Kenapa? Setelah bertahun-tahun lamanya?." Hatinya sangat tidak bisa tenang sama sekali. "Kenapa dia malah muncul? Dan menjadi sainganku kembali?."
Ingatan masa lalu seakan-akan menari dengan melodi yang menyakitkan baginya.
"Apakah karena masalah dahulu belum selesai? Dewata yang agung mempertemukan kami kembali?."
Ya, kejadian masa lalu membuat ia mengambil kesimpulan seperti itu.
"Pertemuan selanjutnya, aku tidak akan membiarkan kau mengalahkan aku." Hatinya sedang dipenuhi oleh amarah yang berkobar.
...***...
Di tengah malam yang sunyi, Selendang Merah masih terjaga, ia terus menambah kayu agar api anggun menyala.
"Gusti Prabu tenang saja." Ia tersenyum kecil. "Hamba akan menjaga Gusti."
"Terima kasih nini." Prabu Praja Permana juga ikut tersenyum.
"Keadaan Gusti saat ini, sepertinya sangat berbahaya."
"Nini kasihan pada saya?."
"Gusti Prabu memiliki tujuan yang baik." Jawabnya. "Hamba tidak akan membiarkan orang baik disakiti."
"Nini baik sekali pada saya."
"Berhati-hatilah Gusti Prabu." Ia tersenyum kecil di balik cadar merahnya. "Ada tamu yang ingin mendekat." Ia memperhatikan keadaan sekitar.
"Nini merasakannya?."
"Sangat dekat, tapi dia masih mengintai kita."
Deg!.
Saat itu sosok bayangan hitam mendekat, namun tidak membuat Prabu Praja Permana dan Selendang Merah panik.
"Kalian santai sekali."
"Aku sedang malas bertarung." Balasnya cuek.
"Maaf tuan." Prabu Praja Permana tersenyum kecil. "Malam ini dingin sekali, saya sedang tidak bersemangat bertarung."
"Kalian meremehkan aku?." Ia sedikit kesal. "Sehingga kalian berkata seperti itu padaku."
"Guru, angin malam tidak baik untuk bertarung." Ucap Selendang Merah sambil memberi hormat. "Sebaiknya guru tetap melakukan tapa puasa." Lanjutnya. "Jangan sampai mata guru ternodai oleh kejahatan malam."
Prabu Praja Permana terdiam sejenak, sambil memikirkan permainan sandiwara yang akan mereka ciptakan.
"Kalian tidak usah banyak bicara." Ia semakin jengkel. "Dan aku tidak peduli kalian mau apa!."
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?. Next.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
rajes salam lubis
tetap semangat thor
2022-11-03
0
rajes salam lubis
mantap
2022-11-03
1