MENJADI ADIK MADU
Tiba-tiba mereka datang padaku, menawarkan lamaran. Sebuah lamaran yang membuat keningku berkerut, sementara ayah dan ibuku tak menjawab sepatah katapun, tetapi aku bisa merasakan keberatan dari mereka.
Lamaran ini bukan lamaran biasa seperti yang biasa disampaikan Uni Dewi, istri salah satu pengurus mushalla tempatku biasa mengajar mengaji. Bukan lamaran dari seorang lelaki single, entah itu berstatus masih pemuda atau sudah duda. Tetapi ini lamaran dari seorang lelaki yang masih menyandang status suami dari seorang perempuan.
Ya, yang melamarku adalah seorang lelaki beristri. Ia ingin menjadikanku istri keduanya. Lamaran yang makin membuatku bingung sebab lelaki itu didukung oleh istrinya. Bahkan menurut Uni Dewi, istrinya lah yang memilihku untuk jadi adik madunya.
Seberapa salih perempuan itu? Ahhh bukan, maksudku, apa benar pernikahan mereka baik-baik saja?
Uni Dewi berulang kali mengatakan bahwa mereka menikah bukan sekedar mendapatkan keturunan karena lelaki itu dan istrinya sudah memiliki lima orang anak. Mereka hidup rukun. Bahagia menjalaninya.
Lalu kenapa harus menikah lagi?
"Sebab mereka ingin menjalankan Sunnah Rasulullah, Mil." jelas Uni Dewi.
"Ada banyak Sunnah Nabi yang bisa diikuti, tapi kenapa harus memilih poligami?" tanyaku. "Kalau sekedar surga, perempuan bergelar istri, dengan mematuhi suaminya, melaksanakan semua perintah Allah, maka ia bisa memasuki surga lewat pintu mana saja. Tanpa perlu berbagi suami dengan perempuan lain yang itu tidak mudah!" kataku lagi.
Jujur, tak pernah terpikirkan olehku untuk menjalani biduk rumah tangga sebagai istri yang harus berbagi suami meski sekarang statusku adalah seorang janda di usia yang masih sangat muda, yaitu dua puluh dua tahun sebab suamiku meninggal dunia enam bulan lalu karena kecelakaan motor.
Bukan juga karena aku menentang Sunnah Rasulullah. Siapakah aku yang berani menentang apa yang diajarkan oleh Rasulullah, sementara aku sendiri mengaku sebagai pengikutnya. Tapi, lebih karena ketidakmampuan ku sendiri.
Aku bukanlah seorang yang alim atau banyak ilmunya. Aku hanya perempuan biasa, tak lulus sekolah dasar. Sehari-hari hanya mengisi kegiatan dengan pekerja rumah dan mengajar mengaji di TPA mushallah. Hatiku tak seluas perempuan saliha yang sudah berani untuk menjalani poligami.
Sejak kedatangan Uni Dewi pertama kali untuk menawarkan lamaran ini, sebenarnya aku sudah menolak dengan tegas. Namun Uni Dewi tetap gigih membujuk agar aku mau menerima sebab ia yakin aku adalah orang yang tepat menjadi bagian dari keluarga itu.
"Ayah sama Ibu, bagaimana?" akhirnya aku beralih pada kedua orang tuaku yang ikut mendampingi bicara.
"Hem," Ayah berdehem. "Ayah serahkan semuanya padamu, Mil. Kamu mau menikah lagi atau tidak, ayah mengizinkan. Begitu juga dengan mau menjalani pernikahan monogami atau poligami, asalkan tidak bertentangan dengan syariat, Ayah mendukung saja." Ayah bangkit dari duduknya, seolah memberikan kesempatan penuh padaku untuk membuat keputusan, lalu beliau meninggalkan gubuk kami, entah pergi kemana, disaat aku benar-benar butuh masukan darinya.
"Kalau ibu?" kini aku beralih melirik ibu, berharap perempuan yang sudah melahirkan dan membesarkan aku itu mau memberi kembali masukan meski sebenarnya aku sudah tahu bahwa sebenarnya ibu sangat menolak lamaran ini sebab ibu tak ingin aku menjadi istri kedua. Kemarin ibu pernah mengatakan padaku tentang alasan keberatannya.
Beliau mengingatkan aku tentang kisah pak Ustad dan istrinya yang tinggal di Kecamatan, tapi sering mengisi kajian di kampung kami. Kurang lebih lima tahun lalu mereka akhirnya memutuskan untuk berpoligami. Hasilnya, hanya satu bulan rumah tangga pak Ustadz dan istri pertamanya kandas. Tak ada yang tahu bagaimana nasib istri pertamanya sekarang, menurut desas-desus, mereka dipulangkan ke rumah orang tuanya karena cemburu dan ustadz tersebut mempertahankan istri keduanya. Yang jadi korban tentu saja keempat anak-anaknya. Karir ustad tersebut juga sebenarnya hancur, hanya sedikit jamaah yang kini mengikuti beliau sebab sudah terlanjur kecewa akan keputusan akhir sang ustadz.
"Ibu hanya tak ingin kamu bernasib sama dengan salah satu istri ustadz tersebut. Istri pertama dipulangkan, tidak lagi dipedulikan hak-haknya. Sementara istri kedua sampai sekarang, meski ia dipertahankan, tapi hingga detik ini selalu jadi imbas cemoohan orang-orang. Dimana pun ia berada selalu jadi bahan sindiran dan ghibah. Sunggu ibu tak rela jika putri ibu mengalami hal yang sama serta itu, Mil. Kalau kamu memang sudah mantap ingin menikah lagi, lebih baik menerima lamaran laki-laki single. Bukankah sudah banyak yang datang melamar? Pilih salah satu dari mereka saja, Mil." begitulah kata-kata ibu semalam.
"Bu, bagaimana?" tanya Uni Dewi.
Ibu menggelengkan kepalanya. "Tanya sama Mila saja." ibu ikutan bangkit, lalu berlalu ke dapur.
"Tuh Mil, semua keputusan ada di tangan kamu. Segeralah beri jawaban. Ini kesempatan baik, mereka bukan orang sembarang di Jakarta sana. Bahkan, suami istri itu adalah penyumbang terbesar di pesantren tempat suami Uni ngajar. Bisa bayangkan bagaimana kayanya mereka. Jadi, bisa saja kan mereka sudah menjalankan Sunnah Rasulullah yang lainnya, mereka sekarang pengen berpoligami pasti sudah dengan berbagai pertimbangan yang matang." ungkap Uni Dewi lagi.
"Tapi aku tak pernah berpikir untuk menjadi istri kedua." kataku.
"Mungkin inilah takdir hidup yang Allah tetapkan untukmu. Bayangkan saja, ada banyak nama yang aku ajukan, tapi mereka kekeh tetap memilih kamu, Mil. Mereka benar-benar kasihan pada ayahmu yang sudah tua namun harus menanggung beban sebagai kepala keluarga yang tentu saja tidak ringan.
Memang benar, kamu bisa saja menikah dengan laki-laki single dari kampung kita atau kampung sebelah. Tapi bagaimana dengan tanggung jawab mereka? Kamu tahu, kan, kemampuan laki-laki sekitar sini tak terlalu baik perekonomiannya. Padahal kamu sudah punya Yumna yang tahun ini harus masuk sekolah. Mau kamu membebani ayahmu lagi, Mil? Ingat, kamu punya lima keponakan yang sudah yatim, harus ditanggung hidupnya oleh ayahmu juga sebab ayah mereka sudah meninggal, sementara kakak iparmu ikut numpang hidup sepenuhnya di sini. Kasihan Mil, pikirkan lagi baik-baik. Tawaran tidak datang dua kali. Mereka bisa saja mendapatkan istri kedua yang lain dengan mudah, tapi kamu? Kesempatan mendapatkan suami yang kaya raya, mungkin hanya satu kali ini saja." ungkap Uni Dewi. "Uni hanya kasihan pada kalian, jangan sampai setelah ayahmu tiada, anak dan keponakan kamu tak bisa melanjutkan pendidikan mereka. Apa nggak sayang, Mil? Kadang hidup itu memang harus berkorban, Mil. Toh, setelah menjadi istri kedua hidup kamu bakalan enak, mereka juga janji akan menjamin perekonomian keluarga kamu. Nggak hanya sekolah Yumna, tapi juga ponakana kamu, Mil. Pikir-pikir lagi lah!"
Percakapan kami berdua berakhir setelah Uni Dewi menyampaikan semua pesan yang dititipkan padanya. Tentunya dengan harapan agar aku mau menerima lamaran itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Faat Nasyiruddin
lanjut membaca
2023-01-08
1
Faat Nasyiruddin
masih lanjut membaca
2023-01-08
0
Hanipah Fitri
aku mampir thor
2022-11-05
0