Meskipun Ibu berat dengan kedatangan tamu sore ini, tetapi beliau tetap menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan orang-orang dari Jakarta. Ada beberapa jenis makanan kecil dan satu teko besar teh manis hangat yang sudah terhidang di meja bambu ruang tamu gubuk kami. Mungkin bagi orang-orang itu sangat biasa, tapi bagi kami sekeluarga, hidangan ini sudah sangat mewah. Ada onde-onde, bolu potong, goreng pisang, singkong rebus dan agar-agar. Entah ibu mendapatkan uang dari mana untuk membeli semua itu.
Di ruang tamu sudah terdengar suara hiruk pikuk Yumna dan keponakanku yang masih kecil-kecil. Mereka terdengar ingin mencoba sajian tersebut. Beberapa kali merayu neneknya. Tetapi ibu tetap tak memberikan izin, bahkan menyuruh mereka main di luar atau masuk ke kamar tempatku sedang mengurung diri. Satu-satunya kamar yang kami punya di gubuk ini.
"Tamunya sudah datang!" seru Uni Siti dari balik tirai kamar. "Ada tiga orang. Sepasang suami istri dan supir mereka. Naik mobil yang sepertinya harganya mahal." tambah Uni Siti lagi.
"Ni Dewi?" tanyaku.
"Sudah ada di ruang tamu juga. Menemani Ayah dan Ibu."
"Huffff," Aku membuang nafas. Mencoba mengatur agar tidak canggung saat bertemu nanti. Entah kenapa, perasaan ini campur baur. Mungkin karena bingung dan takut membuat keputusan yang salah.
"Mil ... kalau berat, tak perlu dilanjutkan."
"Tapi Uni,"
"Mil, ayo keluar. Pak Ilham dan Bu Ayu sudah menunggu!" tiba-tiba Uni Dewi muncul di depan pintu kamar.
"Hah? Oh ya," aku kembali gugup.
"Sudah, tak perlu gugup. Tenangkan dirimu, semuanya akan baik-baik saja." Uni Dewi menuntun langkahku menuju ruang tamu.
Berat. Sangat berat sekali langkah ini. Ada banyak hal yang membuatku rasanya enggan untuk keluar kamar. Entah apa, tapi aku tak bisa menjelaskannya. Yang jelas, aku benar-benar kebingungan, apakah keputusan yang ku buat ini sudah benar, atau hanya sebuah keputusan yang salah sebab mengikuti ego saja
Dua orang itu duduk berdampingan di kursi bambu. Saat aku berada di hadapan mereka, tamu perempuan yang kemudian ku panggil mbak Ayu beradu pandang denganku. Cess.
Perempuan itu benar-benar terlihat sempurna di mataku. Meski usianya dipenghujung kepala tiga, tapi ia terlihat jauh lebih muda, bahkan mungkin lebih muda dariku. Ia memakai abaya berwarna coklat susu, dengan riasan tipis yang menambah kecantikannya.
Sesaat kami hanya saling lihat, lalu ia menyunggingkan senyum, menghampiri dan memelukku hingga aku bisa mencium aroma parfum yang entah jenis dan merek apa, tapi yang jelas benar-benar wangi, memanjakan penciumanku hingga aku tak ingin melepaskan aroma itu.
"Mila? Saya, Ayu." ia mengulurkan tangannya. Menggenggam erat seolah kami sahabat lama yang baru kembali bertemu.. lagi-lagi aku dibuat minder sebab tangannya terasa begitu halus. Seperti inikah tangan orang kaya?
"Iya mbak." aku memaksakan senyum yang entah bentuknya seperti apa sebab aku benar-benar minder.
Benarkah ia ingin berbagi suami denganku? Terbuat dari apa hati perempuan di hadapan aku ini? Ahhh, tidak. Ia tak harus khawatir, seharusnya yang jadi madunya lah yang khawatir sebab perempuan di hadapanku ini benar-benar sempurna.
Mbak ayu itu cantik, pintar, punya anak banyak, dari keluarga kaya raya dan aku yakin ia pasti berhati mulia.
"Ayo kita bincang-bincang, supaya tak ada waktu yang terbuang sia-sia." uni Dewi membuka pembicaraan. Ia mulai mengarahkan agar proses ta'aruf ini bisa segera berjalan.
"Bismillah ... baiklah. Sebelumnya, saya dan suami mengucapkan terimakasih banyak sudah diterima hadir di tengah-tengah keluarga ini untuk berkenalan dengan seluruh anggota keluarga ini, terutama Mila." Mbak Ayu mewakili suaminya membuka perbincangan. "Niat kami ke sini, sudah mantap untuk meminang Mila menjadi istri kedua untuk suami saya, mas Ilham. Iya kan Bi?" mbak Ayu beralih pada suaminya yang dijawab dengan anggukan.
"Sebelumnya mohon maaf, benar mbak Ayu sudah mantap untuk berbagi suami?" tiba-tiba ibu ikut bicara.
"InsyaAllah Bu," jawab Mbak Ayu dengan mantap.
"Tapi kenapa? Dan kenapa harus dengan putri saya? Bukankah kehidupan rumah tangga mbak Ayu sudah sangat sempurna, sudah punya anak-anak juga!" tegas ibu.
"Bu, saya mengerti dengan apa yang ibu risaukan saat ini, ibu pasti takut dengan masa depan Mila? Pernikahan saya dan suami bukan hanya sekedar seperti pernikahan orang-orang kebanyakan. Kami juga kini tengah menjalani dakwah sebagai salah satu kegiatan kami. Saya mengizinkan bahkan mendukung dengan ikut mencarikan calon istri kedua untuk suami saya. Apa yang sudah kami putuskan InsyaAllah sudah kami pikirkan dan juga sudah kami pasrahkan pada Allah dengan menjalani istikharah selama beberapa bulan sehingga InsyaAllah ini bukan hanya keputusan yang dilandasi nafsu semata." Mbak Ayu menjelaskan panjang lebar tentang alasannya mengizinkan suaminya berpoligami pada kami semua.
"Tapi kenapa harus Mila? Ia tak sebanding dengan mbak Ayu yang cantik, kaya raya dan terpelajar." Ibu masih membabi-buta, belum rela jika anaknya harus jadi istri kedua.
"Bu ... pertama kali melihat wajah Mila lewat foto, saya sangat yakin ia akan jadi madu yang baik, tidak akan macam-macam dan InsyaAllah bisa dibimbing juga membantu dakwah kami." jelas mbak Ayu. "Apalagi setelah mendengar cerita mbak Dewi tentang Mila, keyakinan kami semakin bertambah-tambah."
"Lalu ... bagaimana dengan mas Ilham?" pertanyaan yang diajukan ibu membuat pandangan kami tertuju padanya.
Lelaki itu, sejak awal tak bicara sepatah katapun. Ia hanya diam di samping istrinya. Sekilas, aku melirik ke arahnya, sementara pandangannya tertuju pada Ayah.
"Saya sudah serahkan semuanya pada istri saya. Untuk masalah ini, saya percayai ia akan memilihkan yang terbaik." ucap mas Ilham yang menegaskan bahwa ia dan istrinya sudah seiya sekata.
Tetapi ibu tetap belum puas dengan jawaban sepasang suami istri itu. "Bagaimana dengan keluarga mas Ilham, keluarga mbak Ayu, orang-orang di lingkungan kalian? Mengingat, setelah menikah kalian akan membawa anak kami ke tempat yang cukup jauh untuk kami jangkau. Tak bisa kami lihat dan awasi setiap saat!"
"Bu!" Ayah memberikan isyarat pada Ibu yang terbawa emosi. Ibu memang masih belum bisa menerima bahwa putrinya harus menjalani pernikahan poligami. Sebenarnya aku memahami bagaimana perasaan ibu, sebagai perempuan, tentu tak ingin putrinya berbagi suami, apalagi jadi yang kedua. Mengingat bagaimana orang-orang sekarang memandang buruk status seorang istri kedua.
"Tolong pikirkan baik-baik. Kalau Mila menikah dan ikut mereka, ia akan jauh dari pandangan kita. Berada di tempat asing bersama orang asing, kalau ada apa-apa, pada siapa Mila akan mengadu?" ungkap ibu.
"Bu, Mila memang akan jauh dari keluarganya. Tapi di sana ia akan bersama keluarganya juga. Setelah menikah, ia akan menjadi bagian dari keluarga kami. Mas Ilham akan menjadi suaminya, sementara saya akan menjadi kakaknya." jawab mbak Ayu.
"Kakak? Kakak madu? Entahlah, ibu ga yakin dengan ini semua." wajah ibu begitu kecewa. Pelan ia beranjak dari tempat duduknya, masuk ke dalam kamar, meninggalkan semua orang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments