RATU KEDUA

Menjadi ratu kedua di sebuah bahtera rumah tangga. Rasanya sulit untuk membayangkan. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menggelengkan kepala kuat-kuat agar kata-kata Uni Dewi tidak terngiang-ngiang lagi, tapi tetap saja sulit untuk kuelakkan.

"Sudah Mil, tidak perlu terlalu dipikirkan. Ibu tidak bisa terima kalau anak Ibu jadi istri kedua." tiba-tiba Ibu diikuti oleh Uni Siti, kakak iparku sudah berada di sampingku. Mereka duduk di samping kiri kananku.

"Yakinlah Mil, kamu akan memperoleh jodoh terbaik nantinya. Bukan sebagai istri kedua. Uni yakin itu. Kamu hanya perlu membuka hatimu saja untuk lelaki lain. Merelakan ayahnya Yumna." tambah Uni Siti.

"Lagipula, bagaimana dengan keluarga laki-laki itu? Juga keluarga istri pertamanya? Yakin sudah menerima seratus persen? Jangan sampai nanti ada masalah kedepannya, semnetara mereka menginginkan usai pernikahan kalian tinggal di Jakarta. Jauh sekali dari kampung kita. Kalau ada apa-apa bagaimana? Ibu tak bisa, Mil. Ibu takut terjadi sesuatu padamu dan Yumna." wajah Ibu langsung berubah murung. Perempuan yang melahirkan aku itu langsung menggenggam erat tanganku. "Kamu putri ibu satu-satunya, meski kamu bukan anak gadis lagi, tapi ibu tetap menganggap kamu putri kecilnya ibu. Kalau kamu susah, ibu juga ikut susah Mil. Lebih baik tinggal berdekatan di sini meski hidup kita pas-pasan."

"Bu, Mila paham. Mila hanya ...." aku terdiam.

"Hanya apa? Sudahlah, jangan termakan kata-kata Dewi, dia kan cuma menyampaikan saja, pasti yang dikatakan yang bagus-bagus saja. Sementara yang menjalani itu kamu. Pahit manisnya itu kamulah yang akan menanggungnya. Jadi tolong abaikan saja, Mil." ibu agak merengek.

"Ya Bu." kataku.

"Kalau iya, sudah. Bilang pada si Dewi untuk tidak datang ke sini lagi membahas masalah lamaran itu. Lagipula bagaimana kata orang-orang nantinya saat tahu kamu dilamar untuk dijadikan istri kedua. Duh Mil, Ibu gak bisa bayangkan. Kamu itu cantik, meski janda, masih banyak yang mau. Sudahlah." pinta ibu.

"Atau, apa perlu Uni yang sampaikan pada si Dewi untuk tidak lagi membahas masalah lamaran itu?" usul Uni Siti. "Uni tahu, kamu pasti tak enak menolak, kan? Makanya ia tetap datang ke sini juga untuk membujuk."

"Bukan begitu Ni, Mila hanya memikirkan tentang kesanggupan mereka untuk menanggung perekonomian keluarga kita," Kataku.

"Duh Mil, kalau karena itu, abaikan sajalah. Rezeki mah Allah yang atur." tambah Uni Siti.

Aku mengangguk, kuputuskan untuk keluar rumah. Tak ingin lagi melanjutkan perbincangan ini dengan ibu dan Ini Siti yang jelas-jelas bersikap menolak.

Begitu keluar dari gubuk kami, terasa angin sepoi-sepoi berhembus, memberikan sedikit kesegaran untukku yang benar-benar gerah bukan karena cuaca tapi karena rasanya berat membuat sebuah keputusan.

Kini mataku menatap bayangan Ayah tengah duduk di bawah pohon jambu samping rumah kami. Aku ingin menghampiri Ayah, ingin tahu bagaimana sebenarnya pendapat bapak tentang lamaran ini. Barangkali dengan bicara berdua saja, bapak mau memberikan tanggapan. Tidak mengelak seperti saat bicara dengan Uni Dewi ataupun ibu.

Hanya beberapa langkah lagi menuju bapak, tapi terhenti saat melihat kedatangan tiga keponakanku yang baru pulang sekolah. Mereka memberikan secarik kertas pada Ayah.

"Pekan depan sudah ujian kenaikan kelas, Kek. Kalau SPP belum dilunasi, enggak boleh ikut ujian." ucap ponakanku yang kedua, diikuti oleh dua adiknya.

"Bikin surat perjanjian lagi, nggak bisa?" tanya ayah. "Nanti kalau kakek ada uang langsung dilunasi." Janji ayah.

"Enggak bisa Kek, kan mau kenaikan kelas." jawabnya.

Laki-laki berusia enam puluh tahunan itu menganggukkan kepalanya. Ia kembali menjanjikan akan berusaha agar pekan depan dananya ada, meski sebenarnya aku sangat yakin Ayah sendiri belum punya gambaran akan mendapatkan uang tersebut dari mana.

Awal tahun kemarin kami sudah terlilit hutang cukup besar untuk memasukkan sulung abangku ke pondok. Biayanya tak murah sebab sekolah yang dipilih keponakan sukungku bukan sekolah main-main. Termasuk elit dengan bulanan yang tak sedikit.

Sebagai seorang buruh tani yang biasa mencari rezeki di sawah atau kebun orang, pendapatan ayah tidaklah banyak. Sebenarnya hanya cukup untuk makan sederhana kami sekeluarga. Tapi menjadi besar karena kini kelima ponakanku sudah sekolah semua mulai dari jenjang SD hingga SMA.

Sementara itu, di rumah ini yang bekerja hanyalah ayah. Aku ikut mengajar ngaji tiap sore. Namun gajinya tak seberapa. Hanya beberapa ratus ribu. Cukup untuk membeli kebutuhan pribadi aku dah Yumna, meskipun apa adanya.

Sebenarnya aku sudah mengajukan pada ayah dan ibu untuk ikut membantu kerja sejak Abangku satu-satunya meninggal dunia karena sakit, tapi ayah menolak sebab selain tak punya ijazah, ayah juga khawatir kalau aku harus merantau keluar kampung. Takut tak ada yang menjagaku dan Yumna.

"Mau sampai kapan ayahmu menanggung beban perekonomian keluarga kalian? Beliau sudah tidak muda lagi, Mil. Tenaganya pasti sudah tak sekuat dulu." Kembali kata-kata Uni Dewi terngiang-ngiang.

Ya Allah ... aku tak ingin salah mengambil keputusan.

"Lho, Mila. Sedang apa di sana? Ha, ayo ke sini. Duduk di sebelah ayah!" Panggil ayah, sambil menepuk kursi bambu di sebelahnya sebagai isyarat agar aku duduk di sana. "Sudah pulang tamumu tadi?" tanya ayah.

?

"Iya yah." aku mendekat. "Ayah kenapa tak mau memberikan masukan untuk Mila? Mila kan bingung." ungkapku.

"Hmmm, Ayah takut salah memberikan masukan, Mil. Kamu istikharah saja, minta petunjuk dari Allah."

"Apa Ayah lelah?"

"Kenapa?"

"Ayah sudah tidak muda lagi tapi masih harus membiayai kami semua."

"Jangan jadikan itu alasan untuk menerima lamarannya. Ayah tak mau kamu terbebani."

"Tapi ini mungkin jawaban untuk doa-doa kita, Yah?"

"Ayah tak berdoa yang mengorbankan anak ayah sendiri, ayah berjuang untuk kalian dengan ikhlas. Ayah yakin akan ada jalan rejeki untuk cucu-cucu ayah."

"Bagaimana kalau Mila terima saja lamarannya, Yah?"

Ayah tak menjawab, hanya memandang lurus ke depan. Namun aku bisa merasakan bagaimana raut wajah ayah berubah. Lelaki itu mungkin tak suka dengan keputusanku. Tapi aku melakukan semuanya karena ayah.

"Yah ... Mila ingin perekonomian keluarga kita berubah. Setidaknya tidak miskin seperti ini lagi." kataku.

"Maafkan ayah, Mil. Ayah berusaha bekerja keras untuk kamu dan cucu-cucu ayah," Ayah tampak semakin muram.

"Mila tidak menyalakan ayah. Mila malah sangat berterima kasih pada ayah sebab dari dulu sudah berusaha keras untuk kami. Terimakasih banyak Yah. Sekarang beri Mila kesempatan untuk berbakti pada ayah." ungkapku. "Menjadi istri kedua itu tidak buruk, kan Yah?" tanyaku, dengan suara pelan.

"Mil ... keputusan ada di tangan kamu. Jangan membuat keputusan yang akan membuat kamu menyesal nantinya."

"Mila nggak akan menyesal, Yah. InsyaAllah."

Aku dan Ayah saling tatap. Lalu kami menatap lurus, jauh ke depan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Terpopuler

Comments

Faat Nasyiruddin

Faat Nasyiruddin

ayah... logis pemikiran nya

2023-01-08

0

lihat semua
Episodes
1 LAMARAN SESEORANG
2 RATU KEDUA
3 MEMBERI KESEMPATAN
4 KESEMPATAN
5 JAWABAN
6 MAAFKAN SAYA, BANG!
7 MINTA IZIN EMAK
8 DESAS-DESUS
9 BIMBANG
10 HARUSKAH BERPISAH DENGAN YUMNA?
11 AKAD NIKAH
12 BERDUA DENGAN YUMNA
13 PERTENGKARAN PERTAMA
14 HADIAHA DARI MBAK AYU
15 RUMAH ATAU ISTANA
16 BERTEMU ANAK-ANAK SAMBUNG
17 SESI PERKENALAN
18 TERNYATA SALAH
19 SYUKURAN WALIMAHAN
20 MALAM DAN SENDIRI
21 BUKU DARI FARID
22 TAMU-TAMU MBAK AYU
23 BERTEMU IBU MERTUA
24 Tuduhan
25 MALAM PENGANTIN
26 ADA APA DENGAN MBAK AYU
27 PETUAH IBU
28 SUARA TERIAKAN MBAK AYU
29 PERTANYAAN SABRINA
30 APAKAH AKU HARUS MENYERAH?
31 BUBUR UNTUK MBAK AYU
32 RAHASIA MBAK AYU
33 RAHASIA MBAK AYU 2
34 HARUSKAH MENYERAH?
35 MAAFKAN SAYA
36 BICARA PADA IBU
37 SALAH PAHAM
38 PERANG DINGIN
39 SEBUAH RENCANA
40 CAHAYA DI WAJAH MBAK AYU
41 PERSAINGAN
42 BERDEBAT
43 KABAR GEMBIRA?
44 TUDUHAN MBAK AYU
45 BERTENGKAR
46 RINDU YUMNA
47 TERNYATA HANYA SANDIWARA
48 MARAH
49 PERMINTAAN HANA
50 INGIN PULANG
51 GAGAL PULANG?
52 PULANG
53 DIDIAMKAN
54 KEMBALI KE JAKARTA
55 JIKA KAMU TAK MENGINGINKAN AKU LAGI
56 TAMU YANG DIUNDANG MBAK AYU
57 DEBAT
58 PENOLAKAN
59 MBAK AYU PERGI
60 HANA DAN PENYESALANNYA
61 MENCARI MBAK AYU
62 MASALAH MBAK AYU YANG KOMPLEK
63 KE RUMAH IBU
64 LIBURAN BERSAMA
65 PERSAINGAN DUA ISTRI
66 PERMINTAAN MBAK AYU
67 AKU TAK SEMENYEDIHKAN ITU
68 PERMOHONAN MAAF
69 PERMOHONAN MAAF
70 KEMBALI KE KAMPUNG
71 AKU INGIN MENYERAH
72 MBAK AYU SAKIT PARAH
73 GUNJINGAN ORANG KAMPUNG
74 CURHAT PADA EMAK
75 EMAK TELAH PERGI
76 PENINGGALAN YANG DIPERTANYAKAN
77 YUMNA MENANGIS
78 TABAYYUN
79 MBAK AYU KRITIS
80 BERTEMU
81 WASIAT DARI MBAK AYU
82 HARI YANG BARU
83 Mas Ilham Mundur
84 Mencoba Peruntungan Baru
85 ASAD DI KANTOR POLISI
86 Pasang Badan Untuk Asad
87 Pecah
88 Mengambil Alih Tanggung Jawab
89 Mencairnya Gunung Es
90 Rumah Tangga Tanpa Madu
Episodes

Updated 90 Episodes

1
LAMARAN SESEORANG
2
RATU KEDUA
3
MEMBERI KESEMPATAN
4
KESEMPATAN
5
JAWABAN
6
MAAFKAN SAYA, BANG!
7
MINTA IZIN EMAK
8
DESAS-DESUS
9
BIMBANG
10
HARUSKAH BERPISAH DENGAN YUMNA?
11
AKAD NIKAH
12
BERDUA DENGAN YUMNA
13
PERTENGKARAN PERTAMA
14
HADIAHA DARI MBAK AYU
15
RUMAH ATAU ISTANA
16
BERTEMU ANAK-ANAK SAMBUNG
17
SESI PERKENALAN
18
TERNYATA SALAH
19
SYUKURAN WALIMAHAN
20
MALAM DAN SENDIRI
21
BUKU DARI FARID
22
TAMU-TAMU MBAK AYU
23
BERTEMU IBU MERTUA
24
Tuduhan
25
MALAM PENGANTIN
26
ADA APA DENGAN MBAK AYU
27
PETUAH IBU
28
SUARA TERIAKAN MBAK AYU
29
PERTANYAAN SABRINA
30
APAKAH AKU HARUS MENYERAH?
31
BUBUR UNTUK MBAK AYU
32
RAHASIA MBAK AYU
33
RAHASIA MBAK AYU 2
34
HARUSKAH MENYERAH?
35
MAAFKAN SAYA
36
BICARA PADA IBU
37
SALAH PAHAM
38
PERANG DINGIN
39
SEBUAH RENCANA
40
CAHAYA DI WAJAH MBAK AYU
41
PERSAINGAN
42
BERDEBAT
43
KABAR GEMBIRA?
44
TUDUHAN MBAK AYU
45
BERTENGKAR
46
RINDU YUMNA
47
TERNYATA HANYA SANDIWARA
48
MARAH
49
PERMINTAAN HANA
50
INGIN PULANG
51
GAGAL PULANG?
52
PULANG
53
DIDIAMKAN
54
KEMBALI KE JAKARTA
55
JIKA KAMU TAK MENGINGINKAN AKU LAGI
56
TAMU YANG DIUNDANG MBAK AYU
57
DEBAT
58
PENOLAKAN
59
MBAK AYU PERGI
60
HANA DAN PENYESALANNYA
61
MENCARI MBAK AYU
62
MASALAH MBAK AYU YANG KOMPLEK
63
KE RUMAH IBU
64
LIBURAN BERSAMA
65
PERSAINGAN DUA ISTRI
66
PERMINTAAN MBAK AYU
67
AKU TAK SEMENYEDIHKAN ITU
68
PERMOHONAN MAAF
69
PERMOHONAN MAAF
70
KEMBALI KE KAMPUNG
71
AKU INGIN MENYERAH
72
MBAK AYU SAKIT PARAH
73
GUNJINGAN ORANG KAMPUNG
74
CURHAT PADA EMAK
75
EMAK TELAH PERGI
76
PENINGGALAN YANG DIPERTANYAKAN
77
YUMNA MENANGIS
78
TABAYYUN
79
MBAK AYU KRITIS
80
BERTEMU
81
WASIAT DARI MBAK AYU
82
HARI YANG BARU
83
Mas Ilham Mundur
84
Mencoba Peruntungan Baru
85
ASAD DI KANTOR POLISI
86
Pasang Badan Untuk Asad
87
Pecah
88
Mengambil Alih Tanggung Jawab
89
Mencairnya Gunung Es
90
Rumah Tangga Tanpa Madu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!