Menjadi ratu kedua di sebuah bahtera rumah tangga. Rasanya sulit untuk membayangkan. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menggelengkan kepala kuat-kuat agar kata-kata Uni Dewi tidak terngiang-ngiang lagi, tapi tetap saja sulit untuk kuelakkan.
"Sudah Mil, tidak perlu terlalu dipikirkan. Ibu tidak bisa terima kalau anak Ibu jadi istri kedua." tiba-tiba Ibu diikuti oleh Uni Siti, kakak iparku sudah berada di sampingku. Mereka duduk di samping kiri kananku.
"Yakinlah Mil, kamu akan memperoleh jodoh terbaik nantinya. Bukan sebagai istri kedua. Uni yakin itu. Kamu hanya perlu membuka hatimu saja untuk lelaki lain. Merelakan ayahnya Yumna." tambah Uni Siti.
"Lagipula, bagaimana dengan keluarga laki-laki itu? Juga keluarga istri pertamanya? Yakin sudah menerima seratus persen? Jangan sampai nanti ada masalah kedepannya, semnetara mereka menginginkan usai pernikahan kalian tinggal di Jakarta. Jauh sekali dari kampung kita. Kalau ada apa-apa bagaimana? Ibu tak bisa, Mil. Ibu takut terjadi sesuatu padamu dan Yumna." wajah Ibu langsung berubah murung. Perempuan yang melahirkan aku itu langsung menggenggam erat tanganku. "Kamu putri ibu satu-satunya, meski kamu bukan anak gadis lagi, tapi ibu tetap menganggap kamu putri kecilnya ibu. Kalau kamu susah, ibu juga ikut susah Mil. Lebih baik tinggal berdekatan di sini meski hidup kita pas-pasan."
"Bu, Mila paham. Mila hanya ...." aku terdiam.
"Hanya apa? Sudahlah, jangan termakan kata-kata Dewi, dia kan cuma menyampaikan saja, pasti yang dikatakan yang bagus-bagus saja. Sementara yang menjalani itu kamu. Pahit manisnya itu kamulah yang akan menanggungnya. Jadi tolong abaikan saja, Mil." ibu agak merengek.
"Ya Bu." kataku.
"Kalau iya, sudah. Bilang pada si Dewi untuk tidak datang ke sini lagi membahas masalah lamaran itu. Lagipula bagaimana kata orang-orang nantinya saat tahu kamu dilamar untuk dijadikan istri kedua. Duh Mil, Ibu gak bisa bayangkan. Kamu itu cantik, meski janda, masih banyak yang mau. Sudahlah." pinta ibu.
"Atau, apa perlu Uni yang sampaikan pada si Dewi untuk tidak lagi membahas masalah lamaran itu?" usul Uni Siti. "Uni tahu, kamu pasti tak enak menolak, kan? Makanya ia tetap datang ke sini juga untuk membujuk."
"Bukan begitu Ni, Mila hanya memikirkan tentang kesanggupan mereka untuk menanggung perekonomian keluarga kita," Kataku.
"Duh Mil, kalau karena itu, abaikan sajalah. Rezeki mah Allah yang atur." tambah Uni Siti.
Aku mengangguk, kuputuskan untuk keluar rumah. Tak ingin lagi melanjutkan perbincangan ini dengan ibu dan Ini Siti yang jelas-jelas bersikap menolak.
Begitu keluar dari gubuk kami, terasa angin sepoi-sepoi berhembus, memberikan sedikit kesegaran untukku yang benar-benar gerah bukan karena cuaca tapi karena rasanya berat membuat sebuah keputusan.
Kini mataku menatap bayangan Ayah tengah duduk di bawah pohon jambu samping rumah kami. Aku ingin menghampiri Ayah, ingin tahu bagaimana sebenarnya pendapat bapak tentang lamaran ini. Barangkali dengan bicara berdua saja, bapak mau memberikan tanggapan. Tidak mengelak seperti saat bicara dengan Uni Dewi ataupun ibu.
Hanya beberapa langkah lagi menuju bapak, tapi terhenti saat melihat kedatangan tiga keponakanku yang baru pulang sekolah. Mereka memberikan secarik kertas pada Ayah.
"Pekan depan sudah ujian kenaikan kelas, Kek. Kalau SPP belum dilunasi, enggak boleh ikut ujian." ucap ponakanku yang kedua, diikuti oleh dua adiknya.
"Bikin surat perjanjian lagi, nggak bisa?" tanya ayah. "Nanti kalau kakek ada uang langsung dilunasi." Janji ayah.
"Enggak bisa Kek, kan mau kenaikan kelas." jawabnya.
Laki-laki berusia enam puluh tahunan itu menganggukkan kepalanya. Ia kembali menjanjikan akan berusaha agar pekan depan dananya ada, meski sebenarnya aku sangat yakin Ayah sendiri belum punya gambaran akan mendapatkan uang tersebut dari mana.
Awal tahun kemarin kami sudah terlilit hutang cukup besar untuk memasukkan sulung abangku ke pondok. Biayanya tak murah sebab sekolah yang dipilih keponakan sukungku bukan sekolah main-main. Termasuk elit dengan bulanan yang tak sedikit.
Sebagai seorang buruh tani yang biasa mencari rezeki di sawah atau kebun orang, pendapatan ayah tidaklah banyak. Sebenarnya hanya cukup untuk makan sederhana kami sekeluarga. Tapi menjadi besar karena kini kelima ponakanku sudah sekolah semua mulai dari jenjang SD hingga SMA.
Sementara itu, di rumah ini yang bekerja hanyalah ayah. Aku ikut mengajar ngaji tiap sore. Namun gajinya tak seberapa. Hanya beberapa ratus ribu. Cukup untuk membeli kebutuhan pribadi aku dah Yumna, meskipun apa adanya.
Sebenarnya aku sudah mengajukan pada ayah dan ibu untuk ikut membantu kerja sejak Abangku satu-satunya meninggal dunia karena sakit, tapi ayah menolak sebab selain tak punya ijazah, ayah juga khawatir kalau aku harus merantau keluar kampung. Takut tak ada yang menjagaku dan Yumna.
"Mau sampai kapan ayahmu menanggung beban perekonomian keluarga kalian? Beliau sudah tidak muda lagi, Mil. Tenaganya pasti sudah tak sekuat dulu." Kembali kata-kata Uni Dewi terngiang-ngiang.
Ya Allah ... aku tak ingin salah mengambil keputusan.
"Lho, Mila. Sedang apa di sana? Ha, ayo ke sini. Duduk di sebelah ayah!" Panggil ayah, sambil menepuk kursi bambu di sebelahnya sebagai isyarat agar aku duduk di sana. "Sudah pulang tamumu tadi?" tanya ayah.
?
"Iya yah." aku mendekat. "Ayah kenapa tak mau memberikan masukan untuk Mila? Mila kan bingung." ungkapku.
"Hmmm, Ayah takut salah memberikan masukan, Mil. Kamu istikharah saja, minta petunjuk dari Allah."
"Apa Ayah lelah?"
"Kenapa?"
"Ayah sudah tidak muda lagi tapi masih harus membiayai kami semua."
"Jangan jadikan itu alasan untuk menerima lamarannya. Ayah tak mau kamu terbebani."
"Tapi ini mungkin jawaban untuk doa-doa kita, Yah?"
"Ayah tak berdoa yang mengorbankan anak ayah sendiri, ayah berjuang untuk kalian dengan ikhlas. Ayah yakin akan ada jalan rejeki untuk cucu-cucu ayah."
"Bagaimana kalau Mila terima saja lamarannya, Yah?"
Ayah tak menjawab, hanya memandang lurus ke depan. Namun aku bisa merasakan bagaimana raut wajah ayah berubah. Lelaki itu mungkin tak suka dengan keputusanku. Tapi aku melakukan semuanya karena ayah.
"Yah ... Mila ingin perekonomian keluarga kita berubah. Setidaknya tidak miskin seperti ini lagi." kataku.
"Maafkan ayah, Mil. Ayah berusaha bekerja keras untuk kamu dan cucu-cucu ayah," Ayah tampak semakin muram.
"Mila tidak menyalakan ayah. Mila malah sangat berterima kasih pada ayah sebab dari dulu sudah berusaha keras untuk kami. Terimakasih banyak Yah. Sekarang beri Mila kesempatan untuk berbakti pada ayah." ungkapku. "Menjadi istri kedua itu tidak buruk, kan Yah?" tanyaku, dengan suara pelan.
"Mil ... keputusan ada di tangan kamu. Jangan membuat keputusan yang akan membuat kamu menyesal nantinya."
"Mila nggak akan menyesal, Yah. InsyaAllah."
Aku dan Ayah saling tatap. Lalu kami menatap lurus, jauh ke depan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Faat Nasyiruddin
ayah... logis pemikiran nya
2023-01-08
0