"Jadi, bagaimana Mil?" Uni Dewi memecah keheningan yang timbul karena kepergian ibu.
Sebenarnya akupun tak tahu harus menjawab apa. Lebih tepatnya, belum yakin menjalani rumah tangga sebagai istri kedua. Hanya saja, bayangan wajah Ayah dengan beban yang begitu berat di pundaknya membuatku tak bisa mengundur lebih lama lagi. Apalagi, Mbak Ayu dan mas Ilham tak bisa berlama-lama di tanah Minang sebab selain meninggalkan anak-anaknya, mereka juga masih punya banyak urusan yang harus diselesaikan.
"Mereka tak punya waktu lebih lama, Mil. Jadi kamu harus segera membuat keputusan setelah kedatangannya." begitulah pesan Uni Dewi sebelum kedatangan sepasang suami istri ini.
"Yah?" aku melirik pada Ayah, berharap mendapatkan bantuan.
"Ayah serahkan semua keputusan ini padamu, Nak. Ayah percaya, Mila akan memutuskan yang terbaik." jawab Ayah.
Ya Allah ... aku memutar ujung kerudung, sementara keringat menetes di kening meski cuaca sore ini sebenarnya sangatlah sejuk.
Sebelumnya, Uni Dewi sudah memberikan biodata lengkap mas Ilham, termasuk informasi tentang istri dan kelima anaknya. Hanya saja, aku tak tertarik untuk membukanya sebab sebelumnya tak ada keinginan untuk mencoba.
"Berikanlah jawabannya, Mil." ulang Uni Dewi, meminta jawaban dariku.
Ya Allah ... aku masih memelintir ujung kerudung. "Baiklah, Bismillah ... dengan berserah diri kepada Allah, saya berharap ini adalah keputusan yang terbaik. InsyaAllah saya menerima lamaran sebagai istri untuk mas Ilham. Semoga Allah meridhoi dan menjadikannya berkah untuk kita semua." kataku, dengan suara terbata.
"Masya Allah. Alhamdulillah." Uni Dewi dan mbak Ayu bergantian memelukku.
Aku kira, setelah memberikan jawaban maka beban di pundak ku akan terasa lebih ringan, ternyata rasanya semakin berat, apalagi sekilas aku melihat sosok ibu yang masih mengintip di balik tirai kamar. "Maafkan Mila, Bu." ucapku dalam hati. InsyaAllah inilah yang terbaik untuk keluarga kita
***
Suasana di gubuk kini sepi setelah kepergian mbak Ayu, mas Ilham dan Uni Dewi. Semua orang mengunci mulutnya masing-masing, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sedangkan ibu masih berada di pembaringan, menutup wajahnya dengan kerudung yang sudah tipis termakan usia.
"Ibu marah sama Mila?" tanyaku, sambil duduk di samping Ibu.
Tak ada jawaban, Ibu masih berada di posisi semula.
"Bu?" aku memeluk Ibu dari belakang. "Maafkan Mila, Bu." aku tak melepaskan pelukan itu meski ibu agak terganggu. "Ibu nangis?":sekilas terlihat bukit bening membanjiri pipi ibu saat beliau berbalik. "Bu ... ibu sedih?" tanyaku lagi
"Apa kamu peduli kalau ibu sedih?" tanya ibu, sambil menghapus air matanya dengan kerudung.
"Tentu saja Mila peduli, Bu. Bagi Mila, kebahagiaan Ayah dan Ibu adalah segala-galanya."
"Lalu kenapa kamu terima lamaran itu padahal ibu sudah jelas-jelas keberatan. Mil, kalau kamu mau nikah lagi, kamu bisa menikah dengan lelaki lajang, toh sudah banyak yang datang silih berganti. Tapi kenapa memilih suami orang?"
"Apa salahnya, Bu? Toh syariat membolehkan."
"Salahnya? Kamu itu mau dijadikan istri kedua, Mil. Istri kedua! Kamu sadar nggak sih? Ya Allah, entah bagaimana ibu harus menghadapi orang-orang nantinya!" Suara ibu mulai meninggi.
"Bu, maafkan Mila sudah membuat ibu kecewa, tapi ... sebegitu pentingkah penilaian orang-orang bagi ibu? Mereka bukan siapa-siapa, bahkan mereka tak menanggung makan kita. Kenapa kita harus peduli padahal kita tidak melanggar syariat. Kecuali Mila melakukan dosa besar, silakan ibu marah dan orang-orang menghujat Mila. Toh ibu lihat sendiri, mbak Ayu, istrinya mas Ilham juga sangat terbuka pada Mila."
"Apa yang dikatakan Mila benar, Bu. Biarkan Mila menjalani apa yang sudah jadi pilihannya." Ayah kini juga sudah masuk ke dalam kamar, sebab beliau mendengar keributan antara aku dan ibu.
"Ayah juga, kenapa begitu membela Mila? Oh, saya mengerti. Ayah juga tergoda dengan janji-janji manis yang mereka berikan. Ayah berharap mendapatkan santunan dari mereka tapi rela mengorbankan putri sendiri!" teriak ibu.
"Astagfirullah, bukan begitu Bu. Ibu salah paham." aku mencoba menengahi agar tak ada kesalah pahaman antara Ayah dan Ibu. "Keputusan ini sepenuhnya Mila yang buat. Mila memang mengharapkan santunan dari mereka, tapi Ayah sama sekali tidak ikut campur apalagi menyuruh Mila. Lagipula ibu tahu kan, bagaimana ayah. Meski menanggung beban yang begitu berat, pantang untuk lepas tangan begitu saja. Mila yang ingin bekerja saja dilarang oleh Ayah sebab rasa tanggung jawab ayah yang begitu besar." Aku mencoba menjelaskan panjang lebar. Rasanya tak nyaman jika nanti pergi dari rumah menyisakan ketidak akurab antara ibu dan ayah. Anak mana yang bisa tenang setelah menjadi penyebab orang tuanya berantem.
"Mila itu juga putri Ayah, Bu. Ibu tahu kan bagaimana besarnya rasa sayang ayah pada anak dan cucu kita. Ayah tak mengharapkan apapun dari orang lain selain kebahagiaan untuk anak-anak kita. Hanya itu, Bu." ucap Ayah, lalu meninggalkan kamar.
"Maaf Yah," ucapku dengan suara pelan. Sementara Ibu duduk termenung di atas lantai sambil melipat kedua tangannya.
Hidup ini benar-benar melelahkan. Kenapa untuk memberikan kenyamanan pada orang-orang yang kita sayangi begitu sulit? Padahal, tak banyak pintaku, hanya ingin ayah dan ibu nyaman di usia senjanya. Anak dan keponakanku tercukupi tanpa harus membebani ayah.
"Bu, maafkan Mila jika sudah membuat ibu kecewa. Kalau ibu memang tidak Ridha, Mila akan batalkan lamaran itu sekarang juga sebab bagi Mila, kebahagiaan ibu adalah segala-galanya. Mila hanya ingin memberikan yang terbaik untuk seluruh anggota keluarga kita dan menurut Mila inilah satu-satunya jalan yang Mila punya. "
"Dengan mengorbankan kebahagiaan kamu sendiri, Mil? Kamu kira ayah dan ibu akan tenang jika kamu tidak bahagia? Sama seperti kamu, Mil. Bagi kami kebahagiaan kalian adalah segala-galanya."
"Bu ... belum tentu apa yang ibu bayangkan itu benar. Tidak tertutup kemungkinan Mila akan bahagia menjadi bagian dari keluarga mereka. Lihatlah bagaimana hangatnya mbak Ayu tadi. Ia begitu terbuka pada keluarga kita. Melihat sikapnya itu membuat Mila yakin, semua keraguan itu hilang, Bu. Bahkan Mila benar-benar bersyukur, apalagi mereka menjanjikan akan mengajari Mila banyak hal juga. Bukankah itu hak yang harus kita syukuri?"
"Lalu bagaimana dengan Hasan? Bukankah kamu mengatakan bahwa kamu belum bisa melupakannya dan sepertinya ia tak akan bisa tergantikan di hatimu, Mil?"
"Bu ... Sekarang, bagi Mila, yang terpenting adalah kebahagiaan keluarga kita. Semua orang bahagia, Mila pun akan bahagia. Mila niatkan pernikahan ini untuk ibadah, sebagai bakti Mila juga pada Ayah dan Ibu. Mila juga yakin, Bang Hasan insya Allah paham dengan apa yang terjadi sekarang."
"Ya Allah Mil,":ibu memelukku erat sembari meneteskan air mata. Aku yang sudah bersusah payah untuk menahan air mata jadi ikut-ikutan menangis karena tak bisa menahan haru.
Kebahagiaan aku bukanlah hal yang utama sekarang. Yang terpenting adalah kebahagiaan ayah, ibu dan anak-anak. Setelah kepergian Abang sulungku, kini akulah tempat mereka bertumpu di hari tua. Aku ingin memberikan yang terbaik dan kubharap, pernikahan ini benar-benar membawa kami pada kebahagiaan di dunia hingga akhirat nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Faat Nasyiruddin
serba sulit
2023-01-08
0