"Apa kata kamu, Mil?" Ibu langsung bangkit dari duduknya saat aku menyampaikan bahwa akan menerima kedatangan suami istri yang hendak melamarku itu.
"Bu, ini belum keputusan akhir. Mila pengen tahu seperti apa orang yang ingin menjadikan Mila sebagai anggota keluarganya. Jangan-jangan memang benar apa yang dikatakan Uni Dewi bahwa mereka orang baik. Kalau iya, berarti sayang sekali jika Mila menolak rezeki untuk menjadi bagian dari keluarga mereka." kataku, berusaha setenang mungkin meski sebenar-benarnya saat ini hatikupun was-was.
"Enggak. Tidak perlu Mil, tidak usah kenalan juga. Sudahlah. Kita lupakan saja lamaran itu. Kita kembali ke kehidupan seperti sebelumnya. Jangan ada lagi yang pernah membajas-bahas masalah poligami. Kita itu masih kurang ilmunya, kurang juga salihnya, belum bisa menjalankan semua itu." ungkap ibu. "Poligami itu nggak gampang, Mil. Istri ustadz saja menyerah, apalagi kita yang bukan siapa-siapa. Sudah banyak yang gagal melaksanakan poligami karena adik itu nggak mudah untuk seorang laki-laki!"
"Banyak yang gagal, tapi juga ada yang berhasil kan Bu? Semua tergantung niat dan cara mereka menjalankan. Kalau semua karena Allah, InsyaAllah pertolongan Allah akan datang."
"Kamu itu kenapa sih, Mil? Kemarin nggak mau, sekarang kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Jangan hanya karena nggak enak pada seseorang lalu kamu memaksakan diri sendiri. Mil, pikirkan baik-baik. Kamu itu sudah punya Yumna juga. Kamu harus bayangkan, bagaimana Yumna nantinya? Dia akan punya saudara tiri. Apa ia akan nyaman dengan semua itu?" ibu kembali menggugat.
"Kasih kesempatan sekali, Bu. Kita lihat bagaimana mereka. Toh hitung-hitung silaturrahim, siapa tahu jadi jalan mendatangkan rezeki untuk kita." kataku. Sembari agak menegaskan pada ibu bahwa itulah keputusan akhirnya. Aku akan mencoba. Iya atau tidak nya nanti kita lihat setelah bertemu.
Merasa kecewa, ibu beralih pada ayah. Mencari dukungan. "Yah, bicaralah dengan Mila." pinta ibu. "Ayah harus merubah cara berpikir Mila, yakinkan ia kalau dia itu belum bisa dengan poligami. Berbagi suami itu nggak mudah. Lagipula bagaimana kata orang-orang sekitar kita?"
Ayah tak menjawab, hanya melirik sekilas. Lalu kembali berlalu keluar rumah hingga menyisakan Omelan dari lisan ibu.
"Kalian itu pada kenapa sih? Engggak bapak, nggak anak, sama saja. Pusing ibu memikirkan kalian!" ibu mendengus kesal.
***
Sore itu, usai mengajar mengaji, Uni Dewi kembali menghampiriku ke mushalla. Tujuannya, tentu saja untuk mengetahui bagaimana perkembangan keputusanku.
"Jangan lama-lama mikirnya, Mil." Uni Dewi membuka pembicaraan. "Kesempatan nggak datang dua kali. Siapa tahu ia jodoh kamu."
"Kalau jodoh, mau dijawab selama apa, ya bakal jadi juga kan Ni?" jawabku, sembari merapikan Iqra dan Al-Qur'an yang baru selesai dibaca santri.
"Iya, maksud Uni itu ...."
"Uni katakan saja pada mereka untuk datang ke rumah."
"Maksudnya, Mil?"
"Katanya mau sila ukhuwah, mau berkenalan."
"Ka ... kamu serius, Mil?"
"Iya Ni, aku serius. Mau mencoba untuk menjalani ta'aruf."
"MasyaAllah. Alhamdulillah ... alhamdulilah ... alhamdulilah. Uni benar-benar bahagia, Mil. Baiklah, Uni akan segera sampaikan pada mereka sekarang juga. Terimakasih ya Mil, terimakasih banyak!" Uni Dewi memelukku beberapa kali, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan aku sendiri.
Entah ini akan jadi keputusan yang benar atau tidak, aku hanya bisa pasrah kepada Allah. Lamaran ini rasanya sangat berbeda dengan lamaran yang ramah kuterima dari Bang Hasan, ayahnya Yumna, putriku satu-satunya. Rasanya begitu berat meski ini belum keputusan akhir.
Sekitar awal bulan lalu, Uni Dewi mendatangiku. Menyatakan bahwa ada seseorang yang ingin melamarku. Ia memang sudah beberapa kali melakukan hal ini, menjodohkan aku dengan beberapa orang laki-laki kenalannya, sejak suamiku meninggal dunia. Hanya saja, bedanya, untuk lamaran kali ini, Uni Dewi rasanya lebih bersemangat. Ia seperti tak rela jika aku menolak lamaran tersebut. Mungkin karena Uni Dewi tahu kondisi perekonomian keluarga kami yang sedang mengalami kesusahan.
Orang itu kenalan temannya Uni Dewi di Jakarta. Sebenarnya ada banyak nama yang diajukan, tapi entah kenapa mereka lebih memilihku yang bukan siapa-siapa sementara mereka adalah orang kaya raya yang terpandang dan berpendidikan tinggi.
Itulah kenapa aku begitu ragu. Entah akan cocok atau tidak. Bukankah dalam pernikahan juga sebaiknya diperhatikan, apakah sudah setara atau tidak. Kalau terlalu jomplang juga dikhawatirkan akan jadi masalah di kehidupan pernikahan nantinya.
Tetapi, saat ku sampaikan itu semua pada Uni Dewi, katanya mereka tak keberatan. Bahkan mereka memang mencari yang bisa dididik, mereka memang berniat akan mengajariku nantinya. Entah secara langsung atau mendatangkan guru agar aku bisa setara dengan sepasang suami istri itu.
Sementara dengan keluargaku, mereka juga tak masalah. Bahkan mereka janji akan ikut membantu perekonomian keluarga kami. Mereka akan menyekolahkan anak dan keponakanku, juga menanggung biaya hidup kami sekeluarga. Suatu tawaran yang tentunya berat untuk ku elakkan karena jujur aku tak tahu lagi bagaimana cara meringankan beban ayah. Sebagai seorang yang tak lulus SD, aku hanya bisa bekerja mengandalkan tenaga. Tetapi ayah tak mengizinkan jika aku harus melakoni pekerjaan kasar atau harus merantau mencari pekerjaan ke ibu kota
***
"Besok mereka sudah sampai di Ranah Minang, Mil. InsyaAllah sore langsung ke sini untuk bertemu kamu dan keluargamu. Kamu sudah siap, kan Mil?" tanya Uni Dewi yang kembali bertandang ke rumah untuk menyampaikan hasil rembukannya dengan pihak lelaki yang akan melamarku.
"Kalau seandainya tidak cocok, apa tidak apa-apa Uni?" tanyaku ragu-ragu.
"Enggak apa-apa, Mil. Yang penting dicoba dulu. Siapa tahu cocok. Yang lebih penting lagi, tolong dijalani dengan serius, mereka sudah datang jauh-jauh ke sini khusus untuk menemui kamu dan keluargamu. Jadi hargai perjuangan mereka, ya!"
"Iya Ni, aku ngerti."
"Oh ya, ini." Uni Dewi memberikan bungkusan yang ia bawa semenjak tadi. Setelah dibuka ternyata isinya sebuah gamis panjang berwarna merah marun, lengkap dengan kerudung berwarna senada.
"Apa ini, Uni?"
"Ini untuk kamu, Mil. Uni tahu kamu nggak punya gamis yang bagus untuk menemui mereka. Uni sengaja belikan sebagai hadiah untuk kamu."
"Ya ampun Uni, tidak perlu repot-repot."
Perekonomian keluarga kami memang sangat-sangat sederhana. Bahkan kadang malah kekurangan. Jangankan untuk membeli gamis, makan saja hanya dengan nasi jatah dengan lauk garam atau cabe giling. Bahkan kalau sedang benar-benar tidak punya uang, kami hanya mengandalkan singkong yang ditanam di samping dan belakang gubuk.
Sehari-hari, hanya dua gamis yang sudah sangat usang lah yang kupakai untuk mengajar. Gamis yang dicuci kering, kudapatkan sebagai hadiah pernikahan dari Bang Hasan, namun sekarang warnanya sudah memudar saking seringnya dicuci pakai.
"Mil, ayo ambil!" kata Uni Dewi.
"Terimakasih banyak Uni, aku tak akan pernah melupakan kebaikan Uni." kataku, sembari berusaha menahan agar tak ada butiran bening yang keluar dari kedua netraku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
♡Ñùř♡
Aku baru mampir...
dan ku kasih vote untuk mu thor
2023-02-13
0
Faat Nasyiruddin
terharu banget 😭😭😭😭
2023-01-08
0