NovelToon NovelToon

MENJADI ADIK MADU

LAMARAN SESEORANG

Tiba-tiba mereka datang padaku, menawarkan lamaran. Sebuah lamaran yang membuat keningku berkerut, sementara ayah dan ibuku tak menjawab sepatah katapun, tetapi aku bisa merasakan keberatan dari mereka.

Lamaran ini bukan lamaran biasa seperti yang biasa disampaikan Uni Dewi, istri salah satu pengurus mushalla tempatku biasa mengajar mengaji. Bukan lamaran dari seorang lelaki single, entah itu berstatus masih pemuda atau sudah duda. Tetapi ini lamaran dari seorang lelaki yang masih menyandang status suami dari seorang perempuan.

Ya, yang melamarku adalah seorang lelaki beristri. Ia ingin menjadikanku istri keduanya. Lamaran yang makin membuatku bingung sebab lelaki itu didukung oleh istrinya. Bahkan menurut Uni Dewi, istrinya lah yang memilihku untuk jadi adik madunya.

Seberapa salih perempuan itu? Ahhh bukan, maksudku, apa benar pernikahan mereka baik-baik saja?

Uni Dewi berulang kali mengatakan bahwa mereka menikah bukan sekedar mendapatkan keturunan karena lelaki itu dan istrinya sudah memiliki lima orang anak. Mereka hidup rukun. Bahagia menjalaninya.

Lalu kenapa harus menikah lagi?

"Sebab mereka ingin menjalankan Sunnah Rasulullah, Mil." jelas Uni Dewi.

"Ada banyak Sunnah Nabi yang bisa diikuti, tapi kenapa harus memilih poligami?" tanyaku. "Kalau sekedar surga, perempuan bergelar istri, dengan mematuhi suaminya, melaksanakan semua perintah Allah, maka ia bisa memasuki surga lewat pintu mana saja. Tanpa perlu berbagi suami dengan perempuan lain yang itu tidak mudah!" kataku lagi.

Jujur, tak pernah terpikirkan olehku untuk menjalani biduk rumah tangga sebagai istri yang harus berbagi suami meski sekarang statusku adalah seorang janda di usia yang masih sangat muda, yaitu dua puluh dua tahun sebab suamiku meninggal dunia enam bulan lalu karena kecelakaan motor.

Bukan juga karena aku menentang Sunnah Rasulullah. Siapakah aku yang berani menentang apa yang diajarkan oleh Rasulullah, sementara aku sendiri mengaku sebagai pengikutnya. Tapi, lebih karena ketidakmampuan ku sendiri.

Aku bukanlah seorang yang alim atau banyak ilmunya. Aku hanya perempuan biasa, tak lulus sekolah dasar. Sehari-hari hanya mengisi kegiatan dengan pekerja rumah dan mengajar mengaji di TPA mushallah. Hatiku tak seluas perempuan saliha yang sudah berani untuk menjalani poligami.

Sejak kedatangan Uni Dewi pertama kali untuk menawarkan lamaran ini, sebenarnya aku sudah menolak dengan tegas. Namun Uni Dewi tetap gigih membujuk agar aku mau menerima sebab ia yakin aku adalah orang yang tepat menjadi bagian dari keluarga itu.

"Ayah sama Ibu, bagaimana?" akhirnya aku beralih pada kedua orang tuaku yang ikut mendampingi bicara.

"Hem," Ayah berdehem. "Ayah serahkan semuanya padamu, Mil. Kamu mau menikah lagi atau tidak, ayah mengizinkan. Begitu juga dengan mau menjalani pernikahan monogami atau poligami, asalkan tidak bertentangan dengan syariat, Ayah mendukung saja." Ayah bangkit dari duduknya, seolah memberikan kesempatan penuh padaku untuk membuat keputusan, lalu beliau meninggalkan gubuk kami, entah pergi kemana, disaat aku benar-benar butuh masukan darinya.

"Kalau ibu?" kini aku beralih melirik ibu, berharap perempuan yang sudah melahirkan dan membesarkan aku itu mau memberi kembali masukan meski sebenarnya aku sudah tahu bahwa sebenarnya ibu sangat menolak lamaran ini sebab ibu tak ingin aku menjadi istri kedua. Kemarin ibu pernah mengatakan padaku tentang alasan keberatannya.

Beliau mengingatkan aku tentang kisah pak Ustad dan istrinya yang tinggal di Kecamatan, tapi sering mengisi kajian di kampung kami. Kurang lebih lima tahun lalu mereka akhirnya memutuskan untuk berpoligami. Hasilnya, hanya satu bulan rumah tangga pak Ustadz dan istri pertamanya kandas. Tak ada yang tahu bagaimana nasib istri pertamanya sekarang, menurut desas-desus, mereka dipulangkan ke rumah orang tuanya karena cemburu dan ustadz tersebut mempertahankan istri keduanya. Yang jadi korban tentu saja keempat anak-anaknya. Karir ustad tersebut juga sebenarnya hancur, hanya sedikit jamaah yang kini mengikuti beliau sebab sudah terlanjur kecewa akan keputusan akhir sang ustadz.

"Ibu hanya tak ingin kamu bernasib sama dengan salah satu istri ustadz tersebut. Istri pertama dipulangkan, tidak lagi dipedulikan hak-haknya. Sementara istri kedua sampai sekarang, meski ia dipertahankan, tapi hingga detik ini selalu jadi imbas cemoohan orang-orang. Dimana pun ia berada selalu jadi bahan sindiran dan ghibah. Sunggu ibu tak rela jika putri ibu mengalami hal yang sama serta itu, Mil. Kalau kamu memang sudah mantap ingin menikah lagi, lebih baik menerima lamaran laki-laki single. Bukankah sudah banyak yang datang melamar? Pilih salah satu dari mereka saja, Mil." begitulah kata-kata ibu semalam.

"Bu, bagaimana?" tanya Uni Dewi.

Ibu menggelengkan kepalanya. "Tanya sama Mila saja." ibu ikutan bangkit, lalu berlalu ke dapur.

"Tuh Mil, semua keputusan ada di tangan kamu. Segeralah beri jawaban. Ini kesempatan baik, mereka bukan orang sembarang di Jakarta sana. Bahkan, suami istri itu adalah penyumbang terbesar di pesantren tempat suami Uni ngajar. Bisa bayangkan bagaimana kayanya mereka. Jadi, bisa saja kan mereka sudah menjalankan Sunnah Rasulullah yang lainnya, mereka sekarang pengen berpoligami pasti sudah dengan berbagai pertimbangan yang matang." ungkap Uni Dewi lagi.

"Tapi aku tak pernah berpikir untuk menjadi istri kedua." kataku.

"Mungkin inilah takdir hidup yang Allah tetapkan untukmu. Bayangkan saja, ada banyak nama yang aku ajukan, tapi mereka kekeh tetap memilih kamu, Mil. Mereka benar-benar kasihan pada ayahmu yang sudah tua namun harus menanggung beban sebagai kepala keluarga yang tentu saja tidak ringan.

Memang benar, kamu bisa saja menikah dengan laki-laki single dari kampung kita atau kampung sebelah. Tapi bagaimana dengan tanggung jawab mereka? Kamu tahu, kan, kemampuan laki-laki sekitar sini tak terlalu baik perekonomiannya. Padahal kamu sudah punya Yumna yang tahun ini harus masuk sekolah. Mau kamu membebani ayahmu lagi, Mil? Ingat, kamu punya lima keponakan yang sudah yatim, harus ditanggung hidupnya oleh ayahmu juga sebab ayah mereka sudah meninggal, sementara kakak iparmu ikut numpang hidup sepenuhnya di sini. Kasihan Mil, pikirkan lagi baik-baik. Tawaran tidak datang dua kali. Mereka bisa saja mendapatkan istri kedua yang lain dengan mudah, tapi kamu? Kesempatan mendapatkan suami yang kaya raya, mungkin hanya satu kali ini saja." ungkap Uni Dewi. "Uni hanya kasihan pada kalian, jangan sampai setelah ayahmu tiada, anak dan keponakan kamu tak bisa melanjutkan pendidikan mereka. Apa nggak sayang, Mil? Kadang hidup itu memang harus berkorban, Mil. Toh, setelah menjadi istri kedua hidup kamu bakalan enak, mereka juga janji akan menjamin perekonomian keluarga kamu. Nggak hanya sekolah Yumna, tapi juga ponakana kamu, Mil. Pikir-pikir lagi lah!"

Percakapan kami berdua berakhir setelah Uni Dewi menyampaikan semua pesan yang dititipkan padanya. Tentunya dengan harapan agar aku mau menerima lamaran itu.

RATU KEDUA

Menjadi ratu kedua di sebuah bahtera rumah tangga. Rasanya sulit untuk membayangkan. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menggelengkan kepala kuat-kuat agar kata-kata Uni Dewi tidak terngiang-ngiang lagi, tapi tetap saja sulit untuk kuelakkan.

"Sudah Mil, tidak perlu terlalu dipikirkan. Ibu tidak bisa terima kalau anak Ibu jadi istri kedua." tiba-tiba Ibu diikuti oleh Uni Siti, kakak iparku sudah berada di sampingku. Mereka duduk di samping kiri kananku.

"Yakinlah Mil, kamu akan memperoleh jodoh terbaik nantinya. Bukan sebagai istri kedua. Uni yakin itu. Kamu hanya perlu membuka hatimu saja untuk lelaki lain. Merelakan ayahnya Yumna." tambah Uni Siti.

"Lagipula, bagaimana dengan keluarga laki-laki itu? Juga keluarga istri pertamanya? Yakin sudah menerima seratus persen? Jangan sampai nanti ada masalah kedepannya, semnetara mereka menginginkan usai pernikahan kalian tinggal di Jakarta. Jauh sekali dari kampung kita. Kalau ada apa-apa bagaimana? Ibu tak bisa, Mil. Ibu takut terjadi sesuatu padamu dan Yumna." wajah Ibu langsung berubah murung. Perempuan yang melahirkan aku itu langsung menggenggam erat tanganku. "Kamu putri ibu satu-satunya, meski kamu bukan anak gadis lagi, tapi ibu tetap menganggap kamu putri kecilnya ibu. Kalau kamu susah, ibu juga ikut susah Mil. Lebih baik tinggal berdekatan di sini meski hidup kita pas-pasan."

"Bu, Mila paham. Mila hanya ...." aku terdiam.

"Hanya apa? Sudahlah, jangan termakan kata-kata Dewi, dia kan cuma menyampaikan saja, pasti yang dikatakan yang bagus-bagus saja. Sementara yang menjalani itu kamu. Pahit manisnya itu kamulah yang akan menanggungnya. Jadi tolong abaikan saja, Mil." ibu agak merengek.

"Ya Bu." kataku.

"Kalau iya, sudah. Bilang pada si Dewi untuk tidak datang ke sini lagi membahas masalah lamaran itu. Lagipula bagaimana kata orang-orang nantinya saat tahu kamu dilamar untuk dijadikan istri kedua. Duh Mil, Ibu gak bisa bayangkan. Kamu itu cantik, meski janda, masih banyak yang mau. Sudahlah." pinta ibu.

"Atau, apa perlu Uni yang sampaikan pada si Dewi untuk tidak lagi membahas masalah lamaran itu?" usul Uni Siti. "Uni tahu, kamu pasti tak enak menolak, kan? Makanya ia tetap datang ke sini juga untuk membujuk."

"Bukan begitu Ni, Mila hanya memikirkan tentang kesanggupan mereka untuk menanggung perekonomian keluarga kita," Kataku.

"Duh Mil, kalau karena itu, abaikan sajalah. Rezeki mah Allah yang atur." tambah Uni Siti.

Aku mengangguk, kuputuskan untuk keluar rumah. Tak ingin lagi melanjutkan perbincangan ini dengan ibu dan Ini Siti yang jelas-jelas bersikap menolak.

Begitu keluar dari gubuk kami, terasa angin sepoi-sepoi berhembus, memberikan sedikit kesegaran untukku yang benar-benar gerah bukan karena cuaca tapi karena rasanya berat membuat sebuah keputusan.

Kini mataku menatap bayangan Ayah tengah duduk di bawah pohon jambu samping rumah kami. Aku ingin menghampiri Ayah, ingin tahu bagaimana sebenarnya pendapat bapak tentang lamaran ini. Barangkali dengan bicara berdua saja, bapak mau memberikan tanggapan. Tidak mengelak seperti saat bicara dengan Uni Dewi ataupun ibu.

Hanya beberapa langkah lagi menuju bapak, tapi terhenti saat melihat kedatangan tiga keponakanku yang baru pulang sekolah. Mereka memberikan secarik kertas pada Ayah.

"Pekan depan sudah ujian kenaikan kelas, Kek. Kalau SPP belum dilunasi, enggak boleh ikut ujian." ucap ponakanku yang kedua, diikuti oleh dua adiknya.

"Bikin surat perjanjian lagi, nggak bisa?" tanya ayah. "Nanti kalau kakek ada uang langsung dilunasi." Janji ayah.

"Enggak bisa Kek, kan mau kenaikan kelas." jawabnya.

Laki-laki berusia enam puluh tahunan itu menganggukkan kepalanya. Ia kembali menjanjikan akan berusaha agar pekan depan dananya ada, meski sebenarnya aku sangat yakin Ayah sendiri belum punya gambaran akan mendapatkan uang tersebut dari mana.

Awal tahun kemarin kami sudah terlilit hutang cukup besar untuk memasukkan sulung abangku ke pondok. Biayanya tak murah sebab sekolah yang dipilih keponakan sukungku bukan sekolah main-main. Termasuk elit dengan bulanan yang tak sedikit.

Sebagai seorang buruh tani yang biasa mencari rezeki di sawah atau kebun orang, pendapatan ayah tidaklah banyak. Sebenarnya hanya cukup untuk makan sederhana kami sekeluarga. Tapi menjadi besar karena kini kelima ponakanku sudah sekolah semua mulai dari jenjang SD hingga SMA.

Sementara itu, di rumah ini yang bekerja hanyalah ayah. Aku ikut mengajar ngaji tiap sore. Namun gajinya tak seberapa. Hanya beberapa ratus ribu. Cukup untuk membeli kebutuhan pribadi aku dah Yumna, meskipun apa adanya.

Sebenarnya aku sudah mengajukan pada ayah dan ibu untuk ikut membantu kerja sejak Abangku satu-satunya meninggal dunia karena sakit, tapi ayah menolak sebab selain tak punya ijazah, ayah juga khawatir kalau aku harus merantau keluar kampung. Takut tak ada yang menjagaku dan Yumna.

"Mau sampai kapan ayahmu menanggung beban perekonomian keluarga kalian? Beliau sudah tidak muda lagi, Mil. Tenaganya pasti sudah tak sekuat dulu." Kembali kata-kata Uni Dewi terngiang-ngiang.

Ya Allah ... aku tak ingin salah mengambil keputusan.

"Lho, Mila. Sedang apa di sana? Ha, ayo ke sini. Duduk di sebelah ayah!" Panggil ayah, sambil menepuk kursi bambu di sebelahnya sebagai isyarat agar aku duduk di sana. "Sudah pulang tamumu tadi?" tanya ayah.

?

"Iya yah." aku mendekat. "Ayah kenapa tak mau memberikan masukan untuk Mila? Mila kan bingung." ungkapku.

"Hmmm, Ayah takut salah memberikan masukan, Mil. Kamu istikharah saja, minta petunjuk dari Allah."

"Apa Ayah lelah?"

"Kenapa?"

"Ayah sudah tidak muda lagi tapi masih harus membiayai kami semua."

"Jangan jadikan itu alasan untuk menerima lamarannya. Ayah tak mau kamu terbebani."

"Tapi ini mungkin jawaban untuk doa-doa kita, Yah?"

"Ayah tak berdoa yang mengorbankan anak ayah sendiri, ayah berjuang untuk kalian dengan ikhlas. Ayah yakin akan ada jalan rejeki untuk cucu-cucu ayah."

"Bagaimana kalau Mila terima saja lamarannya, Yah?"

Ayah tak menjawab, hanya memandang lurus ke depan. Namun aku bisa merasakan bagaimana raut wajah ayah berubah. Lelaki itu mungkin tak suka dengan keputusanku. Tapi aku melakukan semuanya karena ayah.

"Yah ... Mila ingin perekonomian keluarga kita berubah. Setidaknya tidak miskin seperti ini lagi." kataku.

"Maafkan ayah, Mil. Ayah berusaha bekerja keras untuk kamu dan cucu-cucu ayah," Ayah tampak semakin muram.

"Mila tidak menyalakan ayah. Mila malah sangat berterima kasih pada ayah sebab dari dulu sudah berusaha keras untuk kami. Terimakasih banyak Yah. Sekarang beri Mila kesempatan untuk berbakti pada ayah." ungkapku. "Menjadi istri kedua itu tidak buruk, kan Yah?" tanyaku, dengan suara pelan.

"Mil ... keputusan ada di tangan kamu. Jangan membuat keputusan yang akan membuat kamu menyesal nantinya."

"Mila nggak akan menyesal, Yah. InsyaAllah."

Aku dan Ayah saling tatap. Lalu kami menatap lurus, jauh ke depan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

MEMBERI KESEMPATAN

"Apa kata kamu, Mil?" Ibu langsung bangkit dari duduknya saat aku menyampaikan bahwa akan menerima kedatangan suami istri yang hendak melamarku itu.

"Bu, ini belum keputusan akhir. Mila pengen tahu seperti apa orang yang ingin menjadikan Mila sebagai anggota keluarganya. Jangan-jangan memang benar apa yang dikatakan Uni Dewi bahwa mereka orang baik. Kalau iya, berarti sayang sekali jika Mila menolak rezeki untuk menjadi bagian dari keluarga mereka." kataku, berusaha setenang mungkin meski sebenar-benarnya saat ini hatikupun was-was.

"Enggak. Tidak perlu Mil, tidak usah kenalan juga. Sudahlah. Kita lupakan saja lamaran itu. Kita kembali ke kehidupan seperti sebelumnya. Jangan ada lagi yang pernah membajas-bahas masalah poligami. Kita itu masih kurang ilmunya, kurang juga salihnya, belum bisa menjalankan semua itu." ungkap ibu. "Poligami itu nggak gampang, Mil. Istri ustadz saja menyerah, apalagi kita yang bukan siapa-siapa. Sudah banyak yang gagal melaksanakan poligami karena adik itu nggak mudah untuk seorang laki-laki!"

"Banyak yang gagal, tapi juga ada yang berhasil kan Bu? Semua tergantung niat dan cara mereka menjalankan. Kalau semua karena Allah, InsyaAllah pertolongan Allah akan datang."

"Kamu itu kenapa sih, Mil? Kemarin nggak mau, sekarang kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Jangan hanya karena nggak enak pada seseorang lalu kamu memaksakan diri sendiri. Mil, pikirkan baik-baik. Kamu itu sudah punya Yumna juga. Kamu harus bayangkan, bagaimana Yumna nantinya? Dia akan punya saudara tiri. Apa ia akan nyaman dengan semua itu?" ibu kembali menggugat.

"Kasih kesempatan sekali, Bu. Kita lihat bagaimana mereka. Toh hitung-hitung silaturrahim, siapa tahu jadi jalan mendatangkan rezeki untuk kita." kataku. Sembari agak menegaskan pada ibu bahwa itulah keputusan akhirnya. Aku akan mencoba. Iya atau tidak nya nanti kita lihat setelah bertemu.

Merasa kecewa, ibu beralih pada ayah. Mencari dukungan. "Yah, bicaralah dengan Mila." pinta ibu. "Ayah harus merubah cara berpikir Mila, yakinkan ia kalau dia itu belum bisa dengan poligami. Berbagi suami itu nggak mudah. Lagipula bagaimana kata orang-orang sekitar kita?"

Ayah tak menjawab, hanya melirik sekilas. Lalu kembali berlalu keluar rumah hingga menyisakan Omelan dari lisan ibu.

"Kalian itu pada kenapa sih? Engggak bapak, nggak anak, sama saja. Pusing ibu memikirkan kalian!" ibu mendengus kesal.

***

Sore itu, usai mengajar mengaji, Uni Dewi kembali menghampiriku ke mushalla. Tujuannya, tentu saja untuk mengetahui bagaimana perkembangan keputusanku.

"Jangan lama-lama mikirnya, Mil." Uni Dewi membuka pembicaraan. "Kesempatan nggak datang dua kali. Siapa tahu ia jodoh kamu."

"Kalau jodoh, mau dijawab selama apa, ya bakal jadi juga kan Ni?" jawabku, sembari merapikan Iqra dan Al-Qur'an yang baru selesai dibaca santri.

"Iya, maksud Uni itu ...."

"Uni katakan saja pada mereka untuk datang ke rumah."

"Maksudnya, Mil?"

"Katanya mau sila ukhuwah, mau berkenalan."

"Ka ... kamu serius, Mil?"

"Iya Ni, aku serius. Mau mencoba untuk menjalani ta'aruf."

"MasyaAllah. Alhamdulillah ... alhamdulilah ... alhamdulilah. Uni benar-benar bahagia, Mil. Baiklah, Uni akan segera sampaikan pada mereka sekarang juga. Terimakasih ya Mil, terimakasih banyak!" Uni Dewi memelukku beberapa kali, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan aku sendiri.

Entah ini akan jadi keputusan yang benar atau tidak, aku hanya bisa pasrah kepada Allah. Lamaran ini rasanya sangat berbeda dengan lamaran yang ramah kuterima dari Bang Hasan, ayahnya Yumna, putriku satu-satunya. Rasanya begitu berat meski ini belum keputusan akhir.

Sekitar awal bulan lalu, Uni Dewi mendatangiku. Menyatakan bahwa ada seseorang yang ingin melamarku. Ia memang sudah beberapa kali melakukan hal ini, menjodohkan aku dengan beberapa orang laki-laki kenalannya, sejak suamiku meninggal dunia. Hanya saja, bedanya, untuk lamaran kali ini, Uni Dewi rasanya lebih bersemangat. Ia seperti tak rela jika aku menolak lamaran tersebut. Mungkin karena Uni Dewi tahu kondisi perekonomian keluarga kami yang sedang mengalami kesusahan.

Orang itu kenalan temannya Uni Dewi di Jakarta. Sebenarnya ada banyak nama yang diajukan, tapi entah kenapa mereka lebih memilihku yang bukan siapa-siapa sementara mereka adalah orang kaya raya yang terpandang dan berpendidikan tinggi.

Itulah kenapa aku begitu ragu. Entah akan cocok atau tidak. Bukankah dalam pernikahan juga sebaiknya diperhatikan, apakah sudah setara atau tidak. Kalau terlalu jomplang juga dikhawatirkan akan jadi masalah di kehidupan pernikahan nantinya.

Tetapi, saat ku sampaikan itu semua pada Uni Dewi, katanya mereka tak keberatan. Bahkan mereka memang mencari yang bisa dididik, mereka memang berniat akan mengajariku nantinya. Entah secara langsung atau mendatangkan guru agar aku bisa setara dengan sepasang suami istri itu.

Sementara dengan keluargaku, mereka juga tak masalah. Bahkan mereka janji akan ikut membantu perekonomian keluarga kami. Mereka akan menyekolahkan anak dan keponakanku, juga menanggung biaya hidup kami sekeluarga. Suatu tawaran yang tentunya berat untuk ku elakkan karena jujur aku tak tahu lagi bagaimana cara meringankan beban ayah. Sebagai seorang yang tak lulus SD, aku hanya bisa bekerja mengandalkan tenaga. Tetapi ayah tak mengizinkan jika aku harus melakoni pekerjaan kasar atau harus merantau mencari pekerjaan ke ibu kota

***

"Besok mereka sudah sampai di Ranah Minang, Mil. InsyaAllah sore langsung ke sini untuk bertemu kamu dan keluargamu. Kamu sudah siap, kan Mil?" tanya Uni Dewi yang kembali bertandang ke rumah untuk menyampaikan hasil rembukannya dengan pihak lelaki yang akan melamarku.

"Kalau seandainya tidak cocok, apa tidak apa-apa Uni?" tanyaku ragu-ragu.

"Enggak apa-apa, Mil. Yang penting dicoba dulu. Siapa tahu cocok. Yang lebih penting lagi, tolong dijalani dengan serius, mereka sudah datang jauh-jauh ke sini khusus untuk menemui kamu dan keluargamu. Jadi hargai perjuangan mereka, ya!"

"Iya Ni, aku ngerti."

"Oh ya, ini." Uni Dewi memberikan bungkusan yang ia bawa semenjak tadi. Setelah dibuka ternyata isinya sebuah gamis panjang berwarna merah marun, lengkap dengan kerudung berwarna senada.

"Apa ini, Uni?"

"Ini untuk kamu, Mil. Uni tahu kamu nggak punya gamis yang bagus untuk menemui mereka. Uni sengaja belikan sebagai hadiah untuk kamu."

"Ya ampun Uni, tidak perlu repot-repot."

Perekonomian keluarga kami memang sangat-sangat sederhana. Bahkan kadang malah kekurangan. Jangankan untuk membeli gamis, makan saja hanya dengan nasi jatah dengan lauk garam atau cabe giling. Bahkan kalau sedang benar-benar tidak punya uang, kami hanya mengandalkan singkong yang ditanam di samping dan belakang gubuk.

Sehari-hari, hanya dua gamis yang sudah sangat usang lah yang kupakai untuk mengajar. Gamis yang dicuci kering, kudapatkan sebagai hadiah pernikahan dari Bang Hasan, namun sekarang warnanya sudah memudar saking seringnya dicuci pakai.

"Mil, ayo ambil!" kata Uni Dewi.

"Terimakasih banyak Uni, aku tak akan pernah melupakan kebaikan Uni." kataku, sembari berusaha menahan agar tak ada butiran bening yang keluar dari kedua netraku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!