Nana mengambil banyak pelajaran dari sebuah kegagalan. Hilangnya mimpi yang menyisakan luka dalam hati membuat Nana selalu sadar bahwa kenyataan tidak selamanya indah. Nana memilih untuk pulang demi merawat ibunya yang sedang sakit.
Kepulangan Nana kepada keluarga masih membawa pilu yang dibalut dengan senyum manis di bibir, seolah semua baik-baik saja. Mata Nana tak lagi menampakan sinar cinta, hanya pandangan tanpa tujuan yang nampak dari bola matanya yang hitam.
“Kamu baik-baik saja Na.....?” tanya ibu penuh cemas kepada anak gadisnya itu.
Ibu Nana tahu betul apa yang sedang Nana rasakan saat itu, namun ibu tak bisa berbuat apa-apa.
“Ia bu, Nana baik-baik aja. Ibu jaga kesehatan ya bu.....”. Nana menjawab sambil menghapus air mata yang jatuh dari mata indahnya.
Nana pulang semata-mata ingin merawat ibu dan memulihkan hatinya. Akan tetapi, kepulangan Nana seperti menjadi aib baru bagi keluarga. Tak disangka, banyak orang yang sangat kepo dengan Nana. Tak sedikit dari mereka yang suka mencibir, seolah-olah kesedihan Nana menjadi cerita indah bagi para tetangga.
“Loh....ko sudah lamaran malah bubar?”
“Ga jadi dibeli ya?
“Siapa juga yang mau beli sesuatu yang cacat, ia kan?”.....
Pedasnya ucapan tetangga membuat Nana semakin yakin bahwa ada kelebihan dan potensi pada
dirinya. Hanya saja Nana tak sanggup untuk mendengar perkataan negatif mereka tentang Nana. Nana tak habis pikir, dari mana berita itu, dari mana mereka tahu vonis itu, entah lah. Nana hanya bisa bertanya-tanya. Sering juga Nana mendengar ibunya ikut dihina oleh tetangga.
“Ga jadi punya menantu ya bu?”
“Kenapa?"
"Ya....cantik-cantik ko belum nikah juga?”
“Anak saya walaupun gak cantik-cantik amat, gak pinter tapi banyak yang naksir loh”.
Ingin sekali Nana membalas ucapan pedas tetangga, namun tak bisa. Sampai suatu hari Nana
mendengar ibunya menangis, ibu terlihat lebih rapuh dan sakit hati dari Nana.
“Bu....maafin Nana ya.... Ibu sabar”. Peluk Nana erat
Semakin hari, Nana semakin viral sehingga dengan sekejap berita Nana terdengar keseluruh kampungnya. Sungguh tega orang yang berbuat demikian.
Pagi hari menjadi waktu yang pas untuk tetangga bergosip ria, sambil belanja kebutuhan dapur yang disisipi oleh cerita terhangat pagi itu, masih pada gosip seputar Nana yang divonis mandul dan gagal nikah.
“Assalamu'alaikum bu ibu.....”. Nana menyapa mereka.
“Wa'alaikum salam....”. Salah satu dari mereka menjawab
“Na,katanya calon suami mu duren ya? Kalau duren aja mundur, gimana yang single ya......?” Ibu yang lain ikut menimpali
“InsyaAllah, ada yang lebih baik lagi bu. Mohon do’a ya bu ibu...” Jawab Nana sambil mengurungkan niatnya untuk belanja.
“Ya Allah.....cobaan apa ini? Sebegitu hina nya hamba”. Nana membatin namun berusaha untuk tetap berdiri tegap.
Ibu Nana melihat kesedihan yang begitu dalam pada Nana, rasa sakit hatinya terhadap kekecewaan pada Rahman dan cibiran pedas membuat Nana semakin hari semakin meredup. Wajah yang dulu bersinar terang, mata indah yang fokus pada satu tujuan, kini berubah menjadi awan mendung yang siap menumpahkan air hujan
pertanda bahwa sudah tak sanggup ia menahan semua beban yang ada.
Nana akhirnya memilih tinggal bersama bibinya di kampung sebelah. Suasana dikampung itu tak jauh beda dengan kampungnya, akan tetapi mereka lebih menjaga perasaan Nana. Entah mereka tidak mengetahu tentang Nana atau karena Nana orang baru dikampung itu. Nana lebih merasa nyaman tinggal bersama bibinya.
“Bagaimana kabar ibu mu Na?” Tanya bi Hanum sambil membawakan teh hangat untuk Nana.
Bi Hanum adalah adik satu-satunya dari ibu Nana. Bi Hanum juga sangat sayang kepada Nana.
“Alhamdulillah baik, bi”. Jawab Hanum singkat.
“Diminum teh nya, agar badan mu segar. Bibi tahu kamu sangat lelah hari ini”. Balas bi Hanum, sambil menyodorkan teh dan memastika bahwa Nana meminumnya.
Bi Hanum tahu bahwa Nana dari pagi belum makan atau minum apa-apa. Dia hanya berdiam diri didepan jendela dan penuh tatapan kosong. Bi Hanum khawatir keadaan Nana semakin memburuk. Vonis, kegagalan, cibiran pedas para tetangga membuat Nana begitu down. Karakter Nana seperti dibunuh oleh perkataan mereka.
Belum kaki bi Hanum beranjak keluar dari kamar Nana, Nana terisak begitu pilu.
“Bi, kenapa tuhan menciptakan Nana tanpa rahim. Apakah tuhan tidak menginginkan Nana menjadi seorang ibu?” Tanya Nana yang masih berdiri didepan jendela kamarnya.
Pertanyaan Nana membuat bi Hanum lemas, tak menyangka gadis sepintar Nana bertanya demikian. Bi Hanum tak sanggup untuk menjawab pertanyaan Nana, karena setiap perempuan pasti menginginkan hidupnya penuh kesempurnaan.
Bi Hanum memaksakan bibirnya untuk bergerak dan berkata “Allah memilih siapapun hambanya yang Allah kehendaki, percayalah bahwa kamu adalah pilihan”. Tak sanggup menahan air mata, bi Hanum segera meninggalkan kamar Nana.
Bi Hanum selalu memberi Nana support atas apa yang terjadi padanya. Berusaha untuk menghidupkan semangat yang selama ini sudah mati. Mengembalikan cahaya yang semakin redup.
“Allah menciptakan manusia begitu sempurna tanpa kekurangan satu apapun, hanya kita saja yang tidak bernah mnsyukuri setiap nikmat yang Allah beri”. Begitulah nasehat bi Hanum pada Nana.
Kondisi Nana terlihat semakin membaik, kini dia berani keluar rumah, berbincang dengan tetangga dan mulai kembali kuliah. Rasa bahagia yang bi Hanum rasakan begitu besar, melihat keponakannya kembali seperti dulu. Ibu Nana pun pulih dari sakitnya.
Kembalinya Nana beraktifitas bukan berarti Nana melupakan Rahman. Sikap Rahman masih terekam
dalam benak Nana. Hanya saja, Nana lebih memilih menggunakan kaca mata kuda demi masa depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
chonurv
sabar na
2020-09-18
0
Lilis Suryani
ttep percaya diri
2020-06-24
0
Ainun Nabilah
tetap percaya diri
2020-06-24
0